Lea, seorang guru TK, berjalan sendirian di malam gelap. Ia memilih jalan pintas melalui perkebunan warga untuk menghemat ongkos pulang. Udara malam dingin, dan langkah kakinya diiringi desah napas lelah.
“Huft, lelah sekali ternyata. Kunjungan tadi memang lancar, tapi badan rasanya sakit semua,” gumamnya sambil merapikan tas kecil di bahunya.
Kegelapan menyelimuti jalan itu, hanya suara serangga malam yang terdengar. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika suara teriakan tertahan seorang pria memecah keheningan.
“Hah? Apa itu?” Lea bergumam pelan, rasa penasaran mulai menguasai pikirannya. “Ah, abaikan saja, Lea… Abaikan saja…” bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya untuk terus berjalan.
Namun, rasa ingin tahunya tak bisa dibendung. Ia mengendap-endap mendekati sumber suara, berusaha tidak membuat suara. Saat mendekat, matanya membulat. Dua pria sedang bertengkar hebat di bawah cahaya samar bulan. Salah satunya tiba-tiba terjatuh, tak bergerak lagi.
“Apa… dia…?” Lea menutup mulutnya, matanya membelalak tak percaya.
Ketakutan menyelimuti dirinya. “Aku harus segera pergi!” bisiknya, berbalik hendak melarikan diri. Namun sial, kakinya menginjak ranting kering yang patah, menimbulkan suara cukup keras.
“Siapa di sana?!” suara pria itu menggema di udara malam.
Jantung Lea berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Ia mencoba berlari, tetapi pria itu sudah melihatnya. Langkah kakinya mengejar dengan cepat. Tak butuh waktu lama, Lea tertangkap.
“Hanya seorang gadis manis…” gumam pria itu. Namun, tatapannya segera berubah dingin. “Tapi kenapa ikut campur?!” teriaknya, mengguncang Lea yang gemetar.
Karena gelap, pria itu tak dapat melihat wajah Lea dengan jelas. Ia mengeluarkan ponsel, menyalakan senter, dan menyinari wajah gadis di depannya.
Pria itu, Dante, tertegun. Cahaya menyorot wajah Lea yang pucat, tetapi cantik. Mata gadis itu terpejam, bibirnya bergetar ketakutan. Ada sesuatu dalam dirinya yang menggetarkan hati Dante—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Lea, di sisi lain, hanya bisa berdoa agar semuanya segera berakhir. Namun malam itu, ia tak menyadari hidupnya akan berubah untuk selamanya.
Lea menggigil di bawah tatapan tajam pria di depannya. Cengkeraman kuat di lengannya membuatnya sulit bernapas. Mata Dante yang dingin menatap langsung ke arahnya, seolah menembus hingga ke jiwanya.
“Kau berhutang kepadaku,” ucap Dante dengan nada dingin, melepaskan cengkeramannya perlahan.
“Hah?” Lea tergagap, matanya membulat karena terkejut. “Aku... aku janji! Aku akan merahasiakan ini semua! Sungguh, aku akan menganggap malam ini tidak pernah terjadi, aku tidak melihat apa-apa!” ucapnya tergesa, kata-katanya keluar begitu saja tanpa ia sadari.
Ucapan Lea terdengar lucu di telinga Dante. Senyum tipis, hampir tak terlihat, muncul di wajahnya yang keras. “Siapa yang tahu? Kan?” balasnya dengan suara rendah yang menusuk, memiringkan kepala sambil menatap Lea penuh misteri.
Lea meringis. Ia bingung harus berkata apa lagi untuk meyakinkan pria menyeramkan di depannya ini. Pikiran-pikiran buruk berkecamuk di kepalanya, membuat tubuhnya semakin gemetar.
Namun Dante tak berkata banyak lagi. Ia mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Lea, membuat gadis itu mundur dengan panik. Dengan suara rendah, ia berkata, “Ingat, aku akan selalu mengejarmu… Dan kau milikku, mulai sekarang.”
Lea terperangah. Matanya membulat, napasnya tercekat. Ia terlalu takut untuk membalas ucapan pria itu.
Setelah memberikan peringatan yang menakutkan, Dante berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Lea yang berdiri mematung. Gadis itu masih terlalu terkejut untuk memahami maksud dari perkataan Dante.
“Maksud dia apa?” gumam Lea dengan suara lirih, tatapan matanya penuh kebingungan. Wajahnya mencerminkan campuran rasa takut, bingung, dan cemas. Malam itu meninggalkan tanda yang tak akan mudah hilang dalam hidupnya.
Lea berlari dengan terburu-buru, tubuhnya masih gemetar ketakutan setelah pertemuannya yang mengerikan dengan Dante. Begitu sampai di rumah kecilnya, dia langsung membuka pintu dan bersandar di baliknya, terengah-engah. “Huff… lelah sekali...” desahnya, berusaha menenangkan diri.
Namun, tiba-tiba, suara dari belakang membuatnya terlonjak. "Kenapa malam sekali kamu pulang?" terdengar suara kakaknya, Lia, yang sedang berdiri di depan pintu dengan wajah serius.
Lea langsung terkejut. "Ih, Kak! Ini mengagetkan saja!" ucapnya, merasa konyol.
Lia, kakaknya yang terkenal galak, menatapnya dengan cemas. “Kemana aja kamu? Jam segini baru pulang, loh!” tanyanya dengan nada tegas.
Lea merapikan napasnya yang masih terengah-engah. “Aku kan sudah bilang, Kak. Hari ini ada kunjungan antar murid...” jawabnya terburu-buru, berharap Lia tidak terlalu banyak bertanya.
Lia mengangkat alis, tampaknya tidak terlalu puas dengan jawaban itu. “Tapi Ahsan, dia udah pulang dari tadi. Aku lihat dia lewat-lewat depan rumah kita. Kamu kok baru pulang?” tanyanya lagi, agak heran.
Lea meringis. Sebentar dia bingung harus menjawab apa. “Eh… itu, Kak. Aku tadi jalan kaki,” jawabnya pelan, sedikit kikuk.
“Jalan kaki? Kenapa?” tanya Lia, makin heran dan sedikit khawatir.
Lea menggigit bibir, berusaha menyembunyikan rasa takutnya. “Menghemat ongkos, Kak,” jawabnya dengan lirih, berharap Lia tidak khawatir lebih jauh.
Lia terdiam sejenak, matanya melotot tak percaya. “Menghemat ongkos? Kamu bisa-bisanya jalan kaki malam-malam gitu? Emangnya kamu nggak khawatir kalau ada orang jahat?” tanya Lia dengan nada sedikit tegang.
Lea tertawa canggung. “Aku kan pulangnya lancar, Kak! Nggak ada yang aneh…” jawabnya, berusaha meyakinkan kakaknya.
Lia meringis, menahan tawa. “Lancar katanya. Tapi coba bayangin kalau kamu ditangkap pencuri, atau… atau ketemu orang jahat kayak… ya siapa tahu ada mafia di sekitar sini!” Lia berkata dengan ekspresi serius, namun bibirnya tak bisa menahan senyum.
"Kakak ini malah nyeremin, deh!" Lea berkata sambil tertawa canggung.
Lia akhirnya tertawa juga, menyandarkan punggung ke dinding dengan santai. “Ya udah, lain kali kalau jalan kaki malam, kasih kabar dulu. Kalau nggak, aku kasih dompet baru buat ongkos!” katanya sambil tersenyum lebar.
Lea pun tertawa lebar, merasa lega karena kakaknya tak terlalu marah. “Iya, Kak! Maaf ya, sudah bikin khawatir…”
Lia mengacak rambut adiknya dengan malas, sambil tetap tersenyum. “Kamu itu, Lea… selalu saja bikin pusing kepala. Tapi ya sudah, tidur sana, nanti besok aku kasih saran, gimana caranya pulang tanpa jalan kaki.”
Lea hanya bisa tertawa kecil, merasa lebih baik setelah obrolan ringan itu. Ternyata, kakaknya yang galak itu bisa juga membuatnya tertawa, walau dengan cara yang aneh.
"Bagaimana dia bisa mengajar semua murid dengan tingkah konyol dan bodohnya itu?" lirih Lia, sambil berlalu pergi menuju kamarnya.
Pagi itu, Lea bangun dengan langkah ringan. Dia bersiap-siap untuk mengajar seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Ketika ia berjalan menuju meja makan, ia mendapati bahwa sang kakak, Lia, tidak ada di sana. Namun, di atas meja makan yang tampak usang, ada sepiring nasi goreng yang tampaknya masih hangat.
Lea tersenyum kecil, hati sedikit lebih ringan. "Kak Lia memang galak, tapi dia sangat perhatian," gumamnya pelan, sambil menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Meski sedikit kesal karena sikap Lia yang kadang keras, Lea tahu bahwa kakaknya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Setelah menyelesaikan sarapannya, dia segera bergegas keluar rumah, siap menjalani hari.
Namun, di perjalanan menuju halte bus, di gang sempit yang biasa ia lewati, matanya tertuju pada seorang pria yang sedang mabuk dan berjudi. Lelaki itu duduk di sana dengan raut wajah yang suram, seolah dunia tak lagi peduli padanya. Lea berhenti sejenak, melihat dengan penuh rasa iba.
"Kenapa dia selalu seperti itu?" bisik Lea pelan, suaranya hampir hilang tertelan angin pagi. Hatinya terasa sesak. “Tidak mencerminkan sama sekali sebagai seorang ayah…” keluhnya, tanpa sadar air matanya mulai menetes. Pria itu, ayahnya, yang seharusnya menjadi panutan, kini malah terjebak dalam kebiasaan buruk yang merusak hidupnya. Lea menoleh, berlari menjauh dengan cepat, menghapus air matanya yang jatuh begitu saja.
Dia terus berlari, mencoba menghapus perasaan sedih yang tiba-tiba datang. Tiba di halte, dia berhenti sejenak, berusaha menenangkan diri. Bus yang ditunggu belum datang, dan Lea menatap kosong ke jalanan yang ramai. Di balik jaket tipis yang dia kenakan, rambutnya yang diikat kepang satu menambah kesan manis dan imut. Poni yang menutupi sebagian wajahnya membuat Lea terlihat semakin muda, seperti gadis kecil yang berusaha bertahan dalam dunia yang keras.
Lea menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri. Hari ini, seperti hari-hari lainnya, dia harus menghadapinya dengan senyum. Seberat apapun perasaan yang ia pendam, dunia tak akan berhenti berputar. Dengan semangat baru, Lea memutuskan untuk tetap tegar, berharap hari ini akan membawa kebaikan meskipun beban di hatinya terasa begitu berat.
Saat Lea berbalik dan seketika matanya membulat saat melihat pria itu. Pria yang kemarin malam ditemuinya, Dante, kini berdiri tepat di depannya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Astaga..." gumam Lea dengan suara tercekat, terkejut dan kaget melihatnya di sini. "Kenapa pria ini bisa ada di depanku sekarang?" pikirnya dalam hati, kebingungan.
"Apakah kau mengikuti aku?" tanya Lea, suara gagapnya tak bisa ia sembunyikan. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti terjebak dalam situasi yang semakin mencekam.
Dante hanya tersenyum tipis, namun senyuman itu terasa begitu menyeramkan bagi Lea. "Aku sudah bilang, sekarang kau milikku," ucap Dante dengan nada datar, matanya menatap Lea dengan penuh dominasi. Senyuman yang terukir di wajahnya justru semakin membuat suasana semakin tegang.
Lea menarik napas dalam, matanya mulai berkaca-kaca, dan suara sendunya hampir hilang saat ia memohon, "Sungguh, aku mohon… jangan seperti ini." Tangannya terangkat sedikit, seperti mencoba menghalangi pria itu, namun tetap tak bisa menutupi ketakutannya. "Aku akan menutup mulut, jangan khawatir… tapi tolong, jangan lakukan ini padaku," lanjutnya, mata penuh kepanikan.
Dante tidak terpengaruh. Ia hanya menatap Lea tanpa ekspresi, matanya dingin dan tajam. "Dengar, kau menyaksikan semuanya. Tidak ada yang tidak mungkin," katanya, suara rendah namun jelas. "Kau akan mengatakan semuanya kepada orang lain, kan?"
Lea menggelengkan kepala dengan lemah, tak tahu harus berkata apa. Kepalanya terasa berat, dan rasa takut semakin mencekiknya. "Tidak… tidak akan…" jawabnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar. Hidupnya sudah terlalu sulit, dan kini, pria ini—Dante—menambah beban yang harus dia hadapi. Lea meringis, merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Tak ada lagi jalan keluar, sepertinya, dari situasi yang semakin mencekam ini.
Dia merasa seperti terperangkap dalam dunia yang tidak pernah dia pilih, dunia yang dipenuhi ketakutan, kebingungan, dan rasa kehilangan.
bus akhirnya datang, Lea langsung berlari dengan tergesa-gesa. Ia tidak ingin lagi berhadapan dengan Dante yang masih berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang seolah bisa menembus segala ketakutan yang ada di dalam dirinya. Bus itu berhenti tepat di depan Lea, dan tanpa ragu, ia langsung melangkah masuk, menatap sekeliling dengan panik.
Dari dalam kaca bus, Lea memandang Dante yang masih berdiri di sana. Tatapannya dipenuhi ketakutan, dan begitu mata mereka bertemu, Lea langsung membalikkan pandangannya dengan cepat. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasa seperti dunia di sekitarnya mulai mengecil.
"Ya ampun, malang sekali hidupku," lirihnya dengan meringis, hatinya dipenuhi perasaan cemas dan bingung.
Sejenak, Lea menundukkan kepala, berusaha menenangkan dirinya. "Hidupku sudah berat, kenapa dia malah muncul? " pikirnya dengan sesak di dada. "Seharusnya aku kemarin naik bus saja, tidak peduli uang habis, lebih baik kalau aku tak bertemu dengannya," lanjutnya dalam hati, merasa menyesal dengan keputusan-keputusan kecil yang kini berujung pada pertemuan yang menakutkan itu.
Lea menatap tangan yang menggenggam tasnya, mencoba mengalihkan pikirannya. "Pria itu memang tampan, tapi sangat menakutkan. Apalagi saat aku melihat dia menghajar orang lain... astaga," pikirnya lagi dengan ekspresi takut yang seolah tak bisa ia tahan. Meski takut, ada rasa heran yang muncul karena dirinya yang begitu lugu dan ceroboh, seperti tidak pernah bisa menghindari masalah-masalah yang selalu datang begitu saja dalam hidupnya.
Lea tahu bahwa hidupnya penuh dengan kebetulan yang kadang membuatnya merasa tak berdaya. Namun, di satu sisi, dia sadar bahwa dia harus terus melangkah maju meski bayangan Dante selalu menghantuinya.
Lea melangkah lunglai menuju sekolah, langkahnya terasa berat seolah beban hidupnya semakin hari semakin menumpuk. Sesampainya di depan gerbang sekolah, dia melihat seorang anak kecil yang sedang berjalan dengan pengasuhnya. Tiba-tiba, suara ceria terdengar memecah kesunyian pagi.
"Pagi, Ibu Guru cantik!" ucap anak kecil itu sambil melambaikan tangan.
Mendengar itu, Lea langsung mengubah ekspresinya. Senyum manis menghiasi wajahnya, dan dengan langkah ceria, dia berjongkok di depan si anak kecil. "Hai anak manis, bagaimana hari ini?" tanyanya dengan nada ceria, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.
"Baik, Bu Guru! Aku kesana dulu ya, Bu Guru!" jawab anak itu sambil melanjutkan langkah kecilnya.
Lea mengangguk sambil tersenyum, "Baiklah, semangat ya! Awas, jangan jauh-jauh, sebentar lagi bel berbunyi."
Anak kecil itu melambaikan tangan dan berjalan pergi. Lea tetap tersenyum manis sambil memandang kepergian si anak. Namun, begitu anak itu pergi, ekspresinya berubah kembali menjadi gelisah dan khawatir. Dalam keheningan, dia berdiri tegak, matanya memandang ke seberang jalan.
Di sana, Dante sudah berdiri dengan kedua tangan yang disilangkan di dada. Ia menatap Lea dengan ekspresi yang sulit diartikan. Secara perlahan, Dante bergumam, "Menarik," dengan suara yang rendah namun penuh makna.
Setelah itu, tanpa menunggu lebih lama, Dante berbalik dan pergi begitu saja. Lea berdiri terpaku sejenak, jantungnya berdebar lebih cepat, dan hatinya dipenuhi perasaan cemas. Dia merasa terperangkap dalam situasi yang tak bisa dia hindari.
Lea menggelengkan kepala, mencoba menepis perasaan takut yang mulai merasuki dirinya. "Apa dia setan?" gumamnya pelan, matanya menatap ke arah Dante yang sudah menghilang. "Barusan tadi dia ada di halte, kenapa sekarang dia bisa ada di sini?" tanyanya dalam hati dengan perasaan cemas.
Ia menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan kegelisahan yang semakin menguasai dirinya. "Oh, astaga, hidupku akan lebih berat lagi," lirihnya, sambil meringis. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seperti ada beban tak terlihat yang mengikutinya. Lea memaksa dirinya untuk tetap berjalan ke ruang guru meski pikiran dan perasaan yang bercampur aduk semakin mengganggunya.
Sesampainya di ruang guru, Lea duduk dengan hati yang masih berdebar, mencoba menenangkan dirinya. Tapi bayangan tentang Dante yang muncul begitu mendalam di pikirannya, membuatnya merasa tak aman. Setiap gerakannya, setiap detik yang berlalu, seakan dia tahu pria itu masih mengawasinya dari kejauhan.
Siang itu, sekitar pukul 12, Lea akhirnya pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, rasa was-was nggak berhenti menghantuinya. Meski kali ini dia nggak melihat Dante, bayangan pria itu masih terus muncul di pikirannya. Lea menarik napas panjang begitu sampai di depan pintu rumah kecilnya, mencoba menenangkan diri.
Saat masuk, dia mendapati ayahnya sedang duduk di meja makan dengan ekspresi datar, seperti biasanya. Asbak di meja penuh puntung rokok, dan bau alkohol tipis tercium di udara.
"Sudah pulang?" suara berat sang ayah terdengar pelan, tapi Lea tahu dia nggak benar-benar peduli.
Lea hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu berlalu ke kamarnya. Dia tahu, nggak ada gunanya berlama-lama di ruangan yang sama dengan ayahnya. Kalau Lia mungkin bakal langsung melempar komentar pedas atau memulai pertengkaran, Lea memilih untuk menghindar. Bukan karena dia nggak punya keberanian, tapi lebih karena dia udah capek.
Di kamarnya yang sempit, Lea duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Udara di dalam ruangan terasa pengap, tapi dia nggak punya tenaga buat membuka jendela. Pikirannya masih penuh dengan bayangan Dante. Apa yang dia mau sebenarnya? Kenapa dia terus muncul di tempat yang nggak terduga? Lea merasa seperti hidupnya nggak lagi aman.
Tiba-tiba, suara keras dari ruang tengah terdengar, membuat Lea tersentak. Dia tahu pasti itu suara Lia kakaknya yang baru pulang kerja.
"Masih di sini aja, ya? Nggak ada niat buat kerja, hah?" suara Lia terdengar lantang.
"Kerja apa? Uang lo aja udah cukup buat makan di sini!" sahut sang ayah, terdengar nggak kalah keras.
Lea menghela napas, menutup wajah dengan kedua tangannya. Ini lagi, pikirnya. Setiap hari, Lia dan ayah mereka selalu berdebat. Lia memang nggak pernah segan untuk melawan. Dia muak melihat ayah mereka terus-menerus mabuk dan berjudi, sementara mereka harus banting tulang buat bertahan hidup.
"Apa, cukup? Lo pikir uang gue buat lo mabuk-mabukan juga? Gue kerja keras bukan buat itu, tahu!" Lia membalas dengan nada marah.
Lea mencoba menutup telinganya, berharap suara itu segera hilang. Tapi percuma. Pertengkaran itu terus terdengar, memantul di dinding rumah mereka yang tipis.
Dia menatap langit-langit kamar, merasa sesak. "Kenapa rumah ini nggak pernah tenang?" gumamnya pelan. Dia ingin lari, pergi jauh dari semua ini, tapi dia tahu itu nggak mungkin. Lia udah cukup menderita menanggung semua beban sendiri.
Saat suasana mulai sedikit reda, pintu kamar Lea terbuka perlahan. Lia berdiri di sana, wajahnya masih memerah karena emosi.
"Lea, kamu nggak apa-apa?" tanyanya, suaranya lebih lembut.
Lea hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lia mendekat, duduk di sampingnya, lalu meraih tangan adiknya.
"Dengar, kalau ada yang gangguin kamu... cerita sama aku, ya? Apa pun itu," ucap Lia serius, matanya menatap Lea penuh perhatian.
Lea tersentuh, tapi dia nggak bisa mengatakannya. Nggak mungkin dia ceritakan soal Dante. Lia udah punya cukup banyak beban, dan Lea nggak mau menambahnya. Jadi, dia hanya tersenyum kecil dan mengangguk lagi.
Lia menarik napas panjang, lalu mengusap kepala Lea. "Kita harus kuat, ya? Untuk diri kita sendiri," katanya sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Lea menatap pintu yang tertutup lagi, lalu menghela napas panjang. Di dalam hati, dia berjanji untuk melindungi kakaknya, sama seperti Lia yang selalu melindunginya. Tapi, bagaimana caranya melindungi orang lain kalau dirinya sendiri masih terjebak dalam ketakutan?
Malam itu udara terasa begitu gerah. Lea mengeluh pelan, "Kenapa panas sekali malam ini?" Sambil mengibas wajahnya dengan tangan, dia beranjak dari kasur, mencoba mencari udara segar.
Langkah kakinya membawanya ke belakang rumah. Ia duduk di kursi kecil dekat pohon mangga, berharap angin malam sedikit mendinginkan tubuhnya. Sambil menatap langit gelap, Lea terkekeh kecil. "Kalau aku kaya, pasti aku beli AC banyak-banyak," gumamnya sambil tersenyum tipis, mencoba menghibur diri.
Beberapa saat kemudian, udara mulai terasa lebih dingin. Lea menghela napas lega, lalu bangkit, berniat kembali ke dalam rumah. Namun, saat ia melewati bagian depan rumah, langkahnya terhenti. Di sana, berdiri seorang pria.
Astaga, jantung Lea serasa melompat. "Kenapa... kenapa kamu bisa ada di sini?!" tanyanya dengan suara bergetar sambil mundur beberapa langkah.
Pria itu tidak menjawab, hanya menatap Lea dengan tatapan dingin yang membuat bulu kuduknya meremang. "Siapa namamu?" suaranya datar, nyaris tanpa emosi.
Lea menggeleng cepat. "Aku... aku tidak akan memberitahumu!" jawabnya ketus, meski jelas ketakutan masih melekat di wajahnya.
Tatapan pria itu tetap menusuk, membuat Lea merasa kalah dalam sekejap. "Ah, baiklah! Aku Lea," ucapnya lirih, lebih pada dorongan rasa takut daripada keinginan untuk menjawab.
Pria itu, Dante, tersenyum tipis. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Lea yang masih terpaku di tempat.
Lea hanya bisa memandang kepergiannya dengan ekspresi bingung. "Apa-apaan itu barusan?" gumamnya pelan. Napasnya terasa berat, tubuhnya gemetar. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanyalah kebetulan, meski hatinya penuh tanda tanya.
"Dia seperti jalangkung," Lea menggerutu pelan, mencoba menghilangkan rasa takutnya dengan bercanda. "Datang tak diundang, pulang tak diantar."
Namun, bayangan Dante yang dingin tetap menghantui pikirannya malam itu.
“Mau apa kamu malam-malam di luar? Masuklah! Perempuan nggak baik keluyuran malam-malam!” suara bentakan Lia tiba-tiba memecah keheningan, membuat Lea terperanjat. Tubuhnya sedikit gemetar karena kaget.
Baru tadi siang Lia berbicara lembut, sekarang berubah galak lagi. Lea mendesah pelan, tak ingin memperpanjang masalah. “Baru tadi lembut, sekarang galak lagi,” lirihnya sambil melangkah lesu melewati sang kakak.
Lia berdiri di depan pintu, menatap Lea yang berjalan masuk. Wajahnya masam, tak sedikit pun melunak. Saat Lea sudah tak terlihat, Lia menghela napas panjang, melampiaskan kekesalannya pada udara malam yang dingin.
“Anak itu... bisa-bisanya dia bilang menjadi guru,” gumam Lia sambil menyilangkan tangan. “Padahal dia itu bodoh, ceroboh, mana layak jadi guru?” Nada suaranya penuh sindiran. Ia menggigit bibir, merasa kesal tanpa alasan jelas.
Namun, angin malam yang menerpa wajahnya hanya membawa sunyi. Lia berdiri diam, seolah berbicara dengan dirinya sendiri, menutupi perasaan yang sulit ia pahami.
Di dalam kamar yang sempit dan pengap, Lea duduk di tepi tempat tidur dengan wajah penuh kerisauan. Napasnya berat, dan tanpa sadar ia mengacak-acak rambutnya sendiri, melampiaskan frustrasi yang semakin menghimpit.
"Kenapa pria itu terus menghantui aku?" gumamnya lirih, matanya menerawang kosong ke arah jendela. "Dia tahu rumahku... dia tahu tempatku mengajar..." lanjutnya dengan suara hampir tak terdengar.
Wajahnya mendadak mengernyit, campuran antara takut, bingung, dan marah. Tubuhnya terasa lemah seakan energi perlahan terkuras hanya dengan memikirkan sosok pria asing yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Lea menunduk, tangannya mencengkeram ujung selimut.
“Siapa dia sebenarnya?” bisiknya dengan getir. Tak ada jawaban, hanya keheningan kamar yang semakin menyesakkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!