Kaila Mahya Kharisma atau lebih dikenal dengan panggilan Lala, perempuan cantik berusia 21 tahun selalu terlihat ceria di kesehariannya. Anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Aleeya Addhitama dan Khairan Kharisma.
Di sampingnya ada seorang lelaki tampan berusia sama dengannya, Devan Arnaya. Sudah enam tahun mereka begitu dekat. Bersekolah di SMA yang sama dan kini kuliah di universitas yang sama pula.
Di mata mahasiswa yang lain mereka tampak seperti sepasang kekasih yang begitu cocok. Tampan dan cantik, di mana Devan pun terlihat selalu setia bersama Lala.
Mata Lala akan selalu tertuju pada sosok lelaki yang kini ada di sampingnya. Mereka tengah berada di kantin. Selalu dengan sorot mata penuh antusias mendengarkan cerita Devan.
"Gua udahan ceritanya loh. Kenapa lu masih ngeliatin gua kayak gitu?"
Lala menggeleng dengan senyum yang masih mengembang. Devan pun ikut tersenyum dan mengusap lembut ujung kepala Lala. Begitu manis jika melihat interaksi mereka berdua.
.
"Hai, Tante!"
Devan sudah akrab dengan kedua orang tua Lala. Dia juga menjalin pertemanan dengan kedua saudara Lala yang lain, Lea dan Alfa. Namun, dengan Alfa dia tidak terlalu akrab.
"Hai, Devan. Masih pagi loh! Kayaknya Lala belum bangun," ujar Mama Aleeya yang begitu welcome kepadanya.
"Enggak apa-apa, Tante. Devan tungguin kok."
Sikap Devan ini membuat Mama Aleeya bahagia. Dia merasa jika Devan akan mampu menjaga putri pertamanya. Sedangkan, putri keduanya tengah kuliah di Bandung. Lea memilih mandiri dan tinggal di kosan putri.
Devan juga tak segan dan canggung kepada ayah Lala. Mereka sangat akrab seperti tak ada jarak. Bahkan, bisa bercanda layaknya sahabat.
"Hayu atuh kapan nongkrong bareng lagi?" ajak Devan kepada Papa Khairan.
"Nanti-lah. Jadwal Om masih padat banget."
Devan hanya mengangguk pelan. Ayahnya Lala bukanlah orang sembarangan. Begitu juga dengan ibunya Lala. Untuk dekat dengan Lala pun harus mengeluarkan effort yang tak mudah.
Terdengar suara langkah dari arah tangga. Pandangan Devan beralih, dia kira Lala ternyata Alfa. Hanya tatapan dingin yang Alfa berikan.
Mereka berdua memang tidak akrab. Alfa seperti menjaga jarak dengan Devan. Namun, tak jua dia melarang kedua saudaranya berteman dengan lelaki itu. Dia seperti tahu sesuatu, tapi masih belum dia beri tahu.
"Mau berangkat sekarang?"
"Iya, Ma."
Singkat sekali jawaban dari Alfa.
"Jangan pulang malam, Al," pinta sang ayah.
"Al cuma di tempat biasa kalau pulang malam, Pa. Gak akan ke mana-mana," balasnya.
"Jangan terus repotkan Mas mu. Kasihan loh!" nasihat sang ibu.
"Iya."
Sebuah pertanyaan mulai bersarang di benak Devan. Siapa Mas yang dimaksud oleh Mama Aleeya?
Namun, Suara langkah kaki membuyarkan pertanyaaan yang ada di kepala. Devan tersenyum ke arah Lala yang baru saja turun.
"Loh? Kok tumben?"
"Sengaja. Biar dapat sarapan gratis."
Lala malah tertawa. Beda halnya dengan Alfa yang sudah meletakkan gelas berisi teh manis dengan cukup keras ke atas meja hingga tawa Lala dan Devan terhenti.
"Kenapa sih lu?"
Hanya tatapan malas yang Alfa berikan. Meskipun berada di satu meja makan yang sama, Alfa sama sekali tak ikut masuk ke dalam perbincangan mereka berempat. Dia memilih untuk diam dan cepat menyelesaikan sarapannya.
"Al, berangkat dulu."
Attitude Alfa jangan diragukan. Dia mencium tangan kedua orang tuanya bergantian. Lala sudah mengangkat tangannya, tapi malah Alfa tepis dengan wajah yang sangat sinis.
.
Bagaimana tidak meleleh hati Lala mendapat perlakuan yang sangat manis dari Devan. Di mana setiap kali hendak berangkat bersama dengan menggunakan motor, Devan tak membiarkan Lala memakai helm sendiri. Begitu juga jika sudah sampai, Devan akan membantu Lala melepaskan helm yang masih berada di kepala.
"Makasih."
Senyum melengkung indah di wajah Lala. Inilah yang dia suka dari Devan. Lelaki itu tak banyak bicara, tapi perlakuannya seperti mengatakan semuanya.
Kedekatannya dengan Devan selama enam tahun ini berjalan begitu saja. Di antara keduanya tak ada yang menyatakan cinta. Hubungan mereka layaknya air yang mengalir.
"Hubungan kamu sama Devan sudah sejauh apa sih, Kak?"
Sang mama mulai bertanya ketika wanita cantik itu sudah berada di dalam kamar Lala.
"Sejauh yang Mama lihat," jawabnya santai sambil mengerjakan tugas.
"Maksud Mama apa Devan udah confess perasaannya ke kamu?"
Lala terdiam sesaat. Lalu, memutar kursi yang sedang dia duduki dan menatap sang mama dengan begitu lekat.
"Apa sikap dia ke Lala selama ini tidak menunjukkan apapun?"
Mama Aleeya tersenyum. Dia mendekat ke arah sang putri pertama dengan tatapan yang begitu teduh.
"Mama hanya takut kamu akan mengalami hal seperti Mama juga Mami Nana."
Cinta segitiga antara Mama Aleeya dan kakak pertamanya, Mami Aleena. Di mana hubungan persaudaraan mereka mulai renggang hanya karena satu laki-laki yang mereka rebutkan.
"Ma," panggil Lala dengan begitu lembut.
"Lala, Lea dan Devan dekat sudah dari SMA. Dan Mama bisa liat sendiri kan kalau Devan gak terlalu dekat sama Lea," paparnya.
"Jadi, Mama gak perlu khawatirkan apapun."
Mama Aleeya tersenyum sembari menganggukkan kepala. Wajar jika seorang ibu merasa takut anaknya disakiti ataupun tersakiti oleh lelaki.
Setelah mamanya pergi, Lala terdiam dengan mata memandang figura berisi foto dirinya, sang adik juga Devan. Tangannya mulai menyentuh foto tersebut. Di mana terlihat senyum Devan tertuju pada Lea yang tengah tersenyum pada kamera. Pikiran buruk mulai merasuki kepala. Namun, Lala mencoba membuangnya jauh-jauh.
.
Wajah prengat-prengut Devan tunjukkan tepat di depan Lala yang sudah berada di dalam kelas. Dahi Lala pun berkerut.
"Gua ke rumah lu. Tapi lu-nya malah udah berangkat," omelnya bagai anak remaja sedang PMS.
Lala tertawa melihat wajah Devan yang seperti itu. Dia mencubit pipi putih Devan dengan begitu gemas sambil berkata, "tadi gua bareng Alfa."
"Lu punya ponsel kan? Kenapa gak kabarin gua dulu kalau lu udah berangkat?" Devan masih marah.
"Sorry," sesal Lala.
"Alfa tadi ngajak buru-buru. Makanya hape gua masukin ke tas."
Devan pun menghela napas kesal. Wajahnya masih dia tekuk.
"Udah dong jangan marah," bujuk Lala sambil menggoyang-goyangkan lengan Devan.
"Lain kali gak akan gitu lagi deh."
Atensi Devan mulai teralihkan mendengar janji Lala. Kini, lelaki itu sudah menatap Lala dengan begitu dalam.
"Gua akan maafin lu. Tapi, ada syaratnya," ujar Devan dengan mimik serius.
"Apa?"
"Besok malam kita jalan."
Lala terdiam sejenak. Tak biasanya Devan mengajaknya keluar di hari biasa. Biasanya hanya di akhir pekan. Itupun lebih sering mereka berada di rumah Lala.
"Ke mana?"
"Ke suatu tempat."
...*** BERSAMBUNG ***...
Cek ombak dengan tinggalkan komen kalian.
Ada bahagia juga ada rasa bingung. Jarang sekali Devan mengajaknya jalan malam di weekday. Timbul sebuah tanya di kepala.
"Ada apa, ya?"
Mulai mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh Devan tadi pagi. Lelaki itu akan membawanya ke suatu tempat.
"Ke mana?"
Lala terus bertanya sendiri. Hingga dia lelah menebak dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Terlintas kalimat yang ibunya katakan perihal pernyataan perasaan.
"Apa dia bakal confess perasaannya?"
Senyum pun mulai mengembang. Bantal sudah dia letakkan di wajah karena malu. Segera dia turun dari tempat tidur dan menuju sebuah ruangan di mana sang adik bungsu sering menghabiskan waktu di sana.
Suara pukulan drum langsung menyambutnya. Alfa begitu serius hingga tak menyadari kehadiran dirinya. Lala terpana akan permainan drum Alfa. Tak menyangka sekarang Alfa sudah begitu mahir. Suara tepuk tangan membuat atensi Alfa teralihkan. Dia pun berdecak kesal ke arah kakaknya yang sudah tersenyum manis.
"Ngapain?"
"Jangan galak-galak dong adik gua, Sayang."
Lala menghampiri Alfa yang berada di belakang drum. Kedua alis Alfa menukik tajam melihat mimik wajah kakaknya yang begitu aneh.
"Gua mau ngomong serius sama lu.".
Di sofa panjang tempat Alfa merebahkan tubuh jika dia sudah kelelahan kini mereka berada. Lala sudah menghadap Alfa yang sedang meneguk minuman penambah ion.
"Al," panggil Lala dengan nada serius.
Sang adik mulai menoleh, menanti ucapan apa yang akan keluar dari kakaknya.
"Kalau cowok ngajak jalan bukan di weekend itu tandanya apa?"
Dahi Alfa mengkerut. Lelaki dingin itu malah menempelkan punggung tangannya di dahi Lala. Sebuah decakan pun keluar dari bibirnya.
"Gua serius, Al."
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Alfa. Dia menatap ke arah sang kakak dengan begitu serius.
"Lu emang berharap apa?" Malah balik bertanya.
"Dia mau ajak gua ke suatu tempat. Bukankah udah jelas?" Kembali Lala menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.
"Ya, kalau lu meyakini hal baik yang akan buat lu bahagia gua gak akan pernah mau mematahkan itu."
"Kebahagiaan lu adalah kebahagiaan gua juga. Sebaliknya, kesedihan lu patut gua tertawakan."
"Si an Jing!!"
Kata mutiara keluar dari mulut Lala dan membuat Alfa tertawa.
.
Lala terus mendesak Devan untuk memberitahu ke mana mereka akan pergi nanti malam. Sayangnya, mulut Devan terbungkam.
"Van," rengek Lala sambil merangkul lengan lelaki yang dia sukai.
"Entar juga lu tahu," jawab Devan yang kini merangkul bahu Lala.
Lirikan kesal Lala berikan. Devan pun tersenyum karena di matanya Lala begitu lucu.
Kedekatan mereka yang seperti dua insan berpacaran membuat para mahasiswa di sana sangatlah iri. Mereka bagai perangko dan ke mana-mana selalu berdua.
Si tampan dan si cantik yang sangat serasi. Di mata mahasiswa yang lain hubungan mereka berdua pun terbilang awet. Sudah tiga tahun menimba ilmu di kampus tersebut, tapi masih bisa berjalan bersama. Tak sedikit dari para mahasiswa yang memprediksi jika hubungan Lala dan Devan akan berakhir di pelaminan.
.
Sudah dua jam Lala berdiri di depan lemari besar. Sedari tadi dia masih bingung perihal baju yang akan dia gunakan. Tumpukan baju sudah ada di atas ranjang, tapi menurutnya kurang pas untuk digunakan.
Helaan kasar pun terdengar. Sebuah kalimat tiba-tiba terngiang di telinga.
"Gua gak suka sama cewek yang ribet."
Alhasil, Lala pun memilih style yang biasa dia pakai sehari-hari. Jeans panjang dengan kaos putih tidak kebesaran dan tidak kekecilan. Make up pun begitu tipis karena sejatinya dia tidak seperti Lea yang senang berdandan.
"Kak, Devan udah nungguin," ucap sang ibu yang hanya memperlihatkan kepalanya di pintu.
Lala segera keluar dan senyumnya melengkung indah ketika Devan sudah memandangnya. Balasan senyum yang tak kalah manis Devan berikan. Sebelumnya, mereka berpamitan dan Mama Aleeya hanya memberikan pesan untuk tidak pulang kemalaman.
Mobil yang Devan bawa sudah masuk ke parkiran mall. Lala tersenyum tipis. Ekspektasinya terlalu tinggi ternyata. Hanya ke sebuah mall seperti biasa. Makan, nonton dan belanja. Begitulah pikir Lala.
Namun, kali ini berbeda. Devan menarik tangan Lala ke toko perhiasan. Kedua alis Lala pun beradu.
"Pilih, mana yang lu suka."
Devan sudah menunjuk ke area cincin. Lala terdiam untuk sesaat sampai Devan memanggilnya lagi.
"La."
Dia pun tersadar. Pandangannya tertuju pada Devan yang sudah tersenyum.
"Pilih, terus pakai. Cukup enggak di jari manis lu."
"Apa ini, Tuhan?"
"Enggak secepat ini juga kan, Van."
Lala pun memilih cincin putih yang dia sukai. Lalu, dia coba di jari manis. Dilihatnya dan begitu begitu pas di jari putihnya.
"Cantik!"
Lala ingin salto pada saat itu juga. Apalagi, tangan yang sudah tersemat cincin di jari manisnya Devan genggam.
"Mbak, yang ini aja."
Devan dan Lala memancarkan wajah bahagia. Lala sesekali tersenyum karena dia meyakini akan mendapatkan sebuah kebahagiaan malam ini. Membayangkan bagaimana romantisnya Devan ketika memberikan cincin itu kepadanya nanti.
Suara candaan maupun obrolan tak terdengar. Mereka masih bergelut dengan pikiran masing-masing. Berhentilah mobil di sebuah restoran yang cukup mewah. Lala mulai memberanikan diri menatap Devan yang tengah membuka seatbelt. Senyum yang begitu manis juga lebar kembali Devan ukirkan.
"Ayo!"
Irama jantung Lala sudah tidak aman. Apalagi mereka sudah masuk sebuah ruangan yang begitu private.
"Van, kok lu manis banget sih."
Devan dan Lala melihat sekeliling ruangan yang begitu cantik. Senyum Devan terus terukir indah.
"Kata owner-nya tempat ini sering digunakan untuk orang yang akan melamar pasangannya."
Atensi Lala beralih pada Devan yang juga tengah mengarahkan atensinya kepada Lala. Binar matanya membuat detak jantung Lala semakin tak terkendali.
"Lu mau pesan apa?"
Lala sedikit terhenyak. Devan sudah menuju meja di mana buku menu ada di sana.
"Rekomendasi makanan enak di sini sih steak," ujar Devan yang sudah menunjukkan gambar yang ada di buku menu.
Lala hanya mengangguk saja. Dia mengikuti apa yang dikatakan oleh Devan. Dua steak pun sudah Devan pesan. Selama menunggu steak datang, hanya keheningan yang tercipta di meja tersebut.
"La."
Suara Devan mampu membuat Lala terperanjat. Matanya kini tertuju pada Devan yang menatapnya teramat serius.
"Sebenarnya...."
Baru satu kata yang terucap dari mulut Devan membuat tangan Lala sudah dingin. Mimik wajahnya memang tenang, tapi tidak untuk jantungnya yang sudah berdegup tak karuhan.
"Gua mau jujur sama lu, La."
Pandangannya begitu serius terhadap perempuan yang tengah menanti kalimat selanjutnya.
"Selama enam tahun ini gua mendam sebuah rasa yang sulit untuk gua ungkapin."
Lala masih menunggu kalimat yang akan menjadi gong-nya. Dia sudah sangat antusias.
"Gua suka sama Lea dan berniat mau nembak dia di tempat ini."
...*** BERSAMBUNG ***...
Coba atuh tinggalin komennya ...
Jantung yang berdetak tak karuhan seketika berhenti berdetak. Dadanya mulai sesak.
"Cincin yang tadi lu pilihin ternyata disukai Lea. Makasih banyak, La."
Mencoba melengkungkan senyum di tengah rasa sakit yang baru saja dia dapatkan. Sekuat tenaga Lala menahan air mata agar tak tumpah ruah.
"Weekend nanti gua akan ke Bandung. Gua akan mulai PDKT sama dia."
Lala hanya mengangguk dengan senyum yang sangat dia paksakan. Beda halnya dengan wajah Devan yang sangat berbinar.
"Padahal, gua yang suka sama lu, Van. Tapi, kenapa Lea yang lu suka?"
Makanan yang masuk ke dalam mulut terasa hambar. Lala pun tak ingin berlama di sana. Mulai mengajak Devan pulang.
"Masih sore, La."
"Ada tugas yang belum gua kerjain, Van. Besok harus dikumpulin."
Berbohong karena dia takut Devan menyadari kesedihannya. Di dalam mobil pun Lala terus menatap ke arah jendela mobil. Merasakan sakit yang tak bisa dia ungkapkan.
Baru saja masuk ke dalam kamar, tubuhnya dia sandarkan di pintu. Tak terasa bulir bening meluncur dengan sangat deras.
Tak ada isakan, tak ada suara yang dihasilkan. Namun, air mata itu tak kunjung reda. Tubuh Lala pun luruh ke lantai. Memeluk kedua kakinya dengan wajah yang dia benamkan di atas kedua lututnya.
"Sakit, Van. Sakit!"
Lelehan air mata tak dapat surut. Sudah jam dua pagi matanya masih terjaga dengan sisa air mata.
"Ternyata selama enam tahun ini gua yang terlalu percaya diri. Dekatnya dia hanya sebatas dekat biasa bukan dekat karena menyimpan rasa."
Senyum tipis terukir di wajah Lala. Membuang napas dengan begitu kasar dengan wajah yang sudah sangat sembab.
"Tuhan, bisakah aku melupakannya?"
.
Berangkat lebih awal tanpa sarapan. Hari ini juga Lala mengenakan kacamata agar mata sembabnya tak terlihat oleh kedua orang tuanya.
"Emangnya gak bareng Devan?"
"Lala ada kelas pagi, Ma," balasnya sambil mencium tangan.
"Sarapan dulu," titah sang papa.
"Nanti aja di kantin."
Lala buru-buru pergi sebelum kedua orang tuanya menyadari keanehannya. Untuk hari ini dia ingin menenangkan diri dan berdamai dengan rasa sakit yang harus dia hadapi dan terima.
.
Devan dengan langkah lebarnya menuju kelas Lala. Benar dugaan Devan, kelas Lala belum dimulai.
"Ke mana dia?"
Seperti biasa Devan menjemput Lala. Namun, yang dijemput sudah berangkat dengan alasan palsu. Devan tahu jadwal kelas Lala.
Mencoba menghubungi Lala, tapi nomor Lala tak aktif. Wajah penuh kecemasan tak terbantahkan. Sikap Lala hari ini sangat aneh. Bertanya kepada teman sekelas Lala pun mereka mengatakan jika belum melihat Lala di kampus.
"Lu kenapa, La?"
.
Hembusan napas penuh kelegaan keluar dari bibir Lala. Dia baru saja keluar dari ruangan dekan. Segera menghubungi Alfa meminta sang adik untuk menjemputnya.
"Manja kata gua mah!"
Sikap Lala yang lebih kalem dari biasanya membuat Alfa sedikit curiga. Terlebih kakaknya memakai kacamata seperti tengah menutupi sesuatu.
"La--"
"Gua kangen Baba dan Bubu."
Alfa tak banyak berkata lagi. Dia segera melajukan motor dan tanpa Lala duga Alfa membawanya menuju pemakaman elite yang berada di luar Kota.
"Al--"
"Udah lama juga kan kita gak ke sana. Naik motor lebih seru."
Hanya keheningan yang tercipta. Sesekali Lala menunduk dalam karena rasa sakit yang masih terasa sampai saat ini.
Berdiri di samping dua pusara yang sangat amat mereka sayang. Lala mulai merendahkan tubuh. Mengusap nisan bernamakan Raditya Addhitama dan Elthasya Afani.
"Lala kangen."
Tubuh Lala mulai bergetar. Kepalanya pun sudah menunduk dalam. Alfa yang berada di sampingnya hanya membiarkan sang kakak meluapkan semuanya. Hatinya ikut perih ketika isakan yang begitu lirih terdengar.
Memang tak ada satupun kata yang keluar dari bibir Lala. Tangisan Lala yang seperti orang menjerit kesakitan dapat Alfa rasakan.
Setelah puas menangis, Lala mengusap wajahnya yang sudah sangat basah. Lala mencoba untuk tersenyum ke arah dua pusara tersebut.
"Maaf, Lala ke sini hanya bisa nangis."
Alfa mulai merangkul pundak sang kakak. Usapan lembut sang adik membuat air mata Lala kembali turun. Alfa segera memeluknya dan kembali air mata itu tumpah di dada Alfa.
Setelah tenang, Lala kembali mengusap nisan kakek dan neneknya. Menatap nama itu dengan begitu lekat.
"Pasti perasaan Bubu sakit banget kan pas tahu hubungan Mami Nana dan Mama menjauh hanya karena seorang lelaki? Pasti Mama juga akan merasakan itu kalau Lala cerita tentang kisah Lala dan Devan."
"Lala cinta Devan, tapi Devan cinta Lea. Lala harus apa?"
"Ternyata sakit banget ya ketika harapan yang sudah setinggi langit malah dihempaskan ke dasar lautan."
Puas menangis dan menumpahkan kesedihan hati, Lala dan Alfa kembali ke Jakarta. Devan sudah berada di rumah Lala. Dia sengaja datang ke sana untuk menanyakan Lala.
"Alfa bilang kalau mereka lagi ke makam Bubu dan Baba."
"Naik motor?" tanya Devan.
"Kamu kayak enggak tahu Alfa kayak gimana," balas Mama Aleeya seraya tertawa.
Devan menghembuskan napas penuh kelegaan. Akhirnya, dia menemukan titik terang di mana Lala berada. Devan pun pamit pulang karena Lala sudah pasti akan aman jika bersama Alfa.
"Devan pulang ya, Tante. Salam aja ke Lala."
Mama Aleeya mengangguk. Wanita cantik itu mencium aroma tidak sedap di hubungan Devan dan Lala. Biasanya jika seperti ini mereka sedang bertengkar.
Jam sepuluh malam, Alfa dan Lala baru tiba di rumah. Wajah Lala pun sudah tak sesembab tadi.
"Langsung tidur," titah Alfa dan diangguki oleh Lala.
Senyum penuh kepedihan terukir di wajah Lala ketika melihat figura yang ada di meja belajarnya.
"Semakin dipaksa pasti akan semakin sakit," gumamnya.
Jarinya mengusap lembut wajah Devan yang berada di foto tersebut. Lelaki yang mampu membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Gua enggak benci lu karena di sini emang gua yang salah. Gua yang udah terlalu percaya diri. Padahal lu pernah ngomong apapun ke gua."
Senyum tipis Lala sunggingkan. Sorot mata penuh luka masih terlihat begitu nyata. Lala menyandarkan punggungnya di kursi meja belajar. Melihat ke arah tas ransel yang sudah ada di atas tempat tidur.
Baru saja membuka mata, Devan sudah mengirimkannya pesan.
"La, doain ya semoga PDKT gua besok sama Lea berjalan dengan baik."
"Semua yang disukai dan enggak disukai Lea udah gua hafal banget. Itu semua berkat lu. Karena lu pernah bilang kalau apa yang lu sukai pasti gak akan disukai sama Lea."
"Makasih banyak ya, La. Lu emang calon kakak ipar terbaik."
"Calon kakak ipar?" ulang Lala dengan raut yang penuh rasa kecewa dari sebelumnya.
...*** BERSAMBUNG ***...
Tinggalin komennya dong ..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!