Kegelapan menyelimuti dunia, menutupi setiap sudut cakrawala. Dari celah dimensi, makhluk-makhluk mengerikan bermunculan, membawa kehancuran yang tak terhindarkan.
Banyak yang menyebut hari itu sebagai akhir zaman, saat umat manusia nyaris tak mampu bertahan. Namun, di tengah keputusasaan yang melanda, para dewa turun tangan. Mereka menawarkan bantuan, bukan karena belas kasihan, melainkan untuk hiburan mereka sendiri, menikmati penderitaan manusia yang terus berjuang.
Para dewa memberi manusia kekuatan, kemampuan luar biasa untuk melawan monster dari dimensi lain. Dengan kekuatan itu, pertempuran besar pun dimulai menandai perjuangan panjang untuk merebut kembali bumi dari cengkeraman makhluk kegelapan. Selama dua dekade, umat manusia berjuang tanpa henti, menumpahkan darah dan air mata demi kembali berdiri di tanah mereka sendiri.
Di tengah perjuangan itu, lahirlah para pahlawan. Di antara mereka, ada satu sosok yang bersinar paling terang. Dia adalah simbol harapan, seorang pejuang dengan kekuatan besar yang mampu memusnahkan ribuan monster hanya dengan satu serangan. Kepemimpinannya yang luar biasa menginspirasi ribuan prajurit untuk bangkit melawan. Dia adalah legenda, seorang pejuang terhebat yang namanya diabadikan dalam sejarah.
Namun, di balik cahaya yang gemilang itu, bayangan gelap terus mengintai. Ketenerannya memicu rasa iri dan dendam dari mereka yang merasa lebih layak berada di puncak. Kebencian menggerogoti hati mereka yang lemah namun sombong, hingga menyatu menjadi sebuah rencana jahat.
Konspirasi licik itu akhirnya memadamkan cahaya harapan umat manusia. Sang pahlawan jatuh, dan dengan kejatuhannya, dunia kembali dilanda kekacauan. Kegelapan yang dulu hampir sirna kini kembali melingkupi bumi, dan kerusakan yang ditinggalkannya tak mungkin lagi dapat diperbaiki.
***
Pintu toilet terbuka dengan kasar. Tiga gadis berpenampilan mewah menyeret seorang gadis berkacamata yang tampak sederhana.
"Natasya, kumohon lepaskan aku. Apa salahku hingga kalian memperlakukanku seperti ini?" gadis itu merintih, tangisnya pecah sambil menahan sakit dari rambutnya yang terus ditarik dengan kasar.
Ketiga gadis itu hanya tertawa sinis mendengar permohonan putus asa korbannya.
Natasya, pemimpin dari kelompok itu, menjawab dengan sebuah tamparan keras di wajah gadis malang itu, hingga kacamatanya yang sudah retak terlempar ke lantai. Pipi korban memerah dan berdarah akibat tamparan tersebut, membuatnya tersungkur tak berdaya.
Gina dan Vera, teman Natasya, bergantian menendang perut gadis itu. Korban hanya bisa meringkuk di lantai, tubuhnya gemetar, sementara mereka terus menghujani tubuhnya dengan kekerasan. Tawa puas mereka menggema di ruangan sempit itu, bercampur dengan rintihan kesakitan dari korban mereka.
Natasya kembali mencengkeram rambut gadis itu, memaksanya menengadah. Wajah yang penuh luka lebam dan darah itu dipandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. “Kesalahanmu adalah karena berani menunjukkan wajah culun seperti ini di sekolah kami,” ucapnya dingin, sebelum menyeret gadis itu ke salah satu bilik toilet.
Dengan air mata bercucuran, korban memohon belas kasihan. Namun Natasya hanya tersenyum dingin sebelum mendorong kepala gadis itu ke dalam lubang kloset. Korban panik, berusaha mengangkat kepalanya yang terendam air, tetapi Gina dan Vera dengan cekatan membantu menekan tubuhnya lebih dalam.
"Tepat di sinilah tempatmu berada!" Natasya tertawa, diikuti oleh kedua temannya.
Gadis itu berjuang sekuat tenaga, tangannya meronta dan kakinya memberontak. Namun perlahan, tenaganya mulai habis. Kepakan tangannya melemah, dan tubuhnya akhirnya lunglai, tak bergerak lagi.
Melihat korban tak lagi melawan, tawa ketiga gadis itu semakin keras, seolah mereka tak merasa bersalah sedikit pun. Tidak ada ketakutan di wajah mereka, hanya kepuasan. Mereka tahu, gadis itu tidak punya siapa-siapa, dan jika pun masalah ini terungkap, kekayaan orang tua mereka akan dengan mudah menyelesaikan segalanya.
Ketiganya berpikir jika bisa melakukan apapun yang mereka inginkan pada gadis itu.
***
Jari itu mulai bergerak, berkedut pelan, menunjukkan kehidupan. Detik berikutnya, gadis itu mengangkat kepalanya dari dalam kloset, terengah-engah, berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara segar.
Dengan tubuh lemah, ia terjatuh di samping kloset, napasnya tersengal-sengal. Matanya yang masih kebingungan menatap kosong ke langit-langit.
"Apa yang... sebenarnya terjadi?" gumamnya dengan suara bergetar, mencoba memahami situasinya. Perlahan, dia bangkit meski seluruh tubuhnya terasa sakit. Dengan hati-hati, dia memeriksa tubuhnya. “Rasanya tubuhku remuk, tapi... tidak ada luka serius,” bisiknya heran.
Tiba-tiba, rasa sakit menusuk kepala menyerangnya, memaksanya kembali duduk di atas kloset. Dia mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya yang seperti hendak pecah.
"Apa yang terjadi padaku? Sebelumnya aku... hampir mati... aku diserang dari belakang, dikhianati dan kemudian..." Pikiran itu terlalu kabur, membuatnya semakin kebingungan. Sakit kepala yang tajam membuatnya sulit berpikir jernih.
Saat itu, pintu bilik terbuka lebar. Natasya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi sinis. "Oh, kau sudah bangun? Hebat juga, rupanya tubuhmu cukup kuat," ucap Natasya dengan senyum mengejek, mendekat dengan langkah arogan. "Tubuhmu sangat cocok untuk dijadikan samsak tinju."
Namun, gadis yang baru bangkit itu hanya diam, menatapnya kosong. Sikap tenang itu membuat Natasya kehilangan kesabaran. Dengan penuh amarah, dia mengayunkan tangannya ke arah gadis itu.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi gadis itu, membuatnya terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. Dia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya yang terasa panas dan sakit. "A... Apa itu tadi?" gumamnya, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
Diamnya gadis itu semakin memicu kemarahan Natasya. Wajahnya memerah penuh emosi, dan dia segera mengulurkan tangan untuk menarik rambut gadis itu sekali lagi. Namun sebelum tangannya sempat menyentuh rambut korban, terdengar suara keras yang memecah keheningan.
Braak!
Gina, yang masih sibuk merias wajah di depan cermin, terkejut hingga menggores lipstiknya ke pipi. "Hei, Natasya, apa yang kau lakukan? Jangan bilang kau benar-benar memecahkan kepala si culun itu di kloset!" katanya dengan nada mengejek.
Vera, yang berdiri di sampingnya, tertawa terbahak-bahak. "Ahahaha! Aku ingin lihat isi otaknya berhamburan. Pasti lucu sekali," ujarnya, seperti seorang psikopat yang menikmati penderitaan orang lain.
Namun, tawa mereka tiba-tiba terhenti. Melalui pantulan cermin, mereka melihat sesuatu yang tidak mereka duga, Natasya yang dikira sedang menyiksa, justru sedang dicekik oleh gadis yang mereka bully. Mata gadis itu bersinar dengan amarah yang dingin, berbeda dari sebelumnya.
Kaki Natasya mulai berayun saat lehernya terus diangkat. "Apa kau siap untuk mati?" Tanya gadis itu pada Natasya yang kesulitan bernafas.
Dalam hitungan detik, Natasya dilempar dengan kekuatan luar biasa, tubuhnya menghantam cermin besar di hadapan Gina dan Vera, memecahkannya menjadi serpihan.
Gadis itu melangkah keluar dari bilik toilet dengan penampilan kusut, tetapi auranya benar-benar berbeda. Dari tubuhnya memancar aura mengintimidasi, membuat Gina dan Vera diam kesulitan mencerna situasi.
***
"Gadis bodoh! Apa kau sudah gila hingga berani menyerang Natasya?" bentak Gina sambil berjalan cepat ke arah gadis itu, amarah jelas terpancar di wajahnya.
Namun, gadis itu hanya berdiri diam, menatap pantulan dirinya di cermin yang retak. Tatapan kosongnya membuat Gina semakin geram.
"Ahahaha! Kali ini kau benar-benar mati," ejek Vera sambil tertawa puas, menganggap gadis itu menyadari kesalahannya yang fatal.
Gina mengayunkan tangannya untuk menampar, tapi sebelum tamparan itu mengenai, sebuah pukulan keras melayang terlebih dahulu, mendarat tepat di wajahnya.
Bam!
Pukulan itu begitu kuat hingga Gina terhuyung mundur, kepalanya menghantam kaca di belakangnya. Tubuhnya terjatuh ke lantai, dengan darah mengalir dari hidungnya dan beberapa gigi yang rontok.
Vera tertegun, tawanya langsung terhenti. Dia memandang tak percaya ke arah Gina yang tersungkur, lalu kembali menatap gadis yang mereka bully.
Dengan langkah tenang, gadis itu berjalan mendekati Vera, berdiri tepat di sampingnya. Matanya kembali tertuju pada cermin retak, menatap wajah babak belur yang terpampang di sana. Namun, ada sesuatu yang aneh di balik bayangan itu—wajahnya tampak jauh lebih muda daripada seharusnya.
"Tahun berapa sekarang?" tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh sedikit pun.
"Hah?" Vera hanya terpaku, masih terlalu terkejut untuk mencerna pertanyaan itu.
"Aku tanya, tahun berapa sekarang?" Gadis itu mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih santai, seolah tidak peduli dengan keheningan yang mengisi ruangan.
Dia merapikan seragamnya yang kusut, pandangannya turun ke arah tanda nama di dadanya. Tertulis di sana, *Sekar Lestari.*
"H-he... HAAA!" Vera yang akhirnya tersadar, menjerit panik.
Namun, sebelum Vera sempat melarikan diri, Sekar mencengkeram kepalanya dengan erat dan menghantamkannya ke cermin.
Crash!
Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, hingga serpihan kaca menusuk wajah Vera, meninggalkan luka yang mengerikan. Darah mengalir deras, dan hanya erangan kesakitan yang keluar dari mulut Vera.
"Aku hanya bertanya tahun berapa, tapi kau malah seperti orang gila," ucap Sekar dingin, lalu melempar tubuh Vera yang tak berdaya seperti membuang sampah.
Sekar kemudian beralih ke Natasya, yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Dengan tenang, dia menginjak kaki gadis pirang itu dengan kekuatan penuh.
Krakk!
Suara retakan tulang terdengar jelas, membangunkan Natasya dari pingsannya. Gadis itu menjerit kesakitan, tangisnya pecah saat rasa nyeri yang luar biasa menjalar dari kakinya yang kini terlihat bengkak dan patah.
Natasya memandang Sekar yang berdiri di depannya dengan wajah tanpa ekspresi, namun dingin dan mengintimidasi. Ketakutan menguasai dirinya, tubuhnya bergetar hebat.
"K-Kau... Kau tahu siapa aku? Ayahku... Ayahku tidak akan—"
Sebelum dia menyelesaikan ancamannya, Sekar sudah mengayunkan kakinya, menendang wajah Natasya.
Sekar tidak berhenti di sana. Dia terus menginjak-injak wajah Natasya tanpa belas kasihan. Tangisan dan ancaman dari Natasya perlahan berubah menjadi jeritan penuh permohonan.
Namun, Sekar tidak menghiraukannya. Dia hanya terus menginjak wajah gadis itu, hingga kulit wajahnya mulai terkelupas, darah bercipratan mengotori sepatunya. Suasana yang semula dipenuhi tawa kini berubah menjadi pemandangan horor yang mencekam.
"Sekarang giliranmu..." Sekar berjalan tenang ke arah Gina sejak tadi pura-pura pingsan. Gadis itu merinding ketakutan, menyadari nasibnya akan berakhir sama seperti dua temannya.
Gina hendak memohon tapi tatapan dingin gadis yang selalu ia buly membuatnya terdiam.
"Apa saat aku meminta kalian berhenti menyiksaku, kalian melakukan?"
Gina mulai menangis tersedu-sedu.
"Kelian justru merasa senang dan melukaiku lebih parah, karena kalian menyukai melihatku menderita." Sekar membersihkan potongan kulit yang menempel di sepatunya. "Jadi kenapa aku harus berhenti menyiksa kalian saat aku merasa terhibur melakukannya?."
Gina berusaha lari, namun Sekar melempar pecahan kaca yang langsung menembus pahanya.
Gina terjatuh karena luka di kakinya, dia merangkak ketakutan melihat Sekar yang berjalan tenang mendekatinya dari belakang.
"Ini adalah keberuntunganku karena diberikan kesempatan untuk membalaskan dendam ku pada kalian secara langsung."
Sekar menarik rambut Gina dan dengan kuat membenturkannya ke wastafel hingga fasilitas itu hancur.
Tidak cukup satu kali, Sekar terus membenturkannya wajah Gina ke tembok hingga wajah gadis itu rusak parah seperti dua temannya.
Sekar mengambil kacamatanya di lantai, membersihkan lensanya saat ia melangkah keluar dari toilet. Sebelum pintu tertutup, terlihat tiga gadis tergeletak dengan kondisi mengenaskan di dalam toilet.
Sekar memperbaiki posisi kacamata di wajahnya, menatap ponsel milik salah satu gadis yang membulinya. Matanya melebar saat melihat waktu yang menunjukkan tanggal 5 Januari 21xx.
"Lima belas tahun, aku kembali ke tujuh hari terakhir sebelum kiamat terjadi." gumamnya penuh tanda tanya.
Setelah itu, dia membuang ponsel tersebut ke sembarang tempat.
Toilet tempat dirinya disiksa terletak di area sekolah yang terbengkalai, sehingga tidak ada yang akan terganggu oleh teriakan seseorang yang disiksa di dalamnya.
Sekar sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang baru saja dilakukannya terhadap tiga gadis di toilet itu. Dalam ingatannya, ia hampir tewas karena ditenggelamkan di kloset.
Tubuhnya ditemukan oleh seorang petugas kebersihan yang membawanya ke rumah sakit. Kejadian itu membuatnya harus menghabiskan waktu di rumah sakit, yang merupakan tempat paling berbahaya saat kiamat terjadi.
Dengan jejak darah di sepatu kirinya, Sekar melangkah masuk ke ruang kelas yang tengah dalam proses belajar. Semua orang terdiam saat melihat kehadiran Sekar. Mereka seolah melihat sesosok hantu ketika menyadari wajah dan seragamnya dipenuhi bercak darah.
Beberapa siswa mulai bertanya-tanya, kenapa Sekar yang datang lebih dahulu, bukan Natasya dan kedua temannya seperti biasanya.
"Oy, apa kau salah masuk kelas?" ucap guru yang sedang mengajar dengan nada sinis. Namun, Sekar tidak peduli. Setelah mengunci pintu kelas, dia berjalan ke bangkunya.
Bisik-bisik terdengar di sekelilingnya. Beberapa siswa menertawakannya, menyangka ia baru saja dirundung oleh Natasya dan kedua temannya.
Salah satu pemuda menjulurkan kakinya, berharap Sekar tersandung. Namun, gadis itu justru menendang kakinya dengan sangat keras hingga terdengar suara tulang patah.
*Crack!* Pemuda itu menjerit keras dan mulai menangis, merasakan sakit yang luar biasa. Suasana kelas, yang awalnya penuh dengan tawa dan ejekan, seketika berubah menjadi keheningan yang penuh keterkejutan.
"Dasar bocah gila! Berani kau melukai murid sekolah ini! Beasiswamu akan dicabut, kau dengar itu? Kau sudah tamat!" teriak guru itu dengan marah. Namun, Sekar tetap tidak peduli dan terus berjalan ke mejanya.
Seorang pemuda bertubuh besar, Bryan, bangkit dari tempat duduknya dan menghalangi langkah Sekar. Bryan adalah anak bermasalah yang sering mengganggu Sekar, sama seperti Natasya.
"Bryan, habisi sampah itu! Patahkan seluruh tulangnya!" teriak pemuda yang kakinya dipatahkan tadi.
Semua anak di kelas ikut bersorak, meminta Bryan untuk menyiksa Sekar dengan cara yang paling menyakitkan.
Bryan tersenyum lebar, menatap Sekar seperti boneka yang siap ia hancurkan. "Karena kau akan segera keluar dari sekolah ini, bagaimana kalau aku memberikan kenang-kenangan tak terlupakan untuk semua teman sekelasmu?" ucapnya sambil mendekati Sekar dengan tatapan penuh nafsu.
Tangan Bryan hendak meraih seragam Sekar, membayangkan merobeknya dan mempermalukan gadis itu di depan seluruh kelas. Namun, sebelum tangannya menyentuh Sekar, gadis itu meraih kepalan Bryan lebih dahulu.
Dengan gerakan cepat, Sekar memelintir tangan Bryan dengan tenaga yang luar biasa hingga terdengar suara tulang remuk.
Crack! Jeritan Bryan menggema di tengah ruang kelas.
Semua tawa siswa seketika lenyap. Mereka terpaku saat Sekar meraih kepala Bryan dan membantingnya ke meja di samping mereka. Darah mengalir dari kepala Bryan, namun Sekar tidak berhenti. Ia terus membanting kepala Bryan dengan keras, berkali-kali, hingga jeritan pria besar itu berangsur-angsur lenyap.
"Berhenti!" teriak guru itu panik, tapi hanya menonton. Sekar pun tidak memedulikannya.
"Dasar gadis gila! Hentikan sekarang juga!" Guru itu berteriak lebih keras, tetapi Sekar semakin keras membanting wajah Bryan yang sudah sekarat. Darah Bryan menyembur ke segala arah.
Akhirnya, guru itu menyuruh murid-murid lain menghentikan Sekar. Tiga pemuda maju serentak untuk menyerang, tetapi Sekar dengan mudah membantai mereka.
Raungan kesakitan semakin keras ketika satu per satu siswa dihajar secara brutal. Tangan dan kaki mereka patah, dan darah mengalir dari kepala yang bocor.
Ketakutan mulai menyebar. Siswa-siswa lain berusaha melarikan diri, tetapi pintu telah dikunci oleh Sekar.
"Pak Guru! Kumohon, hentikan gadis gila itu!" seorang siswa memohon dengan wajah pucat ketakutan.
Namun, guru yang juga ketakutan justru memaksa siswa-siswa yang tersisa untuk menyerang Sekar bersama-sama.
Jeritan dan tangisan terus bergema di dalam kelas yang kedap suara itu. Tidak ada seorang pun di luar yang dapat mendengar apa yang sedang terjadi di dalam. Dan di sana, Sekar melampiaskan amarahnya tanpa ampun.
***
Di ruang kelas yang dipenuhi rintihan kesakitan dan isak tangis, Sekar berdiri di tengah tubuh para siswa yang tergeletak tak berdaya.
Dia memperbaiki posisi kacamatanya yang agak turun. di tangan kanannya, ia memegang dua batang pensil, sementara sepatu yang lepas tergenggam di tangan kirinya.
Tatapan dingin tanpa emosi terpaku pada sosok sang guru yang berlutut di kakinya. Pria itu menangis tersedu-sedu, memohon ampun demi keselamatan dirinya.
Namun, tanpa sedikit pun rasa belas kasihan, Sekar melayangkan tendangan keras ke wajahnya, membuat gigi pria itu rontok dan darah mengucur deras dari hidungnya.
Tanpa banyak bicara, Sekar menarik tangan guru itu, lalu menusukkan pena ke lengannya. Dengan gerakan brutal, dia memalu pena itu menggunakan sepatu, membuat jeritan kesakitan guru tersebut menggema di seluruh ruangan.
Sekar menghela napas panjang, seperti merasa baru saja menyelesaikan pekerjaan yang melelahkan. Ia memberi tendangan terakhir, membungkam jeritan mengganggu dari pria itu.
Setelah mengambil tasnya, Sekar keluar dari kelas tanpa menoleh ke belakang.
Sepanjang lorong, tangannya yang berlumuran darah menyapu dinding, meninggalkan jejak garis merah seperti sebuah lukisan suram.
"Sisa satu orang lagi," gumamnya pelan, matanya dingin dan tajam. "Aku akan pastikan masa depannya hancur seperti yang dia lakukan padaku."
Dengan langkah tenang, ia menuju ruang kepala sekolah. Di sepanjang perjalanan, siswa dan guru yang berpapasan dengannya menunjukkan reaksi beragam.
Sebagian menyingkir dengan ketakutan, menghindar sejauh mungkin. Namun, ada pula yang menertawakan penampilannya yang kacau penuh bercak darah.
Yang menghindar diabaikannya, tapi yang tertawa segera mendapatkan karma instan. Sekar memberikan hukuman singkat, menambah noda darah pada seragamnya yang semakin memerah.
Setibanya Sekar di depan pintu ruang kepala sekolah. Tanpa ragu, ia mendobrak pintu tersebut dengan sebuah tendangan.
Pemandangan di dalamnya membuat mata Sekar menyipit tajam. Seorang pria gemuk, sang kepala sekolah, terlihat sedang asyik bercinta dengan seorang wanita. Keduanya bergerak liar, seperti anjing yang sedang kawin.
***
Kepala sekolah yang gemuk menatap tajam ke arah Sekar yang masih berdiri di ambang pintu dengan wajah dingin tanpa ekspresi.
“Kau! Apa yang kau lakukan di sini, gadis brengsek?! Cepat tutup pintu sebelum seseorang melihat!” Pria itu meludah, suaranya penuh penghinaan, sementara tangannya tetap erat menggenggam pinggang wanita yang sedang meringkuk membelakanginya.
Sekar mengabaikan perintahnya. Langkahnya tenang saat memasuki ruangan. Tatapannya tertuju pada sebuah piala besar di rak kaca. Dia mengangkat bingkai kacamata, melihat namanya terukir pada piala yang dulu diraihnya dengan susah payah, hanya untuk dijadikan simbol palsu yang dipajang oleh pria busuk itu.
Pria itu menyeringai licik, rambut wanita di tangannya ditarik kasar, membuat wanita itu mengeluh kesakitan. “Kau datang untuk apa, hah? Mau menggantikan pel*cur ini? Bagus! Kemarilah, aku akan memberimu nilai bagus di ujian jika mampu memuaskan aku.” ucapnya sambil terkekeh.
Sekar tidak menjawab sepatah kata pun. Dengan gerakan cepat, dia meraih piala tersebut dan melemparkannya langsung ke wajah pria itu.
Brak!
Piala itu menghantam kepala pria gemuk itu dengan keras, menyebabkan tubuhnya terpental ke belakang dan terjatuh dengan suara berdebam di lantai. Pria itu memegangi wajahnya yang kini penuh darah, menjerit seperti babi yang disembelih.
Wanita yang sebelumnya menunduk terkejut dan bangkit berdiri. “Sekar! Apa kau sudah gila?! Apa yang kau lakukan?!” teriaknya dengan panik.
Sekar tidak menanggapi. Sebagai gantinya, dia memberikan tamparan keras ke wajah wanita itu hingga pipinya memerah. Wanita itu melotot marah, berniat membalas, tetapi Sekar tidak memberinya kesempatan. Dengan kekuatan penuh, dia menarik tubuh wanita itu dan melemparkannya ke lemari penuh barang-barang mewah.
“Tidak! Perabot mahalku!” kepala sekolah berteriak dengan putus asa, lebih peduli pada furniturnya daripada keselamatan wanita itu.
“Dasar gadis gila! Kau benar-benar sudah tamat hari ini! Beraninya kau menyerang dan menghancurkan koleksi keramik mahalku!” Pria itu meraung dengan amarah. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya yang gemuk membuatnya kesulitan.
Sekar mendekatinya dengan langkah tenang. Dia menatap pria itu dari atas. “Biar aku bantu,” katanya datar sebelum mengayunkan kakinya ke lutut pria itu.
Krek!
Jeritan melengking terdengar saat kedua kaki pria itu patah akibat tendangan brutal Sekar. Kini pria itu tergeletak tak berdaya di lantai, tubuhnya bergetar kesakitan.
Sekar kemudian duduk di atas tubuhnya dan mulai menghajarnya tanpa ampun. Pukulan demi pukulan mendarat di wajah pria itu, membuatnya berteriak dan menangis. “Berhenti! A-Aku sakit, kumohon, hentikan!”
Tetapi Sekar tidak berhenti. Dia bangkit hanya untuk menghujani tubuh pria itu dengan tendangan bertubi-tubi. Setiap tendangan menghasilkan suara tulang yang retak, membuat pria itu semakin terkapar tak berdaya.
“Apa kau ingin tahu apa salahmu?” Sekar bertanya dengan suara penuh kemarahan. “Kau selalu mengancam mencabut beasiswaku. Kau memaksaku menyerahkan diriku demi nafsu kotormu. Kau pikir aku akan melupakan semua itu?”
Pria itu mencoba membalas. “K-Kau sampah! Kau tidak pantas di sekolah ini! Aku hanya memberi kesempatan padamu yang tidak berguna itu! Harusnya kau bersyukur aku tertarik pada tubuhmu!”
Amarah Sekar memuncak. Dia menendang perut pria itu dengan keras, menyebabkan tubuhnya terlempar ke dinding. Muntahan bercampur darah mengalir dari mulut pria itu.
“Kau pikir aku tidak tahu? Setelah lomba itu, Pemerintah memberiku beasiswa 500 juta untuk masa sekolahku, tetapi kau mencurinya semua! Kau bajingan rakus!” Sekar berteriak dengan penuh kemarahan.
Pria itu terdiam, tubuhnya semakin lemah. Tapi Sekar belum selesai. Dia mengambil serpihan cermin yang pecah di lantai, memandangnya dengan tatapan dingin.
“Agar tidak ada gadis yang bernasib sama sepertiku di masa depan, aku akan mengkebiri burung itu.” ucapnya seraya kembali menaikkan kacamatanya.
Pria itu menyadari niat Sekar. Dia menangis, memohon, berusaha menawarkan apapun untuk menyelamatkan dirinya. Tapi tidak ada ampun di mata Sekar. Dengan pecahan kaca yang tidak lebih tumpul dari pisau berkarat, Sekar memotong kebanggaan kepala sekolah.
Jeritan kesakitan yang mengerikan menggema di seluruh sekolah. Belasan petugas keamanan berdatangan saat melaporkan penyerangan terhadap kepala sekolah. Namun saat mereka sampai, hanya ada wanita pingsan dan kepala sekolah yang terus memegangi area vitalnya dengan bercak darah dimana-mana.
Sementara itu sebuah jendela terbuka lebar, menjadi jalan keluar untuk Sekar.
Berjalan di sepanjang trotoar, Sekar memutar otak, memikirkan langkah yang harus dia ambil selanjutnya.
"Tak punya uang, dan kini jadi buronan. Apa yang harus kulakukan untuk bersiap sebelum dunia berakhir?"
Lamunannya terhenti sejenak saat beberapa mobil ambulans melaju cepat di jalan, membelah kesunyian di sisinya. Dia menaikkan kacamatanya menatap arah ambulans pergi
Sekar tahu betul ke mana tujuan ambulans itu. Mereka pasti menuju sekolah untuk membawa teman-teman sekelasnya dan juga kepala sekolah.
"Di kehidupanku sebelumnya, akulah yang menjadi penumpang ambulans itu," Sekar tersenyum sinis, menyadari betapa mudahnya mengubah alur masa depan.
"Baiklah, yang pertama harus kulakukan adalah mencari pakaian ganti," gumamnya.
Sebagai buronan polisi, berjalan-jalan dengan seragam sekolah yang penuh noda darah jelas bukan pilihan cerdas. Kecuali Sekar ingin menghabiskan satu minggu terakhir sebelum kiamat di balik jeruji besi.
"Tidak! Aku ingin makan enak!" Sekar mengeluh, merasakan perutnya keroncongan.
Ia menyelinap masuk ke perumahan, mencuri beberapa pakaian yang sedang dijemur, lalu segera menuju stasiun.
Dengan mengenakan jaket, rok mini, topi, dan masker, Sekar berharap penyamarannya cukup untuk menghindari perhatian.
"Pihak berwenang biasanya lambat bertindak, tapi karena yang kupukul adalah anak-anak dari orang-orang berpengaruh, mereka pasti ditekan habis-habisan untuk menangkapku," pikirnya.
Sesampainya di stasiun, Sekar masuk ke toilet perempuan dan memilih bilik nomor tujuh. Ia memanjat kloset untuk mencapai lubang ventilasi di dinding.
Menggunakan serpihan kaca, Sekar mulai membuka baut penutup ventilasi itu, berharap tidak ada yang masuk ke toilet dan memergokinya.
Terdengar suara langkah kaki dari luar. Sekar mempercepat usahanya, jemarinya bekerja lincah.
Begitu ventilasi terbuka, dia segera melemparkan ranselnya ke dalam dan memanjat masuk ke ruangan di baliknya.
"Aman," gumamnya lega.
Sekarang Sekar berada di sebuah ruangan gelap yang kosong dan berdebu. Meski begitu, tempat ini cukup luas dan aman untuk sementara waktu.
Ruangan itu, yang pernah menjadi basecamp Sekar di kehidupan sebelumnya, mampu menampung hingga sepuluh orang. Ada dua pintu masuk ke ruangan ini: lubang ventilasi toilet stasiun dan celah sempit yang langsung terhubung ke rel kereta api.
Sekar merebahkan tubuhnya di lantai dingin, mencoba mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan dan masih terasa sakit akibat kekerasan yang dialaminya sebelumnya.
"Jadi, dari mana aku harus mulai?" gumamnya, kembali merenungkan langkah-langkah persiapan untuk menghadapi kiamat yang segera tiba.
***
Sekar tak menyadari kapan tepatnya ia tertidur. Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah pada kantuk, dan ketika ia membuka mata, ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan putih tak berbatas.
"Ruangan ini..." Sekar melihat sekeliling, namun yang terlihat hanyalah kehampaan serba putih yang seolah meluas tanpa ujung.
"Apakah ini... ruang kebangkitan?" gumamnya dengan bingung.
Ruang kebangkitan adalah tempat misterius yang akan dimasuki siapapun yang akan mengalami kebangkitan. Di tempat ini para Awakener akan mendapatkan kekuatan mereka.
"Tapi kenapa aku ada di sini sekarang? Kiamat belum terjadi. Bukan?." pikirnya, kebingungan sekaligus khawatir, takut tiba-tiba kiamat terjadi hari ini.
Meski diliputi tanda tanya, Sekar mencoba menenangkan diri. Ia meyakini bahwa ini mungkin adalah bentuk bantuan dari langit, cara untuk mempersiapkan dirinya menghadapi malapetaka yang segera tiba.
"Aku bukan seseorang yang percaya pada dewa," katanya pelan, seolah berbicara kepada ruangan kosong. "Mereka hanya diam, menonton penderitaan manusia layaknya tontonan yang menghibur."
Namun, meski hatinya berat, ia tetap berharap. "Tapi... kalau masih ada secercah kasih sayang, masih ada yang peduli padaku, itu sudah cukup."
Sekar menutup matanya, memohon dalam diam. Saat itu, cahaya lembut mulai memenuhi ruangan, menyinari tubuhnya, sementara kehangatan menyelimuti rambutnya seperti belaian kasih.
Untuk sesaat, Sekar merasa damai. Semua kekhawatiran, rencana, dan beban yang menghantuinya menghilang. Yang tersisa hanyalah dirinya, tanpa distraksi.
Ding!
[Selamat, Anda telah terbangkitkan.]
[Mendapatkan Sistem Play Store.]
Sekar terkejut saat mendengar suara notifikasi tersebut. Dalam kebangkitan biasanya, hadiah pertama yang diterima adalah sebuah job atau pilihan pergantian ras.
"Tapi... kenapa ini malah sistem?" katanya heran.
Rasa penasaran menguasainya, dan ia segera memilih untuk mengaktifkan sistem itu.
[Sistem Play Store diaktifkan.]
[Player baru terdeteksi. Harap selesaikan pembuatan ID pengguna. Setelah ID selesai dibuat, Anda akan menerima hadiah Boosterpak dan diskon 100% untuk pembelian game pertama.]
Sekar mendorong kacamatanya ke atas, menatap layar transparan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Layar itu menampilkan berbagai kolom data yang harus ia isi untuk membuat Avatar pengguna Play Store.
Sambil memegang dagu, ia berpikir sejenak. "Apa aku perlu menggunakan data asliku?" gumamnya.
Ding!
[Anda dapat mengisi data sesuai keinginan Anda.]
"Oh!" Sekar terkejut saat suara mekanis menjawab pertanyaannya.
"Siapa kau?" tanyanya, menoleh ke sekeliling, tapi yang terlihat hanya kehampaan ruang putih itu.
[Saya adalah kecerdasan buatan yang bertugas membantu Player dalam menggunakan sistem.]
"Membantu, ya?" Sekar mengulang kata-kata itu, matanya menyipit penuh pikiran. Ingatannya melayang pada berbagai novel fiksi yang pernah ia baca, tentang sistem dengan kecerdasan buatan yang membantu tokoh utama.
'Apakah sistem Play Store juga memiliki mekanisme serupa?' pikirnya, penuh tanda tanya.
Setelah mengetahui bahwa data Avatar bisa diisi sesuka hati, Sekar segera mulai melengkapi formulir itu. Untuk nama Avatar, ia memilih Scarlett, gabungan dari namanya sendiri, Sekar Lestari.
"Untuk gender..." Sekar terdiam sejenak, mempertimbangkan opsinya.
"Sistem, apakah aku bisa menggunakan Avatar ini di dunia nyata?" tanyanya.
[Ya, Avatar yang Anda buat dapat digunakan di dunia nyata.]
Jawaban itu membuat Sekar merasa lega. Dengan Avatar, ia bisa menyamarkan identitasnya dan menghindari kejaran polisi.
Namun, kesenangan itu memudar ketika ia menyadari bahwa pengeditan Avatar memiliki batasan. Ia tidak dapat mengubah wajahnya secara signifikan, hanya bisa mengedit gaya rambut dan memilih gender.
"Yah, ini lebih baik daripada tidak sama sekali," ujarnya, menerima keterbatasan itu.
Akhirnya, Sekar memilih untuk tetap menggunakan gender perempuan. Meskipun mengganti gender mungkin memberinya keuntungan tertentu, ia memutuskan tetap menjadi dirinya sendiri demi menjaga kesehatan mentalnya.
[Apakah Anda yakin ingin menggunakan data ini sebagai informasi Avatar?]
Di depannya, muncul hologram Avatar hasil pengeditannya. Wajahnya sama persis dengan dirinya, tapi rambutnya lebih panjang, dan ia tidak mengenakan kacamata.
"Ya, aku akan menggunakan Avatar ini," Sekar menatap dengan teliti Avatar yang tampak seperti versi dirinya, tapi lebih sempurna.
***
[Tugas membuat Player ID telah selesai!]
[Mendapatkan 1 Boosterpak dan diskon 100% untuk pembelian game pertama]
Dua notifikasi muncul di layar hologram. Sekar dengan penasaran membuka ikon surat dan melihat dua hadiah siap untuk diklaim.
Dia memutuskan untuk membuka hadiah pertama terlebih dahulu.
[Apa Anda ingin menggunakan Boosterpak?]
Sistem meminta konfirmasi.
"Ya, buka Boosterpak!" jawab Sekar tanpa ragu.
Seketika layar hologram memproyeksikan animasi kotak harta yang terbuka perlahan, memancarkan cahaya terang yang menyilaukan.
[Mendapatkan Sun Shroom Card]
[Mendapatkan Rage Potion]
[Mendapatkan AK-47]
[Mendapatkan 10 Diamond]
[Mendapatkan Seperangkat P3K]
Sekar tersenyum lebar saat melihat hadiah yang ia terima. Ia langsung menyukai AK-47 dan seperangkat P3K, karena kedua benda itu jelas berguna dalam situasi darurat.
Namun, tiga item lainnya membuatnya bingung.
"Sun Shroom? Bukankah ini tanaman dari game Plants vs. Zombies? Apa yang bisa kulakukan dengan ini?" gumamnya.
Dia mengambil kartu Sun Shroom dari daftar item, dan kartu itu langsung berubah menjadi jamur bercahaya kuning di tangannya. Karena belum memahami kegunaannya, Sekar memutuskan untuk menjadikannya lampu sementara di basecamp-nya.
Untuk Rage Potion, yang berasal dari game Clash of Clans, Sekar tersenyum kecil.
"Kalau ini jelas berguna. Bisa meningkatkan kekuatan dan kecepatan sebanyak 40% selama lima detik. Tapi cuma ada satu... aku harus menyimpannya untuk saat-saat kritis," pikirnya.
Item terakhir adalah 10 permata kecil sebesar biji kenari, yang memancarkan kilauan indah.
"Permata ini... apa mungkin bisa dijual? Kalau harganya mahal, aku bisa beli lebih banyak perlengkapan," ucap Sekar, mulai memikirkan rencana cadangan.
Setelah selesai dengan Boosterpak, Sekar kembali melihat notifikasi kedua: kupon diskon 100% untuk pembelian game pertama.
"Game apa yang sebaiknya aku beli? Aku butuh sesuatu yang bisa membantuku menghasilkan uang dan meningkatkan kemampuanku sebelum kiamat," gumamnya, mulai memikirkan pilihan dengan serius.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!