Note : Ini SEQUEL DARI MY SPECIAL BOYFRIEND. HARAP BACA DULU NOVEL YANG ITU YAH. makasih^^
"Benar kata orang, melupakan lebih sulit untuk mendapatkan. Aku, mendapatkan mu. Lalu, takdir mendadak memaksaku untuk melepas mu. Lucu sekali, aku ingin menangis di balik tawa ku saat ini. " ~ Vania Keyland
* * *
"Bocah, lo dapat peringkat berapa di kelas? " tanya pria memakai hoodie hitam, yang senada dengan gaya rambutnya. Alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, ahh benar-benar menggoda imannya kaum hawa.
Pria itu duduk elegan di kursinya, dengan di temani gadis mungil berwajah imut di depannya.
"Tujuh om, " Sahut gadis itu polos menyeruput esnya.
Keduanya tengah duduk menikmati es di tengah teriknya hari ini. Saat ini, matahari memang benar-benar tidak bersahabat.
"Jauh banget. Gue yang bentuknya begini aja dapat nomor 4. Lah, elo? " Pria itu, Riyan namanya mencoba menahan tawanya sebisa mungkin.
"Vania itu gak gitu pinter. Bodoamat juga lah. " Vania, gadis mungil itu hanya bisa pasrah pada keadaannya.
"Iyah memang, kelihatan dari muka lo. Muka orang bodoh. "
"Orang cantik gini kok, tau ah. Oh yah, Om galak kuliah di mana? "
"Di Jerman kayaknya, "
"Oh ... Gitu. " Vania mendadak menunduk lesu. Moodnya sudah kacau, itu jelas dari wajahnya.
"Biasa aja kali, lo gak ikhlas gue pergi? " Riyan mulai menyunggingkan senyumannya. Ada niatan untuknya menolak untuk ke Jerman. Ada rasa menggebu, saat melihat Vania seakan tak rela jika Riyan pergi.
"Yah ga tau deh~" Vania mengangkat bahunya.
"Oke, gue gak jadi pergi deh. Gue kuliah dekat sini aja, "
"Eh eh eh!! Jangan! Gak gitu juga kali Om, maksud Vania ih. Yah lebih baik Om kuliah di Jerman deh. "
"Terus lo maunya apa? " Riyan bertanya seolah dia tak mengerti apapun.
"Om sekolah aja deh di Jerman, kan itu pilihan orang tua om. "
"Lo sendiri masuk mana? "
"SMA merah Putih dong. "
"Berhenti manggil gue om. Gue belum terlalu tua. Gue bakal konfirmasi lagi deh sama nyokap bokap gue."
"Om~ Om~"
* * *
Riyan melempar hoodie hitamnya di atas kasur berseprei coklat tua itu. Di ikuti badannya yang dia bantingkan telentang di atas kasur empuk itu.
"Kalo mau jadi presdir besar, ngikutin jejak papah. Kuliah di Jerman terbaik sih, gue juga udah cek. Universitas yang papah rekomendasiin bagus, cocok buat gue. Tapi, masalahnya? Vania? " Riyan mengeluarkan sebuah gelang berdominan putih, dengan hiasan inisial huruf V, Vania.
"Gue juga gak bisa ninggalin dia gitu aja. Apa gue bawak aja yah? Dia gue sekolahin di Jerman juga? Bisa gitu? " Ide ini muncul begitu saja di kepala Riyan.
"Tapi, dia nolak. Itu kemungkinan 80 % . Mana mau dia pergi jauh dari kakeknya yang udah tinggal sebatang kara? Apa ajak kakeknya juga? " Riyan menimang-nimang gelang perak itu.
"Tapi, kakeknya juga gak mau dong ninggalin usaha Cafe anaknya, yang udah papah Vania bangun. Dan, gak mungkin juga kan? Tokonya gue angkat ke Jerman? "
"Ailahhh!! Gini amat LDR? Bentar, LDR?! Gue aja belum punya hubungan apapun sama tuh bocah. "
Riyan mencium gelang V itu, berharap ada jalan keluar terbaik untuknya.
* * *
Riyan POV
Satu bulan kemudian
Ailah, gini amat jadinya. Pada akhirnya gue kuliah di Jerman, dan bocah rese di Indonesia. Dan, hari ini adalah hari keberangkatan gue.
Mungkin karna gue udah sering bawa main tuh boca rese, jadi mamah dan papah gue bawa tuh bocah buat ikut anterin gue di Bandara. Orang tua gue, udah dekat sama Vania. Tapi, gak dekat banget sih. Soalnya, kenalnya juga baru beberapa bulan.
Sumpah, nyesek sih ini mah. Parah! Gue emang niatnya gak mau ajak Vania ke Bandara, gue takut. Gue takut nantinya gue gak bisa pergi lebih jauh lagi.
"Vania enggak apa-apa kan, Tante ajak anterin kak Riyan? " tanya mamah gue, di depan sebelah papah yang lagi nyetir.
"Tenang aja nak, nanti Om sama Tante anterin Vania pulang kok. " tambah papah gue. Gue sih setuju aja.
"Eh iyah gak papa kok, Om, Tante, Vania juga pengen anterin kak Riyan ke Bandara. " sahut bocah rese yang duduk di sebelah gue. Bangku belakang. Spesial hari ini, kita gak pakai supir.
"Gue yang gak mau. " gue jawab gitu, entahlah. Mungkin karna gue, gengsi?
Tapi, jujur harus gue akui. Gue nyaman ada di posisi ini saat ini. Di mana, papah dan mamah, serta bocah rese ada di sini. Saat ini, sekarang ini, gue mau waktu berhenti. Memanjakan kami bagai keluarga kecil bahagia ini.
Tapi, itu hanya angan belaka. Maksud gue, untuk sekarang. Karna, enggak lama lagi gue juga bakal nikahin dia. Tujuh atau delapan tahun ke depan. Eh, enggak! Waktu gue balik ke indo. Nikah aja. Tapi, bentar, emang di saat itu Vania udah tamat sekolah?
Argghhh!!! Siall!! Kenapa pikiran gue malah jauh banget!!!
* * *
Setelah satu jam perjalanan berisik karna gue yang selalu berdebat sama tuh bocah. Berisik, tapi gue menemukan ketenangan di sana.
Akhirnya gue sampai di Bandara, gue juga liat ada Arfen, Thifa, Nando, Raisa, Melia, Regata, Fandri, dan Anggi. Sahabat gue, anterin gue ke Bandara. Sungguh, perpisahan yang MENYESAKKAN!!!
Tapi, mau gimana lagi. Ini demi pendidikan gue. Gue harus sabar.
Sakit itu tak seberapa, di banding gue yang sekarang liat Vania lambaikan tangan ke gua, dengan air mata yang udah mengalir deras. Gue, gue, jujur, gue pengen lari ke sana, terus seret dia ikut gue. Tapi, itu jelaslah gak bisa.
"Cengeng! " Kata terakhir yang gue ucapin ke Vania, sebelum pesawat gue benar \- benar terbang.
* * *
1 tahun kemudian
Sungguh, ini sangat lama. Aku merasa satu tahun di Jerman ini seakan 10 tahun saja. Benar\-benar menyebalkan! Syukurlah Hp semakin canggih, meski tidak bisa bertemu. Kami masih bisa bertatap muka melalui Video Call.
Aku, Riyan Adijaya saat ini sudah menghabiskan 1 tahun di Jerman, tinggal menunggu 2 tahun lagi, untuk ku kembali.
"Hey, Riyan? Mau makan bareng aku? Temenin aku dong? " pintanya, perempuan yang saat ini duduk di sebelah ku.
Jessy namanya, gadis campuran Indonesia dan Jerman. Dia dulu juga pernah tinggal di Indonesia, tapi hanya sampai batas usia 13 tahun, wajar dia bisa lancar berbahasa Indonesia. Setelah itu dia pindah ke Jerman. Usianya saat ini sama dengan ku 19 tahun.
Jessy teman pertama ku di Jerman, mungkin karna dia memiliki darah Indonesia jadi aku lebih mudah akrab dengannya.
"Oke, " Sahut ku, aku mulai melajukan mobil ku.
Entah mengapa, mendadak ada mobil tak terkendalikan di depan ku, melaju begitu cepatnya mengarah ke mobilku!
BRAGHHHKKKKKK!!!!!!
* * *
Readers : Author, Novel yang ini jangan sampai kosong lagi yah^\^
Author : In shaa Allah yah Kak^\^ Asal like, komen, vote, dan levelnya bagus. enggak akan Jadi Novel "Kosong" kok^\^
* * *
Author POV
Sudah satu bulan sejak kecelakaan yang di alami oleh Riyan. Sejak saat itu Riyan koma, dan tak sadarkan diri selama satu bulan.
Orang tua Riyan selalu menemaninya sejak kejadian itu. Bahkan, sudah sejak satu minggu yang lalu Arfen dan yang lainnya menjenguk Riyan, termasuk Vania.
Jessy, teman Riyan juga di rawat. Namun, keadaannya tidak separah keadaan Riyan. Dia luka, dan sudah tiga minggu lalu sadar. Bahkan, minggu depan Jesay juga sudah bisa keluar rumah sakit.
Namun, karna masalah Ujian, Vania harus kembali hari ini. Bersama Regata, Melia, Raisa, dan Nando. Mereka juga akan menghadapi ujian.
Vania menatap sendu, pria yang biasanya bermulut recok, kini diam tak berdaya di depannya. Di kelilingi berbagai macam alat rumah sakit, yang Vania tidak kenali.
"Om galak cepat sembuh yah, " Vania menggenggam tangan Riyan erat. Menyisahkan tetesan air mata di sana. Matanya tak kuasa lagi menahan bulir hangat itu.
"Vania rindu, " Tambahnya memeluk tubuh Riyan.
Vania melihat jam hitam yang melingkar manis di pergelangan tangannya yang putih.
"Udah saatnya. Maaf yah Om, Vania harus pulang sekarang. Dadah~ Semoga cepat sembuh. " Vania mengecup lembut kening pria itu, pipinya memerah malu. Syukurlah, hanya ada di sendiri di dalam ruangan itu.
"Vania, yuk balik. Bareng kakak!" panggil Raisa membuka pintu rumah sakitnya.
"Iyah kak, " Vania segera beranjak menghampiri Raisa.
"Vania, makasih yah udah mau datang jengukin kak Riyan. Tante, makasih banget. " Ujar Airin lembut, memeluk tubuh mungil Vania.
"Om juga makasih, Vania udah mau datang. " tambah Agung, ramah.
Tanpa Vania sadari, sepertinya orang tua dan sahabat Riyan sudah tau, bahwa Riyan sangat mencintai Vania.
"Udah tenang aja, dengan kegantengan kakak ini. Dia bakal kakak paksa bangun. Ujian yang bener yah, biar bisa ke Jerman lagi. " Lagak Arfen pede.
Thifa hanya bisa menunduk dan menghela napas, menatap kelakuan calon suaminya itu.
"Iyah kak, makasih. Kak Riyan segera sembuh. Vania yakin. "
"Udah yuk ke Bandara, entar malah ketinggalan pesawat. Udah yah kita pulang duluan. Arfen, Thifa, Fandri, Anggi, jagain Riyan yah. Kasih kabar kalo ada apa-apa." pesan Raisa, merangkul Vania.
"Oke, santai aja. "
* * *
"Va... ni... a... " gumam Riyan tanpa sadar. Matanya masih terpejam, jari manisnya bergerak perlahan.
Vania yang sudah menginjakkan kaki di Bandara mendadak menoleh ke belakang, seakan merasakan hal aneh.
"Apa Van? Ada yang ketinggalan? " tanya Raisa, saat merasa tangan yang di gandengnya mendadak berhenti.
"Enggak ada sih kak. Cuma, aku agak--"
"Udah tenang aja. Riyan gak papa kok, percaya sama kita. " Yakin Raisa. "Udah buruan ayuk, entar kita ketinggalan pesawat tau. " Raisa kembali menarik tangan mungil Vania.
"Iyah kak. " Vania dengan patuh mengikuti tarikan tangan Raisa.
/ / /
Di Rumah sakit, Riyan sendiri masih hanya mampu menggerakkan tangannya. Arfen, orang yang terjadwal untuk menjaga Riyan malam ini, memasuki ruangan dengan wajah sendu. Sendunya yang selalu tertutupi oleh tingkahnya.
Namun, saat Arfen sudah benar - benar di dekat Riyan. Arfen menyaksikannya sendiri, jari Riyan, bergerak perlahan.
"Dokter!!! Dokter!! Om!!Tante!!! " Teriak Arfen segera berlari keluar ruangan.
***
Satu jam sudah berlalu, Dokter dan timnya juga sudah memeriksa Riyan, entah apa yang terjadi. Riyan masih juga belum membuka matanya.
Arfen dan Thifa menjaga di dalam ruangan Riyan, keduanya tidur di sofa yang ada di sana. Orang tua Riyan sendiri sudah kembali ke apartemen, untuk tidur. Maklum saja, sebelum Arfen dan yang lainnya datang. Yang menjaga Riyan adalah mereka berdua. Mereka pasti juga lelah.
***
"Bangun dong, katanya mau jadi presdir besar. Ngalahin gue. Bangun dong, Yan! Bosen tau liat lo baringan di sana mulu!" Arfen menggaruk kepalanya frustasi. Dia yang biasanya tenang dan santai, saat ini juga mulai kehilangan ketenangan.
"Bangun kek woi! Nanti gue kasih undangan deh, spesial di hari pernikahan gue dan Thifa!" tambah Arfen lagi, duduk di sebuah kursi sebelah Riyan yang terbaring. Arfen menatap wajah pucat Riyan yang sudah di tempeli begitu banyak alat rumah sakit.
Tanpa Arfen sadari, Riyan menggerakkan tangannya.
"Ar-fen? " suara pelan seakan tanpa tenaga. Meski pelan, Arfen mendengarnya dengan jelas. Arfen menoleh ke asal suara. Riyan?!
"Riyan?! Lo udah bangun Yan?! Bentar, gue panggilin Dokter dulu!! " Arfen lagi-lagi mendadak lari keluar secepatnya.
~ ~ ~
Sudah setengah jam sejak Arfen memanggil Dokter. Ada seorang suster yang keluar dari ruangan, menghampiri orang tua Riyan.
"Bitte kommen Sie herein, der Patient weiß es und Sie können ihn besuchen." (Silahkan masuk, pasien sudah sadar, dan kalian boleh mengunjunginya. ) Ujar Suster itu.
"Danke dir, " (Terima kasih) sahut papah Riyan yang dulunya juga pernah berkuliah di Jerman.
"Ayo masuk, kita sudah di izinkan melihat Riyan! " kata papah Riyan menginatruksikan pada Arfen dan Thifa.
Semuanya berdiri menatap Riyan yang terbaring. Tampak wajah mereka basah karna air mata kebahagiaan.
Riyan diam, dia yang masih duduk menyender itu tidak tau apapun. Tapi, ada yang aneh. Mata Riyan tak lepas menatap Thi-fa?
"Arfen, cewek itu siapa?? " tanya Riyan dengan suara tak bertenaganya.
"Cewek yang mana sih? Jangan ngaco deh lo? " Arfen mendadak merinding seketika. Pasalnya, Arfen pikir karna sebuah kecelakaan parah, dan koma satu bulan. Mendadak Riyan mendapatkan kemampuan melihat hal yang tak kasat mata.
Perempuan mana nih? Jangan-jangan! Ah parah!!
Batin Arfen kalut sendiri.
"Cewek di sebelah kanan lo. " tambah Riyan, menunjuk ke arah Thifa. Arfen mengikuti arah tunjuk Riyan.
"Ha? Ini? Ini kan Thifa, cewek gue. " Arfen sendiri juga di buat bingung kali ini.
"Thi-fa? Thifa siapa? Lo parah, kita masih kelas 3 SMP lo udah pacaran." ujar Riyan kebingungan.
Semuanya saling menatap bingung.
"Dokter!! Ken--arghh!! Herr Doktor, was ist mit meinem Kind passiert?" (Dokter, apa yang terjadi pada anak saya? ) tanya papah Riyan.
"Now, what year are you in?" (Sekarang, kamu ada di tahun ke berapa?) " tanya Dokter itu yang juga menatap Riyan bingung.
"2016." sahut Riyan bingung.
*Ingatannya mundur 4 tahun. Tahun ini adalah tahun 2020. 4 tahun lalu itu kita masih kelas tiga SMP. Tunggu, apa jangan-jangan?
Batin Arfen mulai menerka-nerka*.
"Mr. Agung, can you talk for a moment? It's about your son."( Pak Agung, bisakah kita berbicara sebentar tentang kondisi anak mu? " Ujar Dokter itu pada papah Riyan.
"Yes Of course. " (Ya, tentu saja)
Keduanya berjalan keluar, dan masuk ke dalam ruang pribadi dokter itu.
"Why? " tanya papah Riyan yang sudah duduk di depan Dokternya.
"I think your son has retrograde amnesia." (Aku pikir anak bapak mengalami Amnesia Retrograde)
"Amnesia Retrograde? "
***
Note:
Translate Bahasa Jermannya dari Google. Translate bahasa Inggrisnya juga dari Google. Mohon maaf yah kak, kalo ada katanya yang salah. ^\^
***
Aku Vania Keylan, aku menjalani hubungan tanpa status oleh seseorang bernama Riyan Adijaya.
Mungkin, karna aku masih kelas tiga SMP dia tidak ingin menentukan hubungan kami. Namun, aku yakin dengan jelas. Dia menyukai ku, aku juga menyukainya. Kami saling menyukai.
Namun, karna memang kehidupan tidak hanya berkisah pada kami berdua. Riyan terpaksa menjalani kuliah di Jerman, ini demi masa depannya, dan demi perusahaan papahnya.
Tapi, meski begitu, kami yakin. Kami akan baik-baik saja.
Dan benar saja, satu tahun berlalu kami semua baik-baik saja. Om galak sering menghubungi ku. Baik melalui Video Call, Telepon, atau hanya sekedar Chatt biasa. Kami mungkin bisa menyebutnya dengan, LDR?
Namun, ada hari di mana tragedi itu hadir. Tragedi yang mengubah Om galak seratus delapan puluh derajat. Tragedi itu, adalah tragedi yang sukses besar mengubah kehidupan ku. Memaksa mimpi indah ku, menjadi mimpi buruk. Merenggut kebahagiaan ku dengan menggantinya pada kesedihan.
Om galak kecelakaan, dia koma satu bulan, dan dia lupa ingatan. Dia mengidap Amnesia retrograde.
Selama om galak koma, aku juga berada di sana walau hanya satu minggu. Aku benar-benar berharap om galak sadar waktu itu. Waktu aku ada di sana.
Tapi, di sana juga apa gunanya? Om galak juga gak ingat aku, kan?
Sungguh! Aku membenci penyakit ini! Amnesia retrograde adalah kondisi dimana si penderita tidak bisa mengingat informasi atau kejadian di masa lalu.
Dan untuk kasus Om galak, dia melupakan kejadian empat tahun belakangan.
Sebenarnya bukan hanya aku, kak Thifa, kak Melia, dan kak Anggi juga tidak di ingat oleh om galak. Bahkan dia tidak mengingat teman SMAnya.
Aku tidak tau pasti apakah itu akan sembuh total, atau malah tidak akan sembuh. Aku hanya pasrah. Tapi yang jelas, dokternya berpesan untuk tidak terlalu memaksakan ingatannya.
Bukan hanya itu, saat aku mencoba membantu Om galak untuk mengingat kembali, melalui panggilan Video. Ah~ masa itu. Aku benar-benar berharap aku tidak pernah mengangkat panggilan Video itu.
"Lo siapa? " tanyanya dengan nada dingin. Dia, om galak yang sama yang selalu berdebat lucu dengan ku.
Aku tidak pernah ragu untuk mengganggunya, atau bahkan meledeknya, memukulnya. Tapi, kali ini. Orang yang ada di sebrang video itu, dia bagaikan orang yang berbeda. Jangankan meledek, untuk berbicara padanya saja bibir ku kelu.
Om galak sebelumnya tidak pernah berbicara sedingin ini pada ku. Tapi, mendadak dia bersikap begini? Aku merasa sesak, ini begitu menyesakkan.
"Ngomong! Punya mulut kan lo! " katanya sarkas. Cukup! Aku enggak kuat denger perkataan itu dari om galak! Aku segera mematikan panggilan Video itu.
Merapatkan wajahku dengan bantal putih di sebelah ku. Aku tumpahkan segala jeritan hati. Aku ... Menangis.
Aku ingin sekali berteriak aaaaaaaaa!!!!! Tapi ini sudah malam. Aku tidak ingin menjadu sasaran gosipan tetangga.
Iyaj memang benar! Aku cengeng! Aku payah! Tapi, kalian tidak akan tau bagaimana rasanya saat om galak menjadi orang yang berbeda.
Om galak memang berada jauh di Negri orang. Tapi, entah kenapa aku merasa dia lebih jauh dari itu. Bukan jarak, tapi hati kami yang mungkin tak lagi bertautan.
***
1 tahun juga sudah berlalu, tepat saat ini. Hari ini, hari tanpa cahaya datang menghampiri aku.
Hari ini, aku kehilangan kakekku. Kakek, sudah tiada sejak pukul empat pagi tadi, saat sedang tidur.
Kakek~
Beliau adalah satu-satunya keluarga yang aku punya, setelah aku kehilangan kedua orang tua ku. Saat ini aku benar-benar sendiri. Aku sebatang kara! Tanpa keluarga!
Kenapa?! Kenapa begini? Kenapa semua orang yang ku sayang di renggut satu per satu?! Adakah kebahagiaan yang tersisa untuk ku?!
Kenapa mengambil kakek ku? Aku akan mengikhlaskan seluruh harta ku, tapi ku mohon. Kembalikan satu-satunya keluarga ku itu.
Hanya tersisa aku sendiri, di sini. Menangis memeluk batu nisan bertuliskan "Ahmadi Keyland" Nama kakek terhebat ku.
Burung gagak berkoar di atas pohon itu. Sore semakin cerah, cahaya jingganya begitu menghangatkan, namun itu tak cukup untuk menghangatkan hatiku yang sudah kelabu.
Sore cerah itu seakan mengejek ku yang tengah terjebak di dalam kegelapan. Tidak! Aku tau, sore cerah itu di berikan padaku, untuk menemani, dan menghiburku kan?
Badan ku lemas, aku terus menangis sejak pagi. Aku tidak ingin pulang, meski aku tau ada banyak orang di rumah ku yang tengah menungguku untuk mengucapkan duka cita.
Bisakah? Bisakah waktu berputar kembali? Di saat ini pikiran konyol ku mulai menghampiri. Aku berharap punya Doraemon di sisi ku.
Tapi, yah itu hanya ilusi semata!!
"Sudah nak, jangan terlalu di tangisi begitu. Nanti kakek kamu malah gak tenang, " aku mendengar suara lembut sehangat suara mamah. Aku menoleh ke kanan, dan benar saja! Itu ada Mamah dan papah! Memakai pakaian serba putih dan tersenyum pada ku! Dan di sebelah mereka ada kakek juga yang tengah tersenyum!
"Mamah! Papah! Kakek!! Jangan tinggalin Vania! Vania mau ikut kalian!!! " teriak ku, saat aku melihat mereka bertiga berubah menjadi cahaya dan mendadak menghilang di terpa angin.
Entah lah, terlepas itu nyata atau hanya ilusi ku semata. Melihat mereka tersenyum dengan cahaya, aku sedikit lebih bisa mengendalikan diri.
***
Satu minggu kemudian, di sinilah aku. Duduk di sofa rumah keluarga Adijaya, dengan dua koper dan satu tas punggung yang masih melekat padaku.
"Udah nak, yuk masuk. Udah Tante beresin kok kamarnya. Yuk liat kamar baru mu. " ujar perempuan berhijab syar'i itu pada ku. Tante Airin namanya, mamahnya om galak.
"Iyah nak, udah sana liat kamarnya dulu. Anggap aja rumah sendiri. " tambah om Agung ramah
Saat Om Agung dan Tante Airin tau kakek sudah tiada, mereka langsung memboyong ku ke rumahnya. Mereka tau, aku tinggal sebatang kara. Dan mengajakku untuk tinggal di sini. Kata mereka juga, mereka kesepian karna Riyan enggak ada.
Yah, saat ini aku ada di rumah orang itu. Tapi, om galak sendiri masih berkuliah di Jerman. Setelah panggilan Video terakhir kali itu, kami tak pernah berkomunikasi lagi.
Aku juga memutuskan tinggal di sini, sebelum Om galak pulang ke sini. Setidaknya, aku tidak akan kesepian 2 atau tiga tahun ke depan.
Saat aku sudah Dewasa, aku rasa aku sudah bisa hidup mandiri.
* * *
Aku masuk ke kamarku, dan ternyata ada di lantai dua. Aku membuka jendela, berdiri di balkon membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa lembut wajah ku, membiarkan beberapa helai rambutku yang berterbangan acak.
Baiklah, sudah saatnya untuk ku. Aku Vania Keylan, akan memulai hidup baru. Menyambut masa depan, dengan senyuman. Mencoba melupakan beban masa lalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!