Pernahkah kalian merasa kesal karena terjebak di tengah-tengah kemacetan di saat kalian tengah diburu waktu? Hal itulah yang kini tengah dialami oleh seorang remaja yang bernama Ray. Situasi ini sangat sering terjadi di kota besar seperti Jakarta. Kebanyakan orang Jakarta emang cuma bisa beli mobil, padahal gak punya garasi. Jadilah jalan umum disabotase dan dideklarasikan sebagai miliknya pribadi. Pengendara lain yang hendak lewat pun menjadi kesulitan, bahkan terjadi kemacetan karena mobil-mobil yang diparkir di jalanan kompleks atau di pinggir jalan yang sempit.
Ray merasa kesal tapi cuma bisa bersabar. Seandainya saja ban motornya tadi tidak bocor tentu dia tidak akan takut telat seperti ini. Sudah tiga kali Iya melihat jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, dengan Sesekali dia memainkan gas motornya sehingga menimbulkan suara yang menderu-deru tak sabaran. Akhirnya setelah beberapa menit kemudian ia berhasil terlepas dari kesemrawutan jalanan ibukota.
Laju motor yang dikendarai Ray menderu kencang karena diburu waktu, hingga sepuluh menit kemudian Ray baru tiba di depan pintu gerbang sekolah SMA Nusantara yang sudah tertutup rapat.
“Ah, telat gue!” dumelnya kesal,
“Pak, bukain dong, Pak,” pinta Ray pada Pak Asep si penjaga gerbang. Laki-laki paruh baya itu Nampak sewot saat kegiatan Membaca koran sambil menyesat Kopi hitamnya terganggu.
Setelah gerbang itu terbuka Rey pun masuk dan memarkirkan motornya. Pandangannya Mengamati sekitar, mencari-cari takut ada guru piket. Setelah dirasanya aman cowok itu bergegas menuju ke kelasXII IPS2. Dia harap guru matematika belum tiba di kelasnya.
Rey menghela napasnya saat tiba di pintu kelas. Nyatanya hal yang sangat ia khawatirkan dari tadi tidaklah terjadi, tidak ada guru di sana. Nampak beberapa siswi perempuan ada yang bergerombol sambil tertawa cekikikan. Ada pula yang tengah sibuk mengecat kuku, sedangkan para temannya yang laki-laki ada yang sedang Mabar. Ada pula yang tengah mojok sendirian dengan Ponsel digenggamannya.
“Eh, tumben lu telat?” sapa Devan yang tengah duduk di depan bangku Ray.
“Ban motor gue bocor.”
Ray menjawab sembari mendudukan tubuhnya di kursi. Kemudian tangannya sibuk mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tas,
“Bu Arin Kemana, Van?” tanya Ray. Tak biasanya guru matematikanya itu absen.
Dengan masih fokus ke ponsel yang ia pegang Devan menjawab asal,
“Kagak tahu gua. Mungkin lagi mojok kali sama pacarnya.”
Nampak Defan Tengah memainkan ponselnya sambil sesekali mesem mesem tak jelas.
“Pagi-pagi udah gila lu!” ucap Ray sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
Defan memutar kursinya menghadap ke belakang,
“Udah dengar gosip tentang si Rio belum?” wajahnya berbinar antusias.
Ray yang mendengar itu sejenak Menghentikan atensinya pada buku yang hendak ia baca,
“Kenapa lagi tuh anak?”
“Dia ditolak sama cewek. Awalnya gue liat video dia diTwitter, tapi sekarang udah rame di Instagram,” ujar Devan yang hanya direspon deheman malas Ray.
Defan yang Belum puas dengan tanggapan cowok didepannya itu mengambil buku yang tengah Ray baca.
Ray berdecak kesal,
“Balikin gak!” ucapnya dengan mata melotot.
Defan nyengir tanpa dosa. Tangannya menyodorkan ponsel digenggamannya kedepan wajah Ray. Memperlihatkan vidio cewek yang tengah berdecak pinggang sambil menunduk menatap seorang cowok yang tengah berlutut didepannya.
“Lihat nih bro, lihat! Gila gak ini cewek sampai bisa ngebuat cowok seangkuh Rio bertekuk lutut kayak gini.”
Ray menepis tangan Devan,
“Heran deh gue, video gak penting kayak gitu doang bisa ribuan yang nonton.”
Defan melotot tak setuju pada Ray. Temannya yang satu ini memang paling anti jika mengungkit tentang yang namanya sensasi, apalagi tentang cewek.
“Ah, elu mah. Lihat dulu dong ceweknya cuy, bening banget gile! gue ngeliat wajahnya aja udah semriwing.”
Ray Menggelengkan kepalanya semakin tak mengerti. Bukankah seharusnya di usia yang seperti dirinya itu Hanya fokus untuk pendidikan tidak dengan yang lain. Apalagi jika harus merendahkan harga diri hanya karena seorang makhluk yang bernama perempuan.
“Kalau gue mah ogah jadi orang bego cuma karena cewek yang modelannya kayak gitu,” sahut Ray sambil membalas beberapa pesan orang bengkel tempat dia memesan Beberapa onderdil motornya yang hendak ia modifikasi.
“Hati-hati bro, Entar ngebet lagi lo sama tuh cewek.”
Cowok bertubuh tinggi itu mendengus. Ditariknya buku yang ada di tangan kiri Defan. Dia memilih untuk melanjutkan menganalisa rumus matematika yang semalam sempat dia buat.
Dia Ray Sanjaya. Cowok pendiam yang menyukai ketenangan. Keriuhan yang ia Maklumi hanyalah sorak-sorai penonton saat dirinya bermain futsal disekolah. Sisanya Ray lebih suka tidak terlihat dan menjauhi segala macam masalah hingga dirinya menyelesaikan sekolahnya. Iya sudah merencanakan Jalan hidupnya untuk 5 tahun ke depan. Tertata rapi dan tepat sasaran seperti dengan apa yang ayahnya inginkan, dan berpacaran bukanlah salah satu dari perencanaannya dimasa depan. Ray tidak punya waktu untuk itu semua.
Bell istirahat pertama sudah terdengar. Beberapa siswa nampak Menghela napasnya lega. Setelah 1 jam lebih mereka mendengarkan pelajaran Sejarah yang amat sangat membosankan. Devan dengan wajah ngantuknya menoleh ke belakang.
“Mau ikut mojok nggak?”
Rai menggelengkan kepalanya sambil tangannya menutup buku catatan.
“Enggak ah, lu duluan aja.”
Laki-laki itu beranjak Dari duduknya dengan satu tangan yang memegang buku sosiologi tebal.
Seperti biasanya setiap istirahat pertama Ray lebih sering berada di perpustakaan Ataupun mungkin hanya akan duduk-duduk membaca buku di taman depan perpus daripada berkumpul dengan teman temannya yang mengobrol tak jelas di kantin. Hambar, Mungkin itulah kata yang cocok untuk menggambarkan kehidupan Ray yang monoton. Bukannya dia tak ingin menjadi remaja yang bebas seperti kawan-kawannya yang lain, Namun dirinya yang merupakan anak tunggal dituntut harus menjadi anak yang membanggakan.
Ray berjalan menuju kursi yang ada di taman depan perpustakaan sekolah. Sebelum ia duduk dipungutinya daun-daun kering yang berjatuhan yang ada diatas kursi. Seberkas foto yang sudah lusuh menampilkan seorang perempuan yang tengah tersenyum manis terjatuh dari tengah halaman buku yang dia pegang. Ah, dia lupa semalam Setelah belajar dia sempatkan waktu untuk memandangi foto itu dan lupa untuk kembali menyimpan foto itu dengan baik.
Sambil duduk dan memangku buku tebalnya, sekali lagi Ray menatap Wajah perempuan yang ada di foto itu. Di balik tatapannya tersimpan kerinduan yang amat besar. Itu adalah potret mendiang ibunya yang ia dapatkan secara sembunyi-sembunyi dari sang nenek. Katanya jangan sampai ayahnya tahu kalau dia menyimpan foto itu, entah kenapa Ray juga tidak tahu. Yang pasti sejak ibunya itu pergi sang ayah selalu menceritakan keburukan sang ibu. Namun tanpa ayahnya ketahui, Neneknya memberikan pemahaman pemahaman yang baik Perihal Kenapa sang Ibu harus pergi. Kemudian setelah Dia besar Dirinya mengerti. Bahwa sejatinya sang Ibu tak pernah mencintai sang ayah. Mereka menikah atas nama perjodohan, dan nyatanya cinta itu memang tak bisa dipaksakan.
Malam itu langit sedikit mendung. Gemuruh mulai terdengar dari langit, mengundang hawa dingin has hujan. Nampak seorang laki-laki dengan motor gagahnya yang berwarna merah melaju membelah jalanan yang sedikit lengang.
Setelah nongkrong dengan Devan di bengkel Bang Zaki dan sempat mengantar temannya itu pulang, Ray yang masih sedikit enggan untuk pulang memilih untuk berkeliling dengan motor kesayangannya itu sebentar. Iya biasa melakukan hal itu saat dirinya Tengah merasa bosan.
Ray harus menginjak pedal remnya keras saat tiba-tiba mobil yang berada di depannya berhenti. Cowok itu membunyikan klakson motornya sambil mengumpat.
“Woy! bisa bawa mobil gak sih!” teriak Ray lantang.
Saat dia sudah berada di samping mobil itu, samar-samar cowok itu melihat seorang perempuan berambut panjang berada di belakang kemudi. Sesaat setelah kaca mobil itu diturunkan, barulah Ray bisa melihat jelas wajah perempuan itu. Seorang perempuan yang Ray perkirakan usianya masih di bawah umur.
“Sorry, mobil aku kehabisan bahan bakar,” ucap perempuan itu dengan meringis.
Sejenak Ray terpaku pada wajah perempuan itu. Wajah mungil itu memiliki mata belo dengan bulu mata yang lentik, hidungnya yang mancung serta bibirnya yang berwarna merah jambu itu membuat siapapun yang melihatnya akan merasa gemas. Ray merasa Tak asing dengan wajah itu.
Di bawah sinar rembulan yang timbul menghilang karena awan mendung, kedua insan itu saling terpaku satu sama lain. Sebelum akhirnya gelegar petir memutuskan tatapan keduanya.
Ray mendengus bosan. Kemudian berucap sarkas,
“Lain kali kalau mau jalan tuh dicek dulu indikator BBM lu. Dasar manusia ceroboh!”
Perempuan yang ada di dalam mobil itu hanya bisa melongo mendengar perkataan pedas yang terlontar dari laki-laki yang entah siapa namanya itu. Bukannya menolong, cowok itu malah meninggalkannya begitu saja.
Masih terdengar teriakan keras perempuan yang ada di dalam mobil yang tak dihiraukan Ray. Cowok itu terus menarik gas motornya sambil melewati mobil itu dengan menggerutu kesal.
Ray yang baru saja sampai langsung memarkirkan motornya di garasi rumah. Cowok itu berjalan santai memasuki rumah sambil sesekali membalas pesan dari Devan.
“Dari mana kamu?”
Ray yang mendengar suara ayahnya itu seketika menghentikan langkah kakinya pelan. Nampak sosok tegas dengan postur tubuh tinggi besar itu tengah duduk di sofa ruang tamu. Sebuah iPad yang berada di tangannya membuat semua atensi laki-laki itu hanya terfokus kesana. Dia bertanya tanpa harus menatap Putra semata wayangnya. Kacamata baca yang bertengger manis di Pangkal hidungmya membuat siapa saja segan dengan pembawaan laki-laki yang merupakan kepala keluarga di rumah itu.
“Dari rumah temen, Pa,” jawab Ray sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Bukan niat Ray untuk berbohong, toh Nyatanya dia memang tadi sepulangnya dari bengkel sempat mampir sebentar di rumah Devan.
“Gimana sekolah kamu?” tanya Herman kembali. Sebuah pertanyaan monoton yang biasa dia lontarkan pada putranya itu.
“Lancar Pa,” jawab Ray seperti biasa.
Herman yang mendengar itu mengangguk puas,
“Bagus.”
Hanya Seperti itulah interaksi setiap hari antara keduanya. Meskipun Ray merupakan anak satu-satunya, sedari kecil dia tidak dididik untuk menjadi anak yang manja dan pemalas. Katanya menjadi seorang pemimpin itu harus kuat, harus pintar, dan yang pasti jadi pemimpin itu tidak boleh lemah apalagi cengeng. Menjadi satu satunya penerus kerajaan bisnis Sanjaya membuat Ray Terikat dengan segala peraturan ayahnya itu.
“Ray ke kamar dulu, Pa.”
Setelah melihat anggukan samar dari ayahnya itu Ray berjalan menuju tangga. Ketika kakinya hendak menaiki anak tangga pertama, dilihatnya pintu kamar yang ada di samping tangga itu sedikit terbuka.
Langkahnya pun mendekati kamar itu. Diketuknya daun pintu berwarna coklat itu pelan.
“Kenapa Oma belum istirahat?” ucap Ray saat ia memasuki kamar neneknya. Terlihat sosok bertubuh renta itu Tengah menonton televisi yang menampilkan sinetron kesukaan ibu-ibu yang entah apa itu judulnya.
Wanita lanjut usia yang tengah duduk berselonjor Di atas kasur itu menoleh dan tersenyum lembut kemudian menjawab,
“Oma nungguin Ray pulang.”
Wanita itu mengusap halus rambut cucunya yang sudah duduk bersila di lantai.
“Cucu Oma ini Dari mana hayo?” selidik wanita itu. Wajahnya yang Sudah terdapat beberapa kerutan itu semakin terlipat dalam saat alisnya sedikit terangkat penasaran.
“Yah, biasa. Dari bengkel.” Ray berkata sedikit berbisik yang diangguki sang nenek. Jika dengan sang nenek Ray tak pernah berbohong. Dia akan selalu menceritakan apa saja yang telah ia lakukan ataupun yang ia rasakan. Bagi Ray sikap sang nenek yang selalu mendukung pilihannya dan yang selalu mendengar pendapatnya bagaikan angin sejuk yang ia dapatkan di tengah oase kerinduannya pada sosok ibu.
“Cucu Oma sudah makan belum?”
Ray yang sudah meletakkan kepalanya di atas kasur itu mengangguk,
“Makan bakso tadi sama temen.”
Kepala Ray yang diletakkan miring menghadap ke nakas yang ada di samping tempat tidur itu tak sengaja melihat ada sebuah piring yang berisikan dua potong pisang goreng. Dengan sedikit mengangkat kepalanya tangan cowok itu meraih pisang goreng itu satu lalu memasukkan ke dalam mulutnya.
“Enak. Ini siapa yang buat, Oma?” tanya Ray dengan mulut berisi pisang goreng yang ternyata sudah dingin itu.
“Tadi sore dikasih sama tetangga baru depan rumah,” wanita yang usianya sudah menginjak 70 tahun itu meraih remote control yang berada di samping bantal untuk mengecilkan sedikit volume televisi yang sedari tadi tengah ia tonton,
“habisin aja. Tadi Oma udah makan kok,” ujar wanita itu saat dilihatnya sang cucu Tengah menimang nimang pisang goreng yang hanya sisa satu itu.
Ray yang mendengar itu nyengir sebelum akhirnya kembali memasukkan pisang goreng itu ke mulutnya,
“Hmm, Oma tuh gak boleh makan beginian banyak-banyak tahu. Kalorinya terlalu tinggi, nanti kolesterolnya naik. Aku aduin ke Papa loh.” Mulut cowok itu yang penuh dengan pisang goreng membuat perkataannya tidak begitu jelas.
“Bilang aja kalau kamu kurang kan?” ejek sang nenek yang dibalas dengan cengiran ray.
Wanita itu mengambil segelas air hangat yang berada di atas nakas lalu ia berikan pada cucunya,
“Tadi di depan ketemu Papa nggak?” tanyanya sambil perlahan membaringkan tubuh rentanya.
“Iya. Lagi sibuk sama kerjaannya deh kayaknya,” jawab Ray sembari beranjak dari duduk bersilanya dilantai.
“Jangan terlalu cuek, lain kali ajaklah Papamu itu mengobrol,” pinta wanita itu dengan wajah bersungguh-sungguh. Ia prihatin akan hubungan Sang putra dengan cucunya itu yang jauh dari kata akrab. Putranya yang ambisius dan gila kerja itu menurutnya terlalu mengekang cucunya. Sebenarnya ia pernah membicarakan hal itu dengan Sang putra. Namun, putranya yang memang pada dasarnya keras kepala itu hanya menganggap keberatan-keberatan yang selama ini cucunya utarakan padanya itu hanyalah fase biasa yang terjadi pada remaja labil yang belum menemukan jati dirinya.
Ray menganggukan kepalanya pelan,
“Iya. Kapan-kapan aku ajakin ngobrol. Ya udah sekarang Oma istirahat ya,” kata Ray sambil membenarkan selimut Omanya yang tersingkap sedikit. Sebelum cowok itu keluar dikecutnya pipi neneknya itu dengan sayang,
“Selamat istirahat, Oma.”
Gebrakan pintu kelas yang keras itu seketika mengalihkan atensi semua siswa yang tengah asik dengan obrolan Masing-masing sambil menunggu guru datang.
“Oi, pelan-pelan kek kalau buka pintu! badan Lu segede Bagong gitu. Rusak dah ntar tuh pintu!” pekik Devan kesal kepada Udin Si Biang Kerok yang bertubuh gempal.
“I itu ada anak cewek baru, katanya sih cantik abis.Huuuh! capek gua lari-larian ke sini,” ucap Udin dengan nafas terengah-engah.
“Hah? anak baru kelas berapa emang?” tanya Thalia si pakar gosip di SMA Nusantara yang tak pernah melewatkan berita terbaru disekolah.
“Setahu gue sih kelas 12 ya, tapi Entahlah dia masuk di kelas yang mana,” jawab Udin sembari berjalan menuju bangku tempat dia duduk.
“Duh, moga aja dia masuk ke kelas ini. Yah, paling enggak kalau ada yang bening Biar gua betah ada di kelas,” celetuk Devan sok memelas.
“Eh, maksud Lo apaan woi! Jadi Gua sama cewek-cewek yang ada di sini pada buteg buteg gitu!” sewot Luna. Salah satu siswi kelas 12 IPS yang selalu memakai aksesoris serba kuning.
“Berisik tahu nggak!” seru Ray tiba-tiba dengan menggebrak meja menggunakan buku paket yang baru saja dia keluarkan dari tas. Cowok itu jengkel pada teman-temannya yang pagi-pagi sudah berdebat untuk hal yang tidak penting.
Seketika ruang kelas itu sunyi. Semua siswa di kelas itu segan dengan cowok yang bernama Ray itu. Cowok pintar yang tampan namun galak. Semua anak kelas 12 IPS juga tahu jika cowok itu sudah marah niscaya bibir yang jika tersenyum akan membuat semua para cewek-cewek meleleh langsung berubah mengeluarkan semburan kemarahan yang super pedas mengalahkan pedasnya wasabi. Kecuali Devan yang memang sudah tahu betul karakter Ray itu hanya cengengesan tanpa suara, sambil mengolok-ngolok Thalia dan Luna yang kena semprot,
“Mampus!” ucap Devan tanpa suara sambil tertawa.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa guru matematika yang baru memasuki kelas.
“Pagi Bu!” balas semua murid kelas 12 ips.
“Pagi ini kalian kedatangan teman baru.” Guru itu menoleh sambil tersenyum pada cewek yang turut berdiri di sampingnya,
“ayo, Nak. Silakan perkenalkan diri kamu.”
Seorang perempuan bertubuh mungil dengan rambutnya yang panjang berdiri gugup sambil memilin-milin tangannya yang saling bertautan. Raut gugup nampak jelas menghiasi wajahnya yang Ayu.
“Hai. Kenalin nama saya Mentari biasa dipanggil Tari. Saya pindahan dari SMA Wiladarma,” kata Mentari sambil tersenyum kecil.
“Asyik dah ada murid cakep,” gumam salah satu siswa.
“Aduh, lihat senyumnya aja gue udah meleleh,” gumam siswa yang lain.
Sementara Ray hanya melihat teman barunya Itu sekilas, dan kembali fokus menatap buku paket yang ada di depannya.
“Bukan cakep lagi ini anjay, bidadari jatuh dari kayangan ini mah.” Devan berkata sambil bersiul,
“hai, cantik. Kenalin Gue Devan. Lo boleh panggil gue Dev, atau Evan, atau manggil sayang juga nggak papa,” celetuk Devan dengan percaya diri yang mendapat sorakan dan tertawaan dari seisi kelas.
“Idih, najis!” ujar Ray dengan satu kaki mendorong kaki kursi Devan yang ada di depannya.
“Sudah cukup anak-anak,” Seru guru matematika menenangkan,
“Tari, kamu bisa duduk di kursi kosong yang ada di samping Ray.” Guru itu berkata sambil menunjuk bangku kosong samping jendela deret ketiga dari depan.
“Ciee, Ray sekarang udah gak jomblo lagi!”
Ejekan itu tentunya berasal dari Devan. Cowok itu Menoleh ke belakang sambil menaikturunkan alisnya jahil pada Ray.
“Tari, kenalan dong sama Ray!” seru beberapa siswa meledek.
“Ray, anak baru tuh jangan digalakin.”
“Tari, hati-hati singa galak.”
Celetukan celetukan dan tawa cekikikan beberapa siswa itu semakin meramaikan kelas. Cowok yang sedari tadi tak berekspresi itu mendengus kesal sambil melirik cewek yang duduk di sampingnya. Setelah berbulan-bulan duduk sendirian, akhirnya Ray kini tidak kesepian.
Sementara cewek yang sedari tadi dibicarakan itu hanya bisa tersenyum kecil. Iya tak menyangka akan mendapatkan sambutan se heboh itu. Perlahan kegugupannya menghilang. Cewek itu kira dia akan bertemu dengan teman-teman yang sombong dan cuek, namun dugaannya itu salah. Mungkin dia akan mendapati kisah-kisah baru yang berbeda dari sekolah yang sebelumnya setelah ini dan dia berharap semoga ini lebih menyenangkan.
“Nama gue Ray. Gue paling nggak suka kalau harus duduk sama orang yang berisik. Kalau selama duduk sama Gue Lo bawel, mending Lu pindah kelas aja deh,” ujar Ray sarkas tanpa melihat cewek yang ada di sampingnya itu.
Mentari yang mendengar itu menoleh sambil mengerutkan dahi kebingungan. Bibirnya sedikit terbuka hendak mengucapkan sesuatu namun urung ia lakukan. Tiba-tiba suara cowok galak yang ada di sampingnya itu mengingatkannya pada laki-laki yang beberapa hari lalu tak sengaja ia temui di jalan. Cowok sombong yang amat menyebalkan. Cowok yang dengan tega meninggalkan dia sendirian di tengah jalan saat dirinya tengah terkena musibah kehabisan bahan bakar. Bibir gadis itu mendesis kesal saat mengingat hal itu. Sungguh dia ingin sekali menoyor wajah laki-laki yang amat menyebalkan itu.
“Buka buku paket kalian halaman 112, dan kerjakan latihan soal nomor 1 sampai 5!” Seruan guru matematika yang ada di depan membuyarkan lamunan mentari. Ternyata di manapun sekolahnya tetap saja guru matematika merupakan guru yang amat menjengkelkan. Bagaimana tidak? Baru saja dia menjadi murid baru sudah langsung disuguhi dengan soal-soal matematika yang membosankan. Mentari menatap Ray yang tengah membuka buku paket, cewek itu sedikit menggeser kursinya mendekati Ray berniat untuk melihat soal yang ada di buku paket.
Ray yang menyadari hal itu melirik mentari yang ada di sampingnya sinis sambil berkata, “Ngapain sih!”
“Numpang lihat soal. Aku kan masih belum ada buku paket,” jawab Mentari.
Ray menghembuskan nafasnya pelan, kemudian menggeser buku paketnya ke tengah. Mentari tersenyum simpul melihat cowok galak di sampingnya itu yang mau berbagi. Yah, meskipun masih dengan memasang raut wajah datar.
Berikutnya, Ray lanjut mengerjakan soal-soal matematika yang ada di buku paket dengan mudah. Nampak cowok itu tak merasa kesulitan sedikitpun dalam mengerjakan tugas. Berbeda dengan mentari yang ada di sampingnya, baru melihat soal-soal yang ada di buku paket itu saja cewek itu sudah pusing tujuh keliling.
“Gampang ya?” tanya Mentari dengan berbisik pelan.
“Lo liat aja soalnya sendiri!” jawab Ray Ketus.
Dengan memajukan sedikit bibirnya lucu, Mentari sekali lagi mengamati soal-soal yang ada di buku paket. Cewek itu meringis sambil berkata,
“Ini susah tahu! Soalnya aja bikin puyeng gini.”
Ray menghentikan tangannya yang tengah menulis jawaban dibuku tulisnya. Cowok itu melirik Mentari yang ada di sampingnya dengan menaikkan satu alis, “Itu berarti Lu bego!” tandas Ray yang langsung dipelototi Mentari,
“udah diem! Gue butuh konsentrasi buat ngerjain nih tugas.”
Tanpa disadari Mentari, cowok itu menyeringai puas sebelum akhirnya kembali fokus pada soal-soal yang ia kerjakan.
Mentari cemberut. Dia merasa dongkol pada cowok yang duduk di sampingnya itu. Memang benar sih dia sedikit lemot, tapi tidak harus dikatakan bego juga kan?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!