NovelToon NovelToon

Takdir Di Balik Dosa

1. Malam yang Mengubah Segalanya

Ziel duduk di sofa kamar hotelnya, wajahnya dingin saat menatap Nika yang berdiri di depannya dengan wajah penuh air mata. Ponselnya masih terbuka, memperlihatkan bukti perselingkuhan yang tak terbantahkan.

"Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun lagi, Nika," suara Ziel rendah dan tajam. "Pertunangan kita selesai."

"Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini padaku!" Nika berlutut di depannya, mencengkeram lengan Ziel. "Aku mencintaimu! Aku hanya khilaf... Ziel, aku mohon!"

Ziel melepaskan genggamannya dengan kasar, berdiri, dan meraih jaketnya. Tatapannya dingin saat menatap Nika yang masih terisak di sofa.

"Aku sudah memesan penerbangan untuk besok pagi. Jangan mencariku lagi," katanya tegas sebelum melangkah pergi.

Namun, sebelum Ziel sempat mencapai pintu, Nika bergegas berdiri, menahan lengannya.

"Ziel, tolong… hanya satu malam saja. Biarkan aku menghabiskan waktu bersamamu. Aku janji tidak akan memohon lagi setelah ini," suara Nika bergetar, matanya memohon.

Ziel menghela napas panjang, kelelahan menghadapi drama yang menurutnya sudah berakhir. la menepis tangan Nika dengan kasar.

"Aku tak sudi lagi menghabiskan waktu dengan wanita yang telah mengkhianatiku."

"Ziel!" Suara Nika bergetar, putus asa. Ketika ia menyadari tak ada cara lain untuk menahan Ziel, ia nekat mengayunkan tangannya, memukul tengkuk Ziel sekuat tenaga.

Ziel, yang sudah setengah keluar dari kamar dengan pintu sedikit terbuka, terhuyung. Kepalanya mendadak terasa berat, pikirannya berkabut. la mencoba tetap berdiri, tetapi tubuhnya semakin kehilangan keseimbangan.

Dalam kesadarannya yang mulai memudar, ia samar-samar melihat Nika bergegas mendekat, menangkap tubuhnya yang hampir tumbang.

"Istirahatlah, Ziel," bisik Nika lembut, tangannya mengusap pipi Ziel dengan sentuhan yang dingin.

Kegelapan pun menyelimuti Ziel.

Saat itu, Nika menyeret Ziel ke ranjang dan menyelipkan sesuatu ke mulutnya.

"Aku pastikan kau tak akan bisa memutuskan pertunangan ini, Ziel," gumamnya, sudut bibirnya terangkat penuh keyakinan. la lalu mengambil kamera dan mulai mengarahkannya ke ranjang.

Beberapa menit berlalu.

Ziel mulai sadar. Kelopak matanya terasa berat, kepalanya nyeri.

la mengerjapkan mata, mencoba memahami di mana ia berada. Saat kesadarannya perlahan pulih, ia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.

Nika keluar dengan wajah penuh harapan.

"Malam ini kita akan mengukir kenangan paling indah, Sayang," katanya lembut. "Kita akan segera menikah."

Ziel menatapnya dengan jijik. "Apa yang kau lakukan padaku?"

"Aku hanya... ingin kita tetap bersama," ucap Nika, tetapi kali ini nada suaranya dipenuhi keyakinan.

Ziel menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, beranjak dari tempat tidur, dan meraih kunci mobilnya di atas meja.

"Kau gila," gumamnya, matanya penuh kebencian.

Saat ia melangkah keluar, Nika buru-buru mengejarnya.

"Ziel, jangan pergi!"

Tanpa banyak kata, Ziel berbalik dan dengan satu gerakan cepat, ia menghantam tengkuk Nika.

Nika terhuyung sejenak sebelum akhirnya pingsan.

Ziel menarik napas panjang, lalu mengangkat tubuh Nika dan meletakkannya di sofa. la tak ingin lagi lengah atau terjebak dalam permainan wanita itu.

Tanpa membuang waktu, ia mengambil jaketnya dan melangkah cepat menuju lift.

la harus segera keluar dari sini.

Ziel merasakan tubuhnya masih sedikit lemas, tapi adrenalin membantunya untuk terus maju. Begitu mencapai lobby, ia langsung menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya.

Di jalanan yang lengang, Ziel memejamkan matanya sejenak, berusaha mengusir pusing yang semakin menjadi. Matanya mulai berkunang-kunang, suhu tubuhnya naik, dan jantungnya berdetak lebih cepat.

"Sial..." desisnya sambil menggenggam setir erat.

Tiba-tiba, pandangannya kabur. Semua terasa berputar. Tangan dan kakinya melemah. Ia tak bisa mengontrol mobilnya dengan baik—

BRAKK!

Bunyi benturan keras mengguncang tubuh Ziel. Mobilnya menghantam pohon di tepi jalan dengan keras. Udara di dalam terasa pengap, darah mengalir dari pelipisnya, dan kepalanya mulai terasa berat.

Sementara itu, Mandara, gadis cantik yang baru saja membeli kuota internet menghentikan motornya secara refleks. Matanya membulat melihat mobil mewah yang ringsek di bagian depan.

"Waduh! Mobil semahal itu kok ending-nya nabrak pohon? Kasian banget pohonnya..."

la mematikan mesin motor dan berjalan mendekat dengan ragu.

"Duh, ini aku harus nolong, 'kan? Tapi gimana kalau yang di dalam ternyata psikopat? Atau zombie? Atau... orangnya udah pindah alam?" Mandara menggeleng cepat. "Eh, jangan sotoy, Dara! Kalau ada korban beneran gimana?"

la mengetuk kaca mobil pelan, lalu sedikit lebih keras. "Pak, Bu, ada orangnya nggak? Baik-baik aja, 'kan?"

Tidak ada jawaban.

Mandara mulai panik. "Aduh, gimana, nih? Mau ninggalin buat cari bantuan, takut keburu meninggoi. Mau buka pintu... kalau orangnya wajahnya rusak penuh darah karena kecelakaan... Gimana? Kan, serem!Bisa nggak enak makan nggak nyenyak tidur. Tapi kalau nyawanya keburu pindah alam karena terlambat aku tolong, gimana kalau ntar malah gentayangan nyariin aku? Duh, delima. Eh, dilema!"

Setelah mengumpulkan keberanian, ia menarik napas panjang. "Ya udah lah, pasrah. Kalo abis ini nggak enak makan tak nyenyak tidur kebayang yang horor-horor, anggep aja uji nyali."

Dengan hati-hati, Mandara membuka pintu mobil. Begitu celah terbuka, bau besi bercampur darah langsung menyeruak.

Ziel mengerang pelan, menoleh padanya. Dalam temaram cahaya lampu jalan yang masuk melalui jendela, Dara bisa melihat samar-samar wajah Ziel yang basah oleh keringat dan darah, napasnya terdengar berat. Jantung Dara mencelos saat tatapan mereka bertemu sejenak, meski detail wajah Ziel tetap sulit ia lihat dengan jelas.

"Pak! Jangan pindah alam dulu, ya! Saya baru beli kuota, masa harus kepake buat nelpon ambulans?"

Namun, tiba-tiba, Ziel menariknya ke dalam mobil.

"Eh, Pak—"

Mandara tersentak, tubuhnya terhimpit di jok. Ziel mencengkeramnya, napasnya berat dan memburu. Mandara meronta, tapi kekuatan Ziel lebih besar.

"Tolong... lepaskan," suaranya bergetar.

Ziel tak mendengar. Efek obat yang diberikan Nika membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Pandangannya kabur, tapi keinginannya membakar. Ia hanya tahu satu hal: ia membutuhkan sesuatu untuk meredakan gejolak dalam tubuhnya.

Ziel membungkam mulut Mandara dengan ciuman, napasnya memburu, suhu tubuhnya semakin panas dan hasratnya kian bergejolak, mengungkung Mandara dengan tubuh tegapnya.

Mandara berusaha melawan, tapi sia-sia. Ia merasakan pakaiannya terkoyak, air mata panas mengalir di pipinya. Ia ingin berteriak, tapi suara itu tersangkut di tenggorokannya.

Mandara mencengkram punggung Ziel saat hal paling berharga dalam hidupnya dikoyak Ziel. Air matanya terus mengalir dalam erangan kesakitan, ketakutan dan keputus asaan dalam gerakan kasar Ziel yang terpengaruh obat.

Hingga semuanya berakhir.

Mandara terbaring diam, tubuhnya gemetar. Ziel sudah tak sadar, napasnya berat di sampingnya.

Di tengah kesunyian, suara dering ponsel bergema di dalam mobil. Mandara tak bergerak, hingga akhirnya ia mengangkatnya dengan tangan gemetar.

"Halo...?"

"Kak! Cepat pulang! Ayah jatuh... banyak darah... Kak, tolong cepat pulang!

Ponsel di tangan jatuh di pangkuannya. Pandangannya kosong.

Tubuhnya masih terasa nyeri, pikirannya kacau. Tapi satu hal yang pasti, dalam satu malam, dunianya berubah selamanya. Suara tangisan adiknya tadi masih terngiang di telinganya.

Jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya masih gemetar, tapi ia harus pulang. Ayahnya dalam bahaya.

Dengan tangan yang masih bergetar, Mandara merapikan pakaiannya sebisanya. Ia menggigit bibirnya, menahan isak yang hampir pecah. Dalam gelap, matanya melirik sosok Ziel yang terbaring tak sadar di jok, sekelebat perasaan takut dan jijik menghantamnya. Tapi ini bukan waktunya untuk berpikir tentang itu.

Ia membuka pintu mobil dengan tergesa-gesa, tubuhnya gemetar tak terkendali. Luka batin yang baru saja ia alami terasa menusuk, tapi suara di telepon terus terngiang di telinganya. "Ayah jatuh... banyak darah... Kak, tolong cepat pulang!"

Langkahnya gontai saat ia berlari menuju motornya, lututnya nyaris goyah. Tangannya bergetar hebat saat mencoba menyalakan mesin. Jari-jarinya terasa kaku, seperti tak sanggup digerakkan. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak.

Ia menunduk sejenak, memaksa diri menarik napas panjang untuk menenangkan gejolak di dadanya. Mata berkaca-kaca, ia menggigit bibir, mencoba fokus. Setelah beberapa kali percobaan, mesinnya akhirnya menyala. Dengan tangan yang masih gemetar, ia mengarahkan motornya ke jalan, pikiran terpusat pada satu hal: menyelamatkan ayahnya.

Dengan mata berkaca-kaca dan dada yang terasa sesak, ia memacu motornya pulang.

Sepanjang perjalanan, udara malam menusuk kulitnya, membawa serta bau aspal dan debu. Tapi yang ia rasakan hanyalah perasaan kosong yang perlahan-lahan menggerogoti dirinya.

Apa yang baru saja terjadi?

Pikirannya berkecamuk, tapi ia menepisnya. Ada hal yang lebih penting sekarang.

Setibanya di rumah, ia melihat adiknya berdiri di depan pintu, menangis histeris.

"Kak! Ayah—"

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

2. Kesadaran yang Terlambat

Di dalam mobil yang masih sunyi, Ziel menggeliat pelan. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya seperti dihantam batu. Ia mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa lengket.

Lalu, samar-samar, ia merasakan sesuatu yang aneh.

Jok di sampingnya kosong. Tapi ada aroma samar yang tertinggal di sana. Aroma asing.

Ia mengernyit, mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia mengingat perjalanan, efek obat yang mulai bekerja, lalu tabrakan... setelah itu, pikirannya kabur.

Namun, saat Ziel mencoba duduk tegak, sesuatu di dalam dirinya bergetar. Ada perasaan aneh yang menyelinap, rasa tak nyaman, seperti ada sesuatu yang tak seharusnya terjadi.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pintu di sisi penumpang sedikit terbuka, seperti seseorang telah pergi terburu-buru.

Ziel memegang kepalanya yang berdenyut. "Apa yang sebenarnya terjadi...?"

Tiba-tiba, bunyi dering ponselnya memecah kesunyian. Dengan gerakan lambat, ia meraihnya dari dasbor mobil dan melihat nama di layar. Nika.

Amarah melonjak dalam dadanya. Ia mengabaikan panggilan itu, lalu melempar ponselnya kembali ke dasbor mobil.

Sejenak Ziel terdiam. Ia mengingat seseorang mengetuk kaca mobilnya. Suara lembut yang memanggilnya…

Matanya membelalak.

Gadis itu.

Ia menunduk, menatap dirinya sendiri. Namun tak bisa melihat dalam gelap.

Ziel segera menyalakan lampu dalam mobil, ingin melihat lebih jelas. Saat pandangannya jatuh ke dirinya sendiri, matanya terbelalak, napasnya tercekat. Pakaiannya berantakan, kancing kemejanya terbuka sebagian. Ada bekas sentuhan di kulitnya, samar tapi nyata.

Darahnya mendadak berdesir.

Resleting celananya terbuka, memperlihatkan sesuatu yang seharusnya tersembunyi. Lalu matanya turun ke jok mobil, terdapat bercak darah di sana. Juga di celananya.

Darah itu…

Napasnya tersengal, pikirannya berusaha merangkai kejadian yang terasa kabur. Dada Ziel mulai sesak. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar kacau. Ia tidak tahu siapa gadis itu, tetapi instingnya berteriak bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.

Kesalahan yang tak bisa diperbaiki.

***

Di kamar hotel yang sunyi, Nika membanting ponselnya ke kasur, napasnya memburu penuh emosi. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ziel, tetapi panggilannya terus diabaikan.

Matanya memerah, tangannya terkepal. "Brengsek!" geramnya, menggigit bibir bawahnya dengan frustrasi.

Tak pernah ia bayangkan Ziel akan benar-benar memukulnya hingga pingsan, sama seperti yang ia lakukan pada Ziel sebelumnya. Ini bukan bagian dari rencananya. Ia pikir Ziel akan marah, tapi tidak sampai seperti ini.

Pikirannya kacau. Bagaimana jika Ziel melampiaskan hasratnya dengan tidur bersama wanita lain? Dadanya sesak membayangkan kemungkinan itu. Ia mengacak rambutnya, berteriak marah ke udara.

"Tidak! Ziel milikku!"

Ia meraih kembali ponselnya dengan tangan gemetar, kembali mencoba menghubungi Ziel. Namun, kali ini suara operator yang terdengar : "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi."

Darah Nika berdesir. Ziel mematikan ponselnya.

Pertunangan mereka benar-benar di ujung tanduk.

***

Mandara turun dari motor dengan lutut lemas, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Adiknya dan beberapa tetangga terlihat di sana.

"Kak...." panggil Aditya. Kekhawatiran dan ketakutan terlihat jelas di matanya.

Mandara menemukan ayahnya terbaring di atas ranjang, darah mengalir dari kepala pria tua itu. Salah seorang tetangga mencoba mengelap darah yang keluar, yang lain nampak bingung harus berbuat apa.

"Astaga... Ayah!"

Tanpa pikir panjang, ia meraih kain dan menekan luka itu, berusaha menghentikan pendarahan. Matanya beralih ke adiknya.

"Panggil ambulans!"

"Tadi sudah! Mereka bilang akan segera ke sini!"

Mandara menggertakkan giginya, tangannya berlumuran darah saat terus menekan luka sang ayah. Tapi pikirannya mulai berkabut, tubuhnya terasa semakin lemas.

Seketika, kejadian tadi di dalam mobil kembali menghantamnya. Bayangan Ziel, cengkeraman kuatnya, rasa sakit yang ia rasakan...

Tidak. Ia tidak boleh hancur sekarang.

Ambulans datang beberapa menit kemudian. Saat para petugas medis mengangkat ayahnya, Mandara melangkah dengan kaki gemetar, ingin ikut masuk ke ambulans. Tapi sebelum ia sempat naik, kegelapan menyelimuti pandangannya.

Semua menjadi buram.

Lalu gelap.

Suara mesin medis berdengung pelan di telinga Mandara saat matanya perlahan terbuka. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menusuk pandangannya, membuatnya mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lelah seolah baru melewati sesuatu yang menguras tenaga.

Di sampingnya, duduk dua orang yang paling ia kenal, Aditya, adiknya yang masih SMP, dan Bibi Ema, tetangga sebelah rumah. Tapi ada sesuatu yang aneh. Wajah mereka pucat, mata sembab, dan bibir mereka seolah terkunci dalam kebisuan yang menyakitkan.

Dara mencoba bangun, tetapi tubuhnya terlalu lemah. "Adit... Bibi..." suaranya serak, dadanya tiba-tiba dipenuhi kecemasan. "Ayah... bagaimana kondisi Ayah?"

Aditya menggigit bibirnya, menunduk dalam-dalam. Sementara Bibi Ema menggenggam tangan Dara, matanya basah.

"Nak... Ayahmu..." suara Bibi Ema bergetar, tapi tak mampu melanjutkan.

Dara merasakan hatinya mencelos, jantungnya berdetak kencang. "Bibi, tolong jangan diam! Katakan Ayah baik-baik saja!"

Aditya menoleh padanya dengan mata merah. "Ayah sudah pergi, Kak..." bisiknya, suaranya parau. "Ayah sempat ditangani, tapi pendarahannya terlalu banyak..."

Dunia Dara seakan runtuh.

"Tidak..." bisiknya, kepalanya menggeleng berulang kali. "Tidak mungkin... tidak mungkin!

Tangannya mencengkeram selimut dengan kuat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin menolak kenyataan ini, ingin berlari ke luar kamar dan melihat ayahnya tersenyum, mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi... tidak ada yang bisa mengembalikan seseorang yang telah pergi.

Tubuhnya bergetar hebat. "Aku bahkan... belum sempat melihatnya, Bibi... aku bahkan tidak ada di sana saat dia butuh aku..."

Aditya terisak dan langsung memeluk Dara. "Kakak satu-satunya keluargaku sekarang..." katanya dalam tangis.

Dara menggigit bibirnya, menahan isak yang semakin menyakitkan. Lima tahun lalu, ia kehilangan ibunya. Sekarang, Ayah pun pergi...

Ia dan adiknya kini yatim piatu.

Dan beban besar itu seketika menghantamnya, bahwa kini dialah yang harus menjaga Aditya, sendirian.

***

Tiga Hari Kemudian.

Dara duduk di teras rumah dengan wajah kusut seperti baju yang lupa disetrika sebulan. Matanya menatap ponsel di tangannya, email panggilan interview dari perusahaan besar di kota. Harusnya ini berita baik. Harusnya.

Tapi…

“Delima. Eh, dilema.” Dara mengusap wajah. “Ini kesempatan langka. Tapi Adit gimana? Masa aku tinggalin sendirian? Mau kubawa? Halah, yang ada malah dia bolos sekolah dan jadi bocah kota yang suka bilang ‘yo bro’ tiap ketemu orang.”

Ia menyandarkan diri ke kursi. “Herman, deh! Eh, heran deh! Kenapa hidupku kayak sinetron tayang sore? Belum kelar drama kehilangan, eh, datang lagi episode baru yang judulnya ‘Dara Bingung Memilih’.”

Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki terdengar. Ema muncul dengan senyum lembut. “Kamu kenapa, Dara? Melamun dari tadi.”

Dara mendesah, menegakkan tubuhnya. “Ini, loh, Bik. Aku dapat panggilan interview di kota. Tapi… Adit?”

Ema tersenyum tipis, lalu duduk di sampingnya. “Kalau kamu khawatir soal Adit, biar Bibi yang jaga. Bibi juga sendiri di rumah. Lagipula, Adit itu anak baik, kami juga akrab, 'kan?”

Dara menatap Ema dengan ekspresi campuran antara harapan dan ragu. “Beneran, Bik? Nggak keberatan? Adit itu, loh, makannya banyak. Belum lagi PR sekolahnya kadang kayak soal ujian masuk NASA.”

Ema tertawa pelan. “Justru itu, biar Bibi ada kesibukan. Rumah rasanya sepi sejak mereka pergi…”

Dara terdiam. Ia tahu betul luka yang masih tersisa di hati Ema. Wanita itu kehilangan suami dan anaknya dalam kecelakaan tahun lalu.

Dara menarik napas panjang. “Aduh, jadi makin bingung. Mau seneng dapat interview, tapi sedih ninggalin Adit. Campur-campur kayak es teler.”

Ema menepuk bahunya. “Yang penting kamu pikirkan baik-baik. Adit di sini pasti aman.”

Dara melirik ke dalam rumah, melihat Aditya yang tengah fokus pada bukunya. Ia tampak tenang, meski Dara tahu, hatinya juga masih terluka.

Dara bangkit. “Oke, kalau gitu aku harus mulai packing. Adit pasti baik-baik aja sama Bibi, 'kan?”

Ema tersenyum. “Tentu saja.”

Dara menghela napas. “Ya udah, aku siapin semua. Semoga nggak ada lagi plot twist di hidupku dalam waktu dekat.”

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

3. Sesi Wawancara

Di ruang keluarga yang luas dan elegan, Ziel duduk di sofa berhadapan dengan kedua orang tuanya, Zion dan Elin. Papanya duduk tegap dengan ekspresi tenang dan dingin, sementara mamanya menatapnya dengan penuh kelembutan.

Zion membuka pembicaraan dengan nada datar namun penuh ketegasan. "Jelaskan, Ziel. Kenapa kau tiba-tiba memutuskan pertunangan dengan Nika?"

Ziel menghela napas panjang, kedua tangannya bertaut di atas pahanya. "Nika berselingkuh," ucapnya, suaranya terdengar berat.

Elin menutup mulutnya dengan tangan, matanya membulat. "Ziel..." bisiknya, nadanya mengandung kesedihan.

Ziel melanjutkan, matanya menerawang. "Awalnya aku tidak curiga. Dia minta izin untuk liburan ke luar negeri, dan aku bahkan membelikannya paket liburan spesial karena aku terlalu sibuk untuk ikut. Aku pikir itu bisa menggantikanku." Ziel tersenyum kecut. "Ternyata justru aku yang digantikan."

Zion menyimak tanpa mengubah ekspresinya, hanya matanya yang sedikit menyipit. "Bagaimana kau tahu?"

"Om John." Ziel menatap papanya. "Dia kebetulan sedang ada urusan di luar negeri dan melihat Nika bersama seorang pria. Dia meminta seseorang mengawasi Nika dan hasilnya..." Ziel menggertakkan rahangnya, menahan emosi. "Bukti-bukti perselingkuhannya ada di tanganku."

Elin meraih tangan Ziel, menggenggamnya erat. "Kalian sudah cukup lama bersama, pasti ini menyakitkan untukmu. Tapi, mengetahui ia tak setia sekarang, itu lebih baik daripada setelah kalian menikah."

Ziel mengangguk kecil, tak ingin menunjukkan kelemahannya. "Mama benar. Aku dan Nika sudah bersama lima tahun, bertunangan dua tahun. Kupikir aku mengenalnya... ternyata tidak." Suaranya terdengar tenang, tapi sorot matanya menyiratkan luka yang mendalam.

Zion akhirnya berbicara, suaranya tetap dingin namun tegas. "Keputusanmu sudah bulat?"

Ziel menatap ayahnya lurus. "Iya."

Zion mengangguk, tak menunjukkan emosi berlebihan. "Kalau begitu, jangan menoleh ke belakang. Kau sudah tahu seperti apa Nika sebenarnya, jangan sampai goyah dengan dramanya."

Elin mengelus lengan Ziel dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Nak? Kau tak perlu berpura-pura kuat di depan kami."

Ziel menunduk sejenak, lalu tersenyum kecil. "Akan baik-baik saja, Ma."

Zion menatap putranya dalam-dalam. "Pastikan kau benar-benar sudah selesai dengan dia. Jangan biarkan perasaan lamamu menghambat masa depanmu."

Ziel mengangguk. "Aku sudah selesai, Pa."

Elin tersenyum lembut, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Kalau begitu, Mama hanya berharap kau menemukan seseorang yang lebih baik. Yang benar-benar mencintaimu dan tak akan mengkhianatimu."

Ziel tidak langsung menjawab. Ia mencoba tersenyum, tetapi dadanya terasa sesak. Luka itu masih terasa nyata, apalagi saat pikirannya kembali pada malam di luar kota, malam yang tak seharusnya terjadi.

Nika menyusulnya, memohon kesempatan, lalu… Ziel mengepalkan tangan di atas pahanya. Ia tak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi setelahnya. Hanya samar-samar, mobil, kabin yang pengap, dan keheningan yang menyesakkan. Ia mengusap wajahnya, menekan rasa gelisah yang tiba-tiba menyeruak.

Sebelum perselingkuhan itu terbongkar, Ziel benar-benar mencintai Nika. Rasa kecewa dan sakit hati setelah mengetahui pengkhianatannya begitu mendalam, namun anehnya, luka itu tak terlalu menghantuinya.

Yang lebih mengusiknya adalah ingatan sosok gadis yang bersamanya di mobilnya saat itu. Wajahnya buram di ingatan Ziel, tetapi satu hal yang pasti, ia telah melakukan kesalahan besar.

***

Dara melangkah masuk ke lobby perusahaan dengan penuh percaya diri, setidaknya, begitulah yang ingin ia tunjukkan. Dalam hati? Jantungnya udah kayak band rock konser di stadion.

Begitu melihat barisan orang yang duduk menunggu giliran interview, ia langsung meringis. “Waduh, ini antrean interview atau antre sembako gratis, sih?” gumamnya pelan.

Ia mengambil tempat duduk di salah satu sudut, berusaha santai meski kakinya goyang-goyang sendiri. Di sebelahnya, seorang wanita berjas rapi dengan wajah tegang memegang CV seperti kertas wasiat. Dara melirik dan tersenyum.

"Udah, Kak, nggak usah tegang begitu. Paling mentok ditanya, ‘Kenapa Anda ingin bekerja di sini?’ Jawab aja, ‘Karena saya butuh duit.’”

Beberapa orang melirik, lalu ada yang terkekeh.

Seorang pria berkemeja biru yang duduk di seberang menimpali, “Kalau ditanya kelebihan dan kekurangan gimana?”

Dara mengangkat bahu. “Kelebihan saya, bisa meredakan ketegangan di ruangan ini. Kekurangannya? Saya nggak bisa diam.”

Seisi ruangan tertawa kecil, suasana yang tadinya penuh ketegangan mulai mencair.

Seorang wanita lain ikut bicara. “Kalau ditanya, ‘Lima tahun ke depan Anda lihat diri Anda di mana?’”

Dara menaruh dagu di tangan. “Lima tahun ke depan? Hmm… Kalau bisa sih, di Bali, sambil selonjoran di pantai, gajian tiap bulan tanpa kerja. Tapi kayaknya HRD nggak bakal suka jawaban itu.”

Gelak tawa makin pecah. Dara tersenyum puas, senang bisa mengurangi tekanan di ruangan ini. Ia sendiri tahu, interview kerja itu bikin jantung dag-dig-dug. Tapi daripada stres, lebih baik dinikmati saja.

Tiba-tiba, seorang staf HRD muncul dari dalam ruangan, memanggil namanya.

"Dara?"

Dara langsung berdiri, menepuk bajunya. "Siap! Doakan aku, guys! Kalau aku keterima, traktiranku cuma doa. Kalau nggak keterima, kita nangis bareng!"

Tawa orang-orang kembali pecah saat Dara melangkah masuk ke ruang interview dengan senyum optimis.

Di dalam ruangan interview, Dara duduk dengan santai, meski tetap menjaga sopan santun di hadapan pewawancara yang tampak serius menatap CV-nya.

Pewawancara mengernyit. “Mandara... Usia 22 tahun, sudah lulus S2?” Matanya terangkat, menatap Dara dengan pandangan penuh tanya.

Dara tersenyum cerah. “Iya, Pak. Saya masuk SD waktu umur lima tahun.”

Pewawancara menaikkan alis. “Lho, kok bisa?”

Dara mengangguk mantap. “Soalnya saya nggak betah di TK, Pak. Teman-teman saya waktu itu masih struggling (berjuang dalam kesulitan) baca ‘A-I-U-E-O’ sementara saya sudah bisa baca koran. Rasanya kayak hidup di dunia yang salah.”

Pewawancara terdiam sejenak, lalu mengangguk-angguk sambil membaca CV-nya lagi. “Oh... jadi dipercepat, ya?”

“Betul! Kebetulan ibu saya guru TK, bapak saya guru SD, jadi pendidikan saya bisa ‘disubsidi’ lebih awal.”

Pewawancara tersenyum tipis. “Cukup unik, ya. IQ kamu berapa?”

“125, Pak,” jawab Dara tanpa ragu.

Pewawancara mengangguk-angguk lagi. “Lumayan cerdas.”

“Lumayan?” Dara menatapnya dramatis. “Pak, itu angka di atas rata-rata, lho! Saya nggak jenius, sih, tapi cukup buat menghindari jebakan Batman.”

Pewawancara menahan senyum. “Oh ya, ini pertama kali saya mendengar nama ‘Mandara.’ Artinya apa?”

Dara langsung duduk lebih tegap. “Mandara artinya bunga surgawi yang sangat indah, Pak! Dari bahasa Sansekerta.”

Pewawancara tampak terkejut. “Wah, keren juga ya. Dari mana orang tua kamu dapat inspirasi nama ini?”

Dara mengangkat bahu dengan ekspresi jenaka. “Nggak tahu, Pak. Mungkin dulu waktu kasih nama saya, mereka lagi terinspirasi sesuatu yang indah, terus kebayang surga. Atau mereka berharap saya jadi anak baik dan wangi seperti bunga. Tapi nyatanya?” Dara menepuk bahunya sendiri. “Saya cuma manusia biasa, Pak. Bisa wangi kalau pakai parfum, bisa juga kecut kalau belum mandi.”

Pewawancara menahan tawa, menutup CV-nya, lalu menatap Dara dengan ekspresi yang lebih santai. “Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya.”

Dara pura-pura menunduk malu, padahal dalam hati sudah menggerutu. "Laki-laki memang jago merayu. Untung saja kuat iman. Eh, kuat mental maksudnya. Nggak mempan sama rayuan gombal."

“Saya rasa, suasana kantor bakal lebih hidup kalau kamu bekerja di sini,” lanjut pewawancara.

Dara menangkupkan tangannya penuh harap. “Pak, ini kode diterima, bukan? Kalau iya, saya siap langsung nyari kos dekat kantor biar nggak kesiangan.”

Pewawancara tertawa kecil. “Sabar dulu. Masih ada tahapan berikutnya.”

Dara mengangguk mantap. “Siap, Pak! Semoga saya bisa lolos ke babak grand final.”

Pewawancara menggeleng pelan, masih tersenyum. “Kamu ini unik sekali.”

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!