NovelToon NovelToon

Sketsa Baby Bee

Kita

Aku menatap laki-laki di depanku dengan kepala miring.

Dia sedang bermain bola basket di halaman rumahku, bermain sendiri memantulkan bola dan berusaha memasukkan bola basket kedalam ring yang tinggi.

Aku mendengus dan mengambil bola yang gagal dia masukkan kedalam ring yang khusus orang dewasa, lalu berjalan mendekatinya.

"Umur berapa?" Tanyaku.

Anak laki-laki itu menoleh padaku, "Tujuh tahun" jawabnya, "sebentar lagi delapan tahun. Kamu anak Om Abra yang kembar itu ya?, aku tadi ketemu kembaran kamu. Aku juga kembar, kayak kalian."

Bugh ...

Aku memanyul-mantulkan bola basket di tanganku sembari berjalan kearah ring basket khusus ana-anak, tidak begitu perduli dengan apa yang dia bicarakan.

"Ring anak seumuran kita di sana" ucapku sembari melempar bola basket di tanganku kearah ring, "ring yang tadi kamu coba masukin bola basket, itu untuk anak berusia dua belas tahun keatas."

"Wah ... Kamu perempuan bisa main basket?."

Dia berseru sembari berlari mendekat padaku, begitu dekat hingga aku melangkah mundur kebelakang membuat jarak di antara kita.

Aku hanya menganggukkan kepala.

"Umur berapa?."

"Empat, sebentar lagi lima."

"Masih kecil tapi udah pinter basket."

"Kam ..."

Puk ... Puk ... Puk ...

Tenggorokanku tercekat saat akan mengomelinya karna mengataiku kecil.

Dia menepukan tangannya di puncak kepalaku lalu mengelus puncak kepalaku. Elusan lembut itu membuatku tergagap, bahkan tatapan mata berbinarnya berhasil membuatku benar-benar bungkam.

Aku suka matanya yang berbinar dan senyumnya itu. Aku juga suka dia menepuk-nepuk puncak kepalaku yang membuatku tenang, seperti Ayah.

"Kamu juga masih kecil" cicitku.

"Tapi aku tiga tahun lebih tua darimu, aku sudah SD, kamu kan baru TK."

Tak ...

Kutepis tangannya kasar, terlihat jelas jika dia terkejut melihatnya.

"Memangnya, kecil tidaknya harus dilihat dari sekolah apa dulu?."

Mata dia melirik kekanan dan kekiri lalu tersenyum lebar padaku, "iya, selain umur, sekolah juga."

Aku mendengus dan melipat tanganku di depan dada, menatapnya dengan sengit.

Dia masih dengan senyum lebarnya berdiri di depanku, semakin membuatku kesal dan jengkel saja, tapi aku suka senyumnya.

"Aku sudah besar!" Tegasku.

"Masih kecil, kan masih TK. Adikku juga masih kecil, Sai masih TK."

"Jadi kalo aku sama kayak kamu, aku udah besar gitu?."

"Hah?."

"Kalo aku sekolah, kelasku sama kayak kamu kita pacaran ya."

"Loh kok pacaran?."

Aku tersenyum lebar, "kan kalau sama kayak kamu berarti udah besar. Kamu janji ya, kalo kita sama, kita pacaran."

"Sama gimana?" Tanyanya tak mengerti.

"Ya sama ... Kalau kelas aku bisa samain kamu, kita pacaran."

"Gak bisa, aku sudah SD kelas dua, sebentar lagi kelas tiga. Kamu masih TK, kita masih anak-anak gak boleh pacaran."

"Boleh!" Tegasku.

"Kita gak boleh pacaran masih anak-anak."

"Tapi udah anak besar gak kecil lagi, pokoknya kalau kelas kita sama, kamu jadi pacar aku ..." aku mulai merengek menghentak-hentakkan kakiku.

"Jangan nangis."

Anak laki-laki itu kembali mengelus rambutku menenangkanku dengan wajah paniknya, ternyata wajah paniknya lucu juga.

Perlahan aku mulai terisak, melihat wajah paniknya yang tampan itu, menjadi kebahagiaan tersendiri padaku.

Jangan katakan aku anak kecil cengeng yang gampang nangis karna perdebatan kecil kami, aku hanya menyukai wajah paniknya yang tampan itu.

"Sagara adiknya kenapa?."

Sagara ...

Nama dia Sagara.

Dia, Sagara ... Berhenti mengelus puncak kelapaku lalu merangkulku, perlahan aku tersenyum karna senang mendapat perlakuan begitu darinya.

Mungkin karna dia melihat senyumku, sehingga dia ikut tersenyum dan menatap pada Bunda dan seorang wanita seumuran Bunda yang berjalan kearah kita.

^-^

Apa yang kamu lakukan saat pertama kali pengumuman kelulusan?, mengabarkannya pada orang tua lalu merayakannya bersama teman-teman tentu saja.

Tetapi lain halnya dengan ku, setelah pengumunan kelulusan aku berlari kencang kearah mobil yang menjemputku dan kembaranku. Aku meminta supir untuk segera mengantarkanku kesuatu tempat lebih dulu, nanti kita baru menjemput kembaranku kembali kesekolah kami.

Aku tidak sabar ingin memberi tau Dia ... Memberi tahu dia bahwa aku akan segera menyamainya.

Kita sebentar lagi akan duduk di tingkat sekolah yang sama, aku berhasil membuat kelas kita sama.

Aku ingin mengatakan kalimat itu padanya, ah ... Aku merindukannya. Ini sudah tujuh tahun dari pertemuan pertama kita dan ... empat bulan setelah pertemuan pertama kita itu, kita tidak lagi bertemu untuk mengobrol atau sekedar mengatakan hai.

Senyumku semakin lembar kala melihat dia berjalan dengan senyum lebarnya. Jantungku berdetak kencang, ah ... Aku gugup, aku harus mengatakan apa dulu padanya?, tidak mungkin aku mengatakan kita sebentar lagi akan duduk di tingkat sekolah yang sama, aku berhasil membuat kelas kita sama, masih ingat janji kita gak?. Sangat tidak mungkin aku langsung berbicara pada intinya.

Bagaimana jika dia tidak mengingatnya, dan... bagaimana ... jika dia tidak lagi mengingatku.

Perasaan ragu menyusup begitu saja, dan keinginanku untuk menemuinya bukan lagi sebuah keraguan kala melihat dia merangkul gadis dan tertawa bersama.

Senyum di bibirku menghilang, bukan ... bukan karna cemburu melihatnya dengan gadis lain. Aku tahu itu adalah kembarannya, namun ... ada sesuatu yang membuatku memilih untuk mengurungkan niatku membuka pintu mobil.

"Non ..."

"Kita kembali kesekolah Pak" potongku.

Aku duduk bersandar pada sandaran kursi, menatap pada dia yang masih tertawa bahagia dengan kembarannya.

Semua memori masa lalu, tepatnya empat bulan setelah pertemuan pertama kita berkelebat dalam benakku, memuatku memejamkan mata mencoba untuk pasrah.

"Sudah bilang?" Itu suara saudara kembarku.

Karna sepanjang perjalanan aku hanya ngelamun saja, aku sampai tidak sadar jika kita sudah sampai di sekolah untuk menjemput kembaranku.

Ku gelengkan kepala pelan, "aku gak berani bilang twin."

"Kenapa bisa?, kamu seharusnya kan bangga denga prestasi kita" ucapnya, "Kamu sebenarnya gak berani bilang atau masih merasa bersalah?."

Aku terdiam sejenak menimbang-nimbang dan berfikir lebih condong kemana sebenarnya perasaanku tadi.

"Ini bukan salah kamu, bukan salah kita juga."

Aku tersenyum lebar dan menoleh kesamping menatap kembaranku yang juga menatapku.

"Mungkin kita tidak ditakdirkan bersama" ucaku sembari terus mempertahankan senyum lebarku. "Mungkin aku hanya ditakdirkan sebagai stalker dia selamanya."

Kembaranku menghela nafas dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya, "jangan nunjukin senyum fake kamu di depanku, Twin. Itu membuatku kesal."

Aku terkekeh kecil mendengar gerutuannya.

"Seperti biasa bukan, jika sudah melihatnya kamu akan membuat sketsa wajah dia sebelum benar-benar melukisnya di buku gambarmu khusus dia."

Aku terkekeh kecil, mengambil buku dan pensil yang kembaranku julurkan padaku dan mulai membuat sketsa dia.

Dia ...

Dia yang aku cintai dalam diam.

Terima kasih sudah membuatku berkembang sejauh ini, meski kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan untuk membuatku menjadi seperti sekarang.

^-^

.

Hai ...

Ini buku ke 7 author 😇

Bisa di baca terpisah dari buku-buku sebelumnya ya ... Meski semua karakter author ambil dari cerita pertama 🤭

Mohon dukungannya ⭐️🔖💬👍

Setiap selesai baca, tolong tinggalkan jejak demi memberi semangat dan mendukung karya author 🤩 terima kasih sudah mampir 🥰

Lop you😘

Unik_Muaaa💋

Sketsa

Kamarku penuh dengan sketsa, poster dan action figur Gaara dan Sukaku, salah satu tokoh anime di Naruto Jepang.

Jangan tanya kenapa, karna semua pasti karna nama dia.

Goresan garis-gari dari pencil yang aku pegang mulai menggores kertas putih bersih di depanku. Dengan teliti aku mulai menggambar garis sekunder lalu mulai mebalkan garis-garis sketsa yang sudah benar.

Brak ...

Belum juga selesai gambaranku, aku mendengar suara sesuatu yang jatuh cukup nyaring hingga aku terperanjat dan buru-buru berlari kearah balkon kamarku. Ini pasti ulah dari pemilik kamar sebelahku, Chaka. Saudara kembarku yang hobi masuk kekamarku dari balkon dari pada lewat pintu kamar.

"TWIN!!! APA YANG JATUH!."

Itu teriakan melengking Bunda dari bawah.

"CHAKA BUN!!!" Aku balas berteriak.

"KESANDUNG BUN!!!" Chaka ikut berteriak.

Aku tertawa lepas, melihat posisi Chaka yang terjatuh terjerembab di lantai balkon.

Chaka berdiri, menatapku dengan tatapan kesalnya. aku malah semakin tertawa dan bertepuk tangan heboh.

"Twin ..." geramnya.

"Udah tau sekarang musim hujan, licin. Bukannya lewat pintu yang bener malah lewat balkon, otak pintarmu cuma berfungsi kalo mikir pelajaran aja ya?."

Chaka berdecak kesal dan berjalan begitu saja memasuki kamarku.

Teringat dengan buku sketsaku yang belum selesai, buru-buru aku berlari kearah meja belajar dan menutup buku sketsaku sebelum Chaka melihatnya.

"Udah tahu lo ngegambar Dia kan?, kalo enggak Gaara si Kasekage atau Sukaku."

Mataku memelototinya, kali ini giliranku yang kesal dengannya.

Chaka mengetahui apa yang aku lakukan bukan hanya karna kami kembar, tapi karna kebiasaanku dan beberapa poster yang terpasang di kamarku adalah karyaku sendiri.

Tok ...

Tok ...

Tok ...

Pintu kamarku tiba-tiba diketuk sebelum terbuka lebar.

"Hai kids" sapa Ayah sembari melangkah masuk diikuti Bunda dan Abangku, Abang Ar.

Aku menoleh pada Chaka, yang ternyata juga menoleh padaku dan mengangkat kedua bahunya paham kenapa aku menatapnya.

Ayah dan Bunda sudah duduk di kasurku, sehingga aku menarik tangan Chaka untuk ikut naik keatas kasurku dan duduk bersama mereka berdua, sedangkan Abang Ar berdiri tidak jauh dari Bunda.

"Ayah mau bicara sesuatu?" Tanyaku.

Ayah mengangguk dan mengusap rambutku, "Bukan hanya Ayah, Bunda dan Abang juga" jawab Ayah.

"Mau kasih hadiah lagi karna udah lulus Junior high School?" Tanyaku dnegan antusias.

"Hadiah terus" tegur Bang Ar sembari duduk di samping Chaka.

"Lalu?."

Bagaimana aku tidak penasaran, tidak biasanya mereka bertiga masuk bersamaan kekamar kami. Jika ada yang mau dibicarakan biasanya di ruang keluarga, kamar Ayah dan Bunda atau jika penting seperti kami melanggar perintah Ayah dan Bunda, pasti langsung dipanggil keruang kerja Ayah.

Bunda dan Ayah memang tidak terlihat keras dan diktator, tetapi mereka begitu tegas dan penuh disiplin dalam mendidik kami.

Aku duduk dengan tegap, menatap Ayah dan Bunda bergantian.

"Seperti dua tahun lalu, Bunda dan Ayah mau mempertanyakan apa keputusan kalian setelah ini?" Tanya Bunda, "tetap mau memilih kelas akselerasi atau bagaimana?."

Chaka merik padaku, begitupun dengan aku.

"Jika kami minta kalian jangan ikut kelas aksel bagaimana?" Kali ini Ayah yang bertanya.

"Kenapa?" Tanya Chaka sembari mengerutkan kening.

"Biar kalian bisa menikmati hidupnya masa-masa sekolah" jawab Bang Ar.

"Tap ..."

"Bunda dan Ayah sudah bangga kok dengan prestasi kalian" potong Bang Ar, "sekarang tinggal nikmati masa sekolah dan ikut bebagai lomba, entah itu akademik atau non akademik."

"Kan nanggung Bang ..."

Chaka mulai memprotes, sehingga terjadilah perdebatan kecil antara Bang Ar dan Chaka.

Aku hanya diam mendengarkan perdebatan mereka, Bang Ar juga pernah ikut Akselerasi dan Abang Ar lulus diusia lima belas tahun. Saat taman kanak-kanak hanya satu tahun, lalu SD lima tahun, SMP dua tahun dan saat SMA Bang Ar memilih untuk tidak ikut kelas akselerasi. Jadi semua penjelasan Bang Ar yang pastinya dari pengalam hidupnya dapat aku pahami.

"Aku reguler aja" ucapku membuat Chaka dan Bang Ar menghentikan perdebatan mereka.

Semua menoleh kearahku, sehingga aku menyengir dengan senyum lebarku.

"Aku kan cuma mau ikutan Bang Ar yang bisa loncat-loncat kelas, jadi tujuanku selesai meniru Bang Ar. Tapi kalo Chaka mau ikut kelas Aksel silahkan, Bi mau ngerasain giman tidur di kelas karna bosan."

"Alasan yang terakhir gak masuk akal Bi."

Aku hanya mengangkat bahu dengan wajah tidak perduli.

Ayah tertawa kecil, menarikku dalam dekapannya dan menghujani puncak kepalaku dengan ciuman.

Alasan sebenarnya, karna tujuanku ingin sama dengannya sudah terwujud.

*-*

Apa enaknya masuk kelas reguler?, tidak ada ... yang ada aku mengantuk, dan begitupun dengan Chaka dan Daniel yang yang lebih parah dariku, mereka berdua tidur di kelas. Sehingga sempat dihukum berdiri bahkan keluar kelas untuk mencuci muka hingga sekarang belum balik juga.

"Bilqis!."

Aku yang semula menggambar sesuatu menghentikan gerakanku dan mendongak menatap kedepan kelas, pada guru yang baru saja memanggil namaku.

"Kamu mulai tadi kayaknya gak dengerin juga" ucapnya dengan senyum lebar namun terlihat mencurigakan, dan kalimat yang beliau katakan adalah kalimat satir. "Kedepan silahkan selesaikan soal yang tidak bisa Yardan selesaikan."

Aku melirik sejenak pada siswa yang berdiri di depan kelas sembari ikut menatapku, lalu beralih pada soal yang guru tulis di papan.

tanganku bergerak, mengetuk-ngetuk meja dengan cepat, menghitung jawaban dari soal yang guruku berikan, aku malas untuk maju karna semua pasti akan memperhatikanku.

"BILQIS!, APA KA ..."

"Nilai b sama dengan empat Bu" jawabku memotong kalimat teriakannya.

Semua menatap kearahku, berbagai bisikan aku dengar namun aku tidak perduli dengan apa yang dibicarakan mereka.

Guru tadi malah tersenyum lebar padaku sehingga aku kembali memutuskan untuk menyelesaikan gambarku di buku sketsaku.

"Benar!" Serunya terdengar bahagia, "ayo Yardan kerjakan gimana caranya, jawabannya sudah dijawab Bilqis barusan."

Peroses pembelajaran terus berlanjut, begitupun dengan aku yang melanjutkan menyelesaikan gambarku di buku sketsaku.

Tepat saat bell istirahat dan guru keluar.

Brak ...

Aku tersentak kaget karna bunyi gebrakan itu begitu tiba-tiba, cukup nyaring, dan yang digeprak adalah mejaku.

Kututup buku sketsaku dan mengangkat kepala ingin tahu siapa yang sudah mengangguku dengan menggeprak mejaku.

Seorang siswa dengan nama Gladis yang tertempel di dadanya menatapku dengan sengit.

"Lo berani mempermalukan Yardan?, kamu gak tau dia siapa?."

Gladis di depanku itu berbicara dengan nyolot, terlihat begitu angkuh dengan gaya tangannya yang berkacak pinggang.

"Enggak" jawabku singkat.

"Dia itu anak Vincent Fernandes, bernai-beraninya lo buat dia malu. Udah gak dengerin guru ngajar, sibuk nulis-nulis, emangnya lo nulis apa?, jangan sok deh."

Sret ...

Belum sempat aku memegang buku sketsaku Gladis sudah menarik buku sketsaku.

"Kembalikan" pintaku mencoba setenang mungkin.

"Ih ... Lo wibu?!" Serunya lalu tertawa ngakak, "tapi ini sepertinya cowok ya?, ini siapa?, pacar lo?, ih ... udah pacaran aja lo, hahahaa ...."

Aku berdiri hendak mengambil buku sketsaku di tangannya tetapi Gladis menghindar dan berlari sembari melempar-lempar buku dengan siswa dan siswi yang lain.

Sudah tidak bisa lagi menahan emosi, aku berlari kencang, menendang kursi kearahnya hingga Gladis terdorong keloker lalu menjadikan kursi itu pijakan agar aku bisa meloncat dan meraih buku sketsaku sebelum jatuh ketangan anak lain.

Aku mendengus kesal, melihat ada beberapa ketas yang terlipat.

Kubalikkan badanku dan menatap nyalang pada seisi kelas.

"Kalian salah sasaran, gue bukan siswi yang gampang dibuli" desisku penuh tekanan.

"Dasar cewek so ..."

Tak ...

Aku menepis tangan Gladis dan memutar lengannya lalu menguncinya kebelakang.

"Ahhh!!!" Gladis beteriak melengking.

"Aku bisa saja mematahkan tanganmu" ucapku sebelum mendorongnya begitu saja.

Lebih baik aku mencari Chaka dan Daniel, gara-gara mereka meninggalkanku aku jadi terlibat perselisihan yang membosankan ini.

"Tunggu."

Aku menghentikan langkah tepat sebelum keluar dari kelas, seorang siswa berdiri di depanku dan menjulurkan kertas yang aku kenali itu adalah hasil gambarku.

"Sepertinya ini punya lo, salam kenal gue Yardan."

Kuambil kertas di tangannya dan menoleh pada Gladis sebelum melangkah dengan lebar dan ...

Brak ...

Kesal bukan main, aku layangkan buku sketsaku pada pipinya.

*-*

Sagara & Bilqis

Ini sudah dua tahun enam bulan setelah aku mengurungkan niatku untuk mengatakannya jika kami sama satu angkatan.

Dan kali ini aku kembali ingin mengatakannya, tepat diacara pertandingan antara sekolahnya dan sekolahku yang diadakan disekolahku, sekolah Alexander.

Anak laki-laki itu sekarang di sana, bermain sepak bola dengan ban kapten di lengannya.

Dia kapten sepak bola sekolahnya, tetapi dia juga bisa bermain basket. Jika bertanya aku lebih suka dia bermain yang mana, tentu saja basket. Karna itu olah raga yang mepertemukan kita, dan bola itu tetap aku simpan samapai sekarang.

"Sagara!!!, kalo menang gue traktir makan siang!!!."

Sagara ...

Aku menoleh kearah suara yang meneriaki namanya, wajahku yang sebelumnya kesal karna ada yang memanggil dia dengan nama tengahnya, berubah tersenyum lebar setelah tahu siapa yang memanggilnya.

Sagara ...

Hanya anggota keluarganya yang memanggilnya Sagara atau Gara.

Dan yang memanggilnya Sagara kali ini adalah kembarannya, dia memiliki saudara kembar perempuan, sama sepertiku yang memiliki saudara kembar laki-laki.

Aku kembali menatap kearahnya, kali ini dia tersenyum lebar penuh bahagia. Dia berlari kencang kearahku, namun tatapan matanya tidak padaku, pada saudara kembarnya yang duduk tepat di depanku. Namun itu sudah membuatku bahagia dan salah tingkah karenanya, sehingga aku berdiri dan menarik topiku turun agar semakin menyembunyikan wajahku sebelum akhirnya melangkah pergi.

Mana bisa tahan aku di sana begitu dekat dengannya, karna selama tujuh tahun ini ... Tepatnya empat bulan setelah pertemuan pertama kami ... Kita tidak ada komunikasi atau bertemu satu kali pun.

Beribu-ribu kali aku menahan diri agar tidak menemuinya dan berbicara dengannya. Hari ini ... Aku berniat untuk menemuinya setelah pertandingan, namun ... Saat melihat dia ... Keberanianku runtuh ... Padahal aku hanya ingin mengatakan satu baris kalimat saja.

Kita sekarang sama.

Ku hentikan langkahku lalu berbalik badan, kembali menatap dirinya yang nyata, untuk terakhir kali hari ini.

"Selamat sudah menang" ucapku liri.

Kembali kulangkahkan kakiku keluar dari tribun, meski masih ada yang mengganjal di dadaku saat ini.

*-*

"Bilqis mah Queen Bee."

"Iya, secantik-cantiknya cewek disekolah ini, kebanting ama aura mendominasi dia."

"Meski cantiknya gak kayak Lisa Black*ink, tetep aja aura dia beda bro ...."

"Cantik?."

"Iya ...."

"Old money?."

"Ya iya lah ... Ganendra ...."

"Pintar?."

"Pasti ..."

"Dua kali ikut akselerasi!."

"Cocok banget jadi Queen Bee sekolah."

"Cocok sih cocok, tapi kalo dia denger, ngamuk."

Aku menatap kumpulan anak-anak itu dengan tatapan malas.

Padahal aku selalu menegaskan I'm not Queen Bee, It's me Bilqis. Jangan pernah melebeliku nama keluargaku.

Aku tidak suka jika diagung-agungkan, tidak suka mereka menyebutku Queen Bee, meski aku tidak menyangkal jika ku memang pintar Brain, Beauty ok lah ... Tapi jika soal Behavior!, Big NO ... Aku tidak sesosial dan seperduli itu dnegan orang sekitar. Aku cenderung cuek, hingga beberapa orang siswi mengataiku dnegan sombong.

Terlebih aku tidak suka jika nama Ganendra dibawa-bawa, semua gara-gara Yardan. Semua berawal acara ulan tahun perusahaan Ganendra, Chaka yang menjadi pewaris perusahaan mengikuti Ayah berkenalan dengan para kolega dan tidak sengaja bertemu dnegan Yardan.

Tap ...

Ada yang menepuk pundakku sehingga aku menoleh kesamping, ternyata Chaka kembaranku dan Daniel.

Daniel anak dari kakak angkatku dan suaminya, Gea dan Bang Je. Umur Daniel satu tahun diatas kami, tapi saat SMP kami bertiga ikut kelas akselerasi secara bersamaan, jadi sampai sekarang kemana-mana kami selalu bertiga.

"Kekantin yuk, laper" ajak Daniel.

Aku mengangguk dan berjalan lebih dulu.

Kami bertiga melewati segelombolan anak tadi, yang tiba-tiba berhenti membicarakanku, pasti mereka sudah melihat kami.

Kuhentikan langkahku sejenak tidak jauh dari mereka, sehingga Daniel dan Chaka ikut berhenti. Sempat kulihat Chaka menaikkan sebelah alisnya menatapku penuh tanya.

"It's me, Bilqis" ucapku dengan senyum lebar, "sekali gue dengar lo nyebut gue Queen Bee, gue tabok kalian" desisku tampa senyum lagi.

"Jangan perdulikan mereka."

Chaka merangkul bahuku dan menyeretku untuk pegi dari sana.

Moodku sedang tidak bagus hari ini, dan mereka muncul secara bergerombolan diwaktu yang salah. Sebenarnya menyesal berbicara seperti barusan, tetapi aku sudah terlanjur kesal pada mereka.

Aku duduk terlebih dahulu dibangku kosong kantin, Daniel yang memesan makanan untuk kita mulai bergabung denganku dan Chaka.

"Gak biasanya lo banyak omong" tegur Chaka.

Itu bukan pertanyaan namun teguran, meski kalimat yang diucapkan barusan dnegan nada datar, aku yang sudha mengenalnya sejak didalam kandungan Bunda tentu tahu.

Kuletakkan kepalaku dengan malas diatas meja, lalu menatap pada kembaranku itu.

"You know why, twin" ucapku malas.

"Tapi ya gak segitunya Bi."

"Siapa suruh mereka bebal?."

"Udah-udah jangan berdebat" lerai Daniel sembari menepuk-nepuk punggung tanganku.

"Ah ... Nyesel deh gak ikut akselerasi" keluhku.

"Telat lo nyeselnya" Chaka mulai mengomel, "udah bilang dari awal masuk SMA, kita sekalian aja ikut akselerasi, malah gak mau. Otak kita udah kebiasaan berputar cepat, udah biasa padat ja ..."

"Ih ... Aka jangan ngomel deh" keluhku, "lagi pula siapa suruh ikutan gue."

"Ya kali ninggalin lo sendirian."

"Kita sesayang ita sama lo" ucap Daniel, "lo yang maksa kita ikutan akselerasi ya ayo, kalo lo bilang enggak ya udah enggak."

"Tapi kan gue gak maksa Niel."

"Emang" ucap Daniel sembari tersenyum, "tapi mana tega gue ninggalin kalian para bocil."

"Niel!" Tegur Chaka.

"Si*lan lo, kita cuma beda setahun doang" makiku kesal.

"Bi, language please!."

Bibirku langsung manyun karna dapat teguran Chaka dan menatap Daniel sinis.

Menunggu pesanan kami yang tak kunjung datang, kukeluarkan ponselku dan memasang ear bug ditelinga.

Salah satu kebahagiaanku tidak ikut akselerasi adalah ini, bisa dengan leluasa kembali pada dunia favoritku, bermain dengan coding yang sempat aku tinggalkan.

Tit ...

Suara peringatan dari ponselku berdering nyaring, sehingga dnegan cepat kulepas ear bug yang baru saja aku pakai.

B3T4 Bi keluar!.

Aku meringis melihat tulisan merah yang muncul dilayar ponselku.

Beberapa detik kemudian wajah seseorang yang aku kenali muncul sehingga aku menatap Daniel dan Chaka meminta pertolongan sembari mengambil salah satu ear bug dan memasang ditelingaku lagi.

"Hai Alpha" sapaku, "Abangku sayang ... it's me Bilqis" dengan cengiran tentu saja.

"Udah tau!, keluar sekarang sebelum Abang matikan ponselmu."

Buru-buru aku mengangguk cepat dan mulai keluar dari salah satu perangkat yang aku retes barusan.

Terdengar Chaka dan Daniel terkekeh melihatku yang terlihat panik saat ini.

"Emangnya lo cari ulah sama siapa kali ini?, kenapa sampek kepergok Abang Ar begitu?" Tanya Chaka sembari terkekeh.

"Sakura" ucapku dengan lesu.

Kuletakkan ponselku diatas meja setelah berhasil keluar dari perangkat Sakura.

"Emangnya Abang mau ngapain Sakura?" Tanya Daniel.

Aku mengangkat kedua bahuku acuh, meski aneh namun aku tidak perduli. Lagi pula aku meretes Sakura untuk mencari informasi tentang Dia, dia ... Dia orang yang aku sukai sejak dulu.

Ting ...

Ada pesan masuk diponselku, dan saat kubuka ternyata pesan dari Abang Ar.

Ke sekolah Kalingga, jemput Elio bawa ke rumah Danuarta, kita BBQ an disana.

Aku menghela nafas membaca pesan Abang Ar dan menjulurkan ponselku pada Chaka sehingga mereka berdua membacanya juga.

Selang beberapa menit ada pesan masuk kedalam ponsel Daniel, dan isinya hampir sama dengan apa hang Abangku kirim barusan, menjemput Elio.

^-^

.

Kenapa author meminta Komen atau like dari para Reader?, karna ...

1. Agar ada feedback dan author tahu mana yang perlu diperbaiki atau yang tidak tepat penempatannya.

2. Untuk menjadi penyemangat author.

3. Untuk karya agar semakin melambung.

Jadi mohon pengertiannya 😇 untuk selalu memberi like👍 atau komen 💬

Terimakasih sudah mampir 🙏

Lope you 😘

Unik_Muaaa 💋

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!