Hai gais kembali lagi dengan cerita saya 👋. Kali ini berada di cerita yang tak kalah serunya dengan novel saya yang satu lagi NIKAH DADAKAN DENGAN DOSEN BRENGSEK.
JIKA ADA KESALAHAN KATA ATAU TANDA BACA, TOLONG KRITIK DAN SARANYA YAH🙏🙏
WARNING !!
ADA SEDIKIT ADEGAN DEWASA JADI BIJAKLAH DALAM MEMBACA🙏
HAPPY READING GAIS👋👋
***
**
*
"Semalam, 200 juta!"
Suara itu bergema, menegaskan angka yang tidak kecil.
Dengan penuh ketegasan, wanita itu menetapkan jumlah yang harus dibayarkan pria tersebut sebagai harga atas waktu yang telah dihabiskan putrinya bersamanya semalam.
Tekanan ekonomi yang menghimpit membuat Bu Nana, seorang janda dengan dua anak, kehilangan akal hingga rela menjadikan salah satu putrinya sebagai alat tukar demi mendapatkan uang.
"Tidak masalah. Tapi, aku baru akan menyerahkan uangnya setelah memastikan sendiri bahwa gadis itu masih suci!!
Pria itu adalah seorang lelaki kaya yang sudah cukup tua. Wajahnya menyeramkan, tubuhnya gendut, dan kepalanya dipenuhi uban. Bu Nana dapat menebak bahwa usianya jauh di atas dirinya.
"Tidak bisa begitu! Bagaimana kalau Anda menipu saya dan pergi begitu saja setelah mendapatkan apa yang Anda mau?"
Meskipun pria di hadapannya tampak sangat berkuasa dan memiliki banyak uang, Bu Nana tetap harus waspada.
"Perlu kamu tahu, 200 juta itu tidak ada artinya bagiku. Jangankan 200 juta, satu miliar pun bisa kuberikan. Tapi kalau ternyata kamu berbohong dan gadis itu tidak seperti yang aku inginkan, jangan harap aku akan menyerahkan satu sen pun!"
Mata Bu Nana membulat sempurna mendengar angka fantastis itu. Satu miliar? Bahkan dalam mimpi pun, ia tak pernah membayangkan memiliki uang sebanyak itu.
"Ma-maafkan saya, Tuan. Saya gak bermaksud meremehkan Anda. Kalau begitu baik, saya setuju!"
Sebenarnya Bu Nana memiliki dua anak gadis, yaitu Ajela dan Riana. Namun, ia memilih menjual Ajela meskipun Riana memiliki wajah yang jauh lebih cantik.
Alasan utamanya karena Ajela adalah anak tiri. Selain itu, Ajela tidak memiliki masa depan cerah. Ia hanya bekerja di sebuah katering milik tetangga mereka dengan gaji tak seberapa. Sedangkan Riana saat ini sedang merintis karier di sebuah perusahaan besar dengan posisi sebagai sekretaris dan baru satu bulan bekerja.
Dengan semua pertimbangan itu, tentu saja Bu Nana tidak akan rela mengorbankan Riana yang merupakan anak kandungnya sendiri. Apalagi kepada seorang pria tua bangka seperti Tuan Al.
Sejenak perhatian lelaki tua itu tertuju pada seorang gadis muda kira-kira berusia 20 tahunan yang tengah terisak-isak di sudut ruangan. Terlihat sangat ketakutan, beberapa kali mencoba memberontak untuk melarikan diri, namun tenaganya kalah dari dua pengawal yang sedang memegangi lengannya.
"Bawa gadis itu ke mobil!" perintahnya kepada dua orang pengawal.
"Baik, Bos!"
Lelaki itu berjalan lebih dulu meninggalkan tempat itu. Sementara dua pengawalnya hendak menyeret sang gadis keluar. Namun, ia kembali memberontak dan menangis sejadi-jadinya. Memohon belas kasih kepada ibu tirinya yang hanya menatap tanpa rasa berdosa.
"Bu, tolong jangan seperti ini, kita bisa cari uang dengan cara lain tanpa harus merendahkan harga diri!"
"Sudah diam, Ajela! Hanya ini satu-satunya cara untuk membayar semua hutang-hutang kita! Sekarang kamu harus ikut dengan tuan itu dan temani dia dengan baik malam ini!"
"Ibu benar, Ajela. Lagi pula hanya malam ini saja kamu menemani orang tadi, gak seterusnya!" tambah Riana, yang sedang berdiri di samping ibunya.
Ajela menggeleng dengan cepat sambil memberontak dari cengkeraman dua pengawal. "Aku akan bekerja lebih keras untuk melunasi hutang kita, Bu! Tapi tolong jangan jual aku! Aku gak mau!"
"Kerja? Memang berapa gaji kamu? Sadar, Ajela, kamu bekerja seumur hidup pun gak akan bisa melunasi hutang-hutang saya dalam membesarkan kamu!"
Bola mata Ajela melelehkan cairan bening. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ibu dan kakak tirinya akan tega melakukan semua ini.
"Sudahlah, Ajela. Ayo cepat ikut dengan orang itu atau dia akan marah!"
Dua orang pengawal itu segera menarik lengan Ajela keluar rumah. Di depan sudah terparkir dua mobil. Lelaki itu naik ke salah satu mobil, sedangkan Ajela digiring ke mobil satunya. Ajela bahkan tak tahu ke mana orang-orang ini akan membawanya.
Tak berselang lama mereka telah tiba di sebuah gedung apartemen mewah. Mobil berhenti di basement yang merupakan tempat khusus parkir. Ajela pun ditarik paksa keluar dari mobil menuju sebuah lift khusus yang akan membawa mereka menuju lantai teratas gedung mewah itu.
Ajela terus memberontak, menjerit dan berteriak meminta tolong. Namun, tak ada seorang pun yang mendengarnya.
"Ayo masuk dan lakukan tugasmu dengan sebaik-baiknya! Bos kami akan segera datang!" ucap sang pengawal.
Ajela masih berusaha memohon belas kasih dengan mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Tolong lepaskan saya, Tuan. Saya bukan perempuan seperti itu. Ibu tiri saya yang sudah menjual saya seenaknya."
"Itu bukan urusan kami. Ingat, malam ini kamu sudah menjadi milik bos kamu karena dia sudah membayar kamu. Jadi jangan berani melawan. Bos kami bisa saja melenyapkan kamu dengan mudah kalau membuatnya marah!"
Ajela didorong dengan kasar memasuki kamar luas nan mewah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas itu. Tubuhnya nyaris jatuh membentur lantai. Beruntung ia masih memiliki keseimbangan yang baik dan langsung berpegang pada meja di sudut ruangan.
"Selamat datang, Bos!" ucap salah satu pengawal kepada seseorang yang baru datang.
"Hemm."
"Ini gadis yang akan menemani Anda malam ini."
Pria itu hanya menatap seorang gadis yang sedang berdiri membelakanginya.
"Anda butuh sesuatu yang lain ?" tanya sang pengawal.
"Gak. Kalian boleh pergi. Tapi ingat, jaga rahasia!"
"Baik, Bos."
Pintu akhirnya tertutup dan menyisakan mereka berdua. Lelaki yang baru saja datang itu kembali melirik gadis di hadapannya dari ujung kaki ke ujung kepala.
Tubuhnya mungil, rambutnya panjang, hitam, dan berkilau.
"Hey, kamu!"
Ajela tersentak. Kedua alisnya saling bertaut. Entah mengapa ia merasa suara lelaki yang sekarang agak berubah. Yang menjemputnya tadi terdengar serak dan berat, dan yang sekarang terdengar sedikit bening dan lembut. Penasaran, namun Ajela sama sekali tak berani menoleh.
"Tolong jangan dekati saya! Sa-ya takut!"
"Sana mandi dulu dan bersihkan tubuhmu sebersih mungkin. Aku gak mau kamu dalam keadaan kotor!" Laki-laki itu membuka jas dan melemparkan tepat di sebelah Ajela.
Wanita itu hanya diam di tempatnya berdiri. Memeluk diri sendiri.
"Tunggu apa lagi? Cepat!" bentaknya keras dan membuat Ajela tersentak. "Potong kukumu juga. Aku gak mau kamu mencakarku!"
Ajela tak kuasa melawan sebab hidup dan matinya berada di tangan Lelaki itu.
Tanpa berani menoleh, ia berjalan menuju kamar mandi. Di sana sudah tersedia peralatan mandi yang lengkap. Ajela pun menghabiskan waktu cukup lama untuk membersihkan tubuhnya. Kuku tangannya ia potong hingga tak cukup lagi untuk mencakar.
Sepanjang membersihkan tubuhnya tak henti-hentinya Ajela menangis. Meratapi kehidupannya yang malang.
Sejak kecil ia hidup dalam tekanan. Tak hanya dijadikan pelayan oleh ibu tirinya di rumah, ia juga kadang dipukuli jika melakukan kesalahan sedikit saja. Lebih parahnya lagi, Ajela harus menyetor semua gajinya setiap bulan kepada sang ibu. Kadang ia hanya disisakan beberapa untuk keperluan sendiri.
Tiba-tiba....
"Kenapa kamu lama sekali di dalam?"
Lamunan Ajela membuyar. Ia terlonjak saat mendengar suara panggilan diiringi ketukan pintu yang cukup keras. Buru-buru wanita itu menyeka air mata dan mengakhiri ritual mandinya.
Lantas keluar dari kamar mandi setelah membalut tubuhnya dengan jubah mandi.
"Maaf. Anda bilang tubuh saya harus benar-benar bersih."
"Tapi aku gak memintamu mandi selama berjam-jam, kan?
Setiap detik waktuku sangat berharga dan sekarang kuhabiskan hanya untuk menunggu wanita sepertimu mandi."
"Maaf... saya benar-benar minta maaf!"
Untuk pertama kalinya Ajela memberanikan diri mengangkat kepala untuk menatap pria tua itu. Namun, seketika sepasang bola matanya membeliak. Bagaimana tidak, pria di hadapannya sekarang bukanlah pria tua bangka yang tadi datang menjemputnya. Melainkan sosok pria muda, tampan dan nyaris sempurna. Hidungnya mancung, alis tebal dan sorot mata tajam. Tubuhnya yang jangkung nan atletis menyatu sempurna dalam balutan kulit putih bersih.
"Bukannya tuan yang membeliku tadi sudah sangat tua, gendut dan menyeramkan?"
Bersambung ~
Belum ada kata yang mampu terucap dari bibir Ajela . Keberadaan pria muda itu membuatnya menarik sebuah kesimpulan, bahwa lelaki tua yang menjemputnya tadi hanyalah perantara, dan yang sebenarnya menginginkan gadis adalah pria muda dan gagah ini.
"Kenapa kamu malah diam?" pekik pria itu, membuat tubuh Ajela tersentak.
"Ma-af."
"Kamu sudah berulang kali minta maaf dan aku bosan mendengarnya!"
"Sekali lagi saya minta maaf."
"Ya ampun! Dasar gadis bodoh!"
Kesabaran Alvian semakin terkikis dan hanya melirik gadis di hadapannya.
Ingin sekali Ajela berteriak meminta tolong. Matanya menatap ke kanan dan kiri. Tetapi, percuma sebab kamar yang mereka tempati kedap suara. Menjerit pun tidak akan ada yang mendengar.
"Saya mau keluar dari sini!"
"Keluar?"
Tanpa banyak bicara pria gagah itu menarik lengannya dengan kasar hingga menghempas ke tempat tidur. Ajela panik, pandang mengedar ke seluruh kamar demi mencari celah untuk melarikan diri. Namun, ruangan itu tertutup rapat dan tak ada jalan sedikit pun.
"Sebelum kita mulai aku ingin memperingatkan satu hal. Setelah malam ini lupakan semua yang terjadi di antara kita dan jangan sampai ada yang tahu. Kalau sampai kamu berani buka mulut, lihat bagaimana aku akan hancurkan hidup kamu."
"Tolong lepaskan saya! Saya ada di sini karena ibu tiri saya. Tolong biarkan saya pergi!" Ajela memberanikan diri menatap lelaki itu dengan kedua tangan mengatup di depan dada sebagai tanda permohonan.
"Melepas? Aku membayarmu dengan mahal, jadi lakukan tugasmu!" Alvian mencengkram dagu wanita itu. Namun, yang tertangkap dalam pandangannya adalah lebam membiru di sudut bibir sang wanita yang tampak masih segar. Selain itu, sorot matanya memancarkan luka. "Kenapa wajahmu lebam? Apa kamu habis dipukuli seseorang?"
Menahan air mata, Ajela hanya mengangguk.
"Siapa yang melakukannya? Apa orang yang tadi menjualmu?"
"Sa-ya ...." Selama beberapa saat Ajela tampak ragu menjawab.
"Ah, lama!" Belum selesai Ajela berbicara sudah dibungkam lebih dulu oleh Alvian.
Dengan sisa tenaga Ajela mencoba memberontak. Mendorong dada lelaki itu dan memukulnya kuat-kuat. Namun, tentu saja, hantaman Ajela itu sama sekali tak berpengaruh.
"Tolong lepaskan saya! Jangan sentuh saya!" jeritnya sekuat tenaga.Namun, tak ada siapa pun yang mendengar dan tak ada yang menolong. Kamar luas nan mewah itu pun menjadi saksi bisu hilangnya harta paling berharga yang dimiliki Ajela .
Pria itu menggenggam tangan Ajela. Lengan jari yang yang penuh dengan lebam itu harus bersatu dengan jari pria itu, sandang keperawanan yang di jaga oleh seorang perempuan itu telah dimasuki oleh alat pria itu. Ketika inti dari tubuh wanita itu bersentuhan di dalam, sontak mata Ajela membesar, namun bukan kenikmatan yang dirasakan—nya melainkan penderitaan yang seakan menusuk — nusuk batinya.
Sepanjang malam gadis itu terus menangis, meratapi hidupnya yang penuh dengan derita. Hingga lelah dan kantuk membawanya memasuki alam mimpi. Berharap jika esok terbangun, semua hanyalah mimpi buruk dan ia sedang berada di kamarnya yang sempit dan pengap.
**
Malam mendekati larut. Alvian masih terjaga dan bersandar di tempat tidur dengan tatapan kosong. Sesekali melirik gadis malang yang tertidur di sebelahnya.
Tangannya yang kekar meraih ponsel di meja, kemudian mencari sebuah nomor yang tersimpan di daftar kontak, lalu melakukan panggilan.
"Berikan satu miliar kepada wanita tadi sesuai perjanjian yang kamu sepakati!" perintahnya.
"Baik, Bos!" balas seorang pria di ujung telepon.
"Ingat, malam ini adalah rahasia.
Gak ada seorang pun yang boleh tahu dan jangan sampai terendus media. Kamu mengerti, kan?"
"Saya mengerti, Bos!"
"Bagus!"
Begitu panggilan berakhir, ia mendesahkan napas panjang.
Memijat kepala yang terasa berdenyut.
Ketika hendak turun dari tempat tidur, selimut melorot ke bawah. Punggung gadis muda itu menarik perhatiannya. Alis tebalnya saling bertaut ketika melihat banyak bekas lebam di punggung.
"Kenapa di badannya banyak sekali lebam? Siapa sebenarnya yang sudah menjualnya?"
Alvian menatap wajah lelah itu sejenak. Wajah polos yang membuatnya terpaku. Namun, kemudian ia tersadar dan segera bangkit menuju kamar mandi.
Berendam di air hangat dan menyandarkan kepala pada bath tub kamar mandi itu.
**
Pagi harinya Ajela terbangun lebih dulu dibanding Alvian. Wajahnya pucat dan rambut berantakan.
Matanya pun sembab karena menangis hampir sepanjang malam.
Matanya yang sembab dan sayu memancarkan luka saat memandang pria asing yang semalam memaksanya. Ingin sekali Ajela hujamkan pisau pada tubuh itu. Namun, percuma saja sebab semua telah terjadi. Membunuhnya pun tidak akan mengembalikan kehormatannya yang terenggut paksa.
Satu-satunya yang ia inginkan adalah menjauh dari tempat ini dan berharap tidak akan pernah bertemu lagi dengan lelaki itu meskipun hanya di dalam mimpi.
Setelah membenahi pakaiannya, ia mencari kartu akses yang ternyata berada di atas meja. Tanpa menunggu segera keluar kamar dan segera pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
Sepanjang jalan ia terus menangis, mengabaikan orang-orang yang menatapnya heran. Hingga saat tiba di depan pintu rumah, langkahnya terhenti seketika saat mendengar suara Bu Nana dari dalam rumah.
"Satu miliar, Riana! Dia benar-benar memberi kita satu miliar, bukan 200 juta."
Ajela merapatkan telinga pada daun pintu agar dapat mendengar pembicaraan dari dalam dengan lebih jelas.
Biasanya di jam seperti ini rumah dalam keadaan sepi. Karena ibu dan kakaknya akan berangkat kerja. Bu Nana adalah seorang ART di rumah keluarga kaya, sedangkan Riana baru satu bulan bekerja di sebuah perusahaan dengan posisi sebagai sekretaris.
"Berarti orang tua semalam itu beneran orang kaya ya, Bu? Banyak banget uangnya. Memang Ibu kenal dia dari mana?"
"Semalam ibu dihubungi sama Mami Liona. Itu loh, teman ibu yang kerja di kelab malam. Katanya, ada laki-laki yang lagi cari perawan. Dia juga siap bayar berapa aja. Makanya ibu langsung tawarkan Ajela . Kapan lagi dapat satu miliar untuk semalam."
"Tapi kalau Ajela pulang, dia pasti marah banget sama Ibu," ucap Riana.
"Biarin aja kalau mau marah.
Memang bisa apa si Ajela itu? Yang penting ibu udah dapat satu miliar.
Dengan uang ini kita bisa beli rumah baru yang lebih layak, dan rumah jelek ini bisa kita jual.
Sisanya bisa kamu pakai sogok agensi untuk memasukkan kamu ke salah satu sinetron."
"Nggak usah sogok agensi lagi, Bu. Aku nggak tertarik jadi artis lagi. Lebih baik uangnya buat perawatan tubuh dan mempercantik diri. Sekarang aku lebih tertarik sama bos di tempat aku bekerja," balas Riana, tersenyum dengan mata berkilat bahagia.
"Bos tempat kamu bekerja? Bukannya bos kamu itu udah tua, ya? CEO-CEO atau pemilik perusahaan itu kan biasanya udah tua banget. Jangan cari orang tua. Kasihan anak ibu cantik-cantik dapat orang tua."
"Yang ini beda, Bu. Bos aku itu masih muda banget, ganteng dan kaya lagi. Dia juga belum menikah. Cuma ... agak galak dan sulit dideketin. Tapi, aku yakin bisa naklukin dia. Makanya aku rajin perawatan ke salon."
"Wah, ide bagus, Sayang. Kamu memang harus menunjang penampilan. Kalau kamu bisa dapat orang kaya, kita bisa hidup enak. Gak perlu tinggal di rumah jelek kayak rumah ini lagi."
Riana mengangguk setuju. "Kan Ibu Selalu bilang, aku harus dapat laki-laki kaya supaya bisa lepas dari kemiskinan. Nanti kalau aku berhasil dapetin bos aku itu, aku akan buat hidup Ibu enak. Kita bisa belanja sepuasnya."
"Bagus, Sayang. Tapi, kamu harus main cantik. Pasti bos kamu itu jadi incaran banyak perempuan di luar sana. Jangan sampai malah diambil orang!"
"Iyalah, Bu. Memang perempuan mana yang gak mau sama dia? Aku lihat para direktur sering ngenalin dia sama anak perempuannya, tapi untungnya ditolak semua. Sore ini aku mau keluar kota sama dia berdua aja. Ada kesempatan untuk lebih deket."
"Kamu memang cerdas, Riana."
Keduanya tertawa girang.Merencanakan apa pun yang bisa dibeli dengan uang satu miliar tersebut.
Sementara di depan pintu, Ajela masih mendengar pembicaraan ibu dan kakak tirinya. Rasa sakit memaksa bola matanya melelehkan cairan bening Tirta air mata itu tak sengaja harus melewati pipi Ajela. Ternyata ibu dan Riana sudah membohonginya dengan berkata uang itu untuk melunasi hutang mereka.
"Ya Allah, aku salah apa sampai mereka tega melakukan semua ini?"
Tak tahan, Ajela mendorong pintu keras, menerobos masuk hingga membuat Bu Nana dan Riana terlonjak.
Riana memandangi tubuh adik tirinya yang tampak kacau. Tubuhnya bergidik saat membayangkan adik tirinya itu menghabiskan sepanjang malam bersama kakek-kakek tua, gemuk dan jelek yang semalam datang menjemputnya.
"Ajela , kamu sudah pulang?" tanya Bu Nana dengan senyum pura-pura.
"Kenapa kalian begitu tega melakukan ini? Apa Ibu gak memikirkan masa depan aku?" teriak Ajela menahan amarah yang terasa meledak di dada.
"Santai, Ajela . Jangan teriak begitu. Kamu nggak malu didengar tetangga?" ucap Riana.
"Yang seharusnya malu itu kalian!" Kehilangan kesabaran, Ajela bergerak maju mencengkram rambut panjang Riana dan menariknya sekuat tenaga. "Kalian berdua benar-benar jahat! Di mana hati nurani kalian!" Ajela menyerang membabi buta.
Gerakannya yang cepat membuat Riana tak memiliki kesempatan untuk menghindar atau membalas.
Bahkan tenaga Ajela sekarang terasa besar dan ia kesulitan mengimbangi.
"Ah, Ibu tolong! Ajela narik rambut aku!" pekik Riana sambil berusaha melepas tangan Ajela .
Bu Nana yang panik lantas mendekat dan berusaha mendorong anak tirinya. Namun, Ajela kali ini benar-benar sulit dihentikan. "Heh, perempuan gila! Lepaskan Riana!""Lepaskan aku! Biar dia ikut merasakan sakit yang kurasakan!" jerit Ajela .
"Lepasin Riana, Ajela ! Apa kamu sudah gila?" Merasa geram, Bu Nana mendorong Ajela hingga terjerembab ke lantai. Kemudian memeluk Riana yang sedang meringis kesakitan. Jambakan Ajela membuat sebagian rambutnya tercabut dari kulit kepala. Bahkan make-up yang memoles wajahnya tampak berantakan.
"Sakit banget, Bu!" rintih Riana, membuat Bu Nana menatap Ajela penuh amarah.
"Berani sekali kamu menyerang Riana! Apa kamu sudah bosan hidup, hah?"
Bersambung ~
"Kalau perlu aku akan membu-nuhnya!" Ajela menatap geram. Seumur hidup ini adalah pertama kali ia berani melawan kedua orang itu. Biasanya ia diam saat dihina atau bahkan dipukuli.
"Dasar anak gak tahu diri! Sekarang juga keluar dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi! Awas kamu kalau masih berani pulang!"
Bu Nana bergegas masuk ke dalam kamar dan keluar dalam dua menit dengan membawa setumpukan pakaian. ia lemparkan ke arah Ajela .
"Ambil semua pakaian kamu dan pergi sekarang juga dari rumah ini!"
Tak ada sepatah kata pun lagi yang terucap. Ajela hanya dapat memunguti lembar demi lembar pakaiannya sambil terisak-isak. Hidupnya telah hancur. Rasanya ingin mengakhiri hidup saja.
Ia lantas menatap ibu dan kakak tirinya dengan derai air mata. Dua wanita jahat yang sama sekali tidak terlihat merasa bersalah.
"Semoga Tuhan membalas kejahatan kalian suatu hari nanti!"
**
Sementara itu di apartemen ....
Waktu sudah menunjuk pukul sebelas ketika Alvian membuka mata. Satu tangannya terangkat demi memijat kepala yang terasa berdenyut. Kemudian bangun dan duduk bersandar di tempat tidur.
Matanya meneliti di kamar yang hanya berbalut kesunyian. Tak ada sosok wanita yang semalam telah memuaskan hasratnya. Di lantai hanya ada pakaian miliknya yang teronggok bersama sepatu.
"Argh! Sial! Apa yang sudah aku lakukan semalam?"
Alvian Setyo Darmawan adalah seorang pria berusia 28 tahun. Merupakan ahli waris tunggal Darmawan Grup. Sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di beberapa bidang bisnis. Di usia yang sudah terbilang matang untuk menikah, ia masih betah melajang.
Gadis-gadis cantik yang selama ini mendekat padanya ditolak mentah-mentah.
"Ajela ...." Entah mengapa nama itu terlintas dalam pikiran.
Lamunan Alvian membuyar ketika deringan ponsel terdengar. Pria itu segera meraih benda pipih tersebut dan melihat nama sang sekretaris pada layar ponsel. Matanya langsung melirik jam yang ada di sudut atas ponselnya dan baru ingat
Bahwa ada jadwal keluar kota sore ini.
"Ya, Riana?" ucap Alvian sesaat setelah panggilan terhubung.
"Anda di mana, Pak?"
"Saya masih ada urusan di luar, kenapa?"
"Saya mau mengingatkan sore ini kita harus berangkat keluar kota. Apa Bapak sudah menyiapkan semuanya?"
Alvian memijat kepala yang terasa berdenyut. Untuk saat ini ia merasa tubuhnya benar-benar lemas. Mungkin efek minuman yang semalam ia tenggak. "Sepertinya saya gak bisa ikut keluar kota.
Kamu bisa hubungi Galih dan minta dia menggantikan saya berangkat."
"Ta-tapi, Pak-" Wanita di seberang berusaha menyela.
"Gak ada tapi-tapian, ini perintah!" bentak Alvian, memutus panggilan begitu saja dan meletakkan kembali ponselnya ke meja. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Entah mengapa bayangan Ajela terus menari-nari di pikirannya.
Di sisi lain, Riana membanting ponsel mahal yang baru saja dibelinya.
Dua kali usahanya untuk mendapatkan Alvian gagal total.
Semalam saat menghadiri undangan pesta di sebuah hotel, ia sengaja memasukkan obat ke dalam minuman sang bos. Tetapi, bukannya berhasil menjebak, Alvian malah menghilang secara tiba-tiba.
Riana sampai lelah mencari hingga berjam-jam dan akhirnya memutuskan untuk pulang.
Sekarang keluar kota juga batal.
Padahal niatnya ingin keluar kota bersama Alvian adalah agar dapat berduaan saja dengan sang bos. Ia bahkan sengaja membeli lingerie tipis berwarna merah dengan harga selangit.
"Sialan! Sialan! Kenapa sih dia cuek banget sama aku walaupun aku udah usaha maksimal! Percuma ke salon bayar perawatan malah kalau kayak gini jadinya!"
"Ada apa, Riana? Kenapa kamu marah-marah?" tanya Bu Nana yang mendapati putrinya sedang mengomel.
Riana menatap ibunya dengan bibir mengerucut kesal.
"Bos aku gakjadi ikut keluar kota, Bu. Padahal aku sudah habisin banyak uang ke salon untuk tampil cantik! Dia malah batalin keluar kota dan suruh aku pergi sama orang lain!"
Bersambung ~
8 Bulan kemudian ....
Setelah diusir dari rumah, Ajela tak pernah lagi bertemu dengan kakak dan ibu tirinya. Juga tidak pernah lagi mendengar kabar keduanya.
Ajela benar-benar putus komunikasi dengan mereka, namun yang Ajela tahu setelah mendapatkan uang satu miliar itu, Riana dan ibunya membeli sebuah rumah baru yang lebih layak dan menjual rumah lama.
Ajela hidup terlunta-lunta dan serba kekurangan. Demi bertahan hidup ia menyewa kamar kost yang sempit. Beberapa bulan ini Ajela juga bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe.
"Kamu kenapa, Ajela? Aku lihat wajahmu sedikit pucat?" tanya Lisa, salah seorang teman Ajela yang juga bekerja di kafe yang sama.
Ajela yang sedang membersihkan meja mengalihkan perhatiannya sejenak. "Perutku rasanya agak kram sejak pagi tadi."
Mendengar itu, Lisa langsung panik. "Apa jangan-jangan kamu sudah mau lahiran?"
"Sepertinya belum. Beberapa hari ini perutku memang sering kram seperti ini." Ajela membelai perutnya yang kini terlihat semakin membesar. Malam kelam itu telah menumbuhkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Masa kehamilan pun dijalani Ajela dengan menyedihkan. Kadang ia harus menahan jika menginginkan sesuatu di masa ngidamnya. Ia juga harus berhemat untuk bisa bertahan hidup, sebab gaji sebagai pelayan kafe tidak seberapa. Belum biaya makan dan sewa kost.
Sebenarnya Ajela sudah harus cuti menjelang hari persalinan. Namun, kebutuhan hidup memaksanya untuk tetap bekerja. Beruntung pemilik kafe mengizinkan untuk tetap bekerja meskipun dalam keadaan hamil tua.
"Kalau begitu pulang saja dulu dan istirahat. Kamu tidak boleh terlalu capek. Lagian sebentar lagi sudah gantian shift," ucap Lisa.
"Terima kasih, Lisa. Kalau begitu aku bawa ini ke dapur dulu."
Ajela bergegas mengangkat nampan berisi gelas-gelas kotor untuk dibawa ke dapur. Namun, tiba-tiba saja bertabrakan dengan seorang pengunjung kafe. Nampan di tangannya jatuh. Pecahan kaca berhamburan, membuat perhatian semua orang mengarah kepada mereka.
"Hey, kalau bekerja hati-hati! Lihat, pakaianku jadi kotor!" maki wanita yang menabrak Ajela. Kemejanya yang putih jadi kotor terkena tumpahan kopi.
"Maaf, saya benar-benar tidak sengaja." Ajela membungkukkan kepala untuk meminta maaf. Ia langsung menyambar selembar tissue untuk membersihkan pakaian wanita tadi.
Namun, tiba-tiba wanita itu mendorong tangannya dengan kasar. "Kamu?" pekik wanita itu.
Ajela mendongakkan kepala untuk menatap wajah wanita judes itu. Seketika bola matanya membulat sempurna. Bagaimana tidak, wanita itu tak lain adalah Riana, kakak tirinya yang jahat.
"Kak Riana?"
Bukan hanya kedatangan Riana yang membuat Ajela terkejut, namun juga pria yang datang bersamanya. Tuan Alvian, Pria yang telah membeli kesuciannya sekaligus si penanam benih yang sedang tumbuh di rahimnya.
Sore itu Riana dan Alvian ada janji temu dengan rekan kerja di kafe itu.
Riana yang tidak mengetahui bahwa Alvian adalah laki-laki yang telah membeli Ajela sangat terkejut mendapati adik tirinya menggunakan seragam kafe keadaan hamil besar.
"Kejutan sekali bertemu dengan kamu di tempat ini. Ternyata sekarang kamu bekerja sebagai pelayan kafe, ya?" Riana memandangi Ajela dari ujung kaki ke ujung kepala.
Wajah Ajela seketika terlihat pucat, bibirnya mengatup rapat. Ia tak berani lagi mengangkat kepala.
Apalagi tatapan Alvian benar-benar mengintimidasinya.
"Oh ya Ajela, aku baru tahu kalau kamu sedang hamil. Boleh aku tahu siapa ayah dari anak yang kamu kandung itu? Apa jangan-jangan laki-laki tua bangka yang pernah menyewa kamu?" sindir Riana.
Ajela tak menyahut. Bukan karena takut pada Riana, tetapi hatinya terlampau sakit bertemu dengan Alvian, laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab atas kehamilannya.
Tak ingin terjadi keributan lebih jauh, Ajela berjongkok sambil memunguti pecahan kaca yang berserakan di lantai. Menahan air mata yang hendak menetes.
Sementara Alvian hanya menatapnya tanpa ekspresi. Sejak tadi ia terpaku memandangi perut sang wanita yang sudah membesar.
Meskipun baru satu kali bertemu, namun Alvian masih bisa mengenali pemilik wajah itu.
Wanita yang dibelinya beberapa bulan lalu dari seorang mucikari bernama Tuan Rizal, atau yang lebih dikenal dengan nama Tuan Al.
"Maaf, saya harus ke belakang."
Ajela tergesa-gesa menuju ke dapur.
Jika tidak menghindar, Riana pasti akan membuat keributan dan Ajela tidak ingin dipecat jika ribut dengan tamu kafe.
Setibanya di dapur, ia menyandarkan punggungnya di dinding. Menyeka lelehan air mata yang terus mengalir membasahi pipi.
"Ya Allah, kenapa harus bertemu mereka di sini?"
**
Alvian belum mampu menghilangkan rasa terkejut setelah pertemuan tak terduga dengan Ajela tadi. Sesekali ia melirik ke arah dapur. Sebab setelah masuk, Ajela tak kunjung keluar dari sana lagi.
"Kamu kenal wanita tadi, Riana?" tanya Alvian.
Terdiam sejenak, Riana mencoba mencari penjelasan masuk akal.
Tidak mungkin ia memberitahu Alvian bahwa Ajela adalah adik tirinya. Apalagi sulit baginya untuk mendekati Alvian.
"Dia Ajela, tetangga lamaku. Sebenarnya aku tidak mengenalnya lebih dekat, tapi yang kutahu dia bukan wanita baik-baik."
"Maksudnya bukan wanita baik-baik bagaimana?"
"Dia seorang wanita panggilan. Aku heran kenapa pemilik kafe ini mau menerima perempuan kotor sepertinya untuk bekerja di sini.
Apa tidak takut kafenya ketiban sial?"
Ada sedikit keraguan di hati Alvian mendengar nada sarkas Riana.
Jauh di dasar hatinya berkata Ajela tidak seburuk itu. Karena dirinya adalah orang pertama yang menyentuh Ajela. Bahkan Alvian yakin bahwa Ajela belum pernah berciuman sebelumnya.
"Setahuku Ajela itu belum menikah. Sepertinya dia hamil dari salah satu laki-laki yang pernah menyewanya dan mungkin laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab."
"Kenapa kamu seyakin itu?"
"Tentu saja aku yakin. Aku pernah lihat dia pergi dengan laki-laki yang sudah cukup berumur. Ke mana lagi kalau bukan ke hotel?" tambah Riana.
Lagi, Alvian terdiam. Tangannya terkepal di bawah meja. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sempat terpikir di benaknya bahwa anak di dalam kandungan Ajela adalah benihnya. Karena malam itu Alvian memang tidak menggunakan pengaman.
Tetapi, jika benar Ajela memang wanita panggilan, bisa saja ia hamil dengan laki-laki lain, bukan?
"Tidak, itu pasti bukan anakku. Dia pasti hamil dengan laki-laki lain seperti kata Riana." Alvian meyakinkan diri dalam hati.
"Kita cari tempat lain saja. Aku mau pergi dari sini."
**
Mobil yang ditumpangi Alvian melaju di keramaian jalan. Sejak pertemuan dengan Ajela tadi, ia jadi lebih banyak diam. Bahkan saat membicarakan pekerjaan dengan rekan bisnisnya, ia lebih banyak melamun dan membuat Riana repot.
"Kita ke mana sekarang?"
Pertanyaan Galih membuyarkan lamunan Alvian. Galih adalah sepupu sekaligus asisten pribadinya.
"Ke apartemen saja!"
"Tapi Tante Veny sudah beberapa kali menghubungiku dan menanyakan keberadaanmu. Sudah beberapa hari kamu tidak pulang ke rumah."
Alvian menghembuskan napas panjang. Ia sudah tahu tujuan mamanya mencari. Sudah pasti untuk membahas soal perjodohan.
Hal itu lah yang membuat Alvian kadang malas pulang ke rumah.
"Aku akan pulang nanti."
"Aku harus bilang apa kalau mama kamu menelepon lagi?"
"Bilang saja aku sibuk!"
Sekarang giliran Galih yang frustrasi. Jika sang nyonya besar menghubungi, dirinyalah yang paling sering repot untuk mencari alasan.
"Sebenarnya apa susahnya sih menerima perjodohan yang ditetapkan mama kamu? Mama kamu pasti memilih wanita yang baik untuk anaknya."
"Aku belum siap menikah." Selalu kalimat itu yang diucapkan Alvian jika ditanya soal menikah.
"Jadi kapan siapnya?"
Alvian berdecak malas. Untuk saat ini hatinya benar-benar kosong.
Menikah bukanlah tujuan utama hidupnya. Selain itu, ia masih betah melajang.
"Aku belum menemukan wanita yang pas."
Galih menatap heran. Sebenarnya tidak sulit bagi Alvian untuk mencari jodoh. Ia dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dari berbagai kalangan. Namun, sejauh ini belum ada yang berhasil merebut hatinya.
Galih sampai heran sebenarnya wanita seperti apa yang dicari bosnya itu.
"Kalau begini terus kamu bisa jadi bujang lapuk!"
***
Riana tiba di rumah setelah pertemuan dengan klien di kafe tempat Ajela bekerja. Sebenarnya tadi ia masih merasa penasaran dengan Ajela. Namun, karena sedang berada di tempat umum sehingga ia menahan diri. Selain itu, setelah masuk ke dapur membawa pecahan gelas, Ajela tidak memunculkan diri lagi.
Mungkin sudah pulang lewat pintu belakang.
"Bu, tadi aku bertemu dengan Ajela," ucap Riana sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Kemudian melepas sepatu dan menyandarkan punggungnya.
Bu Nana yang sedang asyik dengan tayangan TV sejenak melirik putrinya. "Oh ya? Bertemu di mana?"
"Di salah satu kafe. Dia jadi pelayan di sana."
Bu Nana tampak tak begitu terkejut. Memang Ajela bisa kerja apa? Kalau tidak jadi tukang bersih-bersih, ya pasti jadi pelayan. Apalagi ia hanya berbekal ijazah SMA. Sudah pasti sulit mencari pekerjaan bagus.
"Ibu pasti terkejut kalau aku kasih tahu sesuatu tentang Ajela." Riana tampak bersemangat. Membuat ibunya itu ikut penasaran.
"Sesuatu apa?"
"Ajela hamil, Bu!"
Informasi yang diberikan Riana membuat Bu Nana melebarkan kelopak matanya. Tentunya berita ini membuatnya cukup terkejut.
"Hamil?"
Riana mengangguk cepat. Ia kemudian tertawa geli membayangkan pertemuannya dengan Ajela tadi.
"Aku penasaran Ajela hamil anak siapa. Setahu aku dia kan belum menikah."
"Apa jangan-jangan dia hamil sama Tuan Al si tua bangka itu? Malam itu kan Ajela disewa sama Tuan Al," sahut Bu Nana.
"Bisa jadi, sih. Ah, seharusnya tadi aku ucapkan selamat atas kehamilannya."
Gelak tawa Riana kembali menggema setelah mengucapkan kalimat itu. Malang sekali adik tirinya itu harus mengandung benih dari pria tua bangka, gendut dan jelek seperti Tuan Al.
Bersambung ~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!