NovelToon NovelToon

Melelehkan Hati Si Pria Dingin

Bab 1 Langkah pertama

Keisha berdiri di depan gerbang sekolah barunya, SMA Pelita Bangsa, dengan perasaan yang campur aduk. Gedung sekolah itu menjulang tinggi, tampak megah dengan kombinasi warna krem dan abu-abu. Para siswa berlalu-lalang, beberapa saling bercanda, beberapa lagi tampak sibuk mencari kelas mereka. Keisha menghela napas panjang, merapikan rok seragamnya, lalu melangkah masuk dengan penuh percaya diri.

Ini adalah hari pertamanya di SMA, awal dari babak baru dalam hidupnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada di sekolah ini. Selama SMP, Keisha selalu masuk tiga besar di kelasnya. Ia dikenal sebagai siswi yang pintar, rajin, dan penuh semangat. Prestasinya itulah yang membuatnya merasa percaya diri melangkah di sekolah baru ini.

Saat memasuki aula utama, Keisha melihat papan pengumuman berisi daftar kelas. Matanya cepat menemukan namanya. "X-3," gumamnya sambil tersenyum. Ia melangkah menuju lantai dua, tempat kelasnya berada.

Ketika tiba di kelas, suasana sudah ramai. Beberapa siswa tampak duduk di bangku, saling mengobrol, sementara yang lain sibuk mengenalkan diri satu sama lain. Keisha melangkah masuk dengan senyum ramah. Ia memilih bangku kosong di barisan tengah, lalu memperhatikan sekelilingnya.

“Keisha, kan?” Seorang gadis dengan rambut sebahu dan kacamata berdiri di samping mejanya.

“Iya, betul. Kamu?” Keisha menoleh, senyumnya makin lebar.

“Aku Rina. Duduk sebelahmu ya?”

“Tentu saja,” jawab Keisha cepat. Ia senang sudah mendapatkan teman pertama.

Tak butuh waktu lama bagi Keisha untuk mulai mengenal teman-teman di sekitarnya. Beberapa siswa memperkenalkan diri dengan antusias, sementara yang lain hanya tersenyum dan menyebutkan nama mereka singkat. Namun, perhatian Keisha tertuju pada satu siswa di sudut kanan belakang kelas.

Dia seorang pria dengan rambut hitam rapi yang tampak selalu menunduk. Wajahnya tak terlihat jelas, namun sikapnya berbeda dari yang lain. Sementara siswa lain sibuk berbicara, ia hanya diam, sesekali mencatat sesuatu di buku.

“Siapa dia?” bisik Keisha pada Rina.

“Oh, itu Rama,” jawab Rina sambil melirik ke arah pria itu. “Katanya dia pendiam banget. Jarang ngobrol sama orang.”

Keisha mengangguk, rasa penasarannya perlahan tumbuh.

Pelajaran pertama dimulai dengan guru Matematika, seorang pria paruh baya bernama Pak Hendri. Ia membuka kelas dengan beberapa soal yang ditampilkan di papan tulis. “Baik, anak-anak. Sebelum kita memulai materi, saya ingin melihat kemampuan kalian. Silakan kerjakan soal ini,” katanya.

Keisha tersenyum. Matematika adalah salah satu pelajaran favoritnya. Ia dengan cepat mengeluarkan buku catatan dan mulai menghitung. Dalam waktu singkat, ia berhasil menyelesaikan semua soal. Dengan penuh percaya diri, ia mengangkat tangan.

“Saya, Pak!” katanya.

Pak Hendri mengangguk. “Silakan, Keisha.”

Keisha maju ke depan kelas, menuliskan jawabannya dengan jelas di papan tulis. Ketika ia selesai, tepuk tangan terdengar dari teman-temannya. “Hebat!” seru salah satu siswa. Keisha tersenyum puas, merasa bahwa ia sudah menunjukkan siapa dirinya.

Namun, momen itu berubah ketika Pak Hendri berkata, “Bagus, Keisha. Nilaimu sempurna. Tapi ternyata ada satu siswa lagi yang mendapatkan nilai sempurna.”

Ruangan itu tiba-tiba hening. Semua mata tertuju pada Pak Hendri, menunggu nama yang akan disebutkan. “Rama,” katanya sambil tersenyum.

Semua kepala langsung menoleh ke arah sudut kelas. Rama, yang sebelumnya tampak tenggelam dalam dunianya sendiri, perlahan berdiri. Ia menyerahkan buku catatannya ke Pak Hendri tanpa berkata apa-apa, lalu duduk kembali.

Keisha terkejut. Ia tidak menyangka siswa pendiam itu bisa menyamai nilainya. Selama ini, ia terbiasa menjadi yang terbaik. Rasa kagum bercampur dengan rasa penasaran. Siapa sebenarnya Rama?

Setelah pelajaran selesai, Keisha mencoba mendekati Rama. Ia ingin tahu lebih banyak tentang pria itu. Namun, setiap kali ia mencoba berbicara, Rama hanya memberikan jawaban singkat atau mengangguk tanpa menatap langsung ke arahnya.

“Sulit ya ngomong sama dia,” keluh Keisha pada Rina.

“Memang begitu,” jawab Rina sambil mengangkat bahu. “Katanya dia memang nggak suka banyak bicara. Tapi dia pintar banget. Waktu SMP, dia juga sering jadi juara.”

Informasi itu semakin membuat Keisha tertarik. Ia memutuskan untuk tidak menyerah. Jika Rama sulit didekati, maka ia harus mencari cara lain untuk mengenalnya.

Hari itu berlalu dengan cepat. Ketika bel pulang berbunyi, Keisha membereskan barang-barangnya dan berjalan keluar bersama Rina. Di gerbang sekolah, ia melihat Rama berjalan sendirian, masih dengan sikap dingin yang sama.

“Kenapa dia selalu sendiri ya?” gumam Keisha.

“Mungkin dia memang lebih nyaman begitu,” kata Rina. “Tapi, aku penasaran juga, sih.”

Keisha mengangguk. Ia tahu, ini baru permulaan. Di balik sikap dingin Rama, ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.

Saat berjalan pulang, pikiran Keisha dipenuhi oleh bayangan Rama. Ia bertanya-tanya, apa yang membuat pria itu begitu berbeda? Dan lebih penting lagi, bagaimana cara mendekati hati yang tampaknya begitu dingin?

Keisha tersenyum kecil. Hari pertama di SMA ini telah memberikan awal yang menarik. Ini bukan hanya tentang prestasi atau pertemanan. Keisha merasa bahwa perjalanan ini akan menjadi lebih dari sekadar cerita biasa.

Dan ia siap menghadapinya.

Bab 2 Mendekati Rama

Hari kedua di SMA dimulai dengan lebih tenang bagi Keisha. Meskipun semangatnya tetap membara, kini ia mulai memikirkan strategi. Setelah kejadian kemarin, nama Rama terus terngiang di kepalanya. Ia merasa penasaran sekaligus tertantang. Bagaimana bisa seorang siswa yang begitu pendiam menyembunyikan kecerdasan luar biasa? Keisha, yang terbiasa menjadi pusat perhatian, merasa ada sesuatu yang menarik dari pria itu, sesuatu yang belum ia pahami.

Saat tiba di kelas, Keisha melihat Rama sudah duduk di tempat yang sama seperti kemarin, pojok kanan belakang. Kepala pria itu tertunduk, tampaknya sibuk mencatat sesuatu di buku. Keisha mengamati Rama dari kejauhan, memperhatikan setiap gerakan kecilnya. Namun, ia segera menyadari bahwa ia tak bisa hanya diam memperhatikan. Ia harus bertindak.

Ketika istirahat tiba, Keisha memutuskan untuk mendekati Rama. Ia membawa buku catatan Matematika sebagai alasan untuk berbicara dengannya. Ia berjalan ke meja Rama dengan senyum percaya diri.

“Rama, ya?” sapanya.

Rama mengangkat kepalanya perlahan, menatap Keisha dengan mata gelapnya yang dingin. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk singkat.

“Boleh aku tanya sesuatu? Tadi aku lihat kamu cepat banget ngerjain soal Matematika. Ada tips khusus?”

Rama menatapnya sejenak sebelum kembali menunduk. “Nggak ada. Aku cuma latihan.” Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

Keisha mengernyit, tapi ia tidak menyerah. “Latihan? Wah, pasti kamu sering banget belajar, ya? Aku juga suka Matematika, tapi kadang ada soal yang bikin bingung. Mungkin kita bisa belajar bareng?”

Rama tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil lagi, lalu kembali mencoret-coret di bukunya. Keisha merasa usahanya tidak membuahkan hasil, tapi ia menolak untuk mundur.

“Oke, kalau gitu, aku nggak ganggu lagi,” ujar Keisha sambil tersenyum. Ia berjalan kembali ke mejanya, meskipun merasa sedikit kecewa.

Rina, yang duduk di sebelah Keisha, menyadari usaha temannya itu. “Gimana? Susah kan deketin Rama?” tanyanya sambil terkekeh.

“Banget,” jawab Keisha sambil menghela napas. “Dia kayak dinding es. Tapi aku nggak akan nyerah. Pasti ada cara buat bikin dia lebih terbuka.”

Rina mengangkat bahu. “Kalau kamu bisa melakukannya, aku bakal salut banget sama kamu.”

~

Hari demi hari berlalu, dan Keisha terus mencari cara untuk mendekati Rama. Ia mencoba berbagai pendekatan, mulai dari menawarkan bantuan saat tugas kelompok hingga mencoba berbicara dengannya di sela-sela istirahat. Namun, Rama tetap bersikap dingin dan menjaga jarak.

Hingga suatu hari, sebuah kesempatan tak terduga datang. Guru Bahasa Indonesia, Bu Santi, mengumumkan bahwa akan ada tugas kelompok yang harus diselesaikan dalam waktu seminggu. Bu Santi membagi siswa ke dalam kelompok secara acak, dan Keisha terkejut ketika namanya disebutkan bersama Rama.

“Kelompok 4: Keisha, Rama, dan Dani,” kata Bu Santi sambil melanjutkan daftar kelompok lainnya.

Keisha merasa ini adalah peluang emas. Ia akhirnya mendapat kesempatan untuk bekerja lebih dekat dengan Rama. Setelah kelas selesai, ia segera mencari Dani dan Rama untuk mendiskusikan tugas mereka.

“Rama, Dani, kita mau mulai kapan ngerjain tugasnya?” tanya Keisha penuh semangat.

Dani, yang terlihat santai, langsung setuju. “Besok sore di perpustakaan aja, gimana? Biar sekalian cari referensi.”

Keisha mengangguk. “Setuju. Gimana, Rama?”

Rama, seperti biasa, hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Namun, Keisha merasa itu sudah cukup. Setidaknya, ia tidak menolak.

~

Keesokan harinya, Keisha datang lebih awal ke perpustakaan. Ia memilih meja di sudut yang tenang dan menyiapkan beberapa buku yang mungkin mereka perlukan. Tak lama kemudian, Dani datang, diikuti oleh Rama yang berjalan pelan sambil membawa buku catatan kecil.

Selama diskusi, Dani lebih banyak bercanda, sementara Keisha mencoba menjaga fokus pada tugas mereka. Namun, perhatian Keisha terus tertuju pada Rama. Meski ia jarang bicara, setiap kali ia membuka mulut, pendapatnya selalu tajam dan penuh logika. Keisha semakin terkesan.

Setelah hampir dua jam, Dani pamit lebih dulu karena ada keperluan lain. Kini tinggal Keisha dan Rama di meja itu. Keheningan terasa canggung, tapi Keisha melihat ini sebagai kesempatan untuk mendekat.

“Rama,” panggil Keisha pelan. “Kamu keren banget, lho. Tiap kali kamu ngomong, semuanya selalu masuk akal.”

Rama menatapnya dengan tatapan bingung, seolah tidak terbiasa menerima pujian. “Nggak juga,” jawabnya singkat.

“Tapi itu bener, kok. Kamu kayak… jenius yang nggak mau terlihat jenius,” canda Keisha sambil tersenyum. Ia berharap leluconnya bisa mencairkan suasana.

Rama tidak tertawa, tapi ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Meskipun hanya sekejap, Keisha merasa melihat bayangan senyum di sudut bibir pria itu.

“Kenapa kamu selalu sendiri, sih?” tanya Keisha akhirnya, memecah keheningan.

Rama terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku nggak suka ribut. Itu aja.”

Keisha mengangguk, meskipun ia tahu jawabannya lebih dalam dari itu. Namun, ia tidak ingin memaksa Rama untuk bercerita lebih banyak. Ia memutuskan untuk sabar menunggu sampai Rama benar-benar siap membuka diri.

~

Malam itu, saat di rumah, Keisha merenungkan interaksinya dengan Rama. Meski ia belum berhasil membuat pria itu lebih terbuka, ia merasa ada sedikit kemajuan. Setidaknya, Rama mulai merespons, meskipun masih sangat terbatas.

“Aku nggak tahu apa yang terjadi di hidupmu, Rama,” gumam Keisha sambil menatap langit-langit kamarnya. “Tapi aku janji, aku akan menemukan cara untuk masuk ke duniamu.”

Keisha tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi ia juga tahu, sesuatu yang berharga memang selalu membutuhkan usaha keras. Dan ia siap berjuang untuk mencairkan hati si pria dingin itu.

Bab 3 Retak di balik dingin

Pagi itu, langit cerah menghiasi SMA Pelita Bangsa. Keisha melangkah dengan semangat, seperti biasanya, namun kini pikirannya lebih sibuk dari sebelumnya. Pertemuan singkat dengan Rama di perpustakaan meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Meski sulit, ia yakin ada sesuatu yang istimewa di balik dinding dingin yang dibangun Rama.

Saat Keisha masuk ke kelas, ia melihat Rama sudah duduk di tempat biasanya, tenggelam dalam buku catatannya. Keisha tersenyum kecil, lalu duduk di kursinya bersama Rina.

“Kamu nggak capek, Keisha?” bisik Rina tiba-tiba.

“Capek? Maksudnya?” Keisha menoleh, bingung.

“Ngejar perhatian Rama. Aku perhatiin kamu terus berusaha deketin dia. Padahal dia kelihatan jelas nggak mau diganggu.”

Keisha terkekeh kecil. “Aku nggak ngejar perhatiannya, Rin. Aku cuma pengen kenal dia lebih jauh. Menurutku, dia itu... menarik.”

“Menarik?” Rina menaikkan alisnya, jelas tidak percaya. “Dia itu kayak robot, tahu. Nggak ada emosinya.”

“Tapi justru itu yang bikin aku penasaran. Kayaknya dia cuma nggak mau kelihatan rapuh.”

Rina menghela napas, menyerah untuk berdebat. “Terserah kamu deh, Keisha. Tapi jangan sampai kamu kecewa sendiri, ya.”

~

Saat pelajaran Matematika dimulai, Pak Hendri memberikan soal sulit untuk dikerjakan secara individu. Keisha, seperti biasanya, dengan cepat menyelesaikan soalnya. Namun, kali ini, ia sengaja menunggu hingga Rama selesai lebih dulu. Ketika Rama menyerahkan jawabannya ke depan, Keisha segera menyusul.

Ketika mereka berjalan kembali ke bangku masing-masing, Keisha memberanikan diri untuk berbicara. “Rama, aku perhatiin kamu selalu selesai duluan setiap kali ada soal. Kamu pasti sering latihan di rumah, ya?”

Rama menoleh sebentar, wajahnya tetap datar. “Iya.”

“Oh, kalau gitu, kamu pasti punya tips khusus buat belajar.” Keisha mencoba memancing percakapan.

Rama hanya mengangkat bahu. “Nggak ada tips. Aku cuma belajar.”

Keisha hampir menyerah, tapi ia menolak berhenti. “Kalau gitu, lain kali aku boleh belajar bareng kamu?” tanyanya dengan senyum penuh harap.

Rama tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan kembali fokus pada buku catatannya.

~

Saat istirahat tiba, Keisha memutuskan untuk mencoba pendekatan lain. Ia tahu Rama sering menghabiskan waktu di taman belakang sekolah, tempat yang relatif sepi dan jauh dari keramaian. Dengan alasan ingin mencari udara segar, Keisha berjalan ke sana dan, seperti dugaannya, menemukan Rama duduk di salah satu bangku, membaca buku.

“Hai, Rama,” sapa Keisha sambil mendekat.

Rama mengangkat pandangannya sekilas sebelum kembali membaca.

“Boleh aku duduk di sini?” tanya Keisha, meski ia sudah duduk tanpa menunggu jawaban.

Rama tidak mengusirnya, yang bagi Keisha sudah cukup menjadi izin. Ia duduk di sana dalam keheningan, sesekali mencuri pandang ke arah Rama.

“Kenapa kamu suka di sini?” tanya Keisha akhirnya, memecah kesunyian.

“Tenang,” jawab Rama singkat.

Keisha mengangguk, lalu memandang sekeliling taman yang dipenuhi pepohonan rindang. “Aku setuju. Di sini memang enak. Kayaknya aku bakal sering ke sini juga.”

Rama tetap diam, tapi kali ini tidak terlihat terganggu oleh kehadiran Keisha. Keisha merasa bahwa meskipun kecil, ada kemajuan dalam usahanya mendekati Rama.

~

Hari itu, setelah sekolah usai, Keisha kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia mulai menyadari bahwa mendekati Rama bukanlah tugas yang mudah. Namun, di balik sikap dinginnya, ia merasa Rama sebenarnya menyembunyikan sesuatu.

Ketika ia sedang membaca buku di kamarnya, ponselnya berbunyi. Pesan dari Rina masuk di grup kelas mereka.

“Eh, ada yang tahu soal rumor tentang Rama?”

Keisha langsung membalas. “Rumor apa?”

Rina menjawab cepat. “Katanya, waktu SMP, Rama pernah dihianati sama sahabatnya sendiri. Gara-gara itu, dia jadi pendiam banget.”

Keisha membaca pesan itu dengan alis berkerut. Ia tidak suka mendengar gosip, tapi ini menjelaskan banyak hal tentang sikap Rama. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh, tapi dengan cara yang baik.

~

Keesokan harinya, Keisha memanfaatkan waktu luang untuk mengobrol dengan salah satu guru, Bu Santi, yang terlihat cukup mengenal Rama.

“Bu Santi, boleh saya tanya sesuatu?” Keisha memulai dengan hati-hati.

“Tentu saja, Keisha. Ada apa?”

“Soal Rama, Bu. Kenapa dia selalu terlihat menyendiri?”

Bu Santi terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Rama anak yang pintar, tapi dia punya masa lalu yang cukup berat. Saya tidak bisa cerita detailnya, tapi mungkin itu sebabnya dia lebih suka sendiri. Dia hanya butuh waktu untuk mempercayai orang lain.”

Keisha mengangguk, mencoba memahami apa yang dimaksud Bu Santi. Jawaban itu semakin memotivasinya untuk mendekati Rama. Ia tidak ingin memaksa, tapi ia ingin Rama tahu bahwa ada orang yang peduli padanya.

~

Sore itu, Keisha kembali ke taman belakang, berharap bertemu Rama lagi. Dan seperti yang ia duga, Rama ada di sana, duduk di bangku yang sama, memegang buku yang berbeda.

“Hai, Rama,” sapa Keisha dengan suara lembut.

Rama hanya mengangguk, tidak tampak terkejut dengan kehadirannya.

Keisha duduk di sampingnya tanpa meminta izin, lalu membuka buku catatannya. Ia tidak berbicara, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka.

Setelah beberapa menit, Rama akhirnya bersuara. “Kenapa kamu selalu ke sini?”

Keisha tersenyum kecil. “Karena aku suka tempat ini. Dan… aku suka ngobrol sama kamu, meskipun kamu jarang jawab.”

Rama menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Untuk pertama kalinya, ia tampak sedikit bingung. “Kenapa?” tanyanya singkat.

Keisha menatapnya balik, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Karena aku tahu kamu sebenarnya bukan orang yang dingin. Kamu cuma belum nemuin orang yang tepat buat cerita.”

Rama terdiam, menundukkan kepala. Keheningan itu terasa berat, tapi Keisha tidak menyesal mengatakannya. Ia tahu, butuh waktu untuk membuat Rama benar-benar terbuka.

~

Malam itu, Keisha merasa ada sesuatu yang berubah. Meskipun kecil, ia merasa berhasil membuat Rama mulai mempertimbangkan keberadaannya. Ini adalah awal dari perjalanan panjang, dan Keisha siap menjalani setiap langkahnya.

Ia tersenyum sambil menatap langit-langit kamarnya. “Aku nggak tahu apa yang kamu sembunyikan, Rama, tapi aku janji, aku nggak akan menyerah sampai aku tahu.”

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hatinya telah benar-benar terpaut pada pria yang menyimpan dingin di balik sikapnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!