Bab 1
“Diaz, ini bukan waktunya untuk main-main dengan bunga!” Samir menatap tajam sahabatnya yang berdiri santai di depan meja kerjanya, sambil memutar-mutar pena di antara jemarinya.
"Hey! Sudah ku bilang. Jangan kau anggap aku main-main dengan bunga dan coklat ini." Diaz marah pada rekannya.
"Tapi, urusan kantor kita sedang urgent. Apalagi namanya kalau bukan main-main dengan barang receh itu." Samir sudah sangat kesal.
Kantor mereka yang biasanya penuh suasana tenang kini terasa mencekam. Laporan keuangan berserakan di meja, beberapa sudah ditandai merah, tanda kerugian yang tidak main-main.
“Kutekankan sekali lagi. Aku nggak main-main, Samir. Kau tahu itu,” jawab Diaz sambil tersenyum tipis, memasukkan ponselnya ke saku jas tanpa niat mengecek notifikasi. “Hari ini Sabtu. Aku harus ke toko bunga Joan.”
Samir menghela napas berat, berdiri dari kursinya.
“Diaz, dengar. Perguruan Jagat Pradhana akan datang hari ini. Guru besar mereka, orang paling dihormati di dunia bisnis, akan membawa putrinya yang digadang-gadang sangat rupawan. Kau tahu apa artinya itu, kan? Mereka bisa jadi penyelamat perusahaan kita. Kau harus ada di sini.”
Diaz mengangguk pelan, tapi raut wajahnya tetap tenang. “Aku tahu betapa pentingnya itu. Tapi aku juga punya prioritas, Samir.”
“Prioritas? Menjual bunga di toko Joan? Kau serius? Ini tentang bisnis kita, masa depan perusahaan ini!” suara Samir meninggi.
Diaz menatap sahabatnya tanpa mengubah ekspresi. “Kau tahu kenapa aku melakukan ini. Aku nggak cuma jual bunga atau cokelat. Aku sedang mencari seseorang. Seseorang yang rela mengorbankan nyawanya demi aku.”
Samir memijat pelipisnya, mencoba meredam emosi. “Kau mencari bayangan, Diaz. Perempuan itu mungkin saja—”
“Dia masih hidup,” potong Diaz cepat. Matanya bersinar tajam. “Aku tahu dia masih hidup. Aku harus terus mencari.”
"Pakai akalmu. Bagaimana dia masih hidup. Bukankah kau bilang, wanita itu mengorbankan nyawanya demi dirimu. Berarti dia--"
"Masih teringat jelas dalam memoriku, saat aku dipaksa paman pergi, dia masih bergerak. Bahkan aku lihat tangannya seperti menggapai-gapai."
“Argh... Sudahlah. Kalau kau tetap keras kepala, kalau ada apa-apa aku nggak bisa membantumu lagi. Dan jangan salahkan aku kalau ini semua berantakan,” kata Samir akhirnya. Suaranya rendah, hampir seperti ancaman.
"Ya sudah." Diaz menjawab dengan entengnya. "Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Titip kantor," ucap Diaz, sambil menepuk pundak Samir.
Samir tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala, melihat rekan bisnis sekaligus sahabatnya terlalu mengejar cinta yang mungkin saja hanya bayangan.
Terlihat pria berparas tampan, dengan jas hitam menyampirkannya di lengan, dan melangkah keluar ruangan dengan tenang. Diaz Gunawan, CEO Gunawan Corp yang pernah hampir kehilangan nyawa karena persaingan bisnis ayahnya, Gunawan Mahendra.
###
Toko bunga Joan terletak di sudut jalan yang sepi, dihiasi kaca besar yang memantulkan sinar matahari pagi. Pintu kayunya berbunyi lembut saat Diaz mendorongnya masuk. Joan, pemilik toko, sedang menata vas berisi bunga lili putih di meja kasir.
“Sabtu pagi, tepat waktu seperti biasa,” kata Joan tanpa menoleh. “Kupikir kali ini kau akan menyerah.”
“Aku tidak pernah menyerah, Joan,” jawab Diaz sambil tersenyum. Ia berjalan ke sudut toko, mengambil beberapa tangkai mawar merah dan mengatur hiasannya dengan cekatan.
“Kau selalu serius soal ini. Kau yakin dia akan muncul suatu hari?” Joan menatap Diaz dengan ragu.
“Aku harus yakin. Kalau tidak, untuk apa aku terus melakukannya?” jawab Diaz sambil memasukkan bunga ke dalam keranjang kecil.
"Oh ya, baru saja ada seorang wanita cantik, membeli bunga, tapi dia mencari coklat juga. Aku merasa aneh, kenapa dia mencari coklat di toko bunga? Aku jadi teringat wanita yang kau cari itu." Joan berkata sambil menunjukkan cctv di ponselnya.
"Ini lihat," kata Joan kembali, sambil menunjukkan ponselnya. "Dia membeli bunga lili, tapi gerak-geriknya seperti menghindar dari bunga itu. Bahkan beberapa kali hidungnya ditutup sapu tangan."
Diaz melihat wanita itu, tidak begitu jelas wajahnya, karena separuhnya tertutup sapu tangan yang dia letakkan untuk menutupi hidungnya.
Diaz juga memperhatikan bagaimana wanita itu meminta coklat pada Joan. Seakan tahu bahwa toko ini menjual coklat juga. Sebab tidak semua orang tahu toko bunga ini menjual coklat.
"Coba kamu pikir, dari mana wanita itu tahu toko ini ada coklat? Jika bukan kamu yang jual bunga-bunga hari Sabtu, aku tidak pernah menawarkan coklat pada pelangganku," ucap Joan.
"Kamu tidak menanyakan siapa namanya?" tanya Diaz dengan wajah kaku.
Tatapan pria tampan itu seperti kosong, penuh harapan.
"Aku tidak menanyakan hal itu. Aneh saja, jika aku menanyakan nama pada pelanggan baru, seorang wanita lagi. Bisa-bisa aku disebut kurang ajar."
Saat itu ponsel Diaz bergetar di saku, tapi dia mengabaikannya. Panggilan kedua datang, disusul pesan. Semua dari Samir. Diaz tahu isinya: pengingat tentang kedatangan Guru Besar Jagat Pradhana dan putrinya. Tapi baginya, itu tidak sepenting apa yang sedang dilakukannya sekarang.
'Diaz, Papamu meminta jemput Guru besar di bandara. Segera! Dia akan marah jika kau abaikan!'
Klik!
Dia malah mematikan ponselnya, dia keluar dari toko, membawa keranjang bunga dan cokelat, lalu berjalan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk berjualan. Sebuah sudut taman yang ramai dikunjungi orang setiap akhir pekan.
###
Matahari mulai meninggi, dan Diaz sibuk melayani pembeli. Namun, tidak ada yang istimewa sampai siang menjelang. Ketika ia hampir kehilangan harapan, seorang wanita muncul dari kerumunan. Wajahnya mengingatkan Diaz pada seseorang. Rambut panjangnya, senyumnya yang tipis, dan caranya menoleh seperti menyimpan sesuatu yang ingin disembunyikan.
Diaz tertegun. Dia. Itu pasti dia.
'Meski 13 tahun yang lalu kita masih sama-sama kecil, aku tidak akan lupa gerak tubuhmu, Leri,' gumam Diaz, senyumnya sedikit mengembang.
Wanita itu berhenti beberapa langkah dari CEO berkemeja abu-abu penjual bunga itu. Dia menatap mawar merah yang tersusun rapi. “Aku alergi bunga,” katanya singkat, suaranya lembut namun tegas. "Tapi aku mau bunga itu," lanjutnya.
Kalimat itu membuat dada Diaz berdegup kencang. Hanya satu orang di dunia ini yang bisa mengucapkan kalimat itu kepadanya dengan cara seperti itu. “Tapi… kau suka cokelat, kan?” balas Diaz spontan.
Wanita itu mendongak, menatap Diaz dengan mata yang tampak terkejut. Sesaat mereka saling diam, sebelum dia berbalik melangkah pergi dengan cepat tanpa mengatakan apa-apa.
Diaz menggenggam keranjang bunganya erat. “Leriva… aku tahu itu kau,” bisiknya, mata tajam itu terus mengawasi punggung wanita cantik yang semakin menjauh di antara keramaian.
'Moren, bawa wanita itu padaku!' perintah Diaz dengan kode tangan.
CEO bertubuh bugar itu memerintahkan pada bodyguard yang selalu mengawasi di jarak agak jauh darinya.
Bersambung ...
Bab 2
Gedung megah dengan arsitektur modern itu berdiri gagah di pusat kota. Para pelaku bisnis dari berbagai penjuru negeri memenuhi aula utama. Hari itu, digelar Simposium Keberlanjutan Bisnis Global, sebuah acara akbar yang dinanti-nantikan.
Acara ini menjadi panggung besar bagi para pengusaha untuk berbagi wawasan, menjalin kemitraan, dan memperkenalkan inovasi terbaru. Namun, semua mata tidak hanya tertuju pada pembicaraan bisnis hari itu. Ada kabar bahwa Kakek Surya Pradhana, pemimpin legendaris Perguruan Jagat Pradhana, akan hadir bersama cucu perempuannya yang misterius.
"Kakek, apa aku sanggup?" tanya gadis anggun, yang sedang gelisah di dalam mobil mewah.
"Kamu pasti bisa, Nak. Kamu adalah cucu dari perguruan Jagat Pradhana. Tidak ada ketakutan dalam bentuk apa pun dalam diri kita."
Gadis itu mengangguk mantap, ini pertama kalinya dia mengikuti perkumpulan besar dunia bisnis, yang kelak menggantikan posisi Kakeknya.
Ketika pintu besar aula dibuka, suasana yang semula ramai langsung berubah hening. Karpet merah digelar sempurna, dan dari balik pintu muncul Kakek Surya Pradhana. Ia pria tua dengan postur tegap dan janggut putih yang melambangkan kebijaksanaan. Mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang terlihat mahal, auranya memancarkan wibawa luar biasa. Di sampingnya, seorang gadis muda dengan gaun panjang berwarna biru safir berjalan anggun.
Gadis itu adalah Eriva. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai dengan hiasan tiara kecil bertatahkan berlian yang bersinar lembut di bawah lampu kristal aula. Gaun birunya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan siluet anggun yang memukau. Perhiasan kalung zamrud yang menggantung di lehernya menambah kesan elegan. Namun, meski terlihat lembut dan tenang, tatapan matanya menyiratkan ketegasan.
Para tamu undangan berdiri memberikan penghormatan, membungkukkan badan saat Kakek Surya melangkah masuk, diiringi pengawalnya yang berjubah hitam. Bisik-bisik kekaguman terdengar di antara kerumunan.
“Cantik sekali gadis itu,” ujar seorang tamu wanita dengan decak kagum.
“Dia tidak hanya cantik, tapi juga pewaris dari salah satu perguruan paling berpengaruh. Masa depan dunia bisnis ada di tangannya,” balas pria di sebelahnya.
Ketika keduanya hampir mencapai tengah aula, langkah Eriva mendadak terhenti. Ia menoleh ke sekeliling dengan raut wajah tak nyaman. Mata tajamnya tertuju pada dekorasi bunga-bunga yang memenuhi sudut ruangan.
Dengan suara lembut namun penuh kewibawaan, ia berkata, “Aku tidak suka bunga-bunga itu ada di sini. Tolong bersihkan segera.”
Tidak ada nada arogan dalam ucapannya, tetapi perintah itu terasa mutlak. Orang-orang yang bertugas langsung bergegas. Beberapa pria dengan setelan hitam segera mengangkut dekorasi bunga keluar dari aula, sementara sisanya sibuk memastikan ruangan kembali rapi.
Samir, yang berdiri di dekat pintu masuk, mengamati kejadian itu dengan alis terangkat.
“Aneh sekali, gadis anggun seperti ini tidak suka bunga? Tapi perintahnya membuat semua orang bergerak. Siapa sebenarnya gadis ini?” gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, Tuan Gunawan, salah satu pengusaha paling berpengaruh di kota itu, bersama istrinya maju untuk menyambut Kakek Surya dan Eriva. Mereka membungkukkan badan dengan hormat.
“Guru Besar Surya, sungguh suatu kehormatan besar bagi kami menerima kedatangan Anda,” kata Tuan Gunawan dengan nada penuh penghormatan.
“Dan tentu saja, cucu Anda sangat cantik. Saya hampir tidak percaya bisa bertemu dengan wanita semenarik dirinya,” tambah istrinya sambil tersenyum manis ke arah Eriva.
Eriva menanggapi dengan senyum tipis dan anggukan kecil, tetap menjaga sikapnya yang anggun.
Acara pun dimulai. Pembicaraan serius tentang strategi bisnis dan peluang investasi mengisi waktu. Kakek Surya memberikan pidatonya, yang dipenuhi kebijaksanaan tentang pentingnya integritas dalam dunia bisnis. Para tamu mendengarkan dengan seksama, terkesima oleh kepiawaiannya.
Namun, di sudut ruangan, Tuan Gunawan tampak gelisah. Ia melirik ke arah Samir dengan wajah memerah.
“Samir!” panggilnya, nadanya keras namun tertahan agar tidak menarik perhatian.
Samir mendekat dengan hati-hati. “Ada apa, Om Gunawan?”
“Di mana Diaz? Mengapa dia tidak hadir di acara sepenting ini? Apa dia tidak tahu betapa krusialnya kehadirannya hari ini?” suara Tuan Gunawan naik setingkat.
“Dia… dia sedang ada urusan mendesak, Om” jawab Samir dengan ragu, berusaha mencari alasan yang terdengar masuk akal.
“Urusan mendesak? Apa yang lebih mendesak dari acara ini?!” Tuan Gunawan mendesis.
Samir hanya menunduk, tidak ingin memperkeruh suasana.
Untungnya, saat itu Paman Hanavi datang membawa nampan berisi cangkir-cangkir cokelat panas. Ia tahu bahwa cokelat adalah kelemahan Tuan Gunawan, terutama di saat emosinya sedang meluap-luap.
“Minum dulu, Tuan Gunawan. Ini cokelat hangat favoritmu,” ujar Paman Hanavi sambil menyodorkan secangkir cokelat.
Tuan Gunawan menghela napas panjang, mengambil cangkir itu, dan menyeruputnya perlahan. Raut wajahnya mulai melunak.
Di sisi lain aula, Eriva mencium aroma cokelat yang menguar. Matanya berbinar, dan ia berbisik lembut pada kakeknya, “Kakek, aku ingin cokelat juga.”
Kakek Surya menoleh ke arah pengawal di belakangnya. “Berikan segelas cokelat panas untuk cucuku” perintahnya.
Sang pengawal beranjak mendekati paman Hanavi, menyampaikan apa kata Kakek Surya. Paman Hanavi melangkah menuju keberadaan Kakek Surya dan Eriva.
"Nona, anda menginginkan coklat ini? Silakan." Paman Hanavi memberikannya dengan sopan.
"Eh, tidak, tidak. Maaf, kala ada, aku ingin coklat yang belum diseduh." Eriva berkata sangat sopan pada Hanavi.
Paman Hanavi merasa heran, "Em, maksud anda coklat, makanan coklat? Seperti batangan coklat?" tanya Paman Hanavi memastikan.
"Benar. Apakah ada?" tanya Eriva dengan lembut.
"Ada, Nona. Tentu saja ada. Sebentar saya ambilkan." Paman Hanavi begitu senang bisa memberikan apa yang cucu Guru besar inginkan.
Samir yang memperhatikan dari kejauhan merasa sesuatu mencuat di benaknya. "Dia tidak suka bunga… tapi dia suka cokelat. Gadis ini, ada sesuatu yang familiar tentangnya."
Samir terus memperhatikan Eriva. Dia jadi teringat pada Diaz. Apakah ini wanita yang dimaksud? Tapi mengapa dia cucu dari seorang tokoh besar?
Samir melihat pada Papanya Diaz, kemudian mendekat dan bertanya dengan lirih. "Om, aku mau tanya sesuatu."
"Katakan," jawab Tuan Gunawan, dengan secangkir coklat masih ada di tangannya.
"Nona itu, apakah cucu Guru Besar sungguhan?"
"Apa maksudmu? Apa kau pikir ada cucu palsu?" Tuan Gunawan sedikit tidak suka dengan pertanyaan sahabat dari putranya ini.
"B-bukan begitu maksudku, Om. Soalnya selama ini, dalam beberapa pertemuan, Nona itu tidak pernah ikut serta, tapi kali ini ...." Samir menjelaskan dengan hati-hati, dia takut salah bicara.
"Ya, Nona Eriva tentu cucu kandung dari perguruan Jagat Pradhana. Dia baru menginjak usia 25 tahun, di mana usianya itu sudah dianggap matang dan layak terjun ke dunia bisnis, menggantikan Kakek Surya," papar Tuan Gunawan. "Memangnya, ada apa kau bertanya seperti itu?" lanjutnya.
"T-tidak Om. Saya hanya kagum saja," ucap Samir. Dia buru-buru pergi, takut lebih salah berkata-kata.
Samir berpapasan dengan Paman Hanavi yang hendak memberikan sebatang coklat pada Nona Eriva.
"Paman, biar aku saja yang memberikan," pinta Samir.
Paman Hanavi diam sejenak, "Maaf Tuan, izinkan saya yang memberikan langsung," ucap Paman Hanavi, langsung berlalu dari hadapan Samir.
Kening pemuda berwajah cukup tampan itu berkerut. 'Ada apa ini? Kenapa karisma Nona Eriva begitu kuat. Hingga Paman Hanavi pun sepertinya tidak menyia-nyiakan momen untuk lebih dekat dengan Nona ini,' batin Samir.
"Aku harus hubungi Diaz. Biar aku foto Nona itu," gumam Samir.
Dia berjalan agak jauh, mencari tempat supaya tidak terlihat saat mengabadikan Nona Eriva.
"Sebentar, aku video saja. Biar Diaz bisa lihat dengan jelas Nona ini."
Bersambung...
Bab 3
Langit gedung pertemuan Akbar masih dipenuhi atmosfer formal yang kaku namun penuh kesan mewah. Samir duduk di pojokan ruangan, berkutat dengan ponselnya. Wajahnya memancarkan rasa frustrasi. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Diaz, tapi nomor sahabatnya itu tetap tidak aktif.
"Ya ampun, ini anak bucin abis. Masih mending ada wujudnya, siapa yang dia bucinin sampe kaya orang gila gini."
Tut!
Tut!
"Selulernya juga gak aktif. Bener-bener ya kamu, Diaz. Huft ...."
Samir mendesah panjang. Dia tahu betul kebiasaan Diaz yang akhir-akhir ini semakin tenggelam dalam kesibukan menjual bunga. Bahkan di akhir pekan, pria itu lebih sering menghabiskan waktu berada di toko bunga Joan daripada memikirkan perusahaan.
"Aku yakin, kalau dia melihat wanita ini,” gumam Samir sambil memutar video yang baru saja ia rekam, “Pasti dia bakal lupa sama gadis kecil masa lalunya.”
Dalam video itu, Nona Eriva akan menikmati coklat. Caranya memakan begitu anggun, penuh ketenangan. Samir tidak bisa menahan senyuman kecil saat melihat bagaimana Eriva membuka bungkus coklat dengan hati-hati, lalu menggigitnya perlahan.
Ketika gigitan terakhir mencapai batas bungkus, ia dengan santai meminta plastik pada Paman Hanavi untuk menyimpan sisanya.
"Begitulah kelas seorang wanita cantik," batin Samir, terkagum.
###
Di sisi lain, sebuah taman yang ramai, suasana jauh berbeda. Dua bodyguard berpakaian hitam sedang menahan seorang wanita muda yang berontak dengan keras.
“Lepaskan aku! Kalian pikir aku ini penjahat?” bentak wanita itu, wajahnya merah padam. Rambut panjangnya yang tergerai tertiup angin, dan gaun putih dengan potongan sederhana yang ia kenakan tampak kusut akibat tarik-menarik.
Dari arah lain, Diaz muncul dengan senyum ramah di wajahnya.
“Tenang, Nona,” ujarnya sambil memberi isyarat pada bodyguard untuk melepaskan cengkeraman mereka. “Aku hanya ingin menanyakan sesuatu.”
Wanita itu mendengkus, menatap Diaz dengan tatapan curiga. “Apa yang kau mau?”
“Alergi bunga,” kata Diaz singkat.
Wanita itu tertegun. “Apa maksudmu?”
“Aku hanya penasaran,” lanjut Diaz dengan nada ringan. “Kenapa anda alergi bunga, tapi tetap membeli bunga? Itu… kontradiktif.”
Wanita itu menghela napas panjang. “Aku juga nggak tahu kenapa bisa alergi bunga. Dari kecil aku sudah seperti ini. Dan soal membeli bunga, itu bukan mauku. Ibuku yang menyuruhku.”
Ada jeda di antara mereka. Angin sore membawa aroma samar dari berbagai bunga di sekeliling keranjang yang Diaz bawa. Namun tatapan wanita itu menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam.
“Maaf kalau pertanyaanku terlalu mengganggu,” kata Diaz pelan, sedikit menyesal.
Wanita itu mengangkat bahu. “Kalau sudah selesai, aku pergi.”
Diaz buru-buru menarik sebatang coklat dari kantongnya. “Nona! Sebagai permintaan maaf, maukah kau menerima ini?”
Namun reaksi wanita itu mengejutkannya. “Apa kau nggak sadar?!” Wanita itu memekik, matanya membelalak. “Aku tadi lari karena jijik dengan coklat! Sekarang kau malah menawarkannya padaku?”
Dengan emosi meluap-luap, wanita itu memukul Diaz dengan tasnya sebelum pergi dengan langkah besar. Diaz hanya bisa berdiri terpaku, memandang kepergian wanita itu.
“Dia memang bukan Leri,” gumamnya lirih. “Leri sangat suka coklat.”
Hari semakin sore, Diaz kembali ke toko bunga milik Joan, sahabatnya. Toko kecil yang terletak di pinggiran kota, dihiasi berbagai bunga berwarna-warni yang mengundang perhatian. Joan sedang menyusun karangan bunga ketika Diaz datang dengan wajah lelah.
“Kau terlihat seperti baru bertarung dengan banteng,” canda Joan, menyerahkan sebotol air dingin.
“Aku hanya lelah,” balas Diaz singkat, merebahkan tubuhnya di sofa besar di belakang toko. Sebelum berbaring sepenuhnya, ia mengaktifkan ponselnya dan melihat notifikasi video dari Samir. Namun matanya yang berat tidak memungkinkan dia untuk menonton.
“Samir pasti merekam sesuatu yang tidak penting,” pikirnya sebelum akhirnya tertidur.
###
Di waktu yang berbeda, di masa lalu yang suram, Paman Hanavi terlihat panik membawa seorang anak lelaki kecil dan seorang gadis kecil lainnya. Mereka bersembunyi di balik reruntuhan bagian dari rumah, berusaha menghindari pandangan penjahat yang mengejar mereka.
“Diam,” bisik Paman Hanavi sambil memeluk anak-anak itu erat. Keringat mengalir di dahinya, dan matanya terus mengawasi setiap pergerakan di luar sana.
Anak lelaki itu, yang tak lain adalah Diaz kecil, memeluk putrinya Paman Hanavi. “Aku takut,” bisik anak cantik itu dengan pelan.
Paman Hanavi mengusap kepala mereka dengan lembut. “Jangan takut. Selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja.”
Teriakan beberapa orang terdengar di kejauhan, dan ketegangan memenuhi udara. Namun, dalam kekacauan itu, janji Paman Hanavi untuk melindungi anak-anak ini tetap kokoh.
"Aku peringatkan! Keluar dari persembunyian kalian! Atau aku tembak masal tempat ini!" teriak salah satu dari penjahat. "Aku tahu kalian ada di sini. Keluar!" lanjutnya.
Paman Hanavi terus memeluk erat kedua anak itu. Para pelayan dan security yang berjaga sudah dilumpuhkan. Sedangkan Papa Gunawan sedang ada keperluan di LN bersama istrinya.
“Aku akan melindungi kalian, jangan khawatir,” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.
Diaz kecil memeluk lututnya sendiri, tubuhnya gemetar. “Aku takut, Paman. Mereka sangat dekat.”
Namun, tanpa diduga, Leri kecil melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Mata hijaunya memancarkan keberanian yang tidak seharusnya dimiliki seorang gadis kecil berusia tujuh tahun. Paman Hanavi terkejut, mencoba menangkap tangan putrinya, tapi Leri terlalu cepat.
“Leri!” desis Hanavi dengan suara tertahan.
Diaz kecil membeku, menatap punggung Leri yang melangkah keluar dari persembunyian.
Leri muncul di hadapan para penjahat. “Berhenti!” suaranya lantang, menggema di antara reruntuhan.
Para penjahat terdiam. Mata mereka tertuju pada sosok kecil itu, seorang gadis mungil dengan gaun putih yang sudah kotor terkena debu.
“Saya anak yang kalian cari,” katanya tegas. “Saya anak dari pemilik Mahendra Corp. Kalau kalian mencari saya, sekarang sudah di sini!”
Para penjahat saling pandang, lalu tertawa keras. “Hahahaha! Anak kecil ini punya nyali juga, ya?” salah satu dari mereka berkata sambil mengayunkan pisau di tangannya.
Leri kecil mundur sedikit karena takut pisau itu melukainya. Ingin rasanya berteriak. Namun, dia tidak mau membuat ayah dan Diaz khawatir.
'Aku sudah melangkah sejauh ini. Jika harus ada korban ya aku saja. Jangan kami semua,' batin Leri.
Di balik reruntuhan, Paman Hanavi menahan napas. Tangannya menekan bahu Diaz kecil yang sudah siap meloncat keluar.
“Lepaskan aku, Paman! Aku harus menyelamatkan Leri!” Diaz berbisik dengan penuh emosi.
“Diam, Diaz!” Hanavi menatapnya tajam, suaranya rendah namun tegas. “Kita tidak boleh gegabah. Kalau kau keluar sekarang, semuanya akan berakhir. Aku akan kehilangan kalian berdua.”
Diaz menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengalir. Tubuh kecilnya bergetar, antara ketakutan dan amarah. “Tapi dia…”
Hanavi memeluknya erat-erat, mencoba meredam kegelisahan anak itu. “Percayalah padanya. Leri tahu apa yang dia lakukan.”
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!