.. THE REGRET OF MY SEVEN OLDER BROTHER'S..
Dinginnya angin malam menyapu lembut kulit seorang gadis cantik yang duduk sendirian di taman sepi, ditemani hanya oleh bisikan lembut daun yang tertiup angin. Di bawah langit malam yang penuh bintang, matanya yang indah terfokus pada cakrawala yang tak berujung. Bintang-bintang berkilauan dan bulan yang bersinar lembut seolah-olah tersenyum malu-malu, menanggapi tatapan penuh keajaiban dan kerinduan yang ia berikan. Dalam keheningan malam itu, setiap detik terasa seperti keajaiban yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
" Cantik sekali..." Ucapan lirih itu terlontar begitu jelas dari bibir nya.
Terdiam dalam ketenangan dan kesunyian malam, gadis itu merasakan kedamaian yang menyelimutinya. Keindahan malam, dengan langit bintang dan bulan yang memancarkan cahaya lembut, membuatnya terlena dalam suasana magis tersebut. Namun, keheningan yang memukau itu tiba-tiba terputus oleh suara dering telepon yang menggema di tengah malam.
Dengan rasa enggan, gadis ini melirik layar ponselnya. Nama kakaknya muncul di layar, seolah mengingatkannya bahwa ketenangan ini harus diakhiri oleh kenyataan yang menunggu di luar sana.
" KAU DI MANA HUHH?.. Jika tidak pulang sekarang, tidak usah kembali !" Ujar si penelpon dan langsung mematikan telpon nya secara sebelah pihak.
Gadis itu menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum beranjak dari posisinya yang nyaman. Setiap langkah yang diambilnya diiringi oleh napas yang berat, mencerminkan betapa sulitnya baginya untuk meninggalkan keindahan malam yang menenangkan. Rasa berat menyelimuti hatinya saat dia harus kembali ke tempat yang terasa jauh dari kenyamanan ini.
Namun, dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain tempat itulah satu-satunya rumah yang tersisa untuknya.Dengan langkah yang terasa lambat dan melelahkan, dia menyusuri jalanan malam yang gelap, kembali menuju rumahnya yang penuh dengan rasa berat dan harapan.
Sekitar 15 menit kemudian, wanita cantik ini tiba di sebuah bangunan mansion megah yang berdiri anggun di tengah malam. Pagar yang menjulang tinggi membatasi area mansion dari dunia luar, seolah melindungi segala kemewahan yang ada di dalamnya. Area pekarangan yang luas dan dikelilingi oleh taman yang rimbun memperlihatkan keindahan yang jarang ditemukan di tempat lain.
Lampu-lampu taman yang redup memberikan sentuhan hangat pada suasana malam, sementara struktur bangunan yang megah dengan desain klasik dan elegan tampak bersinar lembut dalam cahaya bulan. Mansion itu mencerminkan kemewahan dan kekuatan, namun juga terasa dingin dan jauh, seperti sebuah benteng yang menyimpan rahasia di balik dinding-dindingnya.
Kakinya mulai melangkah masuk ke dalam mansion mewah itu, dan begitu melintasi ambang pintu, dia disambut oleh suasana yang familiar namun tetap terasa asing baginya. Dia melangkah ke ruang tamu yang luas, di mana enam pria yang tak lain adalah saudara-saudaranya sendiri tengah berkumpul bersama.
Mereka duduk bersantai di sofa-sofa besar, sementara televisi di sudut ruangan menampilkan tayangan yang seolah-olah menjadi satu-satunya hiburan mereka malam ini. Suasana di ruang tamu terasa hangat dan riuh, kontras dengan dinginnya malam di luar dan ketegangan yang melingkupi hubungan mereka. Meskipun mereka tampak sibuk dengan acara di layar, kehadiran gadis itu segera menarik perhatian mereka, menambah nuansa tegang di dalam ruangan yang elegan ini.
Ruangan itu dipenuhi dengan kehadiran enam kakak laki-laki Lee Yoora. Lee Seonho, si sulung, duduk di ujung sofa dengan sikap tenang seperti biasa, di sampingnya Lee Yongki, kakak kedua yang dikenal tegas. Lee Haesung, sang kakak ketiga, tampak bersandar malas, sementara Lee JiHwan, kakak kelima, sibuk menggoda Lee Tae-hwan, si kakak keenam, yang terkekeh karena lelucon sederhana. Di ujung lain, Lee Jungsoo bersandar dengan santai, tampak menikmati momen kebersamaan yang jarang terjadi. Tawa kecil mereka terdengar, mengiringi tayangan televisi yang seolah menjadi latar kesederhanaan di tengah mansion megah itu.
Seonho, sebagai kakak pertama, kini menjabat sebagai CEO muda di perusahaan keluarga Lee. Di usianya yang baru menginjak kepala tiga, ia memikul tanggung jawab besar untuk melanjutkan bisnis keluarga, mengingat keenam saudaranya enggan ikut terlibat dalam urusan perusahaan.
Sementara itu, Yongki, kakak kedua, telah menorehkan namanya sebagai produser musik dan penulis lagu terkenal. Karya-karyanya telah menghiasi panggung musik nasional, dengan banyak penyanyi ternama yang membawakan lagu-lagu ciptaannya
Haesung, kakak ketiga, adalah seorang desainer muda yang sukses. Namanya sudah dikenal luas di industri fashion, dengan banyak artis-artis terkenal yang pernah mengenakan busana hasil desainnya. Setiap rancangannya memiliki sentuhan unik yang selalu berhasil menarik perhatian para selebriti dan pecinta mode.
Jihwan, kakak kelima, merupakan seorang penyanyi seriosa yang diidolakan di seluruh negeri. Suaranya yang memukau, ditambah dengan penampilannya yang menawan, membuatnya menjadi pusat perhatian di mana pun ia tampil. Tak heran, penggemarnya tersebar bukan hanya di negara ini, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Taehwan, kakak keenam, adalah seorang fotografer berbakat. Awalnya, memotret hanyalah hobi, namun kini telah menjadi profesinya. Dengan keahliannya yang luar biasa, ia sering diundang oleh artis-artis terkenal dan tokoh-tokoh penting untuk mengabadikan momen-momen istimewa mereka. Setiap hasil jepretannya selalu berhasil menangkap keindahan dari sudut pandang yang berbeda.
Jungsoo, bisa di bilang si bungsu kedua, lahir sebagai saudara kakak terakhir dari gadis itu. Meskipun mereka memiliki usia yang tidak berbeda begitu jauh, nasib mereka sangat berbeda. Jungsoo masih seorang mahasiswa, sama seperti adik perempuannya yang masih belajar namun bedanya dia masih berada di jenjang sekolah menengah atas , namun kehidupannya jauh lebih mudah dibandingkan dengan gadis itu.
" Masih Inget pulang juga Kamu ternyata " sindir Taehwan
" Padahal ngapain pulang ke rumah iya kan ?, percuma cuma jadi beban doang " sahut Jungsoo.
" Dari mana aja Kamu jam segini baru pulang jual diri hah? " Sambung haesung Tidak kalah ketus mencecar kan pertanyaan untuk Nya .
" Aku terlambat karena menunggu bis oppa " ujar wanita itu sembari menunduk.
" Alasan saja, cepat buatkan makan malam untuk kami , seharusnya kau tahu diri sudah menumpang malah bertingkah seenak jidat " ujar sang kakak tertua, sembari melengos pergi meninggalkan ruang tamu itu.
" Merusak mood saja " sambung Taehwan Sembari berlalu pergi meninggalkan ruang tamu juga .
Tidak ingin mendengar lebih banyak cacian lagi, gadis cantik yang memiliki nama Lee Yoora Itu kini pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam untuk ketujuh saudara laki-lakinya itu , dia memasak semua bahan yang ada sesuai kemampuan nya .
Hanya membutuhkan waktu sekitar 40 menitan akhirnya semua masakan pun sudah tersusun rapi di meja makan , dengan langkah tergesa Yoora Langsung berjalan ke lantai dua untuk memanggil Kakak tertuanya untuk segera makan malam .
Tok... Tok..
Beberapa kali .. mengetuk pintu akhirnya sang pemilik kamar pun keluar dengan wajah datar nya , Yoora Sangat berharap suatu hari nanti Kakak nya itu akan tersenyum padanya walaupun mungkin dalam mimpinya.
" Apa ? " Tanya nya ketus.
" Oppa makan malam nya sudah siap " ujar nya sembari menunduk.
" Sekali lagi kau terlambat pulang , lebih baik tidak usah kembali lagi . Aku muak harus selalu melihat sikap mu yang urakan- urakan tidak jelas ! " Ujar nya menatap tajam wajah sang adik.
" Maaf oppa " ujar .... Hanya bisa menunduk.
" Panggil kan yang lain, katakan aku menunggu di bawah, " ujar nya lalu berlalu meninggalkan yoora sendiri di sana.
" Oppa.. " Panggil yoora lagi , Langkah Seonho terhenti mendengar ucapan adik bungsu nya itu .
" Apa lagi " jawab seonho ketus , tanpa menoleh sedikitpun pada yoora.
" Namjin oppa ada di rumah? " Tanya yoora yang memang tidak melihat Kakak ke empat nya itu , sejak kembali ke rumah.
" Di kamarnya! " Ujar Seonho yang berlalu pergi meninggalkan yoora yang diam mematung.
Yoora menghela napas panjang, merasakan beban yang menggelayuti hatinya. Ia melangkah pergi untuk memanggil semua saudaranya yang lain, berharap ada sedikit perubahan dalam sikap mereka. Namun, tanggapan yang ia terima tidak berbeda jauh dari yang diberikan kakak pertamanya. Kini, ia berdiri di depan pintu kamar kakak keempatnya, Lee Namjin. Dalam pikirannya, Namjin adalah sosok yang paling baik di antara semua saudaranya, selalu memiliki kata-kata penyemangat yang mampu menghiburnya di saat-saat sulit.
Namjin sendiri adalah seorang seniman yang begitu populer di kalangan pecinta seni, karyanya selalu berhasil menyentuh hati banyak orang. Dengan sentuhan unik dalam setiap lukisannya, ia mampu menciptakan keindahan yang membuat banyak orang terpesona. Pria bermarga Lee ini memiliki paras tampan yang menawan, yang seolah menjadi warisan keluarga, serupa dengan saudara-saudaranya yang lain. Kehadirannya selalu dapat memikat perhatian, baik di pameran seni maupun dalam kehidupan sehari-hari.
" Oppa " Ujar yoora sembari mengetuk pintu beberapa kali.
" Ada apa ? " Sahut Namjin Saat pintu terbuka.
" Seonho Oppa memanggil oppa untuk makan malam. Mereka sudah menunggu di bawah " ujar yoora Lembut.
" Baiklah... Ayo turun bersama kita makan malam bersama" ujar Namjin dengan senyuman manis nya.
" Aku harus mandi oppa , kalian duluan saja tidak perlu menunggu ku itu pasti akan sangat lama " Ujar nya sembari tersenyum.
" Selalu begini , padahal oppa ingin sekali makan bersama mu " ujar Namjin.
" Lain kali saja oppa, malam ini ada tugas dari sekolah yang harus aku kerjakan juga, masih banyak waktu untuk itu kan " ujar yoora berbohong.
" Baiklah.. jika butuh bantuan katakan pada oppa, dan ya jangan dengarkan ucapan mereka oke " ujar nya sembari berlalu pergi meninggalkan Yoora Yang masih diam di sana .
..... POV on....
Setelah kepergian Namjin oppa aku hanya bisa menatap ke bawah , melihat ruang makan yang luas itu di penuhi oleh canda tawa ke enam saudara ku , aku ikut tersenyum saat melihat keharmonisan keluarga ku itu .
Aku Lee Yoora, anak terakhir dari keluarga Lee. Kehidupanku di tengah kakak-kakak yang memiliki nama dan gelar yang cukup terpandang tidak memberikanku kebahagiaan seperti yang dialami oleh adik perempuan lainnya yang selalu disayangi oleh semua kakaknya. Semua saudaraku tidak menyukai dan tidak pernah menganggap kehadiranku berarti. Mereka hanya menganggapku sebagai benalu yang selalu merepotkan hidup mereka, seolah-olah keberadaanku hanyalah beban yang mereka terpaksa tanggung. Setiap pandangan sinis dan kata-kata tajam yang mereka lontarkan membuatku merasa terasing di dalam rumah sendiri, sebuah tempat yang seharusnya penuh cinta dan kehangatan.
Sejak usia 15 tahun, aku sudah diasingkan oleh semua kakakku. Semenjak kepergian Mommy dan Daddy, hidupku berubah drastis. Para kakakku menyalahkanku atas kematian Daddy dan kepergian Mommy dari hidup mereka. Dulu, aku selalu berusaha mendekati dan mengintili mereka ke mana pun mereka pergi, layaknya seorang anak kecil yang haus akan kasih sayang dan pengakuan. Namun, harapanku selalu terpendam dalam heningnya kesunyian.
Hingga akhirnya, aku tersadar bahwa mereka tidak menyukaiku dan sangat membenci kehadiranku. Sejak saat itu, aku berusaha menjaga jarak dengan mereka, meski di lubuk hatiku yang paling dalam, aku selalu berharap bisa memeluk mereka sekali saja. Setelah itu, aku bersedia mengikuti jalan Tuhan selanjutnya, entah apa pun itu.
Namun, bertahun-tahun aku bertahan dalam penantian panjang yang tak kunjung terwujud, seperti sebuah angan yang tak pernah sampai pada sang Tuan. Aku terjebak dalam cacian, hinaan, penyiksaan, dan harapan yang tak berujung. Walaupun hanya sekedar mimpi, itu tak pernah terwujud. Hati mereka seolah sudah terkunci, mungkin tidak akan pernah bisa terbuka lagi untuk sekedar menerima pelukanku.
" Makan yang banyak... Bukan kah besok kamu ada kelas pagi ? " Suara kakak tertua ku itu membuatku menghentikan lamunan ku , sudah pasti ucapan itu bukan untuk ku . Dia hanya akan berbicara beberapa kata saja saat aku bertanya, selebihnya dia tidak akan pernah melihat ataupun menyapaku walaupun aku ada di hadapannya.
"Iya... Ouh ya, Hyung, bolehkah kirimkan uang saku lebih untukku?" ujar Jungsoo, berharap kakaknya mau mengerti.
"Untuk apa? Bukankah uang saku-mu dari kami sudah cukup banyak? Jangan mulai bertingkah, Jungsoo," ujar Yongki dengan nada tegas, matanya menatap Jungsoo yang tampak resah.
"Aisshh... ada temanku yang berulang tahun, tidak mungkin jika aku harus datang dengan tangan kosong, kan?" jawab Jungsoo kesal, merasa tidak dipahami oleh kakaknya.
"Baiklah... itu mudah, tapi ingat pesan-ku, jangan pernah membuat ulah seperti anak pembawa sial itu," ujar Yongki lagi dengan nada serius, yang seolah mengingatkan akan sesuatu yang tidak ingin dibicarakan.
"Kenapa sih harus terus menyebut nama orang gila itu?" sahut Taehwan malas, terlihat terganggu dengan pembicaraan yang terus berlanjut.
"Jaga ucapanmu, Tae!! Yang kamu sebut orang gila itu adalah adik kita!" ujar Namjin tidak terima, merasa marah dengan sikap Taehwan yang terlalu kasar.
"Adik?!... Sampai mati pun aku tidak mau mengakuinya sebagai adikku! Manusia menjijikkan yang sudah merenggut kebahagiaanku, seharusnya dia yang mati, bukan Daddy!" ujar Taehwan dengan emosi yang meledak, sembari berlalu pergi meninggalkan meja makan dengan langkah cepat.
"Tae, mau kemana? Habiskan dulu makananmu... Taehwan," ujar Seonho memanggil adiknya itu berulang kali, namun tidak dihiraukan sama sekali.
"Kenapa sih selalu membelanya? Sadarlah, Hyung! Karena dia, kita kehilangan Daddy dan ditinggalkan oleh Mommy. Dia itu pembawa sial! So stop mentioning his name before us! " ujar Jihwan dengan nada penuh amarah, ikut menyusul adiknya yang pergi.
"Aku malas," ujar Jungsoo sembari ikut berdiri dan berlalu dari meja makan.
"Namjin, bisa tidak jangan mengacaukan makan malam? Sekali saja, Hyung, mohon, jangan menyebut namanya di hadapan Jungsoo, Taehwan, dan Jihwan! Mereka terlalu sensitif untuk ini!" ujar Seonho sebagai kakak tertua, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Tapi benar kan, Hyung? Yoora memang adik kita, ken..." Ucapan Namjin langsung disela oleh Haesung.
"Aku selesai," ucap Haesung singkat, sambil bangkit dan meninggalkan meja makan dengan wajah datar.
"Paham sampai sini?" tanya Seonho sembari berdiri dan berjalan bersama Yongki, meninggalkan Namjin yang kini berdiri sendiri di tengah meja makan yang terasa semakin sepi.
" Adek...... " Lirih Namjin Sembari menatap pintu kamar, yang ada di dekat dapur .
Dia tahu bahwa sang adik pasti mendengar semua perdebatan ini. Mungkin kata-kata kasar semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi adiknya itu. Sejak usia 15 tahun, dia memang sudah dibenci dan diasingkan dari keluarga Lee oleh saudara-saudaranya, termasuk dirinya sendiri. Bertahun-tahun, dia ikut membenci adiknya itu, menganggapnya sebagai penghalang kebahagiaan dan harapan mereka.
Namun, segalanya mulai berubah pada suatu hari ketika sebuah kejadian tak terduga mengguncang kehidupan nya. Sebuah momen yang tidak bisa dia lupakan, yang memaksa dirinya untuk melihat adiknya dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin, dalam kegelapan yang menyelimuti hubungan mereka, masih ada cahaya harapan yang menunggu untuk ditemukan.
....
Sementara itu, aku yang kini sudah ada di kamar, hanya bisa diam dan menangis mendengar perdebatan mereka. Aku bukanlah wanita hebat seperti yang orang di luar sana bayangkan. Aku sama saja seperti wanita lain yang lemah dan butuh perhatian dari orang-orang di sekitarku, namun sayangnya, aku tidak pernah mendapatkannya.
Di tengah-tengah mewahnya mansion ini, di sinilah aku ditempatkan, dalam sebuah kamar sempit yang dulunya dihuni oleh Bibi Ahn. Dia adalah pelayan yang setia bekerja di sini sejak orang tuaku masih ada, dan sifatnya tak pernah berubah meski kondisi hubungan kami tidak baik. Meskipun dia tahu bagaimana perlakuan keluargaku padaku, dia tetap tidak ikut membenci. Justru, dialah yang selalu memperhatikanku layaknya seorang ibu.
Ruangan yang sempit ini menjadi satu-satunya tempat di mana tangisanku bisa terdengar, setiap dinding menjadi saksi bisu seberapa sering aku berdoa dalam tangisanku. Sayangnya, sekarang aku hanya bisa meratapi semuanya sendiri setelah Bibi Ahn memutuskan untuk berhenti bekerja demi berkumpul dengan keluarganya. Keberadaannya sangat berarti bagiku, dan kehilangan sosoknya membuatku semakin merasa terasing di dalam dinding-dinding mansion ini.
Tok ... Tok....
Terdengar suara ketukan pintu , aku tahu jika itu pasti Namjin oppa Karena jika saudara ku yang lain tidak mungkin ketukan pintu nya se-tenang itu.
" Adek.. sudah tidur?! " Ujar nya dari balik pintu.
Aku hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan kakak ku , aku tidak ingin terlihat berantakan di hadapan semua kakak ku . Setelah beberapa saat, akhirnya suaranya pun hilang menjauh diiringi langkah kakinya.
" Maaf oppa ! " Ujar.....
.... POV end ....
...----------------...
Jam masih menunjukkan pukul setengah empat pagi, di mana seluruh penghuni kediaman mewah itu masih asyik terlarut dalam mimpi indah mereka. Namun tidak dengan seorang gadis cantik yang selalu bangun lebih awal dibandingkan yang lainnya. Selama bertahun-tahun, dia selalu melakukan rutinitas ini, terutama sejak kepergian Bibi Ahn. Bagi Yoora, pekerjaan ini adalah satu-satunya hal yang dia sukai, karena hanya dengan cara ini dia bisa merasakan dan memeluk satu per satu kakaknya tanpa harus memohon.
Dengan lembut, dia berjalan menyusuri lorong-lorong mansion yang masih diselimuti keheningan. Aroma segar dari pagi hari mulai menyebar, tetapi di hatinya, ada kesedihan yang tak kunjung sirna. Yoora tahu, saat kakaknya terbangun, mereka akan kembali kepada rutinitas yang sama kehilangan, rasa tidak dihargai, dan keterasingan.
Pikirannya melayang pada kenangan indah yang sempat dia rasakan bersama mereka. Dia berusaha mengingat senyuman mereka, walau sering kali diiringi dengan kata-kata yang tajam. Dengan semangat baru, Yoora berharap, hari ini bisa jadi hari yang berbeda walaupun mungkin itu hanya halusinasi nya saja .
" Sekali saja , hanya sekali sebelum aku pergi tolong berikan aku pelukan, jika tidak bisa tolong izinkan aku memeluk kaki kalian saja. Aku ingin tahu bagaimana rasanya di peluk oleh mu oppa, aku ingin merasakan apa yang di rasakan Taehwan oppa dan Jungsoo oppa walaupun hanya sekali " ujar nya sembari memeluk pakaian - pakaian kotor milik para saudara nya.
" Kalau bukan karena mu mommy dan Daddy tidak akan pergi , aku membencinya Tuhan dia bukan adikku " gumam seorang pria yang kini tidak sengaja melihat adiknya itu , memeluk pakaian kotor miliknya dan juga saudaranya yang lain.
Setelah selesai dengan semua pakaian tersebut , yoora langsung bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makanan untuk sarapan semua orang. Sedangkan sosok pria yang tidak sengaja memergoki yoora adalah Jihwan, dia tidak sengaja memergoki yoora yang sedang memeluk baju - baju kotor tersebut saat akan mengambil Air minum.
....
Seperti hari - hari sebelumnya setelah selesai dengan tugas nya yoora langsung bergegas pergi ke sekolah nya untuk belajar, tanpa sarapan atau apapun itu dia pergi menaiki bus agar segera sampai ke sekolahnya itu .Dia sudah sangat bersyukur karena dia masih di izinkan untuk bersekolah oleh kakak tertuanya itu .
" Good morning! " sapa Rea, seorang gadis manis yang menjadi teman dekat Yoora di tengah banyaknya orang yang selalu membully nya.
Rea memang bukan berasal dari keturunan keluarga terpandang seperti Yoora, tetapi kehadirannya selalu membawa keceriaan. Senyumnya yang cerah seolah menjadi sinar mentari di pagi yang kelam bagi Yoora.
Meskipun hidup Rea tidak seberuntung kehidupan Yoora yang dikelilingi oleh kekayaan dan kemewahan, Yoora merasa sahabatnya itu lebih beruntung dalam hal kebahagiaan. Rea adalah sosok yang selalu bisa membuatnya tersenyum, meski dunia di sekitar mereka terasa begitu berat. Dalam pandangan Yoora, hidup Rea yang sederhana membawa kebahagiaan yang tak ternilai, sebuah kehangatan yang tak pernah dia rasakan dalam keluarganya sendiri.
"Morning," jawab Yoora dengan suara pelan, terlihat lesu saat melangkah mendekati Rea.
"Kenapa seperti lemas begitu?" tanya Rea, memperhatikan dengan cemas ekspresi Yoora yang tampak tidak biasa. Rea sudah cukup lama mengenal Yoora, dan ia bisa merasakan ada yang tidak beres.
"Tidak ada apa-apa... hanya saja aku merasa takut dengan nilainya," jawab Yoora pelan, matanya menunduk, seolah takut menghadapi kenyataan.
"Apa karena kakakmu itu lagi?" tanya Rea, mengernyitkan dahi. Dia memang sudah tahu tentang hubungan Yoora dengan semua kakaknya, hubungan yang rumit dan penuh ketegangan. Itulah sebabnya Rea selalu berusaha menghibur Yoora setiap kali mereka berbicara.
"Aku hanya takut saja," jawab Yoora lagi, suaranya agak tertahan. Dia tampak ragu-ragu, seolah perasaan itu menghimpit dirinya dari dalam.
"Percaya padaku... nilai mu kali pasti bagus," ujar Rea dengan penuh keyakinan, berusaha meyakinkan Yoora yang tampak tertekan. Yoora hanya menganggukkan kepala perlahan, mencoba percaya meski rasa khawatir masih membayangi pikirannya.
Yoora memang bukanlah murid yang bodoh; dia pintar, bahkan sangat pintar, seperti Lee Namjin. Namun, selalu ada rasa was-was yang menghantuinya setiap kali ujian mendekat. Setiap kesalahan sekecil apapun bisa berdampak besar pada kemarahan kakak tertuanya itu, membuatnya merasa seolah-olah hidup dalam bayang-bayang tekanan.
Kekhawatiran itu menghimpitnya, seolah dia selalu berjalan di tepi jurang. Seonho, yang dikenal sebagai sosok yang ambisius dan perfeksionis, tidak segan-segan mengekspresikan ketidakpuasannya dengan pukulan hingga makian jika Yoora tidak memenuhi standar yang ditetapkannya oleh nya.
Maka, setiap kali Yoora membuka buku pelajaran, dia melakukannya dengan penuh rasa takut dan harapan, berjuang untuk tidak hanya mendapatkan nilai yang baik, tetapi juga untuk mendapatkan sedikit pengakuan dari saudara-saudaranya yang tak pernah menghargai keberadaannya.
"Aku selalu khawatir, tidak jelas... Ouh ya, apa kamu masih ingat pria yang tidak sengaja kita tolong minggu lalu?" tanya Yoora lagi, suara pelan dengan sedikit rasa gelisah di matanya.
"Akhh... iya, aku ingat. Ada apa?" tanya Rea, menatap Yoora dengan penuh perhatian. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu sahabatnya itu.
"Kang Min-ho... Aku kemarin tidak sengaja bertemu dengannya saat disuruh Namjin oppa membeli barang di supermarket," jawab Yoora dengan suara yang lebih rendah, seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya.
"Begitu kah? Lalu apa yang terjadi?" Tanya Rea, semakin penasaran. Ia tahu pasti bahwa pertemuan itu cukup menarik perhatian Yoora.
"Tidak ada yang terjadi, dia hanya menegurku dan membayar semua belanjaan ku," jawab Yoora, merasa canggung saat mengingat kejadian itu.
"Serius?" Tanya Rea, terkejut. Ia tidak percaya bahwa seseorang yang baru mereka temui bisa melakukan hal seperti itu.
" Apa aku kelihatan berbohong?" ujar Yoora, menatap Rea dengan mata yang sedikit kesal, merasa dipertanyakan.
Rea yang mendengar itu langsung tertawa, karena melihat wajah Yoora yang kesal. Ia selalu merasa senang bisa mengerjai sahabatnya seperti ini. Namun, di balik tawanya, ia menyadari ada sesuatu yang lebih dalam di balik pertemuan itu.
"Lalu, apa yang kamu lakukan dengan uang oppa-mu itu?" tanya Rea dengan rasa ingin tahu yang makin besar.
"Tidak ada yang aku lakukan, aku mengembalikan uangnya pada Namjin oppa, tapi dia nggak mau menerimanya," jawab Yoora dengan sedikit ragu, seolah merenung tentang reaksi Namjin.
"Ra... apa Namjin oppa baik padamu?" tanya Rea lagi, memandangi Yoora dengan tatapan tajam, mencoba membaca perasaan sahabatnya itu.
" Eummm... Sangat baik, semua oppa ku baik Re.. hanya saja mungkin mereka sedikit kecewa padaku . Karena bagaimanapun karena diriku mereka harus kehilangan kasih sayang orang tua kami . Aku mungkin akan melakukan hal yang sama jika ada di posisi mereka ! " Ujar Yoora sembari menatap sahabatnya itu.
" Dengarkan aku Ra.. kematian Daddy mu dan kepergian mommy mu bukanlah kesalahan mu , tidak ada seorang pun anak yang akan tega membunuh orang tua nya sendiri . Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, dan jangan dengarkan ucapan semua oppa mu itu " ujar Rea memberikan pengertian pada sahabat nya itu, Rea memang tahu seberapa buruknya kehidupan sahabatnya ini .
" Lupakan saja ayo masuk kelas, sepertinya kelas nya akan segera di mulai " ujar yoora mengalihkan pembicaraan nya .
Rea yang mendengar ucapan sahabat nya itu hanya dapat menggelengkan kepalanya, dia sudah sering menasihati Sabahat nya itu. Namun sayang yoora tidak pernah mau mendengarkan nya , Dia selalu berkata jika semua saudara nya itu baik . Tanpa pernah mencela mereka sedikit pun dan dihadapan siapapun.
....
"Bagaimana?" tanya seorang pria dengan suara rendah namun penuh otoritas. Ia duduk di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan remang, meja kerjanya dipenuhi dokumen dan beberapa layar komputer yang menampilkan data-data penting.
"Maafkan saya, Tuan. Sejauh ini, saya belum berhasil menemukan Nyonya. Namun, saya akan berusaha sebaik mungkin agar tidak mengecewakan Anda," ujar seorang pria lain yang berdiri di hadapannya. Wajahnya tegang, menunjukkan bahwa ia sangat menyadari keseriusan situasi ini.
"Bekerjalah dengan cepat!" jawab pria itu tegas, tatapannya tajam menembus sosok anak buahnya. Ucapan itu seperti peringatan sekaligus ultimatum yang tak bisa diabaikan.
"Terima kasih, Tuan. Saya permisi," balas anak buahnya, membungkukkan badan dengan hormat sebelum bergegas meninggalkan ruangan setelah mendapat izin. Langkah kakinya terdengar berderap pelan, menggema di lantai marmer ruangan yang sunyi.
Tak lama setelah pintu menutup, keheningan ruangan kembali pecah oleh dering ponsel yang tiba-tiba mengisi udara. Pria yang tengah asyik berkutat dengan komputernya itu mengangkat kepala, menatap layar ponsel yang tergeletak di atas meja. Nama di layar membuat ekspresinya berubah menjadi serius.
Dengan sedikit ragu, ia mengambil ponsel itu dan menjawab panggilan.
"Hallo..." sahutnya pelan saat panggilan tersambung.
"Yongki-ah..." suara berat terdengar dari seberang telepon, memanggil nama Yongki.
"Nee, Hyung... ada apa?" tanya Yongki pada sang kakak, Seonho.
"Kau sedang sibuk?" Seonho bertanya, suaranya terdengar ragu.
"Sedikit... katakan saja ada apa?" jawab Yongki sambil menghela napas kecil, tanda bahwa ia tengah fokus dengan sesuatu.
"Kau tahu, hari ini ulang tahun Jungsoo. Aku hampir saja melupakannya," tutur Seonho dengan nada penuh penyesalan.
"Aku juga lupa, Hyung. Untung saja kau mengingatkan. Kalau tidak, dia pasti akan merajuk seperti tahun lalu," balas Yongki sambil mengusap dahinya.
"Kau benar... lalu bagaimana sekarang? Waktunya sudah sangat mepet, sementara Hyung masih harus bekerja," tanya Seonho, terdengar sedikit cemas.
"Aku juga sedang mengerjakan proyekku, tidak mungkin bisa pulang cepat!" jawab Yongki dengan nada setengah frustrasi.
"Hyung tahu... jadi, apa pendapatmu?" Seonho bertanya lagi, kini dengan nada lebih serius.
"Apa kita makan di luar saja?" Yongki mengusulkan dengan nada ragu.
"Kau tahu, Jungsoo tidak suka merayakan ulang tahunnya di luar," jawab Seonho sambil menghela napas panjang.
"Akhh, iya... begini saja, Hyung. Minta Yoora untuk menyiapkan segalanya, dan biarkan Jihwan serta Taehwan mengalihkan perhatian Jungsoo. Aku dengar Haesung dan Namjin baru akan pulang ke rumah nanti malam," usul Yongki dengan nada lebih yakin.
"Yoora? Kau yakin dia bisa kita andalkan?" tanya Seonho lagi, nada skeptis terdengar dari suaranya.
"Mau bagaimana lagi? Ini sudah terlalu mepet. Aku tidak mau adikku kecewa lagi seperti tahun lalu!" jawab Yongki tegas, menunjukkan kepeduliannya.
"Baiklah... aku akan coba bicara padanya nanti," balas Seonho akhirnya setuju.
"Nee, Hyung..." sahut Yongki singkat.
"Hyung tutup dulu. Semangat bekerja, Yongki-ah," ujar Seonho sembari mengakhiri percakapan mereka.
.....
Sementara di tempat lain, Yoora yang sedang berjalan pulang bersama Rea harus menghentikan langkahnya sejenak. Suara dering telepon yang mendadak berbunyi tidak bisa diabaikan begitu saja. Yoora merogoh saku jaketnya dengan cepat, melihat nama yang tertera di layar, membuatnya menghela napas sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut.
"Re, kamu duluan saja. Aku akan mengangkat telepon dulu," ujar Yoora sambil mengeluarkan ponselnya yang bergetar di dalam tas.
"Tapi bis nya sudah sampai. Ayo masuk dulu, jangan sampai kita tertinggal," ujar Rea dengan nada mendesak.
"Iya... ada apa, Oppa?" tanya Yoora begitu panggilan tersambung. Kini ia sudah duduk di dalam bis, bersebelahan dengan Rea yang duduk di samping nya .
"Di mana kau?" suara tegas dari seberang terdengar. Itu suara Seonho, kakak tertuanya.
"A-aku di jalan. Ouh ya, Oppa, kebetulan kau menelepon. Aku mau minta izin. Mungkin malam ini aku akan pulang terlambat. Ada yang harus aku beli," ujar Yoora hati-hati, mencoba menyampaikan niatnya.
"Tidak ada pulang terlambat seperti itu! Pulang secepatnya! Kau lupa kalau hari ini ulang tahun Jungsoo? Selalu saja seperti itu. Tidak berguna!" suara Seonho memotong tajam.
"Aku tidak lu..." Yoora mencoba menjawab, tetapi Seonho kembali memotong ucapannya.
"Jangan banyak alasan! Kau membuang waktuku. Intinya, siapkan semua keperluan untuk ulang tahun Jungsoo malam ini. Aku ingin semuanya selesai sebelum jam delapan malam. Aku akan mengundang tamu setelah itu, dan dengarkan aku jangan menampakkan dirimu selama acara!" suara Seonho terdengar semakin dingin, membuat Yoora menelan ludah dengan berat.
"Kau dengar tidak!?" Bentak seonho, yang membuat yoora terlonjak kaget.
"Kenapa mepet sekali, Oppa? Mana bisa aku menyiapkan semuanya dalam waktu beberapa jam saja?" Ujar Yoora dengan nada nyaris berbisik agar Rea tidak mendengar.
"Aku akan mengirimkan uang untuk membeli segala keperluannya. Tapi dengarkan ini baik-baik jika sampai acara ini tidak berhasil, aku akan pastikan kau tidak bisa bersekolah lagi. Paham?!" ancam Seonho sebelum menutup telepon tanpa memberi Yoora kesempatan menjawab.
Yoora hanya bisa menghela napas panjang saat suara kakak tertuanya, Seonho, berhenti terdengar di telepon. Sejenak, dia terpaku menatap layar ponselnya yang kembali menyala, menunjukkan notifikasi baru. Notifikasi itu tentu saja tentang transfer uang dari Seonho. Dengan tatapan hampa, Yoora menyadari bahwa dia tidak memiliki pilihan lain selain terus menuruti perintah kakaknya, meskipun hatinya terasa semakin berat karena takut tidak bisa menyelesaikan semuanya tepat waktu.
"Re... Boleh aku minta tolong? " Tanya Yoora pada sahabat yang mungkin sedari tadi mendengar semua percakapan mereka.
"Aku akan membantumu, katakan ada apa?" Tanya Rea yang tau dengan kondisi sahabat nya itu .
"Jungsoo oppa berulang tahun hari ini, sedangkan di rumah belum ada persiapan apapun , barusan seonho oppa meminta ku untuk menyiapkan segalanya . Aku tidak yakin jika ini akan selesai tepat waktu ! " Ujar Yoora menjelaskan segala nya pada sahabat nya itu .
"Bukankah kamu juga tadi berkata akan membeli sesuatu untuk dia ? " Tanya Rea lagi .
"Emm... Tentu saja, aku tidak pernah sekalipun melupakan tanggal ulang tahun semua oppa ku " jawab Yoora lagi .
"Apa yang harus aku bantu , seperti nya oppa mu kembali mengancam mu ? " Tanya Rea lagi .
"Re ... " ujar Yoora yang di jawab anggukan oleh Rea.
"Maaf jika tidak sopan , tapi aku mendengar semua nya . Bukankah yang mereka lakukan terlalu jahat ? Mereka memperlakukan mu layaknya seorang pembantu di sana !" Jawab Rea lagi.
" Kau tau itu tidak seperti yang kamu pikir, mereka seperti itu karena tidak mau rekan kerja nya tau tentang keberadaan ku " jawab Yoora memberikan pembenaran terhadap sikap Kakak nya itu.
" Terserah mu saja lah, katakan padaku jika kamu ingin menyerah. " Ujar Rea yang di tanggapi oleh kekehan dari Yoora.
" Menyerah apa maksud mu { ucap nya yang tidak berhenti tertawa } aku melakukan itu untuk kakak ku sendiri , santai saja " jawab nya yang tidak di tanggapi oleh Rea.
Rea selalu tahu bahwa Yoora pandai menyembunyikan segala masalahnya. Meski Yoora seringkali berkata bahwa semuanya baik-baik saja, Rea merasa Yoora tak pernah benar-benar mengungkapkan kejelekan atau perlakuan buruk dari ketujuh saudaranya.
Sesuai perintah Seonho, Yoora dibantu oleh Rea pergi untuk membeli beberapa kebutuhan acara ulang tahun Jungsoo, sang kakak ketujuh. Walaupun Yoora tahu tidak mungkin dia memberikan kado itu langsung kepada Jungsoo, dia tetap menyempatkan membeli hadiah kecil untuk Nya . Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, tapi di balik itu yoora selalu bersyukur karena Rea selalu mau membantu nya .
Begitu yoora sampai di kediaman keluarga Lee, Yoora menghela napas, merasa kelelahan dengan segala kegiatan yang terkesan tergesa-gesa itu. Namun, di balik rasa lelah, dia bersyukur. Rea, yang tanpa ragu selalu membantunya, tak hanya sahabat biasa. Bagi Yoora, Rea sudah seperti bagian dari keluarga. Mereka telah berteman sejak SMP, dan persahabatan yang terjalin selama bertahun-tahun itu sudah cukup untuk membuktikan betapa dekatnya mereka.
Saat Yoora hendak turun dari mobil taksi yang disewanya, ponselnya tiba-tiba berdering, memecah keheningan yang sempat terasa selama perjalanan pulang. Tanpa terburu-buru, dia meraih ponselnya dan melihat nama yang muncul di layar. Panggilan dari Namjin. Sejenak, dia terdiam, merasakan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat. Meski dia sering menerima panggilan langsung dari kakaknya yang satu ini, dia tahu bahwa Namjin tidak akan meneleponnya tanpa alasan penting.
" Hallo... " Ucapan Yoora.
" Kamu sudah kembali ke rumah ? " tanya Namjin .
"Iya oppa, aku baru saja sampai," jawab Yoora pelan saat mengangkat telepon.
"Nanti malam oppa dengar ulang tahun Jungsoo akan diadakan di rumah. Kamu sudah punya pakaian untuk dipakai?" tanya Namjin dengan nada perhatian yang khas.
"Akh, tidak apa-apa oppa, aku masih punya pakaian yang bisa dipakai," ujar Yoora, berusaha terdengar yakin.
"Pakaian kapan, Yoora? Kamu satu-satunya putri di keluarga Lee, kamu harus tampil cantik!" balas Namjin dengan nada lembut namun tegas.
Yoora hanya terdiam mendengar perkataan kakaknya. Kata-kata Namjin itu menggema di benaknya, membuatnya merasa semakin kecil di tengah keluarganya yang begitu besar dan terpandang. Selama ini, keberadaan Yoora di dalam keluarga Lee memang sengaja disembunyikan oleh Seonho dan Yongki. Tidak ada satu orang pun di luar keluarga yang tahu bahwa tuan Lee sebenarnya memiliki seorang putri. Yang orang lain ketahui, keluarga Lee hanya memiliki tujuh putra, tanpa seorang adik perempuan.
Dia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana pada Namjin. Kenyataan bahwa dirinya seperti 'rahasia' keluarga yang selalu menghantuinya, membuatnya merasa terasing di dalam rumahnya sendiri.
" Dek... Kamu masih di sana ? " Tanya suara Namjin lagi.
" Iya oppa, tapi oppa tidak perlu repot-repot . Yoora ada urusan nanti malam dengan teman Yoora jadi tidak akan ikut Hadir di pesta ulang tahun nya Jungsoo oppa " sahut yoora.
" Lagi ? " Tanya Namjin yang tahu jika adik nya itu tidak pernah ikut bergabung dalam acara apapun , termasuk acara ulang tahun semua kakak nya .
" Aku sudah meminta izin pada Seon oppa, dan dia mengizinkan nya asal aku tidak pulang larut " jawab Yoora.
"Huffhh... Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu? " Tanya Namjin dari sebrang telepon.
" Yoora sedang terburu-buru.. kita lanjutkan nanti oppa " ujar Yoora yang langsung mengakhiri telpon tersebut.
Sementara Namjin hanya bisa menghela napas panjang, mendengar jawaban Yoora yang jelas terdengar penuh keraguan. Dia tahu adiknya itu sedang berbohong, sama seperti setiap kali ada acara keluarga yang melibatkan kehadiran semua saudara mereka sebelum - sebelumnya. Kejadian seperti ini selalu terulang, Yoora akan berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun Namjin tahu betul bahwa hatinya pasti terasa begitu berat.
Namjin tahu betul bahwa Seonho pasti melarang Yoora untuk hadir di acara ini. Meskipun kakak tertuanya itu tidak pernah secara langsung mengatakan pada dirinya bahwa Yoora dilarang hadir di setiap acara yang melibatkan keluarga, teman, maupun rekan kerja, sikap diam adiknya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya. Seonho selalu memiliki cara halus untuk mengendalikan situasi tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun. Dan sifat Yoora yang penurut dan tidak pernah protes, seakan di paksa bungkam untuk menerima semua yang di perintahkan oleh kakak tertua mereka.
"Tidak masalah, aku akan tetap membeli nya . Lagipula sebentar lagi dia juga akan berulang tahun, sekalian saja " ujar Namjin yang kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, Yoora juga sangat sibuk menyiapkan segalanya karena waktu yang diberikan oleh sang kakak begitu terbatas. Dengan kecepatan dan ketekunan, dia bergerak di antara tumpukan dekorasi yang tergeletak di ruang tamu yang luas, setiap sudutnya masih menyimpan kenangan akan masa-masa bahagia bersama keluarganya yang kini terasa sangat jauh. Dia melakukan segalanya sendirian, karena di rumah itu memang tidak ada asisten rumah tangga sejak bibi Ahn memutuskan untuk berhenti bekerja. Jadi, Yoora lah yang melakukan semua pekerjaan rumah, mulai dari merapikan ruangan hingga menyiapkan dekorasi yang meriah untuk ulang tahun Jungsoo.
Tak terasa, waktu bergulir begitu cepat. Setelah berkutat dengan berbagai hal selama beberapa jam, aroma manis dari kue ulang tahun yang dipesan mulai mengisi udara, memberi sedikit kenyamanan di tengah kesibukan. Akhirnya, semua persiapan pun telah selesai. Dia mengatur balon berwarna cerah dan pita berkilau di meja yang sudah dipenuhi berbagai makanan lezat. Hanya tinggal menunggu kue ulang tahun yang dipesan dan memastikan semua tugas Yoora selesai. Tak lupa, dia mengabadikan semua hasil kerja kerasnya dalam beberapa foto, mengarahkan kamera ponselnya pada setiap detail yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta. Dia juga mengirimkan pesan kepada Seonho sebagai bukti bahwa dirinya telah menyelesaikan tugasnya, berharap bahwa kerja kerasnya akan mendapatkan pengakuan.
Saat Yoora menunggu pesanan kuenya diantar, tiba-tiba pintu rumah terbuka, menunjukkan sosok pria tampan yang tak lain adalah kakaknya, Haesung. Dengan langkah pasti, Haesung terlihat membawa beberapa barang di tangannya, mungkin hadiah untuk Jungsoo atau sekadar barang belanjaan. Namun, saat dia memasuki ruangan, tatapan tajamnya seolah menghujam langsung ke hati Yoora. Wajahnya meringis sedikit, jelas terlihat bahwa dia tidak senang dengan keberadaan Yoora yang menyita perhatian di rumah ini. Tatapan tidak suka yang terlihat jelas di wajahnya membuat Yoora hanya bisa menunduk, merasakan tekanan dari sikap sang kakak yang selalu membuatnya merasa tidak berharga. Dalam hatinya, dia berharap bisa meraih kembali perhatian dan kasih sayang yang selalu diimpikannya dari keluarganya.
" Kenapa kau masih berdiri di sana ? Bagaimana jika ada tamu yang datang dan melihat mu ? " Tanya haesung dengan nada sinis.
" Aku sedang menunggu pesanan kue nya oppa " jawab Yoora lagi .
" Alasan saja , cepat pergi dan jangan tunjukkan wajah mu di hadapan kami saat acara berlangsung " ujar nya yang hanya di angguki oleh yoora .
Yoora memutuskan untuk pergi ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya untuk mencari sedikit ketenangan. Setelah mengunci pintu, ia melangkah ke kamar mandi dan membiarkan air hangat mengalir, berharap bisa menghilangkan rasa lelah dan kepenatan yang menyelimutinya. Sambil menikmati suasana tenang itu, ia teringat betapa setiap kali ada acara keluarga, ia selalu diabaikan dan tidak diizinkan untuk ikut serta. Rasa kesepian itu membuat hatinya semakin berat.
Namun, di tengah kepedihan itu, ada satu hal yang ia syukuri: sikap Namjin, kakak keempatnya, sudah mulai berubah. Dulu, Namjin juga bersikap acuh tak acuh, tidak jauh berbeda dari ketujuh kakaknya yang lain. Kini, ia merasa ada sedikit harapan saat melihat perhatian dan kepedulian yang ditunjukkan Namjin. Meskipun kehadiran dirinya masih sering diabaikan, setidaknya kini ada satu sosok yang mau mendengar dan mau memberi nya perhatian yang selalu ia harapkan.
.....
" Hyung ... Kenapa kalian menyebalkan sekali hari ini " ujar Jungsoo yang kesal pada kedua kakaknya yang terus menjahilinya sedari tadi .
" Kapan lagi kan kita bisa menjahili si bocah tengil ini " ujar Tae Hwan yang di Jawab kekehan oleh Jihwan.
" Kau sangat menggemaskan soo-ah . " Ujar Jihwan yang melihat adiknya itu merajuk.
" Aku bukan soo-ah, namaku aku Jungsoo .. berhenti memanggilku seperti itu aku sudah dewasa " ujar Jungsoo yang semakin kesal.
" Ouh ternyata tuan ini sudah dewasa , baiklah mulai besok kau tidak boleh meminjam karakter game ku lagi " jawab Taehwan yang masih sibuk mengerjai sang adik.
" Tae Hyung menyebalkan sekali " ujar Jungsoo sembari memalingkan wajahnya.
"Menyebalkan bagaimana , kan kamu sendiri yang bilang jika kamu sudah dewasa " ujar Taehwan yang belum mau berhenti menggoda adiknya itu.
" Aku bilang sudah dewasa, bukan berarti tidak mau meminjam karakter game mu lagi " ujar Jungsoo memberikan pembelaan atas ucapan nya sebelum nya .
"Bukan kah orang dewasa sudah sepatutnya bisa berusaha sendiri untuk mencapai apa yang dia mau ? " Sahut Jihwan yang sedari tadi hanya diam mendengarkan perdebatan antara Jungsoo dan Taehwan.
" Jihwan Hyung sama saja " ujar Jungsoo sembari memalingkan wajahnya.
Ketiga pria yang memiliki rentang usia tidak jauh berbeda itu tampak asyik bersenda gurau, menikmati waktu luang mereka dengan penuh tawa dan canda. Sejak sore tadi, mereka telah menghabiskan waktu jalan-jalan, menonton film, bahkan berbelanja berbagai barang yang tidak mereka butuhkan. Momen kebersamaan ini bukan hanya sekadar bersenang-senang; mereka berusaha mengalihkan perhatian Jungsoo agar dia tidak mengingat tentang hari ulang tahunnya.
Ketika malam mulai menunjukkan wujudnya, dengan langit yang gelap dihiasi bintang-bintang, ketiga pria tampan itu segera bergegas pulang.
" Hyung apa tidak masalah kita pulang jam segini ? " Tanya Jungsoo.
" Seharusnya sih tidak, kita kan sudah dewasa jadi bebas saja kan ? " Tanya Jihwan.
" Tenang saja Seon Hyung Sangat sayang pada kita jadi tidak mungkin dia memarahi kita " jawab Tae yang yakin dengan ucapan nya .
"Kau benar.. walaupun yongki Hyung mungkin akan marah, selama Seon Hyung membela kita semuanya akan baik-baik saja " jawab Jihwan .
Perjalanan ke-tiga orang tersebut dilalui dengan penuh candaan, layaknya sebuah keluarga Cemara yang begitu bahagia. Mereka tertawa dan saling menggoda satu sama lain, menciptakan suasana hangat yang menutup hari mereka. Sebenarnya, tidak ada larangan untuk pulang larut malam ke rumah bagi mereka, namun tetap saja Jungsoo selalu merasa takut jika harus pulang larut, mengingat jika dia memiliki kakak yang sangat overprotektif seperti yongki.
Sementara Jungsoo yang sibuk dengan pikirannya sendiri, mengkhawatirkan bagaimana reaksi keluarga ketika tiba di rumah, berbeda dengan Jihwan dan Taehwan yang sedang berada dalam pikiran yang sama. Keduanya asyik berbalas pesan dengan saudara-saudaranya yang lain di grup chat yang mana Jungsoo tidak ikut di dalamnya. Mereka berbagi rencana untuk kejutan malam ini, saling mengirimkan emoji tertawa dan antusiasme yang terlihat jelas di setiap pesan. Jihwan sesekali melirik Jungsoo, memastikan bahwa adiknya tidak curiga akan rencana yang telah mereka susun.
" Lihat lah Tae ... Dia bilang dia sudah dewasa tapi saat jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam dia sudah tidur sepulas itu " ujar Jihwan setelah memastikan jika sang adik sudah benar - benar tertidur.
" Kau benar Hyung, terkadang aku merasa Jungsoo masih berusia belasan tahun . Bagaimana bisa orang yang mengaku sudah dewasa bisa bertingkah se- lucu itu ! " Ucap tae membenarkan ucapan Jihwan.
"Sepertinya dia juga benar - benar melupakan hari ulang tahun nya " ucap Jihwan yang masih pokus melihat ke jalanan yang sedang mereka lewati.
" Berarti kita berhasil Hyung " ujar Taehwan .
" Seperti nya begitu , ouh ya apa kau sadar jika Namjin Hyung tidak terlihat menanggapi pembahasan kita di grup? " Tanya Jihwan, bingung melihat respon Namjin yang seolah tidak terlalu perduli dengan rencana ini .
"Seonho Hyung bilang Namjin Hyung sedang banyak pekerjaan, dia juga belum pulang kerumah sudah sekitar 2 Minggu " ujar Taehwan, menjelaskan apa yang dia ketahui.
"Yongki Hyung, haesung Hyung, dan Namjin Hyung memang paling sibuk di atara kita semua, bahkan kesibukan mereka mengalahkan sibuknya seonho Hyung " ujar Jihwan yang di sertai kekehan .
" Motto hidup mereka, lebih baik tidak bergaya daripada hidup tanpa bekerja " ujar Taehwan, ikut tertawa menanggapi ucapan Jihwan.
" Seperti nya itu hanya motto yongki Hyung saja, dia tidak bisa di pisahkan dengan tempat tidur nya tapi dia berhasil sukses dalam semua itu " jawab Jihwan yang tahu betul sikap dan keseharian Yongki, di mana dia akan berkerja bagaikan kuda dan akan berehat layaknya panda yang pemalas saat semua pekerjaan nya selesai.
"Tapi karena itu juga uang jajan kita semakin banyak " ujar Taehwan yang di angguki oleh Jihwan.
" Kamu benar" jawab Jihwan, yang setuju dengan ucapan Taehwan.
"Tapi bukankah seharusnya kita tidak menerima uang mereka lagi ? Kita sudah memiliki pekerjaan sendiri kan ? " Tanya Taehwan.
"Kita tidak boleh menolak rezeki yang Tuhan berikan, lagipula kita tidak pernah meminta " ujarnya sembari terkekeh.
"Aku tidak percaya Hyung tidak pernah meminta uang pada Hyung yang lain, " ujar Taehwan yang tau seberapa manja nya Jihwan pada keempat kakak tertua nya .
" Aku akan berhenti jika sudah menikah" ujar Jihwan sembari terkekeh .
" Hyung akan menikah dengan siapa? Pacar saja tidak ada " ledek Taehwan ..
" Dengan siapapun, aku tampan, aku kaya , dan aku berbakat memang wanita mana yang akan menolak ku " ujar Jihwan dengan penuh percaya diri.
" Setahu ku para wanita itu suka dengan pria yang kekar dan berotot, sedang Hyung terlihat pendek " sindir Taehwan.
" Para wanita itu butuh uang bukan badan berotot, coba kau datangi para wanita lalu tawarkan kepada mereka seorang miskin yang berotot dan seorang pendek yang kaya , lalu lihat siapa yang akan mereka pilih " Ujar Jihwan yang tidak mau mengalah dalam perdebatan nya bersama sang adik.
"Tentunya mereka akan memilih aku sebagai orang yang menawarkan nya, semua kesempurnaan ada padaku badan yang tinggi, bakat yang bagus, wajah yang tampan, dan juga uang yang banyak " Tutur Taehwan yang di balas pukulan ringan dari sang kakak.
"Stop talking, or I'll shut your mouth! (Berhenti bicara, atau aku yang akan menutup mulut mu !) " Sahut Jihwan yang kesal dengan penuturan sang adik.
'' Aku berharap anak itu tidak melakukan kesalahan apapun, aku bersumpah akan memberikan kan nya pelajaran jika sampai adikku kecewa di hari ulang tahunnya " ujar Taehwan.
" Aku akan melakukan hal yang sama " ujar Jihwan.
Tiga puluh menit telah mereka habiskan hanya untuk menempuh perjalanan menuju ke rumah , Jungsoo pun terlihat masih tertidur pulas di samping Taehwan sedangkan Jihwan duduk di samping bangku kemudi karena mereka memang pergi di antar sopir yang menyetir seharian ini .
" Ayo bangun kan Jungsoo" ujar Jihwan sembari membuka pintu mobil nya .
Taehwan pun mengangguk mengiyakan apa yang di ucapkan oleh Jihwan , dengan lembut dia membangunkan adik kesayangannya itu.
" Soo-ah .. ayo bangun .. ". Jungsoo terlihat menggeliat Karena terganggu oleh aksi Taehwan.
" Kita sudah sampai? " Tanya Jungsoo yang masih terlihat linglung .
" Nee ayo ... " Ujar Taehwan. Mereka bertiga masuk bersamaan, Namun langkah ke-tiga nya terhenti saat Jihwan menghentikan langkahnya.
" Kenapa rumah nya gelap sekali? " Ujar Jihwan.
" Apa tidak ada orang di rumah ? " Sahut Taehwan.
" Seharusnya para Hyung sudah kembali ! " Jawab Jihwan lagi .
" Apa rumah kita di masuki pencuri ? " Tanya Jungsoo yang membuat ke-dua kakak nya menatap lekat kearah nya
"Ayo masuk," ujar Jihwan, mengabaikan pertanyaan Jungsoo yang penuh rasa ingin tahu. Mereka melangkah masuk ke dalam rumah, dan seketika itu, suasana hening menyelimuti mereka. Ruangan yang mereka masuki terlihat gelap gulita, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang menyelinap melalui jendela. Suara langkah kaki mereka terdengar menghantam lantai kaku yang halus.
Setelah beberapa detik terdiam, tiba-tiba terdengar suara nyanyian "Selamat Ulang Tahun" yang penuh semangat dari berbagai sudut ruangan. Teriakan bahagia dan tawa menggema, mengejutkan Jungsoo yang semula cemas. Saat itu juga, lampu-lampu yang tersembunyi di sudut ruangan menyala dengan gemerlap, mengungkapkan keindahan dekorasi yang memukau. Balon warna-warni melambai di udara, dan hiasan kertas berkilauan menggantung di langit-langit, menciptakan suasana yang begitu meriah.
Jungsoo terpana melihat wajah-wajah familiar dari keluarga dan teman-temannya yang sudah berkumpul, semua tersenyum lebar dan bersiap merayakan hari istimewanya. Matanya berbinar, kebahagiaan yang tak terduga meluap dalam dirinya saat ia merasakan kehangatan kasih sayang yang melingkupi ruangan itu.
"Saegil chuka hamnida, saegil chuka hamnida, Jungsoo ya, saegil chuka hamnida! Saegil chuka hamnida, saegil chuka hamnida, Jungsoo ya, saegil chuka hamnida! ( Selamat ulang tahun untukmu, selamat ulang tahun untukmu, Jungsoo, selamat ulang tahun untukmu! Selamat ulang tahun untukmu, selamat ulang tahun untukmu, Jungsoo, selamat ulang tahun untukmu!) " Semua orang ikut bernyanyi mengiringi langkah seonho yang berjalan ke arah Jungsoo.
Seonho melangkah menuju ke arah sang adik, sembari membawa kue ulang tahun yang dihias dengan indah di tangannya. Kue tersebut berlapis krim putih dan dihiasi buah-buahan segar serta lilin-lilin berwarna-warni yang menyala, menciptakan suasana yang ceria.
"Buat wish lalu tiup lilinnya," ujar Seonho dengan senyuman lebar, matanya berbinar penuh harapan untuk adiknya, yang diangguki oleh Jungsoo.
Suara riuh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan, menandakan jika lilin telah padam. Semua orang bersorak merayakan momen istimewa ini, saling mengucapkan selamat kepada Jungsoo dengan senyum dan pelukan hangat. Tak lupa, beberapa tamu memberikan kado berwarna-warni yang terbungkus rapi untuk pria yang berulang tahun yang ke-27 tahun itu, menunjukkan betapa dihargainya dia di antara keluarga dan teman-temannya. Suasana penuh kebahagiaan itu membuat Jungsoo merasakan cinta dan dukungan yang mengalir dari orang-orang terdekatnya.
" Terimakasih semuanya.. terimakasih karena sudah datang dan ikut serta merayakan hari ulang tahun ku . Terimakasih juga untuk hadiah nya " ujar Jungkook yang sudah hampir menangis.
" Wahh.. sudah sudah jangan menangis .. kau ini tidak pernah berubah Jungsoo - ah.. '' ucap haesung sembari memeluk adik kesayangannya itu .
" Siapa yang menangis Hyung, aku hanya terharu " ujar nya sembari tersenyum yang di jawab gelengan kepala dari semua kakak nya .
Acara ulang tahun Jungsoo berjalan dengan lancar, tanpa hambatan sama sekali. Ruang tamu yang tadinya penuh dengan gelak tawa dan suara obrolan kini mulai sepi, menyisakan kenangan manis dari para tamu yang datang. Dekorasi indah masih tergantung, dengan sisa-sisa perayaan yang terpantul dari lampu-lampu redup di ruangan itu. Hingga waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam, satu per satu tamu telah pamit, meninggalkan kediaman keluarga Lee dengan senyuman puas.
Namun, meskipun acara berjalan sempurna, ada satu kegelisahan yang tak bisa Jungsoo abaikan. Di tengah keramaian tadi, pikirannya selalu kembali pada seseorang yang sangat dinantinya orang yang belum juga datang.
Sekilas, Jungsoo melirik ke arah pintu, berharap orang tersebut akan muncul kapan saja. Meskipun wajahnya tetap tersenyum kepada tamu-tamu yang berpamitan, dalam hatinya, dia sangat berharap sosok itu akan tiba, membawa kebahagiaan yang terasa belum lengkap tanpa kehadirannya.
" Kenapa malah melamun? Ada hal yang salah ?" Tanya seonho yang peka terhadap tingkah adiknya itu.
" Tidak... " Jawab Jungsoo singkat.
" Kenapa? Tidak suka? " Tanya yongki membuyarkan lamunan Jungsoo.
" Tidak... Terimakasih Hyung, aku sangat suka dengan semua ini . Terimakasih karena telah mengingat hari ulang tahun ku yang bahkan diriku saja tidak mengingat nya . Aku bersyukur memiliki kakak seperti kalian " ujar Jungsoo, mengalihkan pembahasan sang kakak.
" Huaaa.. Hyung lihatlah adik kita sudah dewasa " ujar haesung heboh .
" Jangan dewasa dulu soo -ah, Hyung masih ingin menjagamu dan memberikan banyak kebahagiaan untuk mu " jawab seonho sembari mengusap punggung sang adik yang memang duduk di samping nya .
" Tae juga? " Tanya Taehwan sumringah.
" Kau sudah dewasa! " Ujar yongki yang kembali ke mode batu nya .
Pria itu memang terkenal paling dingin di antara semua saudara nya, bahkan Jungsoo dan Taehwan sering menyebut yongki sebagai manusia kutukan Elsa.
" Hyung... " Rengek Taehwan
Yongki hanya diam mengabaikan rengekan adik nya itu , hingga akhirnya pokus nya teralihkan kembali pada Jungsoo yang hanya diam sambil mengotak - Atik ponsel nya .
" Jungsoo.... " Ujar yongki lagi .
" Namjin Hyung, di mana dia ? Kenapa tidak ikut merayakan ulangtahun ku ? " Tanya nya tanpa menanggapi ucapan Yongki.
" Dia mungkin masih bekerja, akhir - akhir ini dia sangat sibuk ! " Ujar seonho memberikan Jungsoo pengertian.
" Sibuk atau mungkin marah , terakhir kali aku memarahi yoora ... Mungkin dia kesal karena aku melakukan itu . Atau mungkin yoora sudah menghasut nya agar Namjin Hyung tidak datang ? " ujar Jungsoo, langsung berpikir jika semua itu salah yoora.
" Tidak mungkin marah padamu hanya karena anak itu , jangan bersedih di hari ulangtahun mu . Dia akan segera kembali percaya saja pada Hyung " ujar haesung.
" Lagian untuk apa kau menyebut anak itu , aku benci hal itu " ucap Jihwan.
" Sudahlah Jihwan. Hyung akan telpon Namjin dulu ! " Ujar seonho sembari mencari nomor telepon adik nya , namun belum sempat dia menekan tombol sambung , orang yang di tuju baru saja datang dengan wajah manis dan senyum ramah andalan nya.
"Mi'an, Jungsoo-ah. Hyung terlambat," ujar Namjin, yang langsung memeluk erat adiknya yang tengah berulang tahun. Jungsoo merasa kehangatan dalam pelukan kakaknya, meski selama ini hubungan mereka tak selalu mulus, namun saat seperti ini membuatnya sadar bahwa mereka tetap saudara yang saling peduli.
"Aku kira Hyung melupakan hari ulang tahunku!" ujar Jungsoo, menatap kakaknya dengan senyum lebar yang ia coba sembunyikan.
"Mana mungkin Hyung lupa hari ulang tahun adik Hyung," jawab Namjin sambil tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari dalam saku jasnya.
"Ini hadiah untukmu." Ujar Namjin sembari menyodorkan hadiah tersebut.
Dengan mata berbinar, Jungsoo segera membuka kotak tersebut. Tangannya sedikit gemetar karena penasaran dan antusias. Saat tutup kotak terbuka, ia menahan napas, dan matanya membesar melihat isinya. Di dalam kotak itu ada sebuah kunci mobil yang elegan dengan logo yang familiar.
"Ini serius?" tanya Jungsoo hampir tak percaya, suaranya bergetar antara kagum dan takjub.
"Apa itu?" tanya Taehwan dan Jihwan bersamaan, penasaran dengan reaksi adik mereka. Jungsoo mengangkat kunci mobil tersebut tinggi-tinggi, memamerkannya kepada mereka.
"Hyung benar-benar membelikanku mobil yang aku inginkan!" katanya, masih tak percaya. Seolah mimpi yang menjadi nyata, ia memeluk Namjin lagi, kali ini dengan lebih erat, seolah mengucapkan terima kasih yang dalam tanpa harus mengucapkan kata-kata.
"Hyung tahu kau sudah mengincar mobil itu sejak lama. Selamat ulang tahun, Jungsoo-ah." Ujar Namjin sembari tertawa, dan menepuk lembut bahu adik nya itu .
"Mobil..." ujar Taehwan dengan nada sedikit iri, matanya menatap kunci mobil yang ada di tangan Jungsoo. Dalam hatinya, ada rasa iri melihat sang adik yang selalu mendapatkan perhatian dan dimanjakan oleh semua kakaknya, terutama saat ini.
"Terima kasih, Namjin Hyung," ujar Jungsoo penuh semangat sambil memeluk tubuh Namjin erat-erat, senyum lebarnya tak bisa ia sembunyikan.
"Sama-sama... Selamat ulang tahun, semoga panjang umur dan selalu bahagia. Jadilah anak yang baik, paham?" ujar Namjin sambil mengusap lembut rambut Jungsoo, memberikan sentuhan hangat yang membuat Jungsoo merasa semakin dekat dengan kakaknya. Kata-kata itu terdengar seperti nasihat kakak yang penuh kasih, sesuatu yang selama ini jarang Jungsoo dapatkan karena Namjin yang memang seringkali tidak berada di rumah , sehingga momen ini terasa begitu spesial baginya. Namun, di sisi lain, Taehwan tak bisa menahan rasa iri yang semakin membuncah.
"Hyung..." rengeknya, tak terima melihat perhatian Namjin hanya tercurah pada Jungsoo.
" Hyung lihatlah adikmu itu , padahal dia sudah bisa mencari uang sendiri masih saja merengek pada yang lain karena iri pada Jungsoo " ujar haesung sembari terkekeh.
" Dia adik mu juga " ujar seonho yang ikut terkekeh melihat gelagat cemburu adiknya itu. Namjin menatap Taehwan dengan senyum lembut, seolah memahami perasaan adik bungsunya itu.
"Ulang tahunmu masih jauh, Taehwan," ucapnya dengan nada menggoda.
Mendengar itu, Taehwan yang tadinya merajuk segera melepaskan tawa kecil, kemudian dengan spontan dia menghambur memeluk Namjin dengan erat. Pelukan itu dibalas dengan penuh kehangatan oleh Namjin, yang tertawa sambil menepuk punggung adiknya. Hubungan mereka, meski sering diwarnai canda dan iri kecil, tetap dipenuhi cinta dan kebersamaan khas keluarga yang tak tergantikan.
"Jangan khawatir, Taehwan-ah, giliranmu akan datang juga. Nanti, Hyung juga akan menyiapkan sesuatu yang spesial," ujar Namjin sambil menyeringai, membuat Taehwan tersenyum lebar dan merasa lebih tenang.
" Namjin Hyung selalu memanjakan Taehwan dan Jungsoo " ujar Jihwan yang ikut iri melihat hal itu.
" Ekhh .. ayolah Jihwan, ada apa denganmu " tawa seonho yang diiringi tawa haesung.
Suasana yang hangat dan penuh tawa itu membuat semua orang yang ada di ruangan merasa senang. Mereka tahu bahwa meski ada sedikit persaingan di antara mereka, hubungan persaudaraan ini tetap kuat, dan kasih sayang itu selalu hadir di balik setiap candaan dan pelukan.
“Baiklah... buka hadiah lainnya besok, Jungsoo. Tidurlah, ini sudah larut,” ujar Seonho dengan suara tegas, sembari melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan tengah malam. Wajahnya tampak sedikit lelah setelah acara yang panjang, Namun Jungsoo masih tak mau menyerah.
“Tapi Hyung... aku cuma mau buka hadiah dari Haesung Hyung dulu,” ujarnya sambil meraih kotak berukuran sedang yang dibungkus rapi, matanya berbinar penuh rasa penasaran. Dia duduk di lantai, seperti anak kecil yang tak sabar menunggu kado di tangannya. Seonho menghela napas panjang.
“Lanjutkan besok saja. Kamu harus bangun pagi karena ada acara di kampus mu , ingat?” Tegasnya, kali ini lebih serius.
"Hyung..." Jungsoo merengut, suaranya berubah manja, seolah melupakan bahwa usianya sudah 27 tahun. Wajahnya menatap Seonho dengan penuh harapan, mencoba memohon agar diizinkan membuka setidaknya satu hadiah lagi.
Yongki yang sedari tadi hanya diam memperhatikan semua nya akhirnya angkat bicara sembari bersandar di sopa, dengan lengan disilangkan di dada.
“Tidur. Jangan membantah susah sekali padahal hanya di suruh tidur, ” Suaranya tegas, seperti perintah yang tak bisa ditolak. Jungsoo langsung terdiam, tahu bahwa peringatan dari Yongki biasanya tidak bisa dianggap enteng. Semua yang ada di ruangan menahan tawa melihat wajah pasrah Jungsoo.
Haesung yang sejak tadi mengamati, melangkah mendekat sambil tersenyum kecil.
“Sudahlah, Jungsoo. Kita lanjutkan besok, ya? Hyung akan bantu kamu membawa semua hadiah ini ke kamar.” Tepukan lembut di punggung Jungsoo menenangkan suasana, membuat adiknya itu akhirnya mengangguk pelan.
“Baiklah... kita lanjutkan besok,” Jungsoo berkata dengan sedikit kecewa, meski jelas terlihat bahwa matanya masih terpaku pada kotak-kotak hadiah yang belum sempat dibuka. Haesung menepuk bahunya sekali lagi, sementara Seonho mulai merapikan hadiah-hadiah yang masih tersisa, mengatur agar semuanya bisa dipindahkan ke kamar Jungsoo.
“Kalian juga kenapa masih diam? Jihwan, Taehwan? Kalian tidak bekerja esok?” tanya Seonho sembari menatap dua adiknya yang lain yang masih diam mematung di sana, tampak seperti terpesona dengan suasana yang baru saja berlalu. Sorot matanya penuh perhatian, mencari tahu apa yang mengganggu pikiran mereka.
“Ne... jaljayo Hyung deul, kami tidur duluan ” ucap Jihwan dan Taehwan bersamaan, sambil memberi anggukan lemah sebagai tanda setuju. Ada nada keengganan dalam suara mereka, seolah enggan meninggalkan momen hangat yang baru saja terjadi.
Setelah kepergian Haesung, Jihwan, Jungsoo, dan Taehwan, kini hanya tersisa Seonho, Yongki, dan Namjin saja di sana. Suasana ruangan terasa lebih tenang, dengan hanya suara detakan jam yang terdengar di latar belakang. Mereka bertiga saling berpandangan, merasakan kedekatan di antara mereka. Seonho memeriksa sisa-sisa kue ulang tahun yang sudah mulai mendingin, sementara Yongki melipat tangan di dada, menunjukkan raut wajah yang lebih serius.
“Semua baik-baik saja?” tanya Seonho sembari menuangkan minuman ke dalam gelasnya, matanya memperhatikan gerakan lincahnya saat mencurahkan cairan ke dalam gelas yang sudah setengah penuh. Suara dingin es yang menggelinding menambah nuansa santai di ruangan itu.
“Baik, Hyung...” ujar Namjin, dengan senyuman kecil menghiasi wajahnya, meski ada kesedihan yang tersimpan dalam nada suaranya.
“Hyung mungkin akan kecewa jika kamu tidak hadir dan merusak hari bahagia Jungsoo?” ujar Seonho lagi, nada suaranya menegaskan betapa pentingnya kehadiran Namjin di acara tersebut.
“Maafkan aku, Hyung,” ujar Namjin, menundukkan kepala sejenak, merasa bersalah atas ketidakhadirannya yang disebabkan oleh pekerjaan yang menumpuk.
“Emm... pergilah beristirahat dan jaga kesehatanmu. Jangan bekerja terlalu keras. Hyung ada di sini jika kamu butuh bantuan, jangan ragu,” ujar Seonho dengan nada lembut namun tegas, mengingatkan Namjin untuk tidak mengabaikan kesehatan demi pekerjaan.
Namjin mengangguk, mengapresiasi perhatian dari kakak tertuanya itu, sebelum akhirnya berlalu setelah mendapat izin. Ruangan itu kini hanya tersisa Seonho dan Yongki saja, yang duduk bersisian di meja dengan gelas mereka yang sudah terisi.
Ada kemungkinan kakak-beradik itu akan menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita ringan sembari meminum beberapa gelas minuman. Seonho mengangkat gelasnya, mengajak Yongki untuk bersulang.
“Untuk Jungsoo dan momen berharga ini,” ucapnya, sambil tersenyum lebar, menciptakan suasana hangat meski di tengah kesunyian malam yang menyelimuti.
Yongki mengangkat gelasnya juga, menatap Seonho dengan rasa syukur dan kebersamaan yang terjalin di antara mereka.
“Dan untuk kita bertujuh, semoga kita selalu bersama seperti ini,” balas Yongki, semangat menyala di mata mereka berdua.
....
Sebelum naik ke kamar, Namjin menyempatkan diri untuk mampir ke kamar sang adik. Dia membuka pintu kamar yang tidak terkunci itu, dan seketika suasana hening menyelimuti. Ruangan itu gelap dan sunyi, dengan hanya cahaya samar dari luar yang menerobos celah pintu yang sedikit terbuka. Di sudut kamar, terlihat sosok tubuh kurus yang terbaring meringkuk di atas ranjang dalam gelapnya, seolah mencoba menutupi dirinya dari dunia luar.
"Maafkan oppa yang terlambat datang. Apa kamu tidur dalam perut kosongmu lagi? , Kamu pikir oppa tidak tahu jika mereka melarangmu untuk keluar dari sini? Oppa tahu, maafkan oppa yang tidak bisa melakukan apapun seandainya kamu mau, oppa ajak pindah dari sini. Mungkin semuanya tidak akan terjadi. Di sini, oppa tidak bisa berbuat banyak," ungkapnya dengan nada penuh harap, dia tidak tega melihat keadaan yoora yang seperti ini, namun dia juga tidak bisa berbuat banyak karena tidak ingin menyinggung perasaan kakak tertua nya.
Namjin meraih paperbag yang dia bawa dan meletakkannya di atas nakas di samping tempat tidur Yoora.
"Makanlah ini saat kamu bangun besok, dan ini baju yang oppa belikan untukmu, selamat malam sayang," ujarnya, sembari mengecup pipi sang adik dengan lembut, lalu perlahan keluar dari kamar setelah membenarkan selimut yang menutupi tubuh Yoora.
Setelah pintu tertutup, terdengar suara isakan yang tertahan dari dalam kamar. Ya, Yoora, gadis itu sama sekali belum tertidur. Sedari tadi, dia terdiam dalam kegelapan itu, sendirian. Mendengar semua suara riuh orang-orang yang berbahagia merayakan hari ulang tahun sang kakak, dia menahan rasa haus dan lapar yang terus menggerogoti perutnya. Tidak mungkin baginya untuk keluar saat banyak orang berkumpul seperti itu; bisa mati konyol jika dia berani melakukannya.
"Terima kasih, oppa," ujarnya pelan, sembari menatap paperbag yang Namjin letakkan di atas nakas. Matanya bersinar harap, meski hati kecilnya dipenuhi kesedihan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!