Matahari terik membakar jalanan kota Rustgrave, menyinari setiap sudut lorong kotor dan bangunan reyot yang seakan menjerit minta dirobohkan. Kota ini bukan tempat bagi mereka yang lemah—hanya yang cukup tangguh yang bisa bertahan.
Di salah satu gang sempit, seorang bocah laki-laki berambut hitam legam duduk bersandar pada dinding bata yang dipenuhi coretan. Bajunya kumuh, robek di beberapa bagian, dan tubuhnya kurus kering seperti sudah lama tidak mendapatkan makanan yang layak.
Gray. Itu namanya.
Perutnya mengeluarkan suara keroncongan yang sudah biasa ia dengar. Sudah tiga hari ia tidak makan apa pun, dan tubuhnya semakin melemah. Namun, kelaparan bukan lagi sesuatu yang membuatnya panik. Itu sudah menjadi bagian dari hidupnya di Rustgrave.
"Ah… hari yang indah," gumamnya, sarkastik. Suaranya nyaris tidak terdengar, tenggorokannya kering seperti pasir yang tersapu angin.
Dengan sisa tenaga, ia memaksa dirinya berdiri. Lututnya gemetar, tapi ia tidak punya pilihan. Jika tetap diam di sini, ia hanya akan mati kelaparan. Langkahnya goyah saat ia berjalan keluar dari bayangan gang menuju jalan yang diterangi cahaya matahari. Jalanan dipenuhi orang-orang, sebagian besar sibuk dengan urusan mereka sendiri, tidak ada yang peduli dengan bocah kurus yang berdiri di tepi trotoar.
Ia menggelar kain lusuh di depannya dan duduk bersila, menunggu seseorang melemparkan koin atau makanan. Namun, Rustgrave bukan tempat yang penuh belas kasih. Orang-orang yang lewat hanya melirik sekilas sebelum kembali berjalan, seakan keberadaannya tidak lebih dari sekadar debu di jalanan.
Matanya mengamati sekeliling. Ia melihat keluarga kecil berjalan bersama—ayah, ibu, dan anak mereka yang sebaya dengannya. Mereka tertawa, berbicara, menikmati kebersamaan mereka.
Gray tidak iri. Tapi ia juga tidak bisa mengingkari perasaan kosong yang menggerogoti dadanya.
Di dekatnya, anak-anak lain yang bernasib sama duduk bergerombol, berbagi makanan yang mereka dapatkan. Dulu, Gray pernah mencoba bergabung dengan mereka, tapi kepercayaan adalah barang langka di kota ini. Saat ia tertidur, mereka mengambil semua yang ia punya, meninggalkannya tanpa apa pun.
Sejak itu, ia memilih sendiri.
Hidup di Rustgrave bukan hanya soal bertahan dari kelaparan. Kejahatan ada di mana-mana. Pencurian, pembunuhan, pemerasan—itu semua bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang akan menolong jika seseorang tertusuk di jalan, tidak ada yang akan peduli jika seorang anak menghilang.
Gray menarik napas panjang. Tidak ada gunanya mengeluh. Jika ia ingin bertahan hidup, ia harus menemukan cara. Dengan tekad yang masih tersisa, ia bangkit dan melangkah pergi, meninggalkan kain lusuhnya yang tetap kosong.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia harus mencari cara untuk tetap hidup.
Matahari masih terik, membakar jalanan berbatu Rustgrave yang dipenuhi debu dan sampah. Gray berjalan perlahan, tubuhnya masih lemah setelah berhari-hari tanpa makanan. Langkahnya berat, tapi ia tidak bisa menyerah. Jika ia tetap diam di gang kotor itu, kelaparan akan membunuhnya lebih cepat daripada kejamnya kota ini.
Ia menyusuri jalanan sempit, matanya menelusuri setiap sudut mencari sesuatu yang bisa dimakan—sisa roti, buah busuk, atau bahkan tulang dengan sedikit daging tersisa.
Di depan sebuah kedai, seorang pria gemuk membuang piring kotor ke belakang toko. Gray melihatnya dengan penuh harap. Ia bergegas ke tempat sampah itu, tangannya gemetar saat mengorek isinya. Ada beberapa tulang ayam dengan sedikit sisa daging, dan tanpa ragu, ia mengambilnya.
"Hei, bocah! Apa yang kau lakukan?!"
Suara keras itu datang dari seorang pria bertubuh besar, pelayan kedai yang melihatnya mencuri dari tempat sampah mereka.
Gray tak punya waktu untuk berpikir. Dengan tulang ayam dalam genggaman, ia berbalik dan berlari secepat mungkin.
"DASAR PENCURI!"
Pria itu mengejarnya, tapi Gray sudah terbiasa berlari. Kakinya melangkah cepat melewati gang-gang sempit, melompati tumpukan sampah, menyelinap di antara celah tembok bangunan.
Darahnya berdegup kencang. Napasnya berat. Tapi ini bukan pertama kalinya ia harus lari demi makanan.
Setelah beberapa tikungan, ia akhirnya berhenti di gang buntu. Dadanya naik turun, keringat mengalir di pelipisnya.
Ia melihat ke tangannya—tulang ayam itu masih ada. Ia duduk di tanah dan mulai menggigit sisa-sisa daging yang menempel, meskipun sudah dingin dan keras. Tidak peduli. Ini tetap makanan.
Setiap gigitan terasa seperti sedikit kehidupan kembali ke tubuhnya. Tapi itu tidak cukup. Ia masih lapar.
Gray menatap ke langit yang biru tanpa awan. Di kota ini, orang-orang seperti dirinya tak punya tempat. Hanya ada dua pilihan: bertahan atau mati.
Dan ia memilih bertahan.
Gray masih duduk di gang buntu itu, menggigiti tulang ayam yang hampir tak tersisa. Giginya mengikis sisa-sisa daging yang menempel, bahkan mencoba menggigit bagian ujung tulang untuk mencari sumsum di dalamnya. Tapi tetap saja, itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa lapar yang menggerogoti tubuhnya.
Ia menghela napas panjang, menatap jalanan yang panas dan berdebu. Ia tahu harus segera bergerak. Berdiam diri terlalu lama di tempat yang sama hanya akan membuatnya menjadi sasaran empuk bagi mereka yang lebih kuat.
Dengan sisa tenaga, Gray berdiri dan keluar dari gang. Di jalan utama Rustgrave, keramaian masih berlangsung seperti biasa. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa pedagang berteriak menawarkan barang dagangan mereka. Di antara kerumunan, ada juga pencopet yang lihai, orang-orang miskin yang mengemis, dan penguasa jalanan yang tak segan-segan menggunakan kekerasan.
Gray menelan ludah. Jika ia ingin bertahan, ia harus menemukan cara lain untuk mendapatkan makanan.
Ia melihat seorang pria tua yang duduk di sudut jalan, menggenggam semangkuk sup hangat. Aromanya membuat perut Gray semakin melilit. Ia mendekati pria itu dengan langkah pelan, matanya tertuju pada mangkuk di tangannya.
“Pak… bolehkah aku minta sedikit?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Pria tua itu menoleh, menatap Gray dengan ekspresi kosong. Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sesendok sup dan menyeruputnya sendiri, seolah-olah Gray tidak ada.
Gray menggigit bibirnya. Ia sudah terbiasa dengan penolakan. Namun, ia tetap berdiri di sana, berharap pria itu akan berubah pikiran.
Beberapa detik berlalu. Pria itu meletakkan sendoknya, menatap Gray dengan mata tajam.
“Pergi.”
Satu kata, namun cukup untuk menusuk hati Gray lebih dalam daripada kelaparan yang ia rasakan.
Ia mundur perlahan, lalu berbalik dan pergi. Ia tidak marah. Tidak juga sedih. Ia sudah kebal terhadap sikap seperti itu.
Namun, yang membuatnya lebih frustasi adalah kenyataan bahwa ia masih harus mencari makanan.
Lalu matanya tertuju pada sebuah kedai roti di seberang jalan. Di depan kedai itu, seorang anak kecil menggenggam sepotong roti besar, menggigitnya dengan wajah bahagia.
Gray menelan ludah.
Ia tahu bahwa jika ingin bertahan hidup di kota ini, ia harus melakukan sesuatu yang berisiko.
Ia mengepalkan tangannya.
Ia harus mencuri lagi.
Di bawah terik matahari yang membakar, Gray masih duduk di tepi jalan berbatu yang penuh debu. Tubuhnya yang lemah tidak mampu lagi mengemis. Perutnya sudah tidak hanya sekadar keroncongan, tapi seperti diremas dari dalam. Pandangannya kabur, napasnya berat.
Saat itulah sepasang sepatu hitam mengkilap berhenti di hadapannya.
Gray mengangkat kepalanya dengan susah payah. Pandangannya bertemu dengan seorang pria bertopi dan berjas panjang, yang kontras dengan lingkungan kumuh tempat mereka berada. Pria itu membungkuk sedikit, memperhatikan bocah dekil di depannya dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.
"Kau terlihat mengerikan," ucap pria itu dengan suara yang dalam dan santai. "Maukah kau ikut denganku? Aku akan memberikanmu makanan."
Makanan?
Gray terdiam. Otaknya berusaha bekerja meski sudah terlalu letih. Sejak kapan ada orang baik di Rustgrave? Setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Tapi, apakah itu penting?
Mungkin pria ini berbahaya. Mungkin ini perangkap. Tapi Gray tahu satu hal: jika ia tetap di sini, ia akan mati perlahan, kelaparan di sudut jalan tanpa ada yang peduli.
Jadi apa bedanya?
Tanpa pikir panjang, Gray mengangguk.
Pria itu tersenyum samar. "Sangat baik. Makanlah ini."
Dari dalam jasnya, pria itu mengeluarkan sepotong roti dan botol air kecil. Gray meraihnya dengan cepat, merobek roti itu dan melahapnya tanpa memedulikan remah-remah yang jatuh ke tanah. Roti itu keras dan hambar, tapi baginya rasanya lebih enak dari apapun. Airnya dingin, menyegarkan tenggorokannya yang kering.
Pria itu memperhatikan Gray dengan tatapan penuh minat. "Sangat cepat," gumamnya, lalu mengulurkan tangan. "Ayo ikut aku."
Gray tidak bertanya ke mana mereka akan pergi. Ia tidak peduli. Ia menggenggam tangan pria itu. Dalam sekejap, mereka menghilang.
Kain lusuh Gray masih tergeletak di jalanan kosong.
---
Gray muncul di tempat yang benar-benar berbeda. Udara di sini lebih sejuk, jauh dari bau busuk Rustgrave. Pohon-pohon tinggi mengelilingi bangunan besar di hadapannya. Itu bukan bangunan mewah, melainkan struktur besar tanpa jendela, temboknya tinggi dan kusam.
Mereka berjalan melewati dua penjaga berseragam hitam yang berdiri di depan pintu besi besar. Tanpa suara, para penjaga itu membuka pintu, membiarkan pria bertopi dan Gray masuk.
Di dalam, lorong panjang menyambut mereka. Lampu redup berderet di sepanjang dinding, menerangi koridor yang tak berujung dengan pintu-pintu besi di kedua sisi. Suasana di sini terasa dingin dan sunyi, seakan suara tidak diizinkan ada.
Gray terus berjalan mengikuti pria itu. Mereka menuruni tangga yang berliku, semakin dalam ke bawah tanah. Udara semakin dingin. Sensasi ini mengingatkan Gray pada malam-malamnya di jalanan, tertidur di antara tumpukan sampah, menggigil tanpa selimut.
Akhirnya, mereka berhenti di depan pintu besi yang lebih besar. Seorang penjaga membukanya tanpa kata. Pria itu mengangguk pada Gray. "Masuklah."
Gray melangkah masuk.
Di dalam, ruangan itu lebih luas dari yang ia duga. Di sepanjang dinding ada beberapa tempat tidur besi kecil tanpa kasur, dan di tengah ruangan berkumpul sekelompok anak-anak. Jumlah mereka sekitar dua belas orang, dengan berbagai usia. Ada yang lebih kecil darinya, ada yang lebih tua.
Begitu Gray masuk, semua mata tertuju padanya.
Tidak ada yang berbicara. Hanya tatapan kosong, penuh kelelahan dan ketakutan.
Gray mengabaikan mereka. Ia memilih sudut ruangan dan duduk menyender ke dinding.
Di sampingnya, seorang anak perempuan kecil berambut hitam juga duduk, tubuhnya gemetar. Pakaiannya sama lusuhnya dengan Gray, matanya penuh ketakutan. Tapi Gray tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak peduli.
Di sekitar ruangan, beberapa anak berbicara pelan, berbisik tentang eksperimen yang menunggu mereka. Suara mereka dipenuhi kecemasan.
"Katanya, orang yang dibawa keluar tidak pernah kembali..."
"Aku dengar mereka disuntik dengan sesuatu, lalu tubuh mereka mulai berubah..."
"Beberapa dari mereka meledak..."
Anak perempuan di samping Gray menggigit bibirnya, tangannya gemetar.
Tapi Gray tidak takut. Tidak ada alasan untuk takut jika kau tidak peduli dengan hidupmu. Jika mereka ingin membunuhnya, biarkan saja.
Gray memejamkan mata.
---
Suara pintu besi terbuka membangunkannya.
Seorang anak baru masuk.
Seorang anak lain dibawa keluar.
Gray hanya melirik sebentar sebelum kembali tidur.
Di dalam ruangan ini, tangisan dan ketakutan hanyalah kebisingan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu.
---
Gray terbangun oleh suara langkah kaki berat di luar sel. Beberapa detik kemudian, pintu besi terbuka dengan bunyi skreeet yang berderit tajam. Seorang penjaga bertubuh besar melangkah masuk, membawa nampan-nampan berisi makanan.
"Ambil dan makan," katanya singkat, suaranya dalam dan berat.
Tanpa membuang waktu, anak-anak di dalam sel segera bergerak, mengambil jatah masing-masing. Sup hangat dalam mangkuk logam, ditemani sepotong roti.
Gray mengambil makanannya tanpa ekspresi. Aroma sup yang sedikit asin menyentuh hidungnya. Roti yang diberikan keras, tapi tetap bisa dimakan. Ini jauh lebih baik dibanding apa yang pernah ia makan di Rustgrave.
Tanpa pikir panjang, ia menyendok sup itu dan menelannya dengan lahap. Cairan hangat itu mengalir di tenggorokannya, mengisi perutnya yang kosong. Tubuhnya yang kaku mulai terasa lebih baik.
Begitu selesai makan, Gray meneguk air yang tersedia, lalu dengan tenang meletakkan mangkuk kosongnya di dekat pintu, mengikuti anak-anak lain yang sudah lebih dulu selesai.
Tanpa sepatah kata pun, ia kembali ke sudutnya dan berbaring, berusaha tidur.
Tapi sebelum ia bisa memejamkan mata, sebuah tangan kecil menggenggam lengannya.
Gray membuka matanya sedikit dan mendapati anak perempuan di sebelahnya menatapnya dengan mata penuh ketakutan. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar. Tangannya bergetar saat memegang lengan Gray.
"Kau... kau... kau tidak takut?"
Suaranya bergetar, seperti seseorang yang baru saja melihat kematian di depan mata.
Gray terduduk, menatap anak itu tanpa emosi.
"Takut apa?" tanyanya datar.
Anak perempuan itu menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Kau... kau tidak tahu? Ini adalah lab eksperimen! Kita adalah uji cobanya!"
Ia mencengkram pundak Gray dengan kuat, seolah ingin meyakinkan bocah itu akan bahaya yang sedang mengintai mereka.
Gray diam sejenak, lalu dengan tenang melepaskan tangan anak perempuan itu dari pundaknya. Ia tidak suka disentuh.
"Aku tidak peduli," katanya akhirnya, suaranya tenang tapi dingin. "Lagipula, cepat atau lambat aku akan mati kelaparan jika tidak dibawa ke sini. Tolong abaikan aku."
Tanpa menunggu jawaban, Gray kembali berbaring, membalikkan tubuhnya, dan memejamkan mata.
Anak perempuan itu terdiam.
Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang mendalam.
Bagaimana mungkin ada seseorang yang tidak takut? Yang bahkan dengan sukarela datang ke tempat ini?
Tapi Gray sudah tidak peduli lagi.
Baginya, tidur adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan di tempat ini.
Waktu terus berlalu dalam siklus yang monoton dan menyesakkan. Satu per satu anak datang, dan satu per satu anak pergi, namun tidak semuanya kembali. Ruangan yang awalnya penuh kini perlahan-lahan kosong, menyisakan hanya beberapa anak yang selamat dari sesuatu yang mengintai di balik pintu besi itu.
Gray tidak peduli. Ia hanya mengamati, tanpa emosi, tanpa keterikatan. Ia tahu bahwa cepat atau lambat gilirannya akan tiba.
Dan hari itu pun akhirnya datang.
Krekk...
Pintu besi besar terbuka dengan bunyi berderit tajam, membuat udara dingin yang merayap di lorong semakin terasa menusuk. Seorang penjaga bertubuh besar dan mengenakan seragam hitam melangkah masuk dengan tenang. Wajahnya tertutup oleh topeng logam yang hanya memiliki lubang kecil untuk kedua matanya. Ia berjalan tanpa ragu, tanpa memedulikan tatapan ketakutan anak-anak di ruangan itu.
Lalu, matanya tertuju pada Gray.
"Giliranmu," katanya, suaranya berat dan datar, tanpa emosi.
Tanpa perlawanan, Gray bangkit dari tempatnya. Tubuhnya masih lelah dan lemas, tetapi ia melangkah tanpa ragu, mengikuti pria itu keluar dari sel. Anak-anak lain menatapnya dengan berbagai ekspresi—ada yang kasihan, ada yang takut, dan ada yang tidak peduli seperti dirinya.
Pintu besi tertutup kembali, mengunci anak-anak yang tersisa dalam ruangan suram itu.
Gray mengikuti penjaga itu melewati lorong panjang yang dingin. Cahaya dari lampu redup di langit-langit menciptakan bayangan panjang di dinding batu. Suara langkah kaki mereka menggema di sepanjang lorong sempit itu, satu-satunya suara yang menemani perjalanan mereka.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang sangat berbeda dari sel sebelumnya. Udara di dalam ruangan ini jauh lebih steril, bau menyengat dari bahan kimia dan desinfektan menyerang hidung Gray. Lampu putih terang menyinari setiap sudut ruangan, memperlihatkan berbagai alat-alat medis dan tabung kaca berisi cairan aneh.
Di tengah ruangan, ada sebuah ranjang besi dengan sabuk pengikat di keempat sudutnya.
Di sisi lain ruangan, seorang pria berdiri sambil mencatat sesuatu di papan tulis elektroniknya. Ilmuwan itu mengenakan jas putih panjang, dengan kacamata bulat kecil yang bertengger di ujung hidungnya. Wajahnya tenang, tetapi ada sedikit kegilaan dalam sorot matanya.
Ia menatap Gray dengan penuh perhatian, seolah-olah anak itu hanyalah objek penelitian, bukan manusia.
"Taruh dia di atas ranjang," perintah ilmuwan itu.
Penjaga yang membawa Gray mengangguk. Tanpa perlawanan, ia mengangkat Gray dan membaringkannya di atas ranjang besi itu. Segera setelah itu, tangannya, kakinya, bahkan lehernya diborgol dengan sabuk kulit tebal.
Gray tidak melawan.
Ia tahu itu sia-sia.
Ilmuwan itu berjalan ke sisi ranjang, mengambil suntikan besar berisi cairan hitam pekat. Cahaya dari lampu ruangan membuat cairan itu berkilauan, seolah memiliki kehidupan sendiri.
"Ini akan sedikit menyakitkan," katanya dengan senyum tipis yang tidak menyenangkan.
Tanpa peringatan lebih lanjut, ia menusukkan jarum suntik itu ke leher Gray.
Saat cairan itu mulai mengalir ke dalam tubuhnya, rasa sakit yang luar biasa segera menyerang.
"AHHHHHHHH!"
Teriakan Gray bergema di seluruh ruangan, suaranya dipenuhi penderitaan yang tak bisa dijelaskan. Rasa sakit itu bukan sekadar rasa terbakar atau tertusuk—itu seperti ribuan jarum yang menembus ke dalam setiap sarafnya, mencabik-cabik dagingnya dari dalam.
Kepalanya terasa seperti dihantam palu berulang kali. Tulang-tulangnya berdenyut, otot-ototnya berkedut tak terkendali.
Di antara rasa sakit itu, sebuah suara nyaring muncul di kepalanya.
Tawa.
Suara tawa yang mengerikan, menggema di dalam pikirannya. Bukan suara manusia. Bukan suara yang berasal dari dunia ini.
Tubuhnya mulai bereaksi.
Dagingnya menggeliat, seolah-olah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam tubuhnya. Otot-ototnya menegang dan berubah bentuk secara acak. Darah panas mengalir di bawah kulitnya, bergejolak seperti lahar.
Aura kelam mulai menyelimuti tubuhnya, memenuhi ruangan dengan hawa yang begitu menyesakkan. Udara menjadi berat, seperti dihantam oleh gelombang tekanan yang tidak terlihat. Ilmuwan itu mundur beberapa langkah, mengamati dengan penuh ketertarikan.
Mata Gray mulai kehilangan fokus. Emosi yang bercampur aduk—kesedihan, kemarahan, penderitaan—semua bercampur menjadi satu dalam pikirannya. Ia ingin pingsan. Ia ingin berhenti merasakan semuanya.
Namun, tubuhnya tidak membiarkannya pingsan.
Setiap detik terasa seperti siksaan tanpa akhir.
Daging yang menggeliat itu akhirnya mulai mereda. Otot-ototnya kembali ke bentuk semula. Aura kelam yang menyelimuti tubuhnya perlahan menghilang.
Gray terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat.
"Hah... hah... hah..."
"Berhasil," suara ilmuwan itu terdengar serak, namun penuh kegembiraan yang aneh. Lalu, ia tertawa.
"HAHAHAHAHAHA!"
Tawa itu menggema di ruangan itu, penuh dengan kepuasan dan kegilaan.
"Akhirnya! Satu yang berhasil setelah sekian banyak kegagalan!"
Penjaga yang berdiri di sudut ruangan segera maju. Tanpa berkata apa pun, ia mulai melepaskan ikatan Gray yang sudah lemas.
Tubuh Gray terlalu lemah untuk bergerak. Semua energinya habis, terkuras oleh eksperimen yang baru saja dialaminya.
Penjaga itu mengangkat tubuhnya ke atas punggungnya, membawanya keluar dari ruangan itu. Tangga demi tangga mereka lewati, menaiki lorong yang kembali terasa dingin dan sunyi.
Sampai akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah pintu lain.
Penjaga yang berjaga di sana segera membukanya dengan kunci yang tergantung di sabuknya.
Di balik pintu itu, sebuah tempat baru menunggunya.
Suara mekanisme besi berderak pelan saat pintu besar itu terbuka, memperlihatkan kegelapan di baliknya.
"Masuk," kata penjaga dengan nada datar, lalu dengan kasar melemparkan tubuh Gray ke dalam ruangan.
Brakk!
Gray terhempas ke lantai dingin. Tulang-tulangnya bergetar karena benturan, tetapi ia bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengeluh atau merintih. Nafasnya masih terengah-engah, tubuhnya terasa lumpuh, seolah-olah seluruh energinya telah disedot habis oleh siksaan sebelumnya.
Sebelum ia bisa memproses apa pun, pintu itu tertutup kembali dengan bunyi gemuruh keras, diikuti oleh suara kunci yang diputar dari luar.
Kini, Gray tergeletak tak berdaya di dalam kegelapan. Udara di sini lebih lembap daripada ruangan sebelumnya, beraroma logam dan sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. Suara napas samar terdengar di sekelilingnya, tanda bahwa ia tidak sendirian.
Tapi Gray tidak peduli.
Matanya yang lelah mulai tertutup. Kesadarannya perlahan tenggelam dalam kegelapan.
Ia tidur.
Tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, tetapi sesuatu membuat matanya terbuka. Kelopak matanya terasa berat, tetapi nalurinya berkata bahwa ia harus bangun.
Saat ia mencoba duduk, tubuhnya masih terasa kaku. Kepalanya pusing, namun setidaknya ia sudah bisa menggerakkan tubuhnya. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengenali tempat ini.
Lalu, sebuah suara menyapanya.
"Kau sudah sadar, baguslah."
Gray menoleh ke arah suara itu.
Seorang anak laki-laki berdiri di depannya, wajahnya diterangi oleh cahaya lampu redup yang terpasang di langit-langit. Rambutnya berwarna pirang terang, sedikit acak-acakan, dan sorot matanya tajam tetapi tidak terlihat bermusuhan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!