NovelToon NovelToon

GrayDarkness

001- Awal Tragedi

Gray, bocah lelaki berusia 8 tahun yang tinggal di Desa Bajar, sebuah desa kecil yang memiliki populasi kurang lebih 50 orang, yang terpencil di antara reruntuhan peradaban lama. Rumahnya sederhana, terbuat dari kayu dan tanah liat, terletak di tepi hutan lebat yang menyelimuti desa. Kakeknya, Apis, seorang penjaga desa yang perkasa meskipun usianya sudah senja, adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Dia mengajarkan cara menggunakan tongkat kayu sebagai senjata, cara mengenali jejak hewan di hutan, dan cara membaca tanda-tanda alam. Teman Gray, Sol, gadis seusianya dengan mata yang berbinar seperti bintang, sering bermain bersama di lapangan terbuka di pinggir desa, bercerita tentang legenda para pahlawan dan monster-monster yang menghuni hutan gelap.

Hari ini, seperti hari-hari biasanya, ia sedang membantu kakekmu merawat kebun kecil di belakang rumah. Aroma harum bunga-bunga liar bercampur dengan bau tanah yang lembap memenuhi udara. Tiba-tiba, langit bergetar. Sebuah portal, pusaran energi berwarna ungu pekat, tiba-tiba terbuka di atas hutan. Dari dalamnya, muncul beberapa makhluk mengerikan—kaki seribu raksasa dengan kulit berduri, wujud-wujud bayangan yang menyeramkan, dan makhluk-makhluk lain yang tak dapat di gambarkan. Mereka menerjang desa dengan amarah buas, menebarkan kepanikan dan kehancuran.

Teng...teng...teng...

Bunyi suara lonceng terdengar ke seluruh desa yang menandakan bahwa ada penyerangan terjadi, semua orang dewasa keluar dengan membawa senjata yang mereka miliki, beberapa menggunakan armor perunggu dan besi. Di tengah kebingungan Gray, kakek Apis berkata kepada Gray

"Bersembunyi lah, berlindung lah, cari tempat yang aman"

"Baik kek"

Gray yang ketakutan pun bersembunyi di dalam lemari pakaian, setelah itu kakek Apis pergi keluar dengan perlengkapan pertempuran nya. Di tengah kekacauan itu, tiga manusia muncul dari portal, berpakaian seperti prajurit dari zaman yang berbeda. Wajah mereka tegas, penuh kewaspadaan. Mereka tampak berbeda dari penduduk desa—bahkan dari kakek yang telah menjelajahi banyak tempat.

"Apa ini!? seseorang mengontrol monster-monster ini???"

Namun, mereka bukanlah penyelamat yang diharapkan. Di belakang mereka, muncul gelombang monster yang lebih besar dan lebih mengerikan lagi. Kakekmu, dengan gagah berani, memimpin pertahanan desa, namun kekuatan musuh terlalu besar.

"MAJUUU.....!!!"

"Pertahankan desa bajar, jangan sampai ada yang lolos"

melihat kengerian di matanya saat dia berjuang melawan para monster yang tidak kenal ampun.

Beberapa menit kemudian

Gelap. Itulah yang pertama kali dirasakan Gray. Gelap pekat yang diselingi teriakan ngeri dan desisan mengerikan. Bau amis darah memenuhi hidungnya, menusuk tajam. Dia terbangun dalam pelukan dingin tanah, tubuhnya gemetar hebat. Di sekelilingnya, hanya kekacauan. Rumah-rumah di Desa Bajar, tempat ia tinggal bersama Kakek Apis, penjaga desa, hancur berantakan. Api masih berkobar di beberapa tempat, menjilat sisa-sisa bangunan kayu. Jeritan Sol, sahabatnya, masih bergema samar di telinganya.

"Sol......."

Gray mencoba bangkit. Tubuhnya terasa lemas, namun sebuah kekuatan aneh, sebuah tekad yang membara, mendorongnya untuk berdiri. Dia melihatnya. Tiga sosok tinggi besar, berjubah hitam legam, berdiri di tengah kehancuran. Wajah mereka tersembunyi di balik bayangan, namun aura jahat yang mereka pancarkan terasa nyata, membekukan darah. Mereka adalah makhluk yang telah menerjang Desa Bajar melalui sebuah portal yang tiba-tiba muncul di tengah alun-alun, portal yang memuntahkan monster-monster mengerikan. Para dewasa, para pelindung desa, telah tumbang. Hanya anak-anak yang tersisa. Termasuk Gray dan Sol.

"Kakek Apis..."

Gray memejamkan mata, mengingat senyum hangat kakeknya, tangan kasar yang selalu mengelus rambutnya. Ingatan itu terasa begitu jauh, seolah-olah telah berabad-abad berlalu. Sekarang, hanya kesunyian dan ketakutan yang tersisa. Ketakutan yang bercampur dengan kemarahan yang membara dalam dadanya. Dia tahu, ia dan Sol, bersama anak-anak lainnya, telah diculik. Mereka dibawa menuju tempat yang tak diketahui, menuju nasib yang masih misterius. Namun, di tengah kegelapan ini, sebuah percikan cahaya kecil muncul di hatinya. Sebuah kekuatan aneh, sebuah potensi yang belum terungkap. Potensi yang kakeknya selalu bicarakan, sebuah warisan keluarga yang terpendam. Warisan yang mungkin menjadi satu-satunya harapan untuk menyelamatkan mereka semua, bahkan untuk menyelamatkan dunia ini yang nyaris hancur. Warisan itu, tugas untuk melindungi, tugas yang selalu diingatnya, tugas yang akan segera ia jalani. Tugas yang hanya bisa terungkap dengan menguak misteri di balik portal itu, sebuah misteri yang terhubung dengan takdirnya, takdir seorang ksatria kecil yang baru saja menemukan kekuatannya.

Gray masih terduduk di antara puing-puing, matanya menatap sisa-sisa api yang masih menyala. Di kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Langkah kaki yang tak asing... Sol? Atau mungkin... sesuatu yang lebih mengerikan? Dia harus bertindak. Sekarang.

Gray menemukan sebuah kayu patah menjadi senjata yang tak berarti di tangan Gray. Kecepatan dan kelincahan yang diajarkan Kakek Apis terbukti sia-sia melawan kekuatan para sosok berjubah itu. Serangannya hanya dibalas dengan tawa mengejek yang dingin dan mencekam. Sebelum Gray sempat bereaksi, sebuah kekuatan tak kasat mata menyergapnya, membuatnya jatuh tersungkur. Dunia berputar, pandangannya menjadi gelap, sebelum akhirnya ia tersadar dalam sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau anyir darah masih memenuhi udara. Ia terbaring di lantai tanah yang dingin, tubuhnya terasa nyeri.

Di sekitarnya, anak-anak lainnya tersebar, sebagian terluka, sebagian lagi masih pingsan. Sol, sahabatnya, berada di dekatnya, tubuhnya gemetar hebat, air mata mengalir deras di pipinya. Tangisnya nyaring, mengiris hati. Gray merangkak mendekati Sol, tangannya menyentuh lengan sahabatnya yang kecil.

"Ssst... tenang, Sol,"

Bisik Gray, suaranya serak. Ia mencoba menenangkan Sol dengan lembut, mengelus rambutnya yang kusut.

Wajah Sol masih terbenam dalam kesedihan, namun sentuhan Gray sedikit meredakan isak tangisnya.

"Kita akan baik-baik saja,"

Lanjut Gray, suaranya terdengar lebih yakin dari yang ia rasakan. Ia sendiri merasa takut, sangat takut, namun ia tidak boleh menunjukkannya di depan Sol. Ia harus menjadi kuat, menjadi pelindung bagi Sol, seperti yang selalu diajarkan Kakek Apis. Namun, pertanyaan besar masih menggelayut di benaknya: Di mana mereka berada? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Dan bagaimana caranya agar mereka bisa lolos dari cengkeraman sosok-sosok misterius berjubah hitam itu?

002 - Ketakutan

Suara langkah kaki terdengar mendekat dari balik pintu kayu yang usang. Suara itu berat, dan terdengar mengancam. Gray memeluk erat Sol, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Kegelapan kembali menyelimuti mereka, lebih mencekam dari sebelumnya.

Pintu kayu berderit terbuka, menimbulkan suara yang mengiris kesunyian mencekam ruangan. Sosok tinggi besar dengan jubah hitam legam masuk, bayangan wajahnya tersembunyi di balik tudung nya . Tangannya menggenggam erat lengan seorang anak laki-laki yang meronta-ronta ketakutan. Tangisan anak itu pecah, menyatu dengan isak tangis anak-anak lainnya. Sol kembali menangis lebih keras, tubuhnya gemetar hebat saat ia menyaksikan temannya diseret pergi, menghilang di balik pintu yang kembali tertutup dengan bunyi derit yang sama mengerikannya. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya diselingi isakan dan napas tersengal-sengal anak-anak yang ketakutan.

Gray mengamati dengan seksama, mencoba menangkap detail sekecil apa pun dari sosok berjubah itu. Gerakannya lincah, namun ada sesuatu yang ganjil. Langkah kakinya tidak menimbulkan suara meskipun lantai tanahnya keras. Ada keganjilan dalam cara ia membawa anak itu, seolah-olah anak itu lebih ringan daripada seharusnya. Gray merasakan sebuah firasat buruk. Ini bukan sekadar penculikan biasa.

Ini ada hubungannya dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Ia merasakan sebuah getaran kecil di dalam dirinya, kekuatan yang sama yang muncul saat ia pertama kali merasakan warisan itu. Kekuatan yang belum ia pahami sepenuhnya, namun kekuatan yang mungkin bisa menjadi kunci untuk menyelamatkan mereka semua. Percikan harapan itu menyala di dalam dadanya, di tengah keputusasaan yang begitu dalam. Ia harus menemukan cara untuk menyelamatkan Sol dan anak-anak lainnya, sebelum semuanya terlambat. Ia harus memahami kekuatan di dalam dirinya, kekuatan yang mungkin terhubung dengan misteri di balik portal dan sosok-sosok misterius berjubah hitam itu.

Mata Gray menatap pintu yang tertutup rapat, pikirannya sibuk memikirkan strategi. Waktu berjalan lambat, mencekam. Kegelapan mencengkeram mereka semakin erat.

"Sol, jangan khawatir,"

Bisik Gray, suaranya sedikit gemetar namun ia berusaha terdengar teguh. Ia melihat air mata Sol masih mengalir deras. Kata-kata itu lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada Sol, namun setidaknya ada sedikit harapan yang ia pancarkan. Pria berjubah hitam itu belum kembali, memberikan sedikit jeda dalam teror yang mencekam. Di tengah keheningan itu, ingatan tentang Kakek Apis muncul. Bayangan tangan kasar kakeknya yang mengajarkannya cara mengayunkan pedang, gerakan-gerakan tepat untuk menebas musuh, membayangi pikirannya.

Tidak ada pedang di sini, hanya tangan kecilnya yang mungil. Namun, Gray mulai mengayunkan tangannya, menirukan gerakan-gerakan yang diajarkan Kakeknya. Gerakannya kikuk, nafasnya tersengal, namun ia berusaha sekuat tenaga. Anak-anak lainnya memperhatikan sejenak, rasa ingin tahu mereka terpancing, sebelum kembali tenggelam dalam ketakutan dan keputusasaan masing-masing. Mereka kembali fokus dengan ketakutan masing-masing, mengabaikan Gray. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, mencekam dan menegangkan.

Lalu, suara langkah kaki terdengar lagi, semakin dekat. Bunyi derit pintu kayu kembali terdengar. Kali ini, bukan hanya satu langkah, tetapi beberapa langkah kaki. Semua anak-anak kembali terdiam, ketakutan memenuhi ruangan. Suasana putus asa begitu pekat, terasa membebani dada setiap orang. Tatapan Gray tertuju pada pintu, jantungnya berdebar kencang.

Ia merasa, kali ini, sesuatu yang berbeda akan terjadi. Kegelapan yang menyelimuti mereka terasa lebih berat, lebih mencekam dari sebelumnya. Harapan mulai memudar, digantikan oleh rasa takut yang tak tertahankan. Lalu, suara langkah kaki terdengar lagi, semakin dekat. Bunyi derit pintu kayu kembali terdengar. Kali ini, bukan hanya satu langkah, tetapi beberapa langkah kaki. Semua anak-anak kembali terdiam, ketakutan memenuhi ruangan. Suasana putus asa begitu pekat, terasa membebani dada setiap orang. Tatapan Gray tertuju pada pintu, jantungnya berdebar kencang.

Ia merasa, kali ini, sesuatu yang berbeda akan terjadi. Kegelapan yang menyelimuti mereka terasa lebih berat, lebih mencekam dari sebelumnya. Harapan mulai memudar, digantikan oleh rasa takut yang tak tertahankan.

..._____________________...

Udara dingin dan lembap menyelimuti Gray saat kesadarannya kembali. Bau besi berkarat dan sesuatu yang manis, namun menjijikkan, memenuhi hidungnya. Ia terikat pada sebuah ranjang besi tua, rantai dingin melilit pergelangan tangan dan kakinya. Ruangan itu sempit, dinding-dindingnya terbuat dari batu yang lembap, dihiasi noda-noda gelap yang tampak seperti bekas darah. Di sudut ruangan, berbagai peralatan aneh berserakan— tabung-tabung kaca berisi cairan berwarna-warni, pisau bedah yang mengkilap, dan berbagai alat yang tak dikenal Gray. Di tengah ruangan, seorang pria setengah baya dengan rambut acak-acakan dan jubah putih lusuh sedang mengamati Gray dengan tatapan mata yang liar dan bersemangat.

"Ah, bagus! Sepertinya ini spesimen yang menarik,"

Gumam pria itu, suaranya serak dan berdecak-decak seperti tikus. Ia mendekati Gray, matanya berbinar-binar.

"Tubuh kecil, namun tampaknya memiliki potensi energi yang luar biasa. Kita akan lihat seberapa jauh kita bisa mengembangkannya."

Sosok berjubah hitam, yang telah membawanya ke tempat ini, berdiri di dekat pintu, diam-diam mengamati. Ia hanya mengangguk singkat sebagai jawaban atas kata-kata ilmuwan itu.

"Baiklah,"

kata pria berjubah itu, suaranya berat dan dingin,

"Aku akan kembali mengambil anak-anak lainnya."

Ia berbalik dan menghilang di balik pintu kayu yang berderit.

Ilmuwan gila itu menghampiri Gray, tangannya gemetar-gemetar karena tak sabar. Ia meraih salah satu tabung kaca berisi cairan hitam pekat yang bercahaya.

"Jangan takut, bocah kecil,"

katanya sambil tersenyum menyeramkan.

"Ini akan sedikit... menyakitkan. Tapi, percayalah, hasilnya akan luar biasa!"

Ia mendekatkan tabung itu ke wajah Gray. Bau cairan itu semakin menyengat. Gray meronta-ronta, tetapi rantai itu terlalu kuat. Mata Gray menangkap sesuatu di sudut ruangan— sebuah pisau kecil tergeletak di lantai, tersembunyi di balik tumpukan kain lusuh. Harapan kecil menyala di dalam hatinya. Apakah dia punya kesempatan untuk melarikan diri? Ataukah eksperimen mengerikan ilmuwan gila itu akan segera dimulai? Kegelapan di ruangan itu terasa lebih berat dari sebelumnya, namun kali ini, Gray merasakan bukan hanya takut, tetapi juga sebuah tekad yang baru. Dia harus bertahan hidup.

Cairan hijau lumut itu menusuk kulit Gray. Bukan hanya menusuk, melainkan merobek, membakar dari dalam. Rasa sakitnya tak tertahankan, gelombang demi gelombang nyeri yang begitu hebat menghantamnya hingga ia hampir kehilangan kesadaran. Dunia berputar, menjadi kabur, seolah-olah tubuhnya hancur berkeping-keping. Ia meraung, suara tercekik yang nyaris tak terdengar di antara deru sakit yang menggelegar di kepalanya. Tangisannya lebih merupakan jeritan binatang yang terluka parah daripada tangisan seorang anak laki-laki.

003 - Keputus-asaan

Ilmuwan gila itu tertawa, tawa nyaring dan memuakkan yang bergema di ruangan sempit itu.

"Sempurna!"

"Hasil kali ini benar-benar berhasil, aku tidak menyangka akhirnya berhasil, padahal tidak ada satupun yang berhasil sebelumnya dengan serum itu"

Serunya, matanya berbinar-binar seperti menemukan harta karun. Ia mengamati tubuh Gray dengan seksama, mencatat setiap perubahan sekecil apapun.

"Energinya... luar biasa! Melampaui ekspektasi!"

Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu mulai mereda, digantikan oleh sensasi aneh yang lain. Tubuh Gray terasa panas, seolah-olah ada api yang menyala di dalam dirinya. Ia bisa merasakan kekuatan yang baru, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia miliki. Kekuatan yang luar biasa, namun masih sulit untuk dikendalikan. Gerakan tangannya sedikit bergetar, dan ia mencoba sedikit menggerakkan jari-jarinya, tetapi rantai itu masih mengikatnya erat. Ilmuwan itu masih mengamati, mencatat setiap perubahan pada alat-alat yang terpasang di sekitarnya. Ia mengambil beberapa data dan mencatat ke dalam buku catatannya dengan ekspresi puas.

"Ini akan menjadi terobosan besar,"

gumamnya sendiri.

"Kita akan mengubah dunia!"

Orang itu berlari dengan tergesa-gesa keluar ruangan tanpa menutup pintu, keheningan kembali menyelimuti ruangan, diselingi hanya oleh napas Gray yang terengah-engah dan suara pena yang menari di atas kertas. Namun, keheningan itu bukanlah ketenangan. Ini adalah keheningan sebelum badai. Kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya, meskipun masih liar dan tak terkendali, membangkitkan secercah harapan di hati Gray. Ia harus memanfaatkannya. Ia harus keluar dari tempat ini. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?

Dengan mengerahkan seluruh kekuatan barunya, Gray mencoba mematahkan rantai yang membelenggu. Energi gelap, pekat seperti malam tanpa bintang, meledak dari dalam dirinya. Rantai-rantai besi tua itu hancur berkeping-keping, terlempar menghantam dinding batu hingga menimbulkan debu. Aura kegelapan yang pekat menyelimuti tubuh mungilnya; rambutnya berdiri tegak, matanya bersinar dengan cahaya hitam yang intens. Ia merasa kekuatan tak terhingga mengalir dalam dirinya, kekuatan yang menakutkan dan asing.

Langkah kaki berat menggema di ruangan sempit itu. Ilmuwan gila itu kembali dan terkejut, wajahnya pucat pasi, mundur beberapa langkah. sebelumnya, mereka sudah memastikan bahwa rantai itu kuat untuk menahan kekuatan sihir, namun sepertinya, itu tidak efektif terhadap bocah yang satu ini. Bersamaan dengannya, muncul sosok lain—seorang pria botak dengan bekas goresan luka panjang dari mata kiri membelah hidungnya sampai mata kanan, mengenakan jubah hitam yang sama dengan yang dikenakan penculiknya sebelumnya, namun kali ini wajahnya terlihat jelas. Pria itu memancarkan aura yang jauh lebih kuat daripada ilmuwan gila itu.

Tanpa ragu, Gray menyerang. Pukulannya cepat, penuh dengan kekuatan gelap yang dahsyat. Namun, pria botak itu hanya mengangkat satu tangannya, sebuah penghalang tak kasat mata yang menghentikan serangan Gray dengan mudah. Kekuatan gelap yang dahsyat itu seakan-akan menghantam tembok baja yang tak tergoyahkan. Gray terhuyung ke belakang, terkejut. Pria botak itu tersenyum dingin, sebuah senyum yang membuat bulu kuduk Gray merinding.

"Menarik,"

ucap pria botak itu, suaranya rendah dan dalam, beresonansi dengan aura kekuatan yang luar biasa.

"Energi gelap yang begitu murni... Kau memang berbeda, bocah."

Ia menatap Gray dengan mata tajam yang penuh perhitungan.

"Tapi, kekuatan ini... masih belum cukup."

Ilmuwan gila itu, masih gemetar ketakutan, hanya bisa bergumam,

"Tuan... ia... ia sangat kuat..."

Pertarungan belum berakhir. Gray masih terengah-engah, menyadari bahwa kekuatan barunya, meskipun dahsyat, masih belum cukup untuk melawan pria botak itu. Ia harus menemukan cara untuk mengendalikan kekuatan ini, untuk melawan kekuatan yang lebih besar darinya. Aroma bahaya semakin terasa kuat, mencekam, menyelimuti ruangan sempit itu. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana Gray bisa mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat darinya? Kegelapan, yang tadinya memberinya kekuatan, kini terasa mengancam.

Dalam hitungan detik, ingatan tentang latihan pedang bersama Kakek Apis membanjiri pikiran Gray. Ia mengingat setiap gerakan, setiap ayunan, setiap teknik yang diajarkan kakeknya. Bukan pedang yang ia pegang, melainkan kekuatan gelap yang baru saja ia kuasai. Dengan fokus yang luar biasa, Gray menghimpun seluruh energi gelap dalam tubuhnya, mengarahkannya ke satu titik—tangannya. Sebuah tebasan, cepat seperti kilat, melesat keluar. Bukan tebasan biasa, melainkan serangan energi gelap yang terkonsentrasi, seperti tembakan energi yang mematikan.

Pria botak itu, yang masih tercengang oleh kekuatan gelap Gray sebelumnya, tidak sempat bereaksi. Serangan itu mengenai lehernya, menimbulkan awan debu yang menyelimuti sosoknya. Senyum mengembang di wajah Gray, sejenak ia merasa telah berhasil. Namun, senyum itu memudar begitu cepat. Debu mulai berangsur hilang, memperlihatkan pria botak itu berdiri tegak, tanpa cedera sedikit pun. Hanya goresan merah tipis, seperti bekas benturan ringan, tersisa di lehernya.

Amarah membara di mata pria botak itu. Dengan geraman rendah, ia menghimpun energi ke tangannya, sebuah bola energi gelap yang jauh lebih besar dan pekat daripada yang pernah ditunjukkan Gray sebelumnya. Tanpa ampun, ia melayangkan pukulan itu ke arah Gray. Tubuh kecil Gray terhempas, jatuh ke lantai tanpa daya. Kegelapan kembali menyelimuti kesadarannya. Pria botak itu mendekat, menatap Gray yang tak sadarkan diri dengan tatapan dingin dan penuh perhitungan.

"Kau memang punya potensi, bocah,"

Gumamnya,

"tapi kau masih terlalu lemah."

Ia berbalik kepada ilmuwan gila itu,

"Bersihkan ini. Kita perlu melakukan beberapa penyesuaian."

Kegelapan ruangan terasa lebih mencekam dari sebelumnya, dipenuhi oleh aroma bahaya yang lebih pekat. Gray terbangun dengan kepala yang masih berdenyut. Ruangan itu dingin, berbau desinfektan, dan berdinding beton polos. Anak-anak lain, sekitar sepuluh orang, duduk berkerumun di sudut ruangan, wajah mereka pucat dan lesu. Mereka semua tampak seusianya, tetapi Gray tak mengenal satu pun dari mereka.

'Ini bukan tempatku sebelumnya,'

Gumamnya dalam hati, ingatan akan ruang penyiksaan yang gelap dan berbau anyir masih segar dalam pikirannya.

Seorang bocah laki-laki, sedikit lebih tinggi darinya, berambut pirang dan bermata biru, mendekat.

"Kau sudah bangun,"

katanya, suaranya lembut tapi sedikit gugup.

"Bagaimana perasaanmu?"

"Tidak baik,"

Jawab Gray, suaranya serak.

"Di mana aku? Aku harus menyelamatkan Sol!"

Kecemasan memenuhi dadanya. Dia harus menemukan Sol. Dia harus keluar dari sini. Dengan tekad baru, Gray berdiri. Dia merasakan kekuatan gelap itu masih berdenyut di dalam dirinya, namun terasa… berbeda. Lebih redup, lebih terkekang. Dia mengayunkan tangannya, mencoba melepaskan tebasan energi gelap seperti yang dilakukannya sebelumnya, tetapi tidak ada yang terjadi. Kekuatannya seolah-olah tertidur. Frustasi menggelegak

Dia menggeram, lalu memukul pintu dengan sekuat tenaga, mengerahkan sisa-sisa energi yang masih dimilikinya. Bukannya pintu yang bergetar, sebaliknya, sebuah sensasi aneh menjalar dari tangannya, menyerap seluruh kekuatannya, seolah-olah pintu itu adalah jurang yang haus akan energi. Kekuatannya lenyap, meninggalkan dirinya lemah dan kosong. Pintu tetap utuh, bahkan tak menunjukkan sedikit goresan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!