NovelToon NovelToon

Sisa Rasa Rosa

Keputusan Besar

Mata cokelat itu terbuka dengan keterkejutan dalam kegelapan. Detik berikutnya tertutup kembali seraya menahan tubuhnya yang bergetar. Perlahan dia bangun dari tidurnya. Duduk dengan tangan memeluk dirinya sendiri, dengan lutut yang sedapat mungkin rapat dengan tubuhnya, dan telapak tangan perlahan menepuk-nepuk pundaknya. Dia mengatur napas sepelan mungkin. Sebisanya agar dapat kembali mengendalikan tubuhnya yang masih bergetar.

           Dia bermimpi.

Mimpi buruk.

Ingatan terburuknya.

           Lima menit setelahnya barulah dia bisa mengangkat kepala. Membuka mata dan mengatur napas, masih sepelan mungkin, sambil mengelap keringat yang renung di keningnya. Setelahnya dia mengambil segelas air putih yang sudah disiapkan sebelum tidur tadi, menghabiskannya dalam beberapa teguk. Sambil mengembalikan gelas ke atas meja samping tempat tidur, matanya melirik jam weker. Masih jam dua. Terlalu dini untuk bangun dan besiap-siap. Tapi dia yakin tidak bisa terlelap lagi kalau tidur sendiri.

           Tangan rampingnya merapikan rambut panjangnya yang kusut, mengikat asal kemudian turun dari tempat tidur. Berjalan tanpa suara keluar kamarnya. Langkahnya menyeberangi ruang keluarga yang terhubung ke ruang tamu khas rumah jaman dulu, yang tanpa sekat. Tangannya lalu terulur ke pegangan pintu kamar di depannya. Dia membuka perlahan dan melongokkan kepalanya lebih dulu.

Matanya melihat punggung wanita tua yang terbaring berselimut tebal motif bunga mawar. Tubuh neneknya bergerak berbalik mendengar bunyi pintu berdecit. Menghadap ke arah pintu lalu tersenyum saat tau siapa yang berdiri di sana. Tangannya terulur mengajak.

Gadis yang masih berdiri di ambang pintu ikut tersenyum kemudian melangkah masuk. Setelah menutup kembali pintu, dia bergegas naik ke tempat tidur. Bergelung di pelukan neneknya. Dia merasakan tangan nenek terulur menyelimutinya. Setelah itu tangan tua nenek mengusap kepalanya pelahan, kembali membawa gadis itu kedalam lelap.

-o0o-

Langit masih gelap saat dia kembali membuka mata. Alarm tubuhnya sudah diset untuk bangun jam setengah lima. Berbarengan dengan terdengar suara jam beker di kamanya. Segera disibaknya selimut bermotif mawar warna-warni itu. Kemudian dengan cekatan melipatnya sampai rapi. Lalu berlari menuju kamarnya. Setelah mematikan lengkingan suara dari jam beker, sekarang giliran tempat tidurnya yang langsung dibereskan.

Rosa berhenti sejenak. Duduk di pinggir tempat tidur yang sudah rapi. Dalam keremangan tanpa menyalakan lampu, dia mengingat kembali mimpi tadi malam. Matanya terpejam sebentar, sambil mengatur napas, dia kembali membuka mata kemudian tersenyum.

“It’s ok, Rosa. Kamu bisa melaluinya. Kamu kuat dan berani.” Katanya bersungguh-sungguh sambil menepuk pundaknya sendiri, “ayo kita hidup sehari lagi,” katanya dalam hati.

-o0o-

Mimpi buruknya malam tadi memang membawa berita buruk untuknya.

Sejak nenek mengalami struk ringan, Uwa Raya, kakak dari almarhum Mama, mengambil alih tugas memasak. Rosa belum bisa memasak apapun. Keahliannya hanya sampai mengukus ubi juga membuat nasi. Selain itu kacau. Rosa tidak bisa memasak. Jadi, selain membereskan rumah, mencuci baju dan piring, tugas memasak diambil alih Uwa Raya.

Biasanya, sepulang sekolah Rosa akan mampir di rumah Uwa untuk mengambil lauk makan hari itu. Jarak dari rumah Uwanya ke rumah nenek tidak jauh, hanya terhalang dua rumah. Jadi, sepulang sekolah sekarang pun dia belok ke rumah Uwa Raya.

Sampai di rumah beliau, dia tidak menemukan siapapun. Dengan panik Rosa langsung berlari ke rumah Nenek. Jantungnya berdebar kencang saat melihat beberapa orang tetangga ada di rumah Neneknya. Dengan tergesa Rosa membuka sepatu dan berlari ke dalam rumah. Matanya menemukan orang yang dicarinya.

“Nek,” panggilnya kaku.

Uwa yang tidak ditemukan di rumahnya juga ada di sana. Duduk di tempat tidur nenek. Kakak dari Mamanya itu berdiri saat mendengar suara Rosa. Dia tersenyum menenangkan.

“Nenek gak apa-apa, Rosa, tadi terpeleset di dapur. Teh Erni yang pertama kali lihat waktu lewat,” kata Uwa, menerangkan sesuai dengan yang terjadi, “Nenek cuma lagi istirahat,” katanya lagi saat melihat mata Rosa masih menatap lurus ke arah nenek.

Padahal tadi pagi nenek masih baik-baik saja. Mereka sarapan bersama seperti biasa. Rosa juga membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. neneknya sangat sehat pagi tadi.

“Rosa?”

Rosa mengangguk.

“Ganti baju dulu terus nanti makan, ya, udah dibawain Ira tadi.”

Rosa mengangguk lagi

Ira adalah sepupunya, anak kedua Uwa yang sekarang masih SMP.

Menuruti apa kata Uwanya, Rosa keluar dari kamar nenek dengan air mata menggenang di pelupuk mata.

-o0o-

Besoknya sepulang sekolah, Uwa sudah ada di kamar nenek lagi. Rosa merasa tidak bisa melakukan apapun yang bisa membantu Uwa ataupun membuat nenek lebih baik. Jadi dia hanya menyelesaikan tugasnya sehari-hari. Siang ini dia sudah membereskan cucian bajunya dan baju nenek. Dia melakukannya agar bisa menghilangkan pikirannya yang mengkhawatirkan nenek.

Kemarin dokter sudah datang dan bilang nenek tidak apa-apa. Hanya sisa memar dan luka lecet bekas jatuhnya yang harus dirawat. Tidak ada cedera serius, tapi mengingat nenek sudah sepuh jadi dokter meminta untuk lebih mengawasi nenek.

Uwa mengajak Rosa untuk bicara, setelah memberikan obat untuk nenek dan meminta nenek tidur.

“Rosa,” kata Uwa menggantungkan kalimatnya, “Uwa sama nenek sudah berdiskusi, sekarang giliran Rosa yang Uwa ajak diskusi.”

Rosa menyimak dengan mata menatap jari-jari tangannya. Dia mendengar Uwa berhati-hati mengatakannya. Dia sedikit banyak bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini.

“Kata dokter kemarin Nenek harus lebih diawasi, sedangkan Uwa masih punya Ira dan Andi yang harus Uwa urus di rumah. Kalau harus bolak-balik kesini Uwa kayaknya akan sedikit repot. Jadi kayaknya Uwa akan bawa nenek di rumah Uwa, ya?” Uwa menjelaskan.

Kepala Rosa mengangguk, menyetujui dan mengerti.

“Rosa bisa di rumah sendiri?” tanya Uwa, “atau kita panggil papa?”

Untuk pertanyaan itu, Rosa sudah menunggunya. Tapi masih belum tahu harus menjawab apa. Dia mengigit bibir dalamnya untuk meredam gemetar bibirnya. Tidak yakin dengan apa yang akan dikatakannya.

Mendengar kedua orang yang paling dihindarinya itu membuat Rosa menahan gemuruh kemarahan di dadanya. Sejak empat tahun lalu, saat nenek sakit, dia sudah ketakutan. Dia takut harus kembali menghadapi orang-orang yang ingin dia hindari itu.

Kalau teman-teman Rosa pernah menyinggungnya dengan bilang bahwa Rosa seperti Kak Ros dalam serial kembar botak dari negara tetangga itu, yang hanya tinggal dengan neneknya, mereka semua salah. Rosa masih punya Papa, dan seorang kakak.

Rosa mengangkat kepalanya kemudian menatap Uwa, dia tersenyum kecil.

“Uwa mau dengar pendapat kamu dulu. Uwa tau kamu bisa mengerjakan semuanya sendirian. Tapi tinggal di rumah sendirian beda lagi, Sa,” jelas Uwa pelan-pelan, “meskipun buat tidur aja sebenernya kan,” Uwa cepat-cepat menambahkan. “Cuma gak ada yang nemenin kalau malem, dan Uwa khawatir ninggalin kamu sendiri,” lanjutnya.

“Kayaknya memang udah waktunya?” tanyanya dengan senyum kecilnya. Dia menarik napas untuk melegakan sesak dadanya.

Uwa menarik napas. Merasa berat melepaskan Rosa tapi juga tidak akan maksimal menjaga ibunya sekarang. “Kamu pikirkan dulu, Uwa belum ngasih tau siapa-siapa soal ini.”

“Gak apa-apa, Uwa. Aku ngerasa ini waktunya.” Jawab Rosa. Dia menarik napas, “Aku ke Bandung aja dengan Papa,” putusnya.

-o0o-

Semuanya serba cepat. Minggu kemarin Rosa masih bercanda dengan Nenek tentang keriput di tangan nenek yang bisa berlipat-lipat. Hari ini dia meninggalkan nenek di desa. Yang meskipun sudah lebih baik dari hari senin kemarin tapi masih belum pulih sepenuhnya.

Dia hanya membawa sekoper keperluannya. Buku-buku sekolahnya yang paling penting. Buku-buku pelajaran, beberapa novelnya yang belum dibaca, dan kamus-kamus tebal. Karena Rosa tidak mempunyai apapun yang penting lainnya untuk dibawa. Dia tidak mengoleksi apapun. Tidak menumpuk baju atau apapun pernak-pernik rambut. Tidak dengan hobi juga.

Rosa ingat untuk membawa kamera digitalnya. Hadiah ulang tahun yang lalu dari Papa. Sisanya hanya kesehariannya yang sederhana di desa. Hal paling berharga miliknya hanya nenek. Tapi Rosa tidak bisa membawanya.

Yang tidak disangkanya adalah teman-teman sekelasnya yang mengelilinginya dihari terakhirnya sekolah di sana. Deana memberinya gantungan kunci berbentuk bunga mawar. Tari berpesan supaya dia menonton music video grup band favoritnya selama perjalanan supaya Rosa tidak bosan. Dan Ria bilang untuk sesekali update agar mereka tahu Rosa baik-baik saja.

Rosa sangat tersentuh dengan apa yang dilakukan mereka. Meskipun selama dua bulan ini mereka tidak banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol, tapi ternyata kehadirannya di kelas berarti juga.

Tiara, sahabatnya dari SD, juga menemaninya selama dua hari berturut-turut. Membantunya mengepak barang, meskipun tidak banyak yang dibereskannya. Dia merasa akan kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar menjadi temannya sejak kecil dulu. Tiara juga memberi tahu bahwa dia akan selalu menunggu kabar Rosa.

Dengan hampir menangis, Rosa mengangguk. Tiara adalah satu-satunya yang selalu menemaninya. Satu-satunya teman yang ia miliki.

Tapi yang paling membuatnya merenung sampai setengah perjalanan ini adalah pesan dari neneknya, “Baik-baik dengan Papa-mu, ya, Sayang. Dia orang tuamu.”

Nenek tidak sedang memarahinya, tapi kata penuh penekanan itu sungguh sampai ke hatinya. Dan Rosa hanya bisa mengangguk untuk menjawabnya. Dia akan menuruti nenek. Seperti selama ini. Rosa selalu menuruti apa kata nenek.

Rosa menghela napas. Membuat Pak Usup, supir Papa yang menjemputnya hari ini, melirik kearahnya dan tersenyum, “Neng Rosa tidur dulu aja kalau bosen. Masih dua jam lagi nyampenya kalau jalanan lancar,” katanya.

Rosa menggeleng, “Gak apa-apa, Pak,” jawabnya sekenanya.

Belum apa-apa Rosa sudah merasa jengkel sendiri. Bingung, perasaannya masih saja dipenuhi amarah meskipun sudah enam tahun berlalu. Dia hanya berharap bisa memenuhi apa yang neneknya minta.

Meskipun selama ini dia mencoba untuk menerima semuanya, tapi tetap saja kemarahannya masih bersarang di dalam sudut hatinya. Dia masih tidak bisa menerimanya. Dia masih tetap marah pada Rama.

Tapi pesan nenek jelas sekali. Berbaik-baik dengan Papa. Artinya dia tidak bisa berbuat apa-apa. Termasuk kepada kakaknya, Rama.

Rosa melihat ke luar jendela. Ah, hidupnya yang tenang akan berubah drastis sekarang.

-o0o-

Kembali ke Semula

Ingatan masa kecilnya menyerbu saat mobil memasuki gerbang, terus masuk dan berhenti di depan bangunan satu lantai bercat putih itu. Rumah masa kecilnya. Rumah yang menjadi saksi perasaannya yang utuh. Perasaan bahagianya.

Pintu mobil dibukakan oleh Pak Usup. Tapi Rosa membeku.

Takut.

Setelah beberapa saat ragu untuk turun, untuk masuk ke rumahnya, Rosa memejamkan mata. Memantapkan hatinya untuk bisa melangkah maju. Tapi akhirnya kakinya membawanya turun dari mobil dan mulai melangkah mengikuti Pak Usup yang mendahuluinya sambil membawa koper.

Rosa menarik napas. menggigit bibir dalamnya, dengan tangan mengepal, ia membuka sepatu.

Masuk ke rumah masa kecilnya membuat Rosa merasakan gejolak penolakan. Apalagi baru selangkah masuk ruang tamu, matanya disambut oleh foto berukuran besar dengan Papa, Rosa, Rama, dan Mama, yang menggantung menghiasi dinding ruang tamu. Foto terakhir yang mereka ambil sebelum semuanya berubah.

Rosa memalingkan muka, tidak sanggup menatap foto itu lagi. Foto yang menangkap kebahagiaan mereka. Karena sekarang entah menguap kemana perasaan itu. Yang tersisa hanya sesak yang semakin kaki Rosa melangkah masuk semakin mencekiknya.

Setiap sudut rumah ini masih meninggalkan jejak Mama. Mama yang menggantungkan pigura foto itu disana. Mama yang meminta ruang tamu dicat warna putih gading. Mama yang memilih bantal sofa. Mama yang mengatur tiap jengkal dari apa saja yang akan digantung di dinding, disimpan di mana lemari, menghadap mana disimpannya TV, bahkan warna gorden masih warna pilihan mama.

Mata cokelat Rosa seketika berkabut. Dia seperti masuk kembali kedalam dunianya mama. Dia merasa terperangkap. Dia merasa sangat merindukan mama.

Rosa bahkan tidak bereaksi saat Bu Asih, asisten rumah tangga, yang ternyata masih bekerja untuk Papa, menyambutnya dengan terharu. Membawa Rosa ke kamarnya. Kamar masa kecilnya yang sekarang sudah disulap menjadi kamar yang sudah siap dia tempati.

Napasnya baru normal kembali setelah Bu Asih memberinya segelas teh manis hangat. Hangat yang mengalir di tenggorokannya membawanya kembali ke kenyataan.

Dia berdiri di tengah kamarnya. Kopernya sudah berada di dekat meja belajar yang berwarna cokelat muda dan putih. Sebuah laptop sudah bertengger disana. Tidak perlu membuka lacinya untuk tahu bahwa semua jenis dan warna bolpoin, pensil, penghapus dan semua kebutuhan belajar sudah terisi di dalamnya.

Matanya kemudian menyusuri setiap jengkal isi kamarnya. Tempat tidur Belle-nya dulu sudah berganti dengan ranjang kayu polos, dengan kasur berseprai polos warna pink blush. Meja belajar dan kursinya di samping tempat tidur.

Jendela besar juga masih ada disana. Jendela itu menghadap taman belakang rumah. Rosa duduk di sofa yang diletakan di bawah jendela, ada lemari buku yang masih kosong di samping sofa.

Matanya menatap keluar jendela, ke taman belakang yang masih juga ditumbuhi oleh bunga-bunga. Rosa melihat lengkungan besi yang dulu diminta mama untuk dipasang agar bisa membuat terowongan mawar. Sekarang lengkungan besi itu sudah penuh oleh batang-batang mawar yang saling melilit menjadi terowongan bunga. Ada beberapa bunga yang masih kuncup terlihat disana. Rosa tersenyum kecil.

“Cantik sekali, Ma,” bisiknya.

Dia lalu membuka pintu kamar mandi. Sudah tidak ada lagi bebek-bebek kecil teman mandinya saat kecil dulu. Sekarang sudah bersih mengkilap dengan wangi vanila yang menyapa hidung Rosa, wangi dari satu set sabun dari merk luar negeri. Tangannya kembali menutup pintu itu.

Kemudian dia beralih pada kopernya. Rosa mulai membereskan bawaannya yang tidak seberapa. Selesai memindahkan buku-bukunya. Rosa beralih pada ruangan kecil yang menjadi walk in closet-nya.

Tidak terlalu kaget saat melihat isinya. Kaos, celana jeans, cardigan, jaket, bahkan dress-dress serupa yang dia punya di desa sudah tersusun rapi. Di bagian lainnya baju-baju tidur juga sudah bertumpuk. Rosa segera tahu bahwa di laci itu juga sudah tersusun underwear-nya.

Di satu pintu lagi Rosa melihat tas-tas lucu yang tergantung, berwarna hitam dan putih. Dibawahnya sudah bertumpuk beberapa kotak sepatu. Rosa membuka salah satu laci. Disana juga sudah lengkap jepit-jepit kecil, karet rambut, dan cincin-cincin lucu.

Diatas meja rias yang masih juga berwarna senada lemari tersusun satu set skincare yang Rosa pakai, beberapa lip produk yang belum Rosa kenali, dan beberapa parfum dari merk terkenal. Juga satu set make up dengan kotak-kotak lucu bergambar kupu-kupu. Satu vas cantik dengan rangkaian bunga mawar berwarna pink juga tertata disana. Rosa menarik napas. Lalu duduk di kasurnya.

Inilah sebabnya dia tidak membawa banyak barang. Karena dia sudah tahu bagaimana Papanya.

Rosa tahu Papa akan membuat semuanya mudah untuknya. Dia harusnya bersyukur, dan menjadi anak baik. Harusnya dia tidak pergi dan menghilang di rumah nenek. Harusnya begitu. Tapi itu benar-benar jalan terbaik. Karena perasaannya bisa lebih baik saat bersama nenek. Dan dia kembali hancur saat masuk rumah ini lagi.

Dia kembali merindukan Mama.

Mamanya yang meninggalkannya dengan luka, amarah, dan kebencian.

Bukan kepada mama. Tapi kepada Papa. Kepada Rama.

-o0o-

“Nama saya Rosa, Aysarosa Nirmala.”

Bu Nina, guru wali kelas X-3, kelas Rosa sekarang berdiri, menunggu Rosa melanjutkan kalimatnya. Setelah yakin Rosa hanya bicara sebaris kalimat itu, Bu Nina tersenyum, “Rosa baru pindah hari ini. Berteman yang baik, ya,” katanya pada seluruh penghuni kelas.

“Iya, bu,” jawab anak-anak kelas X-3 kompak.

“Baiklah, Rosa duduk di kursi yang kosong itu aja. Vira nanti istirahat ajak Rosa mengenal sekolah, ya,” Bu Nina menunjuk kursi kosong di barisan ketiga sambil menatap salah seorang murid yang duduk di depan meja guru.

Rosa segera tahu karena cewek bernama Vira itu langsung berdiri, “Iya, Bu,” jawabnya santun. Dia menatap Rosa kemudian tersenyum, “Aku Vira, Rosa, kita keliling nanti istirahat, ya?” katanya sambil mengulurkan tangan.

Rosa menerima uluran tangan Vira, tersenyum kaku kemudian mengangguk.

“Ayo duduk. Pak Iko sudah menunggu,” kata Bu Nina lagi lalu keluar kelas mempersilakan Pak Iko, yang nama lengkapnya Pak Jatmiko, guru pelajaran matematika, yang sudah berumur itu masuk kelas.

Rosa duduk di kursi yang sudah ditunjukan Bu Nina. Menyimpan tasnya di laci meja. Lalu mengeluarkan buku matematika. Semua informasi tentang sekolah barunya ini sudah dia terima kemarin. Seragam dari senin sampai jumat, jadwal pelajaran dan siapa gurunya, denah sekolah, sampai informasi tentang ekskul juga sudah diketahuinya.

“Hai, Rosa, aku Najwa,” teman semejanya menyapa sambil mengulurkan tangan.

Tangan Rosa menjabat tangan Najwa, “Rosa,” jawabnya. Mata Rosa melirik sekilas Najwa yang ternyata bermata hitam tajam dengan rambut panjang bergelombang yang cantik. Najwa memakai seragam dengan tangan panjang, tapi dia tidak memakai kerudung. Senyumnya cerah sekali sampai-sampai Rosa merasa tenggelam dengan kekakuannya.

Kembali ada yang memanggil namanya dengan bisikan dari meja sebelah kirinya. Rosa berbalik, cewek yang memanggilnya itu punya pipi yang chubby dengan kulit kuning langsat, matanya terang menatap Rosa dengan kekagetan. “Kamu inget aku, gak?”

-o0o-

Bertemu Rama

Rosa menelusuri ingatan, mencari tahu dimana ingatan tentang cewek chubby di sampingnya itu. Tapi kemudian menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, dibisikannya maaf tanpa suara.

“Aku Bella, kita pernah sekelas sampe kelas tiga waktu di SD,” jawab cewek bemata terang itu.

Ingatan Rosa tidak sampai ke saat itu. Menyipitkan matanya dan masih belum menemukan Bella dalam ingatannya, “Gak inget, maaf ya,” kata Rosa sungguh-sungguh.

Bella mengibaskan tangannya santai, “Gak apa-apa, aku juga gak akan inget kalau kamu gak tiba-tiba muncul lagi gini,” katanya dengan senyum cerah.

Dia baru menutup kembali resleting tasnya ketika Pak Iko mengabsen dan mendapati murid baru yang sudah siap dengan bukunya. Beliau memulai pelajaran, jadi tidak ada waktu untuk lebih berbasa-basi lagi. Diliriknya kembali Bella yang sudah melihat ke depan kelas fokus pada pelajaran pagi itu. Rosa juga mulai memfokuskan dirinya pada pembelajaran hari ini.

-o0o-

“Ke sana itu area gedung kelas XI dan XII, jadi tur-nya berhenti sampe sini ya,” Vira berhenti di koridor yang menghubungkan bangunan sekolah barunya itu. Setelah berkeliling area kelas X, menunjukan dimana toilet kelas X.

Lalu menunjukan kantin, koperasi, perpustakaan, laboratorium, menunjuk di mana letak ruang guru dan TU. Juga mengantarnya ke lapangan indor dan kolam renang indor sekolah. Tur mereka berakhir di koridor ini.

Rosa mengangguk, “Oke, makasih Vira. Maaf merepotkan, ya,” jawabnya.

Tangan Vira terangkat dan mengibas, “Gak apa-apa lagi. Tapi aku ada urusan lain, boleh aku pergi duluan? Udah inget kan yah gimana balik ke kelas?” tanya Vira memastikan.

Kepala Rosa kembali mengangguk, “iya, aku bisa balik kelas sendiri.”

“Kalau gitu duluan ya, Rosa,” Vira berlari kecil sambil melambaikan tangan kemudian menghilang di kerumunan.

Senyum kaku Rosa menghilang begitu Vira tidak terlihat lagi.

Rosa menarik napas. Matanya melihat berkeliling, sekolah yang sangat besar. Sekolahnya di desa dulu adalah sekolah biasa-biasa saja. Tapi sekolah ini sangat luar biasa. Bahkan punya kolam renang sendiri. Juga gedung olah raga yang besar.

Di bagian belakang gedung-gedung kelas bertingkat ada komplek bangunan yang difungsikan untuk ruangan ekskul.

Tidak heran lagi, karena saat datang tadi, Rosa melihat banyak sekali murid yang diantar dengan mobil-mobil mewah, atau juga sudah bawa mobil sendiri.

Rosa tidak yakin dia akan beradaptasi dengan mudah.

Dia baru akan melangkah saat tiba-tiba ada suara yang memanggilnya.

“Rosa?”

Rosa membeku, tatapanya lurus kepada cowok yang menjulang di depannya. Mata hitam di balik kacamata minusnya, hidung yang bangir, rambut hitam itu, senyumnya yang tidak berubah dengan satu lesung pipit di pipi kanan, dan suara yang memanggilnya hangat.

Tapi Rosa membeku. Napasnya tertahan di tenggorokannya. Jantungnya terasa terhenti sedetik itu. Dia mengepalkan tangan saat merasakan bibirnya mulai bergemetar. Dia menggigit bibir dalamnya untuk meredam gemetar.

Rama.

Cowok yang berdiri di depannya dan menatapnya dengan senyuman hangat itu adalah Rama.

Kakaknya. Sekaligus orang yang paling dia benci.

Seketika bayang-bayang ombak yang bergulung memenuhi kepalanya. Rosa merasa dunia tempatnya berdiri seakan berputar. Telinganya berdenging dan memekakan. Napasnya sesak.

Mata Rosa bekedip, mengembalikan napasnya yang tertahan beberapa detik tadi. Dia baru akan pergi saat Rama menahannya. Menarik tangan Rosa pelan.

“Seneng banget bisa ketemu kamu lagi, Sa,” katanya dengan kebahagiaan yang jelas terpancar.

Langkah Rosa terhenti, segera menarik tangannya. Menatap Rama dengan mata membara.

-o0o-

“Tapi aku enggak!” tandas Rosa setelah tangannya terlepas dari genggaman Rama.

Senyum Rama masih mengembang. “Syukurlah kamu baik-baik aja. Aku udah lama banget gak bisa lihat kamu,” kata Rama masih dengan suara yang lembut. Matanya menatap Rosa dengan terharu.

Adik kecilnya yang sudah lama tak bisa ditemuinya itu menatap tajam kearahnya. Rama merasakannya. Tapi dia memilih untuk tetap tersenyum.

Rosa membuang napas dengan keras, ditatapnya Rama dengan marah, “Baik-baik aja? Maksudnya kamu yang baik-baik aja?” tanyanya dengan suara tertahan.

Rama masih menatap Rosa.

“Kalau kamu menganggap ini baik-baik aja, lalu harus sehancur apa aku?” Rosa masih bertanya dengan suara kecilnya.

Mereka berdua sudah menjadi tontonan. Kelas XI dan kelas X terang-terangan menatap mereka berdua. Rosa melirik ke kiri dan kanannya, tidak nyaman dengan keadaan ini. Dia tidak mau menjadi pusat perhatian. Di hari pertamanya masuk sekolah, dia sudah harus berhadapan dengan kakaknya itu.

Rosa berbalik, siap menangkis jika Rama sekali lagi menahannya. Tapi Rama masih diam jadi Rosa melangkah menjauh. Mengabaikan tatapan ingin tahu dari setiap mata yang memandang ke arahnya.

Kenapa harus menunggu di sekolah untuk bertemu sama aku? Apakah dia terlalu takut untuk ketemu kemarin di rumah?

Rosa berjalan dengan marah dengan pikiran-pikirannya. Tangannya masih terkepal kuat di sisi tubuhnya. Sekuat tenaga dia mengendalikan dirinya agar tidak gemetar di depan Rama, agar tidak memperlihatkan sisi rapuhnya.

Tapi sia-sia, Rama sudah melihatnya.

-o0o-

Rama mematung sesaat setelah Rosa meninggalkannya dengan marah. Kebencian itu jelas masih terpancar. Kemarahannya bertambah saat Rama bicara.

Rama segera mengubah air mukanya. Dia tersenyum, biarpun begitu, dia senang Rosa mau kembali. Dengan tidak bersembunyi lagi, Rama merasa harus menebus apa yang mereka sudah dan tidak lalui.

Tangannya terangkat melepaskan kacamatanya yang berembun. Rama merasakan dadanya yang berdebar. Dia sempat gugup saat melihat Rosa tadi. Ini kali pertama mereka bertemu. Setelah enam tahun. Setelah Rosa selalu menghindarinya.

Dia memakai kacamatanya lagi. Kepalanya mengangguk kecil. Mulai sekarang, Rama bertekad, akan menjadi kakak yang baik.

Mulai sekarang, Rama akan membuat Rosa bahagia.

Membuat Rosa kembali.

-o0o-

Rosa baru kembali ke kelas saat bel tanda masuk berbunyi. Matanya sembab dan hidungnya masih terlihat merah. Dalam hatinya kesal karena harus masuk ke kelas dalam keadaannya yang seperti ini. Tapi bisa apa lagi, dia harus masuk kelas. Ini hari pertamanya.

Dia tahu berita anak baru yang dihadang Rama di koridor kelas XI pasti sudah menyebar di seantero sekolah. Berusaha mengabaikan setiap mata yang menatapnya, Rosa berjalan lurus menuju kursinya. Begitu duduk Bella langsung menghampirinya.

“Ada yang sakit, Rosa?” tanya Bella hati-hati.

Hatinya. Hatinya yang sakit.

Rosa menggeleng, “Gak apa-apa,” jawabnya dengan suara parau.

Bella tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Tapi tangannya mengambil segelas air mineral yang tadi dibelinya di kantin lalu memberikannya pada Rosa. Selama istirahat tadi dia tidak melihat Rosa ke kantin. Pertanyaannya terjawab saat melihat Rosa habis menangis. Rosa pasti mengurung diri di toilet dan tidak sempat pergi ke kantin.

Rosa tersenyum berterima kasih, lalu meminum habis air mineralnya.

“Kamu beneran gak apa-apa, Sa?” tanya Najwa yang merasa khawatir, karena teman baru semejanya sekarang terlihat pucat.

Rosa menggeleng, “I’m ok,” jawabnya dengan senyum kecil.

Lalu Rosa ingat, kalau dia dan Bella satu SD dulu, Bella pasti tahu siapa Rama. Tangan Rosa menggenggam pegelangan tangan Bella, “aku boleh minta tolong?” tanyanya.

Bella mengangguk yakin.

Rosa langsung mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telinga Bella, “Tolong jangan kasih tau siapa-siapa soal aku dan Rama,”pintanya.

Bella berkedip, seakan baru ingat dengan fakta itu, Rama adalah kakak Rosa. Dengan pasti, Bella mengangguk lagi, “oke. Aku gak akan kasih tahu siapa-siapa. Tapi kamu beneran gak apa-apa? Atau kita ke UKS aja yah sejam pelajaran ini mah?”

Kepala Rosa menggeleng, “aku gak apa-apa. Masih bisa kok,” jawabnya lebih meyakinkan sekarang.

Bersamaan dengan Bu Intan yang masuk untuk pelajaran selanjutnya, Bahasa Indonesia.

-o0o-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!