Tuan Dingin Dan Gadis Keras Kepala
Perjodohan yang Tak Terduga
Aluna Wijaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena sebuah panggilan telepon dari ayahnya. Gadis itu baru saja selesai dengan salah satu proyek lukisannya ketika Bima Wijaya, ayahnya, memintanya pulang untuk makan malam bersama keluarga besar. Permintaan itu sebenarnya tak aneh, tapi intonasi tegas sang ayah membuatnya curiga.
Sesampainya di rumah, suasana berbeda langsung terasa. Meja makan tertata lebih formal dari biasanya. Bahkan, ayahnya mengenakan setelan jas lengkap—hal yang jarang ia lihat kecuali di acara-acara besar. Di sebelahnya, duduk seorang pria asing dengan ekspresi datar dan sorot mata tajam.
Bima Wijaya
Aluna, ini Arya Mahendra
*kata Bima sambil memperkenalkan pria itu
Bima Wijaya
Mulai hari ini, kalian akan bertunangan
Kalimat itu menghantam seperti petir di siang bolong. Aluna terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Tunangan? Dengan pria asing ini?
Aluna Wijaya
Apa maksud Ayah? Ini semacam lelucon, kan?
Aluna Wijaya
*Aluna dengan nada tak percaya, matanya menatap tajam ke arah pria yang tampak tenang di tempat duduknya. Arya hanya melirik sekilas, seolah tak peduli.
Bima Wijaya
Ini bukan lelucon, Aluna
*jawab Bima dengan nada tegas.
Bima Wijaya
Perusahaan kita sedang dalam masa sulit, dan perjodohan ini adalah cara terbaik untuk menyelamatkan semuanya
Aluna Wijaya
*Mendengus kesal
Jadi aku hanya alat untuk menyelamatkan perusahaan? Ayah, aku bukan boneka!
Bima Wijaya
Sudah cukup
*suara Bima terdengar lebih keras
Bima Wijaya
Keputusan ini sudah final. Ini bukan hanya tentang bisnis, tapi juga masa depan keluarga kita
Aluna Wijaya
*Ingin membantah, tapi tatapan dingin Arya membuatnya ragu
Pria itu akhirnya membuka mulut.
Arya Mahendra
Kita tidak perlu memperumit keadaan. Anggap saja ini kontrak kerja sama. Aku tidak akan mencampuri hidupmu, selama kau tidak mencampuri hidupku
Kata-kata itu semakin memancing emosi Aluna
Aluna Wijaya
Hebat sekali caramu berbicara! Seolah-olah kau lebih tertarik pada kontrak ini daripada aku sebagai manusia
Arya Mahendra
*Menatapnya tajam
Aku hanya berusaha realistis. Hubungan ini tidak perlu dibuat rumit dengan emosi
Malam itu menjadi awal dari sebuah hubungan yang penuh ketegangan. Aluna merasa dipaksa masuk ke dalam kehidupan seorang pria dingin tanpa emosi, sementara Arya menganggap perjodohan ini hanya formalitas belaka.
Namun, mereka belum tahu bahwa takdir telah merancang sesuatu yang jauh lebih rumit daripada sekadar perjodohan—sebuah kisah tentang dua hati yang saling bertolak belakang, namun perlahan akan menemukan jalan untuk saling memahami.
Pertemuan Pertama yang Membara
Setelah malam perjodohan, Aluna dan Arya dipaksa bertemu lagi untuk mendiskusikan rencana pertunangan mereka di sebuah kafe.
Arya Mahendra
Pukul 2 siang. Kafe Del Mar. Jangan terlambat.
Aluna Wijaya
Terlambat? Siapa yang bilang aku mau datang?
Arya Mahendra
Aku tidak peduli apa kau mau atau tidak. Ini formalitas yang harus dijalani.
Aluna Wijaya
Formalitas? Lucu juga ya, hidupmu pasti sangat membosankan sampai semuanya harus "formalitas."
Arya Mahendra
Tidak ada yang lucu di sini. Aku hanya tidak suka buang-buang waktu, jadi pastikan kau tepat waktu.
Aluna Wijaya
Dan aku tidak suka diperintah. Jadi, kita lihat saja nanti.
Aluna tiba 15 menit terlambat. Arya sudah menunggu dengan wajah tanpa ekspresi.
Arya Mahendra
*Menatap jam tangannya
Kukira kau tipe yang menghargai waktu.
Aluna Wijaya
*Membalas dengan senyum tipis
Aku menghargai waktu, tapi tidak untuk pertemuan seperti ini.
Arya Mahendra
Kalau begitu, mungkin aku harus mengingatkanmu bahwa kita di sini bukan untuk saling menyenangkan hati.
Aluna Wijaya
Oh, percayalah, kau sudah cukup membuatku kesal tanpa usaha apa pun.
Pelayan datang membawa menu.
Arya Mahendra
Kopi hitam tanpa gula.
Pelayan
Dan untuk Anda, Nona?
Aluna Wijaya
Es cokelat dengan whipped cream, tambahkan marshmallow di atasnya
Arya Mahendra
*Mengangkat alis
Serius?
Aluna Wijaya
*Tersenyum sinis
Tidak semua orang hidup dengan prinsip pahit sepertimu.
Arya Mahendra
Kita harus membicarakan pertunangan ini. Ada beberapa acara yang perlu kita hadiri bersama.
Aluna Wijaya
Dan aku harus menurut begitu saja?
Arya Mahendra
Kau tidak punya pilihan, kecuali kau ingin membuat keluargamu kecewa
Aluna Wijaya
*Menatap tajam
Kau selalu menyenangkan seperti ini atau hanya untukku?
Arya Mahendra
Aku hanya jujur. Kalau kau tidak suka, aku tidak peduli.
Aluna Wijaya
*Menyandarkan diri di kursi
Baiklah, Tuan Dingin. Kita lihat siapa yang menyerah duluan.
Arya Mahendra
*Menatap tajam
Jangan terlalu percaya diri.
Percakapan berakhir dengan ketegangan. Namun, di balik perang kata-kata mereka, ada sesuatu yang mulai bergetar di hati masing-masing—walau keduanya belum menyadarinya.
Perang Ego di Acara Pertama
Hari pertama acara resmi mereka sebagai pasangan yang dijodohkan. Sebuah pesta perusahaan yang dihadiri keluarga besar dan rekan bisnis.
Arya Mahendra
Pakai sesuatu yang pantas untuk acara malam ini.
Aluna Wijaya
Apa maksudmu dengan "pantas"?
Arya Mahendra
Gaun yang sederhana tapi elegan. Jangan terlalu mencolok.
Aluna Wijaya
Terima kasih atas tips fashion-nya, Tuan Pengatur. Aku akan pakai apa yang aku suka.
Arya Mahendra
Kalau kau muncul dengan sesuatu yang memalukan, jangan salahkan aku kalau aku berpura-pura tidak mengenalmu.
Aluna Wijaya
Kau tahu, aku mulai berpikir bahwa kau lebih cerewet daripada ibuku.
Aluna tiba di acara dengan gaun merah mencolok dan rambut dibiarkan terurai. Semua mata tertuju padanya, termasuk Arya yang langsung mengernyit.
Arya Mahendra
*Berbisik saat Aluna mendekat
Aku kira kita sudah sepakat untuk tidak menarik perhatian.
Aluna Wijaya
*Tersenyum santai
Aku tidak pernah sepakat apa-apa denganmu.
Arya Mahendra
Kau menyukai drama, ya?
Aluna Wijaya
Tidak, aku hanya suka membuatmu kesal.
Mereka berjalan berdampingan, menyapa tamu-tamu penting. Arya tetap dingin, sementara Aluna dengan santai melemparkan senyuman kepada semua orang.
Rekan Bisnis 1
Wah, Arya, tunanganmu sangat memikat. Tidak seperti yang kubayangkan.
Arya Mahendra
*Memaksakan senyum
Dia memang... unik.
Aluna Wijaya
*Tersenyum cerah
Itu pujian, kan? Terima kasih, Pak.
Arya Mahendra
*Berbisik sambil menoleh ke Aluna
Bisakah kau lebih profesional?
Aluna Wijaya
*Membalas berbisik
Aku profesional, hanya saja caraku lebih menarik.
Di meja makan, Aluna terus mencairkan suasana dengan cerita-ceritanya, membuat tamu-tamu tertawa. Arya hanya mengamati dengan ekspresi datar, namun diam-diam terkesan.
Tamu
Aluna, kau benar-benar membawa warna baru di keluarga Mahendra.
Aluna Wijaya
Terima kasih. Aku selalu percaya hidup harus dijalani dengan sedikit bumbu humor.
Arya Mahendra
*Memotong dengan nada serius
Dan sedikit tanggung jawab juga, kurasa.
Aluna Wijaya
*Tersenyum santai
Tentu saja, Tuan Dingin. Tanggung jawab itu penting, tapi tidak harus tanpa senyuman.
Setelah acara selesai, di parkiran.
Arya Mahendra
Kau sengaja membuatku terlihat kaku, ya?
Aluna Wijaya
*Mengangkat bahu
Aku hanya jadi diriku sendiri. Kalau kau terlihat kaku, itu masalahmu.
Arya Mahendra
Kau benar-benar menyebalkan.
Aluna Wijaya
Dan kau terlalu serius. Kita seimbang, bukan?
Arya Mahendra
*Menatap tajam
Kita lihat siapa yang bisa bertahan lebih lama.
Aluna Wijaya
Dengan senang hati, Tuan Dingin.
Malam itu berakhir dengan perang ego yang masih berlanjut. Tapi di balik semua itu, Arya mulai melihat bahwa ada sisi menarik dalam diri Aluna, sementara Aluna penasaran apakah pria dingin itu sebenarnya punya hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!