NovelToon NovelToon

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Bab 1 : Klinik kecil di desa

Mentari pagi perlahan muncul di balik bukit-bukit hijau yang membingkai pedesaan kecil itu. Kabut tipis masih menggantung rendah di atas hamparan ladang bunga liar, sementara udara segar yang bercampur aroma tanah basah dan embun pagi menyelimuti suasana. Jalan setapak berbatu yang membelah desa itu berhiaskan rumah-rumah batu bergaya klasik Eropa dengan atap miring dan cerobong asap yang mengepul tipis. Di kejauhan, lonceng kecil gereja desa berdentang lembut, menandai dimulainya hari.

Ayam-ayam berkokok dari kandang-kandang kecil di halaman rumah penduduk, seolah berlomba membangunkan desa dari tidurnya. Di sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai klinik, seorang pria tua berusia sekitar tujuh puluhan, dengan tubuh tegap namun rambut memutih sepenuhnya, membuka jendela kayu bercat hijau tua. Udara pagi menyergap masuk, membawa dengungan lebah dan kicauan burung pipit.

“Luna, kau sudah bangun?” panggilnya dengan suara lembut namun tegas.

Dari dalam, seorang gadis muda muncul, mengenakan gaun sederhana dengan apron putih yang terikat rapi di pinggangnya. Rambut hitamnya yang panjang diikat ke belakang, memperlihatkan wajah bersih yang masih membawa jejak kantuk. Luna tersenyum kecil kepada kakeknya, Antonius, yang tengah mempersiapkan klinik kecil mereka untuk melayani warga desa.

“Kakek, aku sudah menyusun daftar pasien hari ini,” kata Luna sambil menyerahkan sebuah buku catatan.

Antonius mengangguk dengan bangga, menyeka kacamatanya yang sedikit buram sebelum memakainya. “Bagus, kau selalu rapi dalam hal ini. Ayo, kita buka klinik.”

Saat mereka keluar ke halaman, jalanan mulai hidup. Beberapa warga desa melintas, membawa keranjang roti atau susu segar di atas kepala mereka. Dua anak kecil berlari-lari sambil tertawa riang, menginjak genangan air kecil di pinggir jalan.

“Pagi, Dokter Antonius!” sapa seorang pria tua yang membawa keranjang penuh apel merah.

“Pagi juga, Tuan Rolf,” jawab Antonius, senyumnya hangat seperti mentari yang mulai memanjat langit.

Luna, berdiri di samping kakeknya, ikut membalas senyuman itu. Suasana hangat dan kekeluargaan khas pedesaan terasa begitu kental. Klinik kecil itu adalah jantung desa, dan bagi Luna, bekerja bersama kakeknya adalah kebahagiaan sederhana yang tak tergantikan.

Hari itu, suasana klinik berjalan santai seperti biasanya. Luna sedang memeriksa persediaan obat-obatan di lemari, sementara kakeknya, Dokter Antonius, duduk di meja kayu tua, memoles stetoskopnya yang sudah bertahun-tahun menemaninya bekerja. Namun, ketenangan itu terusik ketika seseorang tergesa-gesa mengetuk pintu depan klinik.

“Dokter Antonius! Tolong bantu kami!” suara itu penuh kegelisahan.

Antonius segera bangkit dari kursinya, diikuti oleh Luna yang refleks meletakkan catatan di tangannya. Di depan pintu berdiri seorang pria dengan wajah pucat, memapah temannya yang kesakitan. Kaki temannya itu terluka cukup parah, darah segar mengalir membasahi celana dan sepatu bututnya.

“Dia terluka di ladang, kakinya menginjak kayu tajam,” kata pria itu dengan napas tersengal-sengal.

“Masuklah,” kata Antonius dengan tenang, menunjuk ke ruang pemeriksaan. “Luna, bantu aku menyiapkan peralatan.”

Tanpa membuang waktu, Luna berlari mengambil perlengkapan yang diperlukan. Kakeknya mulai membersihkan luka pria itu dengan tangan terampilnya yang sudah terbiasa menangani berbagai keadaan darurat. Luna memegang lampu, memastikan pencahayaan cukup untuk membantu kakeknya menjahit luka dengan presisi. Dalam waktu singkat, kaki pria itu sudah terbalut rapi.

“Terima kasih, Dokter,” kata pria yang membantu temannya, mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantongnya. “Ini pembayaran untuk perawatan tadi.”

Namun, Antonius mengangkat tangannya, menolak uang itu dengan lembut namun tegas. “Simpanlah uangmu. Aku tahu istrimu akan segera melahirkan. Gunakan ini untuk keperluan istrimu dan bayimu nanti.”

Pria itu tampak terkejut. “Tapi, Dokter—”

Antonius tersenyum hangat, menepuk bahunya. “Kesehatan lebih penting daripada uang. Pastikan kau ada di sisi istrimu saat ia membutuhkanmu.”

Pria itu terdiam, lalu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih. Tuhan memberkati Anda.” Setelah itu, mereka pergi meninggalkan klinik dengan rasa syukur yang mendalam.

Begitu pintu tertutup, Luna yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara. “Kenapa Kakek tidak menerima uang itu? Kita butuh uang untuk membeli obat-obatan, kan?”

Antonius tersenyum kecil, menatap cucunya dengan bijak. “Luna, menjadi seorang dokter bukan sekadar soal menyembuhkan luka atau menerima bayaran. Ini tentang menjadi penopang bagi mereka yang tak punya pilihan. Ketika kita menolong seseorang tanpa pamrih, kita sedang memberi mereka kekuatan untuk melanjutkan hidup. Hari ini, kita membantu seorang ayah mempersiapkan kelahiran anaknya. Itu lebih berharga daripada uang.”

Luna terdiam mendengar kata-kata itu. Meski hatinya masih sedikit keberatan, dia tidak bisa membantah perkataan kakeknya yang memang mematok tarif pemeriksaan seikhlasnya kepada siapapun warga yang berobat padanya.

...****************...

Setelah selesai membantu kakeknya di klinik, Luna segera sibuk mengatur botol-botol obat ke dalam rak. Tangannya yang cekatan dengan terampil menyusun kotak-kotak kecil sesuai kategori. Namun, langkah seseorang yang cepat terdengar dari luar, diikuti suara ceria memanggil.

“Luna! Cepat ganti baju, kita bisa terlambat ke sekolah!” seru Amelia, sahabatnya yang sudah menunggu di depan pintu klinik dengan ransel di punggungnya.

Luna tersenyum tipis, segera berganti pakaian setelah menyelesaikan pekerjaannya sebelum berpamitan kepada kakeknya. “Aku pergi dulu, Kek. Jangan lupa sarapan, aku sudah memasak omelet kesukaan kakek,” ucapnya sambil merapikan seragam sekolahnya.

Antonius hanya tersenyum lembut, melambai sambil kembali memeriksa catatan medisnya. “Hati-hati di jalan, Luna.”

Luna dan Amelia berjalan bersama menuju sekolah, melewati jalan setapak berbatu yang diteduhi pohon-pohon rindang. Sesampainya di gerbang sekolah, suasana terasa berbeda. Kerumunan siswa berkumpul di depan papan buletin besar di tengah lapangan, semua mata tertuju pada selembar kertas panjang yang terpajang di sana.

“Nilai ujian kenaikan kelas,” gumam Amelia. “Ayo lihat!”

Namun, langkah Luna melambat. Perasaan tak nyaman menjalar di hatinya. Ia tahu hasil ujian bukanlah hal yang ia pedulikan, tapi tetap saja ia merasa deg-degan. Amelia menyeretnya mendekat, hingga mereka bisa melihat daftar nilai tersebut.

Nama Luna berada di posisi paling bawah. Huruf-huruf itu terasa mencolok di antara nama-nama lain. Beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya.

“Serius? Luna di urutan terakhir lagi?”

“Gimana sih dia bisa terus naik kelas?”

Bisikan itu semakin tajam di telinga Luna, tapi ia berusaha mengabaikannya. Tiba-tiba, seorang guru datang menghampirinya.

“Luna, ikut saya ke ruang guru,” suara lembut itu berasal dari Ibu Grace, wali kelasnya.

Amelia menatap Luna dengan khawatir, tapi Luna hanya mengangguk pelan sebelum mengikuti langkah Ibu Grace. Mereka berjalan menyusuri lorong sekolah yang sepi, hingga akhirnya masuk ke ruang guru yang nyaman dan penuh buku.

Ibu Grace mempersilakan Luna duduk di kursi di depannya. Senyumnya lembut, tapi sorot matanya penuh kekhawatiran.

“Luna, saya tidak ingin menekanmu, tapi saya ingin tahu, apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa nilaimu tidak ada peningkatan? Saya tahu kamu anak yang cerdas.”

Luna terdiam. Kata-kata itu seperti pedang bermata dua. Ia ingin mengatakan kebenaran, bahwa ia lebih peduli membantu kakeknya di klinik daripada soal ujian sekolah, tapi ia tahu itu bukan alasan yang akan diterima.

“Saya baik-baik saja, Bu,” jawabnya singkat, menunduk.

Ibu Grace menghela napas, lalu mencondongkan tubuh ke depan, mencoba menangkap tatapan Luna. “Kamu tahu, nilai itu penting untuk masa depanmu. Kalau kamu mau menjadi dokter, kamu harus perhatikan nilai sekolahmu, supaya kamu bisa lolos ujian masuk"

"Saya belum tahu, apa saya ingin menjadi dokter seperti kakek atau tidak, saya belum memutuskan untuk hal itu bu" jawab Luna.

"Ya sudah, tapi ingat, kalau kamu mengalami kesulitan, kamu bisa datang pada saya. Sebagai wali kelasmu, saya berkewajiban untuk membantumu" jawab Ibu Grace lagi.

Luna mengangkat wajahnya, sedikit terkejut oleh ketulusan itu. Ia hanya mengangguk pelan. “Terima kasih, Bu.”

Setelah pertemuan itu, Luna keluar dari ruang guru dengan pikiran yang berkecamuk. Ia tahu dirinya bukan anak bodoh, tapi apakah orang lain bisa memahami apa yang ia lakukan selama ini? Dengan langkah pelan, ia berjalan kembali ke kelas, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan yang terus mengekor ke arahnya.

Sementara disisi lain, ibu Grace menatapnya dengan tatapan khawatir, "Padahal dia adalah anak dengan kecerdasan tinggi, yang membuatnya mendapat tawaran masuk fakultas kedokteran saat dia berusia 15 tahun, beberapa tahun yang lalu. Anak jenius memang sulit ditebak isi hatinya" senyumnya dalam hati.

...****************...

Bab 2 - Kedatangan Pria Misterius

Hujan turun deras sejak sore, membasahi tanah desa yang biasanya kering. Suara gemericik air di atap rumah batu mereka mengisi ruang rumah sederhana itu, menciptakan irama yang menenangkan. Namun, di balik ketenangan itu, Luna dan kakeknya, Antonius, merasa kecewa karena terpaksa menunda rencana untuk pergi ke kota besar. Mereka telah merencanakan perjalanan untuk membeli obat-obatan dan peralatan medis untuk klinik mereka, namun cuaca buruk memaksa mereka untuk tetap berada di rumah.

“Sepertinya kita harus menunggu sampai hujan reda,” kata Antonius sambil menatap keluar jendela, melihat langit kelabu yang masih menyimpan awan gelap.

“Bahkan jika hujan tak berhenti, kita harus tetap berangkat besok, Kek,” jawab Luna, tersenyum tipis. “Apa jadinya kalau klinik kita sampai kekurangan obat-obatan penting"

Kakeknya tertawa pelan, menatap cucunya dengan bangga. Mereka duduk di meja kayu, menikmati secangkir teh hangat yang masih mengepul. Suasana hangat di rumah itu terasa nyaman, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Mereka berbicara ringan, bercanda seputar berbagai hal, hingga Antonis, dengan senyum nakal, mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Luna terdiam sejenak.

“Luna, coba jawab ini. Pada kasus cedera kepala traumatis yang menyebabkan tekanan intrakranial meningkat, apa yang harus kita lakukan untuk menurunkan tekanan tersebut dan mencegah kerusakan saraf lebih lanjut?”

Luna terkejut mendengar pertanyaan medis yang cukup rumit, tentang salah satu bidang yang belum terlalu sering ia dalami—bedah saraf. Namun, ia tidak gentar. Matanya berkedip cepat, berpikir sejenak, lalu dengan percaya diri, ia menjawab, “Untuk menurunkan tekanan intrakranial, kita perlu melakukan dekompresi melalui craniectomy jika diperlukan, serta memastikan jalan napas terbuka, menjaga tekanan darah dalam kisaran normal, dan memonitor tanda-tanda vital dengan cermat.”

Antonius mengangguk dengan wajah bangga, senyum kecil merekah di bibirnya. “Cerdas, Luna. Tidak sia-sia aku mengajarimu, kau bisa menjadi dokter yang hebat nantinya.”

Keduanya tertawa, suasana hati mereka ringan meskipun hujan terus mengguyur luar rumah. Tapi tawa mereka terhenti saat terdengar suara gedoran keras di pintu. Luna dan Antonius saling berpandangan, heran dan terkejut.

“Siapa itu?” tanya Luna dengan nada cemas.

Bergegas, Antonius bangkit dari kursinya dan membuka pintu. Seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah pucat tampak berdiri di depan pintu, menggenggam bahu pria lain yang tampaknya semakin melemah. Pria kedua, yang mengenakan jas hitam, terlihat terluka parah. Darah mengalir deras dari luka di kepala dan perutnya, tubuhnya tampak terhuyung lemas.

“Tolong, siapapun, selamatkan tuan Lucius” pria pertama berteriak dengan suara terengah-engah, jelas kelelahan dan panik.

Antonius langsung mengambil kendali, langkahnya cepat dan tegas. “Bawa dia masuk, cepat!”

Luna yang terkejut dengan keadaan darurat itu segera bergerak, mengikuti kakeknya yang sudah memimpin pasien masuk ke dalam. Dengan cekatan, Antonius memeriksa luka pria yang lebih parah, dan Luna segera menyiapkan peralatan medis yang diperlukan. Dalam sekejap, suasana klinik yang biasanya tenang berubah menjadi penuh ketegangan.

“Luna, siapkan pembalut steril dan infus. Aku akan merawat luka kepala dan perutnya,” kata Antonius dengan suara tegas namun penuh pengertian, mengarahkan cucunya dengan tangan yang sudah terampil. Luna segera melaksanakan perintah dengan cekatan, meskipun dalam hatinya, ia merasa ketegangan yang luar biasa.

Seiring dengan tindakan medis yang mereka lakukan, Luna berpikir, ini bukan hanya ujian untuk kemampuannya, tetapi juga untuk kesiapan mereka menghadapi keadaan darurat yang bisa datang kapan saja..

Antonius, dengan ketenangan yang luar biasa, memeriksa lebih teliti luka-luka parah yang diderita pria itu. Luka di kepala dan perutnya terlihat sangat mengkhawatirkan, dan meskipun dia berusaha sebaik mungkin dengan peralatan terbatas di klinik mereka, Antonius tahu ini melebihi kapasitas mereka. Suasana semakin tegang.

"Ini lebih dari yang bisa kita tangani di sini, kita harus segera membawanya ke rumah sakit besar," kata Antonius, nada suaranya penuh kekhawatiran. Dia tahu, dengan sumber daya yang terbatas di klinik mereka yang sederhana, rumah sakit besar di kota adalah satu-satunya pilihan.

Namun, pria yang terluka itu menatap Antonius dengan mata penuh ketakutan. “Tidak... kami tidak bisa ke rumah sakit. Kami tidak punya waktu... dia tidak akan bertahan sampai ke sana...” suaranya tersendat, jelas menunjukkan kepanikan yang mendalam.

Antonius terdiam sejenak, memahami bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan biasa yang ada di mata pria itu. Wajah pria itu, penuh peluh dingin dan kecemasan, mengungkapkan lebih banyak daripada yang dia katakan. Antonius mengangguk perlahan, seolah mengerti sepenuhnya maksudnya.

“Kita tidak punya pilihan lain,” katanya, suara tenang meski penuh keputusan. “Luna, panggil Magdalena dan Jefrey. Mereka bisa membantu kita.”

Luna yang sudah berada di dekat meja peralatan medis, mengangguk cepat. Tanpa ragu, ia berbalik dan berlari keluar dari klinik. Hujan deras masih mengguyur jalanan desa, tetapi Luna tak memperdulikan air yang membasahi tubuhnya. Dengan tekad yang kuat, ia melangkah cepat menuju rumah Magdalena dan Jefrey.

Jalan setapak yang licin dan berbatu tampak lebih gelap di tengah hujan. Namun, Luna tetap berlari, pikirannya penuh dengan rasa cemas dan tanggung jawab. Klinik mereka membutuhkan bantuan, dan ia tidak bisa membiarkan pasien itu kehilangan harapan.

Tiba di rumah Magdalena, ia segera mengetuk pintu dengan panik. Tak lama, pintu terbuka dan Magdalena, yang terlihat terkejut dengan kedatangan Luna yang basah kuyup, segera membuka pintu lebar-lebar.

“Luna? Ada apa?” tanya Magdalena khawatir.

“Kak Magda, Kakek butuh bantuanmu segera! Ada seorang pria terluka parah di klinik,” jawab Luna terburu-buru. “Cepat ikut denganku!”

Magdalena tidak berkata banyak. Tanpa ragu, ia segera mengambil jas lab dan peralatan medis, lalu mengikuti Luna menuju rumah Jefrey yang tak jauh dari sana. Hujan semakin deras, tetapi tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan diri. Mereka harus segera kembali ke klinik.

Sesampainya di rumah Jefrey, keduanya bergegas keluar dan bergabung dengan Luna. Dengan penuh ketegasan, mereka berlari kembali ke klinik, mengharapkan bantuan mereka dapat membuat perbedaan bagi pasien yang hampir kehilangan nyawanya.

Di klinik, Antonius tetap bekerja cepat, mencoba mengatasi luka-luka dalam yang mengancam jiwa pria itu. Ia tahu, tanpa bantuan penuh dari perawat berpengalaman seperti Magdalena dan Jefrey, harapan untuk menyelamatkan pria itu akan semakin tipis.

Luna berdoa dalam hati, berharap mereka bisa tiba tepat waktu, dan berharap agar segala usaha mereka tidak sia-sia.

Luna, Magdalena, dan Jefrey berdiri di sekitar meja, mempersiapkan peralatan medis yang dibutuhkan untuk mengatasi kondisi yang semakin kritis. Luna memegang sebotol antiseptik, tangan gemetar, tetapi tekadnya kuat. Ia berusaha mengatur napasnya, berusaha untuk tetap fokus.

“Luna, kamu ambilkan pembalut steril dan alat jahitnya,” perintah Antonius dengan suara tegas. Luna segera bergerak, tangannya begitu cekatan mengambil pembalut dan jarum jahit, sementara Magdalena dan Jefrey mulai menyiapkan infus dan obat penghilang rasa sakit.

Antonius berjongkok di sisi pasien, memeriksa dengan seksama luka-luka di kepala Lucius yang begitu parah. “Kepala bagian kanan tergores cukup dalam, ini bisa menyebabkan pendarahan otak jika tidak segera diatasi,” katanya sambil memandang Luna dan Magdalena. "Kita harus segera menstabilkan tekanan darahnya dan menghentikan pendarahan."

Dengan tenang, Antonius mulai membersihkan luka di kepala Lucius dengan hati-hati. Luka itu cukup besar dan mengerikan, tapi Antonius sudah terbiasa dengan keadaan darurat seperti ini. Tangan tuanya bergerak dengan hati-hati, sementara Luna dan Magdalena bersiap dengan langkah yang penuh kewaspadaan. Setiap gerakan mereka penting, setiap detik menentukan apakah Lucius bisa bertahan.

“Jef, stabilkan kondisinya. Beri dia cairan infus, tekanan darahnya sangat rendah,” perintah Antonius.

Jefrey segera membuka kantong infus, memasang jarum dengan cepat dan efisien. Cairan yang mengalir ke dalam tubuh Lucius membantu menstabilkan sedikit demi sedikit kondisinya yang semakin melemah. Sementara itu, Magdalena mempersiapkan bahan-bahan untuk menjahit luka di kepala Lucius, dengan tangan terampilnya, ia mulai bekerja, menenangkan pria itu yang tampak tak sadarkan diri.

“Lucius, dengarkan saya,” Antonius berbicara dengan lembut namun penuh keyakinan. “Kamu akan baik-baik saja, kami akan membantumu.”

Lucius terkulai lemah, matanya tertutup rapat, namun di wajahnya tersirat rasa sakit yang begitu mendalam. Luna merasa hatinya tertekan, tapi ia tidak membiarkan rasa cemas itu menguasainya. Ia menatap kakeknya, yang meskipun usianya sudah lanjut, tetap bergerak dengan ketenangan yang luar biasa.

“Luna, bantu pegang luka perutnya, kita harus berhati-hati di sini,” kata Antonius, memerintahkan dengan tenang. Luna langsung mengambil kain bersih, menekan luka perut Lucius dengan hati-hati untuk mengurangi pendarahan. Magdalena dan Jefrey bekerja dengan cekatan, masing-masing memiliki tugas yang jelas, memastikan bahwa mereka bisa menstabilkan kondisi Lucius sebelum terlambat.

Waktu berjalan begitu lambat. Hujan yang mengguyur semakin keras, seolah dunia di luar juga merasakan ketegangan yang terjadi di dalam klinik kecil itu. Luna merasakan ketegangan yang luar biasa, namun kakeknya—dengan tangan terampil dan tenang—membimbing semuanya dengan penuh keteguhan.

Setelah beberapa waktu, kondisi Lucius mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pendarahan di kepala berhasil dihentikan, dan luka perut yang sebelumnya mengancam jiwa telah dijahit dengan rapi. Semua anggota tim medis di klinik kecil itu bekerja tanpa henti, memastikan setiap luka ditangani dengan baik, agar pria itu bisa bertahan hidup.

Antonius menarik napas panjang, lalu berdiri dengan hati-hati, menyeka peluh yang sudah mulai membasahi dahinya. "Kondisinya stabil sekarang. Kita akan terus memantau, tapi dia masih harus istirahat dan dipantau ketat," ujarnya, matanya yang tajam masih penuh fokus, namun ada sedikit rasa lega di sana.

Luna menghela napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca meskipun ia berusaha menahan emosinya. “Kakek… dia akan baik-baik saja kan?” tanyanya, suara yang sedikit gemetar.

Antonius menatap cucunya dengan bangga, lalu mengangguk pelan. “Ya, Luna. Dia akan baik-baik saja” jawabnya dengan lembut, menepuk bahu Luna yang penuh dengan peluh, tapi juga penuh dengan keberanian.

Sementara itu, Magdalena dan Jefrey mengangguk, mereka saling berpandangan, dan meskipun kelelahan, ada kepuasan dalam mata mereka. Mereka baru saja menyelamatkan nyawa seorang pria, berkat kerja sama dan ketenangan yang tidak tergoyahkan di tengah krisis.

Kondisi Lucius memang masih kritis, namun mereka tahu—untuk saat ini—mereka telah melakukan segalanya. Dan itu sudah cukup.

Bab 3 - Buronan?

Antonius melangkah keluar dari ruang perawatan, mengusap keringat di pelipisnya. Ketegangan yang menyelimuti ruangan mulai sedikit reda, meski kecemasan masih membayangi pikirannya. Di depan klinik, Rudolf, pria yang membawa Lucius ke sana, berdiri menunggu dengan wajah yang tampak khawatir. Matanya yang tajam mengikuti setiap langkah Antonius, dan begitu sang dokter tiba di hadapannya, ia segera membungkukkan tubuh sebagai tanda terima kasih yang dalam.

“Terima kasih, Dokter.” kata Rudolf dengan suara yang penuh rasa syukur, meskipun ada sedikit nada cemas yang tidak bisa disembunyikan.

Antonius mengangguk, matanya tetap tajam namun penuh pengertian. “Pasien sudah stabil sekarang, tapi kondisinya masih membutuhkan perhatian lebih. Setelah dia sadar, sebaiknya kalian segera membawanya ke rumah sakit besar untuk pemeriksaan lebih lanjut,” jawab Antonius dengan tegas namun hati-hati. Ia tahu, meskipun keadaan Lucius kini lebih baik, komplikasi bisa saja muncul kapan saja.

Rudolf terdiam, matanya tertunduk sejenak, seolah ragu-ragu untuk menerima saran itu. Ada kekhawatiran yang terbersit di wajahnya, dan Antonius bisa melihatnya.

“Apakah ada yang menghalangi kalian untuk pergi ke rumah sakit?” tanya Antonius, suaranya sedikit lebih keras, ingin memastikan apakah ada sesuatu yang lebih besar di balik keengganan Rudolf.

Rudolf menatap Antonius dengan mata yang penuh pertanyaan, tetapi ia tidak segera menjawab. Kekecewaan dan kecemasan tergambar jelas di wajahnya. Antonius menarik napas panjang dan memandang pria itu dengan penuh perhatian.

“Aku tidak tahu siapa kalian, dan aku tidak ingin mencampuri urusan pribadi kalian. Tapi ingat, jika kalian memutuskan untuk tinggal lebih lama, aku harap kalian tidak membawa masalah kepada kami. Klinik ini bukan tempat untuk hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan kami,” kata Antonius, tegas namun dengan nada yang penuh peringatan.

Rudolf merasa ada sesuatu yang lebih dari kata-kata Antonius, namun ia hanya mengangguk pelan, menyadari bahwa keadaan memang genting. “Kami akan mengikuti saran Anda, Dokter. Terima kasih sekali lagi.”

Antonius menatap pria itu sebentar, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan kembali ke dalam klinik. Suasana di luar masih dibasahi hujan yang tak kunjung reda, dan langkah Antonius mantap dan tenang, seolah tidak ada yang bisa mengganggu ketenangannya. Namun, pikirannya tetap terjaga—siapa sebenarnya mereka berdua? Dan kenapa Lucius begitu enggan pergi ke rumah sakit besar?

Dalam hatinya, Antonius hanya berharap, jika mereka memang akan tinggal lebih lama, mereka tidak membawa lebih banyak kerumitan ke dalam kehidupan tenang di desa kecil ini.

Tiga hari telah berlalu sejak Lucius dibawa ke klinik. Selama waktu itu, keheningan yang menghantui ruangan perawatan tidak dapat menutupi ketegangan yang dirasakan oleh mereka yang merawatnya. Antonius dan timnya terus memantau kondisi Lucius, dan meskipun stabil, masih ada rasa cemas yang menggantung—bahwa pendarahan di otaknya atau luka dalam lainnya bisa membawa komplikasi.

Namun pada hari itu, sesuatu yang sudah dinanti-nanti akhirnya terjadi. Lucius, yang sebelumnya terbaring tak sadarkan diri, akhirnya membuka matanya. Perlahan-lahan, matanya yang berat mulai bergerak, seolah-olah mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang penuh kabut setelah berhari-hari dalam keadaan tak sadar.

Rudolf, yang sejak pagi menunggu di samping tempat tidur Lucius, tampak lesu dan lelah. Tubuhnya terlihat semakin kurus, matanya yang merah dan lelah mencerminkan betapa beratnya hari-hari yang ia jalani selama tiga hari terakhir. Namun saat melihat Lucius perlahan membuka mata, ekspresi khawatir yang menghiasi wajahnya seketika berubah menjadi kegembiraan yang tak terbendung.

"Boss! Akhirnya kau sadar juga!" teriak Rudolf dengan suara yang hampir pecah, matanya bersinar dengan kebahagiaan. Tangannya yang kuat, yang sebelumnya terkulai lemah di sisi tempat tidur, kini terangkat, dan ia meraih tangan Lucius dengan penuh harapan. "Boss, kau benar - benar membuatku hampir mati karena cemas!" suara kegirangan itu keluar begitu saja, seolah-olah beban berat yang menekan dadanya akhirnya terangkat.

Lucius, meskipun masih sedikit linglung, memandang ke arah Rudolf dengan tatapan yang sayu. Ada kebingungan di matanya, tetapi ia segera merasakan kehangatan dari genggaman tangan Rudolf. Mulutnya yang kering mencoba untuk mengucapkan kata-kata, tetapi yang keluar hanya desahan lemah.

Rudolf menunduk lebih dekat, menunggu jawaban, berharap bisa mendengar suara bosnya itu. "Boss, kau masih lemah, jangan terlalu memaksakan diri," ucapnya dengan lembut, namun masih tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

Lucius menatapnya, berusaha menggerakkan bibirnya. Dengan suara yang parau dan agak sulit, ia akhirnya berhasil berkata, "Rudolf... apa yang terjadi...?"

Rudolf tertawa lega, meskipun masih ada kekhawatiran di matanya. "Apa kau tidak ingat dengan apa yang terjadi? Kau terluka setelah bertarung dengan kelompok Gold Eagle"

Saat itu, Antonius muncul di pintu, mengenakan jas dokter yang sudah sedikit kusut setelah tiga hari bekerja tanpa henti. Dia menatap Lucius dengan mata yang penuh ketenangan, meskipun ada sedikit senyum di wajahnya. "Sepertinya kondisimu sudah cukup membaik, jangan banyak bergerak. Kalau tidak ingin lukamu terbuka" katanya dengan suara rendah, namun ada kehangatan di sana.

Lucius mencoba untuk duduk, meskipun tubuhnya terasa lemah dan sakit. Dengan bantuan Rudolf yang tangkas, ia perlahan mengangkat tubuhnya. "Terima kasih," ucapnya pelan kepada Antonius, matanya yang sedikit kabur tetap menunjukkan rasa terima kasih yang mendalam.

Antonius mengangguk, tidak berkata banyak, hanya memandang dengan tenang. "Aku akan meminta seseorang untuk membawa makanan untukmu, kau membutuhkan energi agar segera pulih" jawabnya.

Suasana klinik yang tenang malam itu terasa berbeda setelah Lucius terbangun. Hujan yang terus turun membuat ruangan terasa lebih sepi, seolah dunia di luar mengerti betapa seriusnya situasi di dalam. Rudolf duduk di samping tempat tidur Lucius, masih menatapnya dengan kekhawatiran yang belum sepenuhnya hilang. Namun, kini ada sesuatu yang lebih dalam dalam tatapan Lucius—sesuatu yang tidak hanya berkaitan dengan kondisi fisiknya, tetapi juga dengan rahasia besar yang sedang ia simpan.

Setelah beberapa detik hening, Lucius akhirnya membuka mulutnya, suaranya parau namun tegas. "Rudolf... kita harus bersembunyi untuk sementara waktu di sini, sampai aku benar-benar sembuh," kata Lucius pelan, matanya yang lelah namun penuh ketegasan menatap sahabatnya itu.

Rudolf menoleh, wajahnya dipenuhi kebingungan. "Apa maksudmu, Boss? Kau harus segera kembali." jawabnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, Lucius menggelengkan kepalanya, dengan ekspresi yang sangat serius.

"Tidak, Rudolf... situasi sekarang belum cukup aman," jawab Lucius, suaranya lebih keras sekarang. "Kau tahu alasan kenapa aku berada disini sekarang. Satu lagi, jangan sampai mereka tahu identitasku dan dirimu. Kita tidak bisa membahayakan mereka. Apalagi jika sampai mereka tahu keberadaanku disini" Lucius menatap Rudolf dengan tajam, seolah memaksa bawahannya itu untuk mengerti dengan sepenuhnya.

Rudolf terdiam, matanya menyiratkan kebingungan, namun juga kekhawatiran yang mendalam. "Aku mengerti boss"

Lucius menatapnya lebih dalam, matanya penuh dengan peringatan. "Mereka mungkin tidak tahu sekarang, tetapi kita tidak bisa mengambil risiko itu. Orang-orang disini adalah orang baik, mereka telah berbuat banyak untuk kita. Tapi jika orang-orang itu mengetahui siapa aku sebenarnya, akan berbahaya bagi mereka. Jadi aku harap kau bisa bersandiwara dengan baik." Lucius menelan ludahnya, merasa berat untuk mengatakan ini.

Rudolf mulai mengerti, meskipun ia merasa cemas. "Kau benar boss, baiklah aku akan bersandiwara dan berkata jika kita terluka karena berburu binatang buas di hutan..." ia berhenti sejenak, seperti menelan kata-kata itu dengan berat.

Lucius mengangguk perlahan. "Ya, kelompok Gold Eagle adalah kelompok yang sangat berbahaya. Jika mereka mengetahui aku di sini, atau lebih buruk lagi, jika mereka tahu aku sedang bersembunyi di tempat yang jauh dari dunia luar... mereka bisa datang ke sini. Mereka bisa menyakiti orang-orang ini, mereka bisa menghancurkan kehidupan mereka. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kita akan membalas mereka, akan aku pastikan itu."

Rudolf menghela napas panjang. "Kau tahu, Boss, apapun yang kau katakan aku pasti akan mengikutinya, yah paling nanti setelah kau kembali kau harus menerima banyak omelan dari tuan besar dan nona muda. Kau tahu, kalau mereka sekarang pasti sudah mengerahkan orang-orang untuk mencari kita."

"Mencari kalian?" seruan Luna di ujung pintu mengagetkan mereka berdua.

"Kalian bukan buronan berbahaya kan?" tanya Luna lagi.

Rudolf dan Lucius terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan Luna. Suara gadis itu penuh ketegasan, namun juga rasa ingin tahu yang sulit disembunyikan. Luna berdiri di ambang pintu ruang perawatan, matanya menyelidik, tampak ingin mengetahui lebih banyak.

"Kenapa kalian diam? Aku tanya, kalian bukan buronan kan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja, dan seakan-akan mengguncang ketenangan yang baru saja tercipta setelah keadaan Lucius yang mulai membaik.

Rudolf, yang masih terkejut oleh pertanyaan mendalam itu, segera berusaha menenangkan situasi dengan menjawab cepat, "Tidak, tentu saja tidak... Kami... Kami adalah warga negara yang baik. Kami hanya terluka saat sedang berburu di hutan." Suaranya terdengar terburu-buru, berusaha terlihat normal.

Luna, meskipun sempat merasakan ketegangan di udara, tetap mempertahankan ketenangannya. "Kok bisa?" katanya pelan, matanya masih mengamati Lucius dengan saksama. “Memangnya apa yang kalian lakukan sampai terluka seperti itu? Seolah - olah habis bertarung dengan senjata tajam"

Rudolf, yang tidak ingin situasi ini berlarut-larut, mengangguk cepat. "Iya, begitu. Kami terlalu lama di hutan, dan... sesuatu terjadi. Untungnya, dokter Antonius yang dapat menyelamatkan kami." Walaupun jawabannya terdengar meyakinkan, ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Luna merasa ada yang disembunyikan.

Lucius, dengan pandangan yang kini lebih tajam, terus mengamati Luna. Ada rasa penasaran di dalam dirinya yang terbangun begitu saja. "Apakah ada yang salah?" tanya Lucius dengan nada halus, meskipun ada nada sedikit mengancam yang tak bisa disembunyikan di balik kata-katanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!