NovelToon NovelToon

Barryneald

Chapter 1. Tentang Seorang Gadis Introvert

Masa dan kisah SMA-ku tak seindah siswa-siswi lain yang memiliki jalan cerita indah. Dalam mimpiku hanya ada mereka yang pandai menggoreskan luka di hatiku, biasa dipandang sebelah mata dan direndahkan. Yang aku bisa lakukan hanya memejamkan kedua mataku dan dua tangan selalu siap menutup kedua telingaku, mengacuhkan dan berjalan tanpa mendengarkan mereka. Hanya itu yang aku bisa, saban harinya.

Membentangkan kedua bola mata selebar mungkin, menyoroti setiap semesta yang ku pijak. Melihat dedaunan diembus oleh angin begitu kencang, tidak jua jatuh sebab ranting memegangnya erat. Namun siapa yang mengira ranting juga bisa melepas bebas dedaunan rapuh itu, membiarkan dia melayang-layang tak tentu arah. Daun itu sudah terlepas dari pohon dan kemudian digantikan dengan yang baru. Entah seperti apa nasib daun yang jatuh telah diinjak khalayak yang berlalu lalang, mungkin saja juga sudah diinjak oleh roda sepeda yang baru saja melintas.

Mungkin aku sudah seperti daun yang rapuh itu, tidak berguna dan diinjak-injak oleh orang-orang. Semua orang menganggap diriku remeh, namun seseorang mengubah prinsipku menjadi terarah, bukan mengubah. Tapi aku berubah demi dia, yang pada akhirnya aku tinggalkan demi kedamaian hatiku yang sempat bergemuruh.

Tetapi, apakah bisa hal itu akan berubah dan takdir kembali mempertemukan diriku kembali dengannya suatu hari nanti...

...- Carrina Bell Ryuna -...

...****************...

Introvert: Kkt, kb: Seorang yang lebih suka memikirkan dirinya sendiri dari pada orang lain. Seseorang yang suka mengasingkan diri dari banyaknya kerumunan. Seseorang yang bersifat pasif dari dunia pergaulan maupun dalam berinteraksi.

Dalam artian lain, introvert artinya seseorang yang lebih suka menyendiri dan cenderung menjauh dari kerumunan orang. Dengan kata lain introvert lebih cenderung ke sifat seseorang yang pendiam.

Pendiam yang tak lain adalah seseorang yang jarang sekali membuka suara dan berbicara, karena dia lebih suka mengemukakan pendapatnya pada beberapa orang yang bisa membuatnya percaya.

Orang pendiam juga manusia, bisa melakukan kesalahan dan tertawa. Maka berhentilah berkomentar bahwa mereka itu tidak pantas bergabung dengan orang-orang banyak, hanya karena mereka berbeda dan terkesan sombong dan kaku.

Orang memiliki kehidupan, bisa menyelesaikan banyak masalah, punya hati dan bisa jatuh cinta pada orang tertentu. Bisa menangis dan marah, mereka bisa segalanya, jadi kenapa orang-orang selalu berkomentar buruk pada si introvert? Tidak mengganggu dan tidak merusak dunia. Mereka hanya orang biasa yang ingin dihargai.

Air adalah kehidupan, bumi adalah kehidupan begitupun semesta adalah kehidupan. Bangunan di kota-kota menjulang tinggi, kaca-kaca jendela pencakar langit tampak berkilau dan indah. Begitu juga dengan jalanan yang tak pernah sunyi, lautan kendaraan-kendaraan di aspal tersusun dengan rapi. Terkadang kemacetan membuat kegiatan mereka terhambat, sudah seperti semut yang sedang merangkak membawa makanan di punggungnya.

Di tepi-tepi jalan, pedagang kaki lima terdengar riuh, bercerita sebagai pembukaan kata di pagi ini. Melanjutkan aktivitas mereka menyediakan barang dagangannya, menjual beberapa makanan untuk sarapan pagi, menyediakan kopi dengan aroma menyebarkan dan merayu-rayu indra penciuman setiap yang menyadari ketertarikannya pada kopi segera terhanyut untuk mencicipinya langsung.

Di kota besar itu terbangun sebuah pendidikan menengah atas di tepi jalan raya, gedung yang megah sudah seperti istana jika dilihat dari sudut luar, belum lagi tekstur-tekstur di dalamnya. Orang-orang akan mengira itu bukanlah tempat pendidikan melainkan sebuah istana kerajaan seperti di film-film.

Namun begitulah kiranya, gedung pendidikan itu adalah eksklusif untuk anak remaja perempuan saja. Sekolah itu sudah dibangun lima belas tahun yang lalu, dikhususkan hanya untuk anak perempuan saja sebab para guru-guru bersepakat untuk mengembangkan prestasi para siswi di bidang mereka masing-masing. Baik di bidang akademik maupun non akademik, semuanya dikembangkan secara terarah dan teratur.

SMA Klaria 1. Itulah nama sekolah khusus perempuan, lebih dari sembilan ratus siswi yang bergabung dalam pendidikan SMA itu. Namun cenderung banyak siswa-siswi yang orang tuanya berjabatan tinggi, seperti guru, dokter, arsitek bahkan tentara. Tapi sekolah tidak terlalu mengkhususkan tentang anak siapa yang bisa bersekolah di tempat itu. Semua murid berhak mendaftarkan diri sebagai murid, tanpa terkecuali. Karena mereka akan dididik tanpa melihat ras dan harta.

Tidak ada keributan di dalam lingkungan sekolah itu, semuanya terlihat tenang dan anggun. Tidak ada suara tawa keras dan bersorak-sorai lainnya. Meskipun di jam istirahat, sekelompok cewek yang berjalan anggun menuju kantin.

Namun tak semua murid senang akan lingkungan sekolah mereka yang nyaman tanpa keributan, seseorang berperawakan kurus dan bertubuh mungil duduk sendirian di salah satu meja kantin. Di saat semua murid lain tengah asyik berkumpul namun dirinya lebih memilih mengasingkan diri di kerumunan itu.

Beberapa orang dari mereka sudah memaklumi sifatnya yang seperti itu, namun mulut mereka tak pernah lelah menceritakan karakternya yang suka bermelankolis.

Carrina Bell Ryuna. Itulah nama gadis cantik berhijab cream, orang-orang akan tahu jika dia dipanggil Ryuna, sosok gadis berpipi chubby dengan suara serak-serak basah, halus dan lembut. Namun di semua fisik cantik itu dia menyimpan luka dalam yang tak diketahui banyak orang. Sikapnya cenderung pendiam dan penyendiri banyak siswi yang tak suka bergaul dengannya, karena dirinya tipe orang yang membosankan.

Tapi Ryuna tipe orang yang bersikap apatis, tidak terlalu mau mendengarkan orang lain sebab mereka tidak akan tahu kenapa dirinya seperti itu, hanya tahu membicarakan orang lain.

"Cewek itu... hobi banget menyendiri. Nggak ada bosan-bosannya ya dia." salah satu cewek berbando pink melirik Ryuna yang tengah makan seorang diri.

Beberapa orang temannya melirik ke Ryuna dan tersenyum cemooh, bagi mereka itu adalah pemandangan biasa. Cewek aneh dan lain dengan yang lain, tidak punya teman dan asal usulnya pun tidak tahu.

“Udah lumrah itu mah, biarin aja. Lagian mana ada yang mau temenan sama dia yang pendiam gitu?” tuturnya dengan sinis. Dia lalu menyesap mocca latte-nya dengan lembut.

...***...

Di saat semua orang tengah asyik berkumpul bersama teman-teman, Ryuna malah mengucilkan dirinya dari kerumunan. Lebih tertarik untuk berimajinasi di taman sendirian, tanpa orang lain ketahui, dia menyukai sastra.

Kata dan huruf seakan-akan menari-nari di atas kepalanya jika orang bisa melihatnya berimajinasi, senyumnya bahkan hanya bisa dilihat oleh burung-burung yang beterbangan melewatinya.

Jika bisa memilih, dia lebih suka homeschooling dari pada sekolah umum. Karena pikirannya lebih terbuka hanya untuk beberapa orang saja dan nolep ketika mengutarakan isi pikirannya kepada banyak orang. Sulit rasanya ketika memintanya kepada Cleirissa, terlebih lagi mamanya sudah tak seceria dulu lagi. Dia tak ingin membuat Cleirissa bersedih hanya karena dirinya tak suka bersekolah di tempat umum.

Begitulah kehidupan, terkadang yang menjadi masalah bukan hanya kepada orang tuanya saja, tapi yang akan berdampak juga pada anaknya. Setelah mengetahui Cleirissa bercerai dengan Yudha secara sah di mata agama dan hukum, hidup Ryuna seakan-akan hancur ketika tahu papanya ternyata memiliki keluarga lain. Dan dia memilih istri pertamanya dan meninggalkan mereka berdua di rumah besar namun tanpa ada kebahagiaan.

Bertahun-tahun dia menerima sikap dingin dari Yudha yang akhirnya memutuskan untuk melupakannya dan juga Cleirissa. Ryuna tak akan melihat kesedihan itu di depan mamanya dan dalam kesendirianlah dia akan menumpahkan semua kesedihannya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, saatnya pelajaran ke tiga sudah di mulai. Ryuna segera menyimpan ponsel di saku bajunya dan segera masuk ke gedung sekolah, menaiki setiap anak tangga menuju kelasnya yang berada di lantai tiga.

Tepat pada waktunya, saat Ryuna baru saja duduk di bangkunya. Bu Minata masuk ke kelas mereka sembari membawa buku paket Matematika. Vintaria sebagai ketua kelas XI. 2 langsung menyiapkan kelasnya dengan berdoa agar mereka mendapatkan ilmu baik hari ini, setelah itu disiapkannya kelasnya dengan memberi salam.

“Ibu mau mengucapkan hal yang penting kepada kalian. Besok pagi sekolah kita akan digabung dengan SMA Risoson dan kemungkinan jumlah orang per kelas akan bertambah, jadi kalian tetap harus jaga kesopanan ketika mereka kemari. Ada yang ingin ditanyakan?” tanya Bu Minata mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kelas yang senyap.

Tangan sang ketua kelas langsung mengacung tinggi membuat Bu Minata refleks menatapnya. Raut mukanya terlihat tegas dan tak terima.

“Ya Vintaria?”

“Kenapa SMA Risoson harus digabung dengan SMA Klaria Bu? Bukankah sistem sekolah ini memang sudah menetap dari 15 tahun yang lalu?” tanya Vintaria.

“Memang benar sistem sekolah kita telah menetapkan peraturannya dari 15 tahun yang lalu. Untuk itulah sekolah kembali diumumkan mengalami perubahan." jelas Bu Minata.

Lantas siswi di kelas itu berbisik dan mengeluarkan pendapat mereka pada teman di sebelahnya. Kecuali Ryuna yang tetap bergeming di bangkunya, berpangku tangan melirik ke teman-teman sekelasnya dengan tatapan kosong. Bergabung dengan sekolah Risoson atau tidaknya tidak akan mempengaruhinya.

“Harap tenang semuanya.” Bu Minata menepuk tangannya mencoba membuat mereka diam kembali.

“Ini bukanlah akhir dari tata peraturan kita, peraturan di sekolah ini tetap ada dan tidak akan diubah, hanya ada penggabungan sekolah saja. Ibu yakin mereka adalah siswa-siswa yang tahu sopan santun juga, jadi jangan takut tidak ada siswa nakal di antara mereka. Kalaupun ada, mereka akan dikeluarkan atau mendapat peringatan sampai murid itu mau berubah.” terang Bu Minata mencoba menenangkan mereka.

Di saat sedang semangat-semangatnya menjelaskan, Pak Kepala sekolah mengumumkan melalui speaker bahwa guru segera dikumpulkan di ruang rapat. Karena akan ada yang dibahas tentang sistem sekolah mengenai penggabungan dua sekolah.

“Baiklah anak-anak, kita lanjutkan pelajarannya minggu depan.” pamit Bu Minata.

Setelah siswi-siswi memberi salam kepada Bu Minata dan telah keluar dari kelas. Para perempuan langsung berkomentar dengan banyak hal, tidak setuju jika dua sekolah digabungkan apalagi kelas. Bagi mereka semua laki-laki itu hanya akan memberi masalah, mereka sangat tidak suka laki-laki apalagi mereka yang tak tahu tata krama.

Mereka menjadi gelisah, bagaimana para cowok akan merusak citra sekolah mereka? Prestasi-prestasi yang telah mereka bangun, sama halnya dengan Vintaria yang memikirkan banyak hal. Sesuatu apakah yang bisa dia lakukan agar membatalkan penggabungan dua sekolah ini?

Tapi Vintaria sedikit khawatir dengan jabatannya sebagai ketua OSIS. Bagaimana jika nanti dia diturunkan jabatannya menjadi wakil ketua OSIS? Padahal pemimpin yang sesungguhnya itu adalah seorang laki-laki.

Gue ikhlasin aja nggak ya jadi wakil?

Chapter 2. Gabungan Dua Sekolah

“Ryu, gimana pendapat lo soal sekolah yang digabungkan? Kalau gue sih nggak mau, buat apa SMA Risoson bergabung dengan SMA khusus cewek? Mau pakai rok juga mereka?” tanya Viona dengan kesal.

Setelah pulang dari sekolah, Ryuna tak langsung pulang ke rumah tapi segera merilekskan pikiran di cafe persimpangan jalan. Dia tak sendiri, tapi bersama Viona.

Viona adalah salah satu cewek yang mau berteman dengan Ryuna. Viona adalah cewek yang pengertian, menurutnya Ryuna memiliki alasan tertentu kenapa dirinya memilih untuk mengasingkan diri dari teman-temannya yang lain.

Dia memilih berteman dengan Ryuna satu tahun yang lalu, dia tahu penyebab berubahnya Ryuna. Semuanya itu pun dijelaskan oleh Cleirissa, ibunya saat tak sengaja iseng-iseng saja bertanya kenapa Ryuna begitu pendiam.

Setelah tahu penyebab semua itu karena Ryuna memiliki ayah yang tak pernah peduli padanya, dia merasa kasihan akan Ryuna yang sepenuhnya tak salah apa-apa. Untuk itulah Viona tetap menjadi teman baik satu-satunya Ryuna.

Namun tanpa sadar, Ryuna pun percaya pada Viona yang mau menjadi temannya. Dia lebih membutuhkan teman yang setia daripada memiliki banyak teman tapi tak satupun ada di saat dia kesusahan. Tentu saja Ryuna akan lebih terbuka pada Viona yang secara tak langsung menemukan sisi lain dari seorang Ryuna yang pendiam. Gadis itu memiliki senyum yang indah.

“Gue nggak suka. Mereka itu pasti jahat,” komentarnya.

Viona bergeming ketika melihat sorot mata cewek itu menjadi sendu. Dia tahu kata yang ditujukan kepada siapa.

“Ah udahlah lupain aja Ryu, pertanyaan gue itu emang nggak berfaedah banget sih.” Viona melambaikan tangannya. Diliriknya jarum arlojinya yang menunjukkan pukul lima sore.

“Oke, kita udah banyak ngabisin waktu di sini. Ayo kita pulang.” ajak Viona yang sudah beranjak berdiri dari tempat duduknya.

Ryuna hanya mengikuti saja, kemudian mereka berjalan ke kasir untuk membayar minuman mereka. Setelah itu beriringan untuk keluar dari cafe, namun saat hendak mendorong pintu kaca yang rupanya sudah terbuka lebih dulu oleh seorang pria jangkung yang tampak terburu-buru lantas menyelonong masuk hingga Ryuna yang dekat dengan gagang pintu kafe jadi kehilangan keseimbangan membuat tubuhnya ingin terjatuh, tapi dengan cepat pria berwajah kalem berhasil merengkuhnya. Alhasil mereka malah saling bertatapan dengan situasi yang mengharuskan seorang sahabat Ryuna menahan senyumnya.

"Heem..." Viona berdehem saat posisi mereka begitu sangat dekat, membuat kedua lawan jenis itu langsung tersadar dan melepaskan diri dengan perasaan canggung.

“Maaf, gue buru-buru.” katanya lantas masuk ke dalam kafe dan diikuti seorang temannya yang sedari tadi hanya diam. Viona tidak terlalu memperhatikan laki-laki itu dan hanya terfokus ke Ryuna masih tercenung dengan yang baru saja terjadi.

“Viona menepuk pundaknya dan mengajaknya pulang, dia hanya mengangguk pelan dan mengikuti langkah sahabatnya itu.

...***...

"Dasar ceroboh, untung aja dia nggak jatuh beneran kan?” omel seorang cowok berjas warna cream dengan dalaman kemeja hitam, memakai celana panjang kotak-kotak kecil berwarna cream dan putih.

Wajah cowok itu tampak bersih dan tegas, dia murid yang rapi dibandingkan dengan teman di sebelahnya yang penampilannya jauh dari kata anak sekolah. Lihat saja dia tidak memakai jas dan hanya memakai kemeja hitam yang terlihat jelas, lengan baju digulungnya sampai ke siku.

“Barryneald Haris, gue lagi ngomong sama lo,” ucapnya. Dia tak suka jika dirinya berbicara justru diabaikan.

Barry berdesis sebal ketika Rafan menyebutkan nama panjangnya. Dasar teman yang kaku. Gerutunya dalam hati.

“Terus? Gue kan udah minta maaf. Gue juga udah nolongin dia biar nggak jatuh, apa lagi yang salah?” protesnya dengan mulut belepotan. Dia benar-benar tidak bisa menahan rasa laparnya.

Barry tak sempat makan di asrama karena stok makanan sudah habis, dia belum sempat berbelanja. Rafan yang merupakan teman sekamarnya tidak pula menyisakan makanan untuknya walau sedikit. Dasar teman nggak berguna. Lagi-lagi Barry menggerutu dalam hati, lama-lama batinnya jadi tersiksa.

“Mulut lo itu bersihin, Barry.” Rafan melempar tisu ke arahnya. “Bersikap sopan itu perlu, ini tempat umum."

Ini yang membuat sebal seorang Barry. Tujuannya pindah sekolah ke SMA Risoson adalah mengembangkan bakat non akademiknya di bidang basketball. Namun ternyata peraturan di sana lebih ketat dari sekolahnya yang lama. Setelah menerima rapor kelas sepuluh dan naik di kelas sebelas, Barry meminta izin kepada keluarganya untuk pindah sekolah dengan alasan untuk fokus pada ahlinya dalam bermain basket, awalnya Haris dan Vina tidak setuju dengan alasan itu dan bisa bermain di sekolah lamanya saja.

Barry tetap bersikukuh mempertahankan keinginannya itu dan memegang janji akan meraih nilai yang bagus di kelas barunya nanti, membuktikan jika dirinya benar-benar fokus belajar di bidang akademik maupun non akademik. Melihat kesungguhan Barry dalam berbicara, akhirnya kedua orang tuanya pun mengizinkan anak bungsunya pindah sekolah. Karena kegiatan SMA Risoson bisa dikatakan full day, dia meminta agar tinggal di asrama saja.

Barry membersihkan sisa-sisa makanan di sudut bibirnya kemudian berdehem pelan. “Serasa jadi anak konglomerat aja.”

Barry jadi heran sendiri, peraturan sekolah Risoson seperti diajarkan untuk bersikap seperti pangeran kerajaan. Berjalan dengan dagu yang sedikit diangkat, jangan tertawa terbahak-bahak karena itu terkesan tidak sopan dan terlalu buruk jika dilihat. Dia juga penasaran apakah akan ada peraturan dilarang tersenyum di sekolah barunya itu?

Satu lagi hal yang membuat Barry bingung, dia sudah senang karena mengetahui SMA Risoson adalah sekolah khusus cowok. Hanya bertahan satu minggu lamanya sudah ada kabar jika sekolah itu akan digabungkan dengan SMA Klaria 1 yang sempat didengarnya itu adalah sekolah khusus cewek. Dua SMA ini memiliki satu kepala sekolah yang sama, hanya saja gendernya dibedakan entah apa alasannya dan tentu seluruh muridnya heran dengan kabar yang menggemparkan ini.

Rafan hanya menyikapinya dengan senyuman kecil, lalu meneguk minuman dinginnya dengan pelan. Barry hanya tercenung melihat sikap dan cara lelaki itu minum, dia mengangguk kecil. Mungkin karena sudah terbiasa dengan peraturan sekolah itu, disantapnya kembali makanannya yang tinggal setengah, kali ini dengan sikap dan cara makan anak Risoson.

Terkadang lama-lama Barry bisa gila jika terus mengikuti peraturan-peraturan sekolah ini, mungkin setelah alumni di sana Barry akan menjadi bangsawan yang disegani rakyatnya.

Aamiin. batinnya. Barry akhirnya dapat tersenyum damai.

...***...

“Selamat bergabung di SMA Klaria 1, perkenalkan saya Vintaria ketua OSIS SMA Klaria 1 berharap bisa bekerja sama dalam membangun sekolah yang penuh prestasi di bidang akademik maupun non akademik, serta tetaplah menjaga sekolah tetap tersohor namanya.” pidato Vintaria pun dimulai, dia yang sekaligus ketua OSIS SMA Klaria 1 pemegang tanggung jawab sekolah khusus perempuan itu. Seluruh siswa siswi yang telah berkumpul di lapangan luas.

Dengan tersenyum kecil namun tegasnya seorang laki-laki berparas tampan dan rapi berjalan mendekati mimbar. Vintaria segera mundur beberapa langkah membiarkannya sekarang memakai mic.

“Perkenalkan saya Rafan Airlangga Deas, ketua OSIS Risoson sebagai perwakilan dari SMA Risoson berterima kasih karena sudah menerima kami dengan baik, kami mohon bantuannya dalam kerja sama membangun sekolah ini dengan baik dan berprestasi.” Rafan menyampaikan pembuka kepada seluruhnya.

Dia terlihat berkarisma ketika berdiri di mimbar dan menyampaikan dengan kalimat-kalimat formal. Di barisan tengah, Barry hanya memerhatikan saja, juga sedikit terkagum dengan Rafan yang ternyata sangat pintar dalam berbicara.

Di sekolah ini rupanya tidak perlu dibimbing oleh guru atau seorang pelatih yang melakukan kegiatan di pagi ini menyambut penggabungan dua sekolah adalah ide dari pihak perempuan dan mau tak mau pihak laki-laki hanya bisa mengikuti dan bersikap sopan dan wibawa.

Chapter 3. Pertemuan Mereka

Dari hak angket yang dimiliki setiap kelas 70% menolak untuk bergabung antara perempuan dan laki-laki di dalam satu ruangan, artinya mereka tidak setuju jika para laki-laki sekelas dengan mereka. Maka dengan pernyataan itu pun tak bisa dibantah oleh Pak Kepala sekolah, mereka tetap satu sekolah tapi kelas akan dibedakan. Kelas khusus untuk laki-laki dan kelas khusus untuk perempuan, itulah kesepakatannya.

Gila! Barry terus membatin ketika hal ini terjadi padanya. Benar-benar berasa hidup di zaman kerajaan saja.

“Fan, udah boleh ganti baju? Ini udah waktunya jam olahraga.” Barry mencondongkan kepalanya ke samping, berbisik kepada Rafan yang masih berkutat dengan buku dan penanya.

Dengan sedikit lirikan tegas, Rafan hanya berkata. “Tunggu gurunya datang.”

Barry bergidik bahu seraya dengan mulutnya berkomat-kamit mengucapkan kenapa? Jadi heran, jika di sekolah lamanya dulu mereka harus sudah keadaan memakai seragam olahraga sebelum gurunya masuk kelas, sekarang malah terbalik. Benarkah?

Derap langkah pria bertubuh atletis dan berotot masuk ke dalam kelas baru, yaitu di kelas XI IPA 3 khusus cowok. Tanpa di aba-aba lagi, Rafan segera menyiapkan kelasnya dengan tertib. Cowok itu seperti menguasai sekolah khusus cowok, nyatanya dia ketua kelas sekaligus ketua OSIS Risoson.

Bapak yang mengajar di bidang olahraga diketahui bernama Pak Veryn menerangkan sedikit materi yang diajarkannya, setelah lima menit menjelaskan baru disuruhnya para siswa untuk berganti pakaian dan segera berkumpul di lapangan dalam waktu lima menit.

Barry hanya mengikuti saja. Rafan mengajaknya untuk berganti baju bersama di ruang ganti. Setelah membawa seragam olahraga masing-masing mereka segera keluar dari kelas.

...***...

Sayup-sayup sebuah ruangan bersih dan hening tanpa ada suara keramaian di sama, tampak jari-jemari seorang gadis dengan wajah berbentuk oval tengah sibuk menekan setiap tuts piano.

Terdengarlah suara nada yang terdengar indah di pagi ini, sebuah ruangan luas dan kursi-kursi berjejer rapi di tengah ruangan. Tempat itu seperti ruangan khusus untuk acara perlombaan piano grand. Alunan musik terdengar syahdu dan harmonis, bahkan yang memainkannya saja sampai menutup kelopak matanya dengan rapat hanya ikut menikmati setiap nada-nada yang dimainkannya.

Gadis cantik nan rupawan itu sedang bermelankolis dengan dunianya sendiri, lebih suka di tempat itu seorang diri ketimbang berinteraksi dengan banyak orang di luar sana. Tidak tertarik untuk berkenalan dengan para cowok yang baru saja bergabung di SMA Klaria.

Jari-jari lentiknya terus menari-nari indah dengan lincah di atas tuts piano, membawakan sebuah nada romantis yang membuatnya berangan-angan untuk berdansa dengan seseorang pria. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil dengan kedua mata yang masih terkatup rapat.

Nada ini...

Ketenteraman ini...

Akan selalu dirindukan oleh seorang Ryuna. Dia tersenyum kecil, mengakhiri permainan pianonya. Tangannya sudah tak lagi berada di atas tuts piano, ia telah menyelesaikan permainan pianonya lalu beranjak dari tempatnya dengan menghela napas panjang.

Seseorang yang ternyata ada di ruangan itu menjadi tersanjung dengan nada yang dimainkan cewek itu, entah sejak kapan dia berada di sana. Tentunya gadis itu belum menyadari keberadaannya.

“Nada-nadanya cukup indah." puji seseorang yang membuat Ryuna terkejut akan kehadiran orang itu. Pria itu lalu tersenyum simpul meski Gwen melengos sombong, tak mau bertatap muka dengannya. Orang baru, ia tidak peduli meski cowok itu tampan sekalipun. “Kamu juga keren!” pujinya lagi. Dia mengacungkan dua jempol sambil mengedipkan sebelah matanya.

Namun senyumnya kembali hilang ketika wajah yang dilihatnya kini tidak terlalu asing di matanya. Serasa pernah bertemu? Barry memperhatikannya dengan tatapan tajam gadis itu.

“Kayak udah pernah ketemu, lo ... cewek yang di kafe itu kan? Yang hampir jatuh? Terus gue tolongin?” tanyanya bertubi-tubi seperti hanya memastikan jika dia tak salah orang, tak menyangka ternyata dirinya bisa ketemu lagi dengan gadis itu.

Ia masih ingat lusa sewaktu kejadian di sebuah kafe karena saat itu ia keburu lapar dan malah langsung meninggalkan orang yang ditabraknya itu untuk memesan makanan, tapi untungnya ia masih sempat menolong gadis itu sebelum dirinya pergi.

Bukannya menjawab, justru Ryuna pergi dengan gaya pongahnya. Tanpa disadarinya, pria itu tersenyum kecil menanggapinya, setelah cukup lama memerhatikan kepergian Ryuna membuatnya tertarik untuk pergi juga dari tempat itu yang kini ruangan mulai dalam keadaan sunyi senyap.

“Nggak ada di sini juga.” seseorang yang tiba-tiba menyembulkan kepalanya di ambang pintu serta mengerlingkan matanya mencari sesuatu. Langkahnya kembali berjalan ke arah berlawanan namun sebelum cewek itu semakin menjauh, Andara dengan beraninya membuka suaranya.

“Lo cari siapa?” tanyanya. Sejemang ia memerhatikan cewek itu yang lantas memutarbalikkan tubuhnya.

“Gue lagi nyariin temen gue. Kirain dia ada di situ." cewek bermata bundar itu melirik ke piano besar ruang panggung lalu kembali memandangnya. “Karena dia suka menyendiri dan salah satunya ya tempatnya di sini."

“Gue barusan ketemu sama dia.”

“Lo tau siapa yang gue cari?”

“Gue nggak tau siapa yang lo cari, tapi gue barusan liat cewek yang pergi gitu aja seusai main piano,” jelas cowok itu dengan menggerakkan kedua tangannya seolah-olah dia menjelaskannya seperti seorang guru di depan kelas.

“Mungkin aja itu Ryuna.” gumamnya dengan kepala yang tertunduk seperti sedang menekuri lantai batu alam.

“Siapa namanya?”

Sekali lagi cewek itu memandang ke Barry yang seperti berusaha untuk mempertajam pendengarannya dengan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Ryuna. Dia satu-satunya sahabat gue, dan udah cukup lama dia ninggalin gue sendirian di kelas karena hari ini jam kosong, entah pergi ke mana dia sekarang," gerutunya sembari berkacak pinggang.

“Dan lo, siapa namanya?” tanya Barry lagi.

Entah kenapa pipi gadis itu jadi bersemu merah padahal Barry hanya bertanya soal nama. Dia kemudian berdehem, alih-alih mencairkan suasana yang hampir canggung.

“Gue Viona."

“Dan gue ... Barry,” jawabnya dengan ramah. Tak lupa dengan senyuman yang ia tebarkan dengan ikhlas.

Viona mengangguk sekali. “Salam kenal. Ya udah, senang bisa ketemu lo Bar, kalau gitu, gue pergi dulu ya.” pamitnya seraya tersenyum sebelum akhirnya dia benar-benar menghilang dari hadapan Barry yang masih berdiri di tempatnya.

Sementara gadis yang Viona cari-cari saat ini sedang berjalan seorang diri menuju kantin, tatkala sedang memesan minuman dingin. Tampaknya kesendirian sudah tidak asing lagi bagi dirinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan hingga harus berjalan bersama seorang teman.

Setelah membayar minumannya itu, secara sengaja atau tidak ia malah berpapasan dengan tiga cewek yang tersenyum padanya, percayalah itu bukan tersenyum tulus tapi mengarah pada senyuman devil.

“Hai Ryuna,” sapa cewek itu dengan angkuh. Tangan kirinya sibuk memilin-milin rambut pirangnya.

Ryuna mencoba untuk tidak memedulikannya, baginya orang itu tidaklah penting. Tidak ingin berlama-lama di sana, ia pun berlalu pergi dengan tatapan pongah tanpa pamit sama sekali.

“Menarik saat menyapa si bisu.” Shaila memutarkan bola matanya, bosan. Kedua temannya bergidik bahu saja, memikirkan apa istimewanya dengan kehidupan datarnya si pendiam?

Samar-samar terdengar suara kebisingan di ruang sebelah. Ryuna pasti berpikir itu pastilah anak laki-laki yang sedang berkelana di setiap ruang sekolah baru mereka.

Ryuna dikejutkan dengan keberadaan sahabatnya, Viona di bawah tangga. Dia memasang muka masam sembari bertekuk tangan.

“Lo dari mana aja Ryuna? Sedari tadi gue nyariin lo tau, datang ke ruang piano bukannya ketemu lo malah ketemu cowok.”

Ryuna hanya diam saja mendengar sahabatnya itu mengoceh, ia tetap kalem dan dingin.

Langkah demi langkah membawanya untuk duduk di salah satu bangku panjang yang dekat dengan pohon. Viona mengelus dadanya, tambah kesal ketika dirinya selalu saja dianggap debu, mau tak mau dia ikut duduk dan merebut minuman dingin dari tangan Ryuna, lalu meneguknya beberapa kali tanpa merasa bersalah.

“Kalau haus pesan di kantin.” Ryuna berhasil merebut minumannya kembali.

“Barry itu lumayan juga untuk dijadikan pacar, kenapa lo nggak coba ngedeketin dia? Apa jangan-jangan lo malah nyuekin dia?”

“Maksud lo?”

“Itu... cowok ganteng yang ada di ruang piano itu loh, waktu gue cari lo ternyata dia yang gue temui di sana." Viona masih terlihat asyik menatap para pemuda sedang berolahraga di lapangan, ini adalah momen yang pertama kali mereka saksikan di Klaria.

Entah dari anak kelas berapa tapi mata tajamnya jelas menangkap seseorang yang baru di kenalnya di antara semua para lelaki itu. Viona tersenyum genit. Cowok itu memang terlihat tampan ketika sedang berolahraga, apalagi ketika wajahnya penuh dengan keringat dan rambutnya ikutan basah. Semakin membuat hatinya menjadi tergoda, benar-benar pesona yang indah. Maka nikmat tuhanmu yang manakah engkau dustakan?

"Huum... lumayan. Fisiknya nggak terlalu buruk.” tanpa sadar Viona berbicara seperti menyanjung setiap lekuk tubuh para cowok yang sedang berolahraga itu.

Mendengar kalimat itu dilontarkan sahabatnya, refleks Ryuna ikut menoleh ke tengah lapangan.

“Jangan memuji orang lewat fisik, Viona. Kadang orang bisa kecewa karena sikapnya nggak sebagus parasnya.”

Viona terkekeh kecil. “Gue cuma kagum aja kok, Ryuna coba perhatikan mereka. Apa ada yang lo suka?" matanya tak lepas dari cowok-cowok di depan sana, mereka terlihat sedang memang asyik bermain basket dengan desahan napasnya yang seksi di kala memantul-mantulkan bola dengan kedua tangannya secara bergantian.

"Mustahil bisa menyukai seseorang dalam waktu satu detik," Ryuna menghela napas. Sesaat kemudian ia beralih menyentuh sedotan lalu menyeruput minumannya, merasakan sensasi rasa jus mangga segar mengalir di kerongkongannya.

Dan menyukai seseorang itu terkadang nggak mustahil ketika mereka terus bersama hingga tak sadar sebuah perasaan muncul di antaranya nanti. Alih-alih Viona berbicara dalam hatinya dengan serius.

"Ryuna, kok lo bisa ketemu Barry di ruang piano? Apa mungkin dia lagi jalan-jalan lalu ketemu lo di sana, atau mungkin dia tersesat ya?"

"Kalau lo tanya gue, pasti jawabannya nggak tau sama sekali," cetusnya. Setelah itu dia kembali menyeruput minumannya dengan santai. Viona cemberut, kesal karena gadis itu selalu saja menjawabnya dengan cuek dan datar.

Sementara di tempat lain, ternyata Barry melihat keberadaan Ryuna duduk bersama temannya, Viona. Mereka duduk di salah satu bangku panjang di bawah pohon yang berukuran sedang, seutas senyum terukir di wajahnya. Gue jadi penasaran sama dia. Besok-besok gue bakal coba ngedeketin dia.

“Barry?” pria jangkung berambut pendek itu menepuk pundak teman kecilnya. Menyadarkan Barry yang sedang melamun. Laki-laki itu menoleh ke samping, masih tetap diam menunggu perkataan dari Adnan.

“Are you okay?" tanyanya dengan alis mata bertaut.

Barry menyikapinya dengan anggukan kecil. "Baik.” lirihnya yang kemudian kembali melempar bola basket ke Adnan yang menerimanya dengan baik. Mereka melanjutkan permainan basket yang sempat terhenti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!