Di sebuah desa kecil di barat daya China, di tengah malam yang sunyi, tangisan bayi memecah keheningan. Namun, di dalam rumah kayu sederhana, suasana bukanlah kebahagiaan melainkan ketegangan. Bayi perempuan yang baru lahir itu, Xin Lian, dianggap sebagai pertanda buruk oleh keluarganya.
"Dia tidak memiliki aura seorang shaman," ujar neneknya, seorang dukun terkenal yang dihormati di desa. "Anak ini hanya akan membawa kehancuran bagi keluarga kita."
Ibunya, seorang wanita muda yang lemah lembut, memeluk bayi itu dengan erat. "Tapi dia anakku..." bisiknya, air mata mengalir di pipinya.
"Dia mungkin anakmu, tapi kau harus memilih. Kehancuran keluargamu atau dia?" potong nenek itu tegas.
Ayahnya, yang berdiri di sudut ruangan, menundukkan kepala. Dia tak mampu melawan kehendak ibunya sendiri. Akhirnya, dengan suara bergetar, dia berkata, "Kita harus membuangnya."
Malam itu, Xin Lian yang masih bayi ditinggalkan di depan panti asuhan dengan sebuah selimut lusuh dan sebuah liontin giok kecil yang diikatkan di lehernya—satu-satunya barang yang membuktikan asal-usulnya.
***
Tahun-tahun berlalu, dan Xin Lian tumbuh menjadi seorang gadis muda yang keras kepala. Kehidupan di panti asuhan mengajarkannya untuk mandiri.
Namun, hidupnya berubah drastis pada usia 15 tahun.
Suatu malam, di sekolahnya, lampu tiba-tiba padam. Di tengah kegelapan, dia melihat seorang wanita berambut panjang berdiri di sudut ruangan, matanya kosong, menatap langsung ke arahnya. Xin Lian tertegun. Wanita itu mendekat, dan saat itu dia menyadari satu hal: dia bisa melihat hantu.
Awalnya, kemampuan ini membuatnya ketakutan. Hantu-hantu mulai muncul di mana-mana, mengganggu hidupnya. Namun, setelah berbulan-bulan ketakutan, Xin Lian mulai muak. "Cukup!" teriaknya suatu malam. "Jika kalian ingin mengganggu, lakukan saja!"
Dia memutuskan untuk mengabaikan mereka sepenuhnya. Tetapi takdir punya rencana lain.
***
Beberapa tahun kemudian, Xin Lian menjadi terkenal karena kemampuannya membantu orang-orang kaya menyelesaikan masalah mereka dengan roh. Hidupnya berubah drastis. Rumah besar, pakaian mahal, dan makanan lezat menjadi bagian dari kesehariannya.
Xin Lian, sejak kecil, sudah memahami kerasnya dunia. Kehidupan di panti asuhan mengajarkannya bahwa hanya yang kuat dan licik yang bisa bertahan. Dia belajar membaca orang, memanipulasi situasi, dan memanfaatkan kelemahan lawan untuk keuntungannya sendiri. Ketika dia memutuskan menjadi seorang dukun palsu, alasannya sederhana: uang cepat dan mudah, meskipun risikonya besar.
Xin Lian bukan tipe yang menyerahkan segalanya pada keberuntungan. Menyadari bahaya yang mungkin datang dari roh-roh sulit, dia melatih dirinya dalam seni bela diri. Latihan itu membuat tubuhnya kuat dan refleksnya tajam. Ketika menghadapi hantu yang sulit diusir dengan trik biasa, dia tidak segan-segan "menghajar" mereka, baik secara fisik maupun mental. Baginya, roh atau manusia sama saja—jika mereka melawan, dia akan memastikan mereka tahu siapa yang berkuasa.
Dengan kombinasi kecerdasan, kelicikan, dan kekuatan fisiknya, Xin Lian menjadi sosok yang sulit dikalahkan, baik oleh dunia nyata maupun dunia gaib.
Namun, suatu hari, ketika dia sedang menikmati teh di ruang tamunya, pintu rumahnya diketuk dengan keras. Ketika dia membukanya, dia melihat tiga orang asing berdiri di depan pintu.
Wanita itu, dengan wajah penuh air mata, langsung berbicara. "Lian'er... kau adalah putriku," katanya dengan suara bergetar.
Xin Lian menatap mereka tanpa ekspresi. "Putri? Aku rasa kalian salah orang."
Pria di samping wanita itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya—liontin giok kecil. "Ini... milikmu, kan? Kami memberikannya saat kami meninggalkanmu di panti asuhan."
Xin Lian memandang liontin itu, tetapi ekspresinya tetap dingin. "Ya, ini milikku. Tapi itu tidak berarti apa-apa. Kalian membuangku seperti sampah. Apa yang membuat kalian berpikir aku ingin kalian kembali?"
Ibunya terisak. "Kami menyesal, Lian'er. Kami tidak punya pilihan waktu itu. Tolong, pulanglah ke rumah."
"Rumah?" Xin Lian tertawa dingin. "Kalian meninggalkanku di panti asuhan tanpa penjelasan, tanpa peduli apakah aku hidup atau mati. Kalian bahkan tidak pernah mencariku. Dan sekarang, setelah aku sukses, kalian muncul dan mengaku sebagai keluargaku?"
Wanita itu mencoba mendekat, tetapi Xin Lian mengangkat tangannya untuk menghentikannya. "Aku tidak butuh kalian. Aku sudah cukup dengan hidupku sekarang. Pergilah."
Dia menutup pintu tanpa ragu, meninggalkan mereka di luar. Namun, saat dia berbalik, dia merasa ada sesuatu yang aneh.
Di sudut ruangan, seorang hantu berdiri, menatapnya dengan mata penuh dendam. Wajahnya tidak seperti hantu-hantu lain yang pernah dia lihat sebelumnya.
"Siapa kau?" tanya Xin Lian, suaranya bergetar untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Hantu itu tidak menjawab, tetapi senyumnya yang menyeramkan membuat bulu kuduk Xin Lian berdiri.
"Kau pikir hidupmu aman, Xin Lian? Ini baru permulaan."
***
Setelah hari pertama pertemuan itu, keluarga yang mengaku sebagai orang tua kandung Xin Lian tidak menyerah. Mereka terus mencoba mendekatinya. Hampir setiap hari, mereka datang ke rumah besar Xin Lian, mengetuk pintu dengan penuh harapan. Kadang-kadang, mereka bahkan berdiri di depan gerbang selama berjam-jam, menunggu dia keluar.
Awalnya, Xin Lian mencoba mengabaikan mereka, tetapi kesabaran bukanlah sifat alaminya. Suatu sore, ketika dia baru saja kembali dari pusat perbelanjaan dengan belanjaan mahal di tangannya, dia melihat mereka lagi di depan gerbang rumahnya.
"Lian'er, kami hanya ingin berbicara..." kata wanita itu, wajahnya penuh harap.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan," jawab Xin Lian dingin. Dia berjalan melewati mereka tanpa menoleh, tetapi pria itu tiba-tiba berbicara.
"Kami tahu kami salah, tapi kami adalah keluargamu. Kami hanya ingin menebus kesalahan kami."
Xin Lian berhenti, berbalik, dan menatap mereka tajam. "Keluarga? Kalian membuangku seperti sampah, dan sekarang kalian ingin mengaku sebagai keluarga? Aku tidak punya waktu untuk omong kosong ini."
Dia masuk ke rumahnya, membanting pintu dengan keras. Namun, mereka tidak berhenti di situ. Mereka mulai mengikutinya ke tempat kerja.
Saat Xin Lian sedang bertemu klien di sebuah rumah besar milik seorang pengusaha kaya, dia melihat mereka berdiri di luar pagar, menatapnya dengan tatapan penuh harap. Itu adalah titik di mana kesabarannya benar-benar habis.
Setelah pekerjaan selesai, dia langsung pergi ke kantor polisi dan melaporkan mereka. "Mereka menguntit saya," katanya tanpa ragu. "Saya tidak ingin mereka mendekati saya lagi."
Polisi mengeluarkan peringatan kepada keluarga itu, tetapi Xin Lian tahu mereka mungkin tidak akan menyerah begitu saja. Namun, dia tidak peduli. Hidupnya sekarang sudah cukup sempurna tanpa mereka.
***
Malam itu, Xin Lian menerima panggilan dari seorang klien baru, seorang wanita kaya bernama Nyonya Zhao. Wanita itu mengatakan bahwa rumahnya dihantui oleh roh seorang pria tua yang terus muncul di ruang tamu.
Ketika Xin Lian tiba di rumah besar itu, dia disambut dengan ketakutan dan harapan yang bercampur aduk. "Tolong bantu kami, Nona Xin," kata Nyonya Zhao dengan nada memohon.
Xin Lian memasuki ruang tamu yang luas dan segera melihat sosok pria tua berdiri di sudut ruangan, memelototinya dengan mata yang tajam. Kliennya tidak bisa melihat apa-apa, tetapi Xin Lian bisa merasakan kehadiran roh itu dengan sangat jelas.
"Siapa kau, dan mengapa kau di sini?" tanya Xin Lian dengan tenang, berbicara langsung kepada roh itu.
Pria tua itu mendekat, wajahnya penuh amarah. "Rumah ini milikku! Mereka mencurinya dariku!"
Xin Lian menghela napas. "Ceritakan semuanya."
Roh itu menjelaskan bahwa dia adalah pemilik asli rumah itu, tetapi keluarganya ditipu untuk menjualnya dengan harga murah sebelum dia meninggal karena serangan jantung.
Setelah mendengar ceritanya, Xin Lian menoleh ke Nyonya Zhao dan berkata, "Dia marah karena keluarganya merasa ditipu. Jika Anda ingin dia pergi, Anda harus melakukan sesuatu untuk menenangkan hatinya."
"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Nyonya Zhao.
"Donasikan sejumlah uang kepada keluarga almarhum," jawab Xin Lian, tersenyum tipis. "Dan tentu saja, biaya jasa saya adalah 3 juta yuan."
Meskipun kaget dengan jumlah itu, Nyonya Zhao setuju. Setelah donasi dilakukan, Xin Lian berbicara lagi kepada roh itu. "Mereka telah membayar hutang mereka. Sekarang pergilah."
Pria tua itu menatapnya sejenak sebelum menghilang.
***
Kasus berikutnya datang dari seorang pria muda bernama Tuan Li, yang mengaku bahwa putrinya yang meninggal beberapa tahun lalu terus menghantui rumahnya. Ketika Xin Lian tiba, dia melihat seorang gadis kecil duduk di tangga, memeluk boneka lusuh.
"Kenapa kau tidak pergi?" tanya Xin Lian lembut.
"Aku tidak ingin meninggalkan Ayah," jawab gadis itu dengan suara kecil.
Xin Lian mendekati Tuan Li dan berkata, "Putrimu tidak ingin pergi karena dia merasa kau tidak bisa melanjutkan hidup tanpanya. Kau harus meyakinkannya bahwa kau akan baik-baik saja."
Tuan Li menangis, berlutut di depan tangga, dan berbicara kepada udara kosong. "Maafkan Ayah, Nak. Ayah mencintaimu, tapi Ayah akan mencoba melanjutkan hidup. Kau boleh pergi dengan tenang."
Gadis kecil itu tersenyum pada Xin Lian sebelum menghilang. Tuan Li tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dia merasa lega.
***
Kasus terakhir malam itu adalah seorang pengantin wanita yang meninggal di hari pernikahannya. Dia menghantui keluarga suaminya karena merasa dikhianati.
Ketika Xin Lian berbicara dengannya, dia menemukan bahwa pengantin itu meninggal karena keracunan makanan yang disengaja oleh keluarga suaminya.
"Kau ingin aku membalas dendam untukmu?" tanya Xin Lian.
"Ya," jawab roh itu dengan suara dingin.
Xin Lian setuju, tetapi dengan syarat bahwa keluarga itu membayar jasanya dengan harga yang sangat tinggi. Setelah kebenaran terungkap, keluarga itu dihantui rasa bersalah, dan roh pengantin itu akhirnya pergi dengan damai.
***
Malam itu, ketika Xin Lian pulang, dia merasa lelah tetapi puas. Dia tahu pekerjaannya penuh kebohongan, tetapi dia tidak peduli. Selama orang-orang percaya padanya, dia akan terus hidup mewah.
Namun, saat dia masuk ke rumah, dia merasakan kehadiran yang berbeda. Di sudut ruang tamu, hantu misterius yang dia lihat sebelumnya berdiri lagi, menatapnya dengan senyum menyeramkan.
"Kau pikir kau bisa terus hidup seperti ini, Xin Lian? Kita lihat saja nanti."
Hantu itu tidak pergi, dan dia membawa rahasia yang bisa menghancurkan hidup Xin Lian.
.
.
.
.
.
Ilustrasi Visual Xin Lian..
Setelah melaporkan keluarganya ke polisi, Xin Lian akhirnya bisa bernapas lega. Tidak ada lagi ketukan di pintu rumahnya atau tatapan penuh harap yang mengganggunya saat bekerja. Hidupnya kembali normal, dan dia kembali sibuk dengan jadwalnya yang padat.
Hari-harinya dipenuhi dengan permintaan dari klien-klien kaya yang memohon bantuannya. Namun, satu permintaan yang datang pagi itu berhasil menarik perhatiannya. Sebuah panggilan dari Museum Nasional.
"Beberapa pengunjung kami melaporkan kejadian aneh," kata seorang pria di telepon dengan nada gugup. "Kami ingin Anda datang dan memeriksa apa yang sebenarnya terjadi."
Xin Lian menghela napas. "Saya tidak bekerja secara gratis. Biaya awal saya 500 ribu yuan, dan itu belum termasuk biaya tambahan jika masalahnya rumit."
"Uang bukan masalah. Tolong datang secepatnya," jawab pria itu tanpa ragu.
Mendengar itu, Xin Lian menyeringai. "Baiklah. Kirim alamatnya."
***
Kunjungan ke Museum Nasional
Museum Nasional berdiri megah di tengah kota, bangunannya yang besar dan kuno dikelilingi oleh taman luas. Saat Xin Lian melangkah masuk, dia langsung merasakan sesuatu yang berbeda. Suasana di dalam museum terasa lebih gelap dari biasanya, seolah-olah ada sesuatu yang menyerap cahaya.
Dia berjalan menyusuri koridor panjang yang dipenuhi artefak kuno dan lukisan-lukisan tua. Tidak ada yang aneh pada awalnya, hanya keheningan yang terlalu mencekam.
"Tidak ada apa-apa di sini," gumamnya sambil memutar bola mata. "Seperti biasa, orang-orang terlalu paranoid."
Namun, saat dia melewati salah satu ruangan besar, matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah pintu di ujung lorong. Ada tanda besar bertuliskan Dilarang Masuk yang tergantung di depannya.
"Kenapa harus ada larangan? Semakin dilarang, semakin menarik," katanya pada dirinya sendiri.
Tanpa ragu, dia mendorong pintu itu dan masuk ke dalam ruangan.
Ruangan itu dipenuhi dengan barang-barang kuno, tetapi yang paling menarik perhatian Xin Lian adalah sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding utama.
Xin Lian berdiri mematung di depan lukisan besar itu, kedua tangannya bersedekap. Matanya yang tajam menyapu setiap detail lukisan, mulai dari wajah pria yang tampak tegas hingga postur tubuhnya yang gagah dalam seragam jenderal. Ada sesuatu yang begitu hidup dari lukisan itu, seolah pria itu bisa keluar kapan saja dari bingkai dan berdiri di hadapannya.
Dia tersenyum kecil, penuh arti, sambil mendekat. "Sayang sekali kau hanya sebuah lukisan," katanya pelan, nada suaranya setengah menggoda. "Lihat otot-otot itu... Kau pasti sangat tampan saat melepas baju perangmu. Mungkin aku akan menghabiskan waktu lebih lama di sini kalau kau nyata."
Dia tertawa kecil, sedikit mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat lebih dekat wajah pria itu. Matanya yang gelap tampak dalam, penuh dengan kesedihan yang tidak bisa dia pahami. Xin Lian menghela napas panjang, lalu menyentuh dagunya dengan gaya santai.
"Kenapa matamu seperti itu? Kau pria tampan, seharusnya hidupmu penuh dengan wanita-wanita cantik yang mengejarmu. Kalau aku hidup di zamanmu, mungkin aku juga salah satu dari mereka." Dia menyeringai, memiringkan kepalanya. "Tapi aku berbeda. Aku tidak mengejar, aku yang diperebutkan."
Dia berbalik dengan santai, berjalan ke tengah ruangan. Namun, saat langkahnya baru beberapa meter, udara di sekitarnya tiba-tiba berubah. Lampu-lampu berkedip, dan hawa dingin merambat hingga ke tulang.
Xin Lian berhenti, tapi alih-alih panik, dia hanya mendengus pelan. "Huh, trik murahan seperti ini? Aku sudah bosan."
Dia merogoh kantongnya, mengambil sebuah jimat kecil, lalu memutar-mutar benda itu di antara jarinya. Saat langkah kaki samar terdengar di belakangnya, dia tidak langsung menoleh. Sebaliknya, dia berbicara dengan nada malas, penuh kepercayaan diri.
"Kalau kau pikir bisa menakutiku, kau salah besar. Aku ini siapa, huh? Dukun Xin Lian, yang bahkan hantu-hantu paling keras kepala pun takut mendengar namaku."
Ketika dia akhirnya menoleh, tidak ada siapa-siapa. Namun, mata pria dalam lukisan itu kini menatap langsung ke arahnya. Tatapan itu tajam, penuh dengan emosi yang sulit dijelaskan.
Xin Lian memiringkan kepalanya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil. "Oh, jadi kau hidup, ya? Apa kau ingin keluar dari sana? Jangan khawatir, aku tidak keberatan. Tapi kau harus tahu, aku bukan wanita yang mudah ditaklukkan."
Udara semakin dingin, dan lampu tiba-tiba padam sepenuhnya. Xin Lian merasakan kehadiran di belakangnya, tapi dia tidak bergerak. Sebaliknya, dia menggulung lengan bajunya, matanya bersinar penuh tantangan.
"Baiklah," katanya dengan nada santai, meski suaranya terdengar jelas di ruangan yang kini sunyi. "Kalau kau ingin bermain, aku tidak keberatan. Tapi ingat, aku tidak suka kalah."
Saat suara berat terdengar untuk pertama kalinya, dia tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sebaliknya, dia tersenyum lebar, senyum khas seorang gadis yang tahu betul cara memenangkan permainan.
"Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan," katanya pelan, tapi setiap kata terdengar seperti peringatan. "Tapi aku akan memberimu kesempatan. Ayo, tunjukkan apa yang bisa kau lakukan, Jenderal Tampan."
***
Setelah keluar dari ruangan terlarang itu, suasana museum yang sebelumnya gelap dan menakutkan perlahan kembali normal. Lampu-lampu menyala terang, udara dingin menghilang, dan keheningan mencekam berubah menjadi keramaian seperti biasa. Pengelola museum yang tadi terlihat panik kini tersenyum lega.
"Terima kasih, Nona Xin," katanya sambil membungkuk hormat. "Kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana, tapi sekarang semuanya terasa lebih tenang."
Xin Lian hanya mengangguk kecil. Dia terlalu malas untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, atau bahkan memikirkan kehadiran pria dari lukisan itu.
"Transfer pembayaran segera," katanya singkat sebelum melangkah keluar.
***
Hari itu benar-benar melelahkan, dan Xin Lian hanya ingin pulang, berendam di air panas, dan tidur. Namun, teleponnya berbunyi berkali-kali. Teman-temannya memintanya untuk bergabung di bar favorit mereka.
"Kau baru saja resmi menjadi mahasiswi, Xin Lian. Jangan jadi membosankan!" seru salah satu temannya melalui telepon.
Akhirnya, dia menyerah. Beberapa jam keluar tidak akan membunuhnya. Dia berganti pakaian menjadi gaun kasual berwarna hitam yang pas di tubuhnya, lalu menuju bar yang terletak di pusat kota.
Xin Lian melangkah masuk ke dalam bar dengan santai, gaun hitam kasual yang membalut tubuhnya memancarkan pesona yang sulit diabaikan. Lampu neon yang berkedip-kedip menyoroti wajahnya yang cantik dengan senyum menggoda. Musik menghentak, suara tawa bercampur dengan denting gelas, menciptakan suasana malam yang meriah.
Dia segera menemukan meja teman-temannya di dekat panggung. Beberapa pria yang berdiri di dekatnya melirik ke arahnya, tetapi dia hanya memberikan senyum kecil sebelum duduk.
“Xin Lian, akhirnya kau datang!” seru salah satu temannya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya.
“Ya, ya, aku di sini. Jangan terlalu antusias,” jawab Xin Lian dengan nada santai, mengambil gelas itu dan meminumnya dalam satu tegukan.
Teman-temannya tertawa, tetapi perhatian mereka segera teralihkan ke panggung. Para pelayan pria mulai tampil, berjalan di antara meja-meja dengan seragam mereka yang sedikit terbuka, memamerkan otot-otot mereka yang terlatih.
“Lihat itu, Xin Lian!” seru salah satu temannya, menunjuk seorang pria tampan dengan senyum menggoda. “Dia tipe kau, kan?”
Xin Lian menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang pria itu dengan mata tajam penuh penilaian. “Tampan, tubuhnya bagus. Tapi aku tidak suka yang terlalu percaya diri,” katanya santai, meskipun matanya tidak lepas dari pria itu.
Teman-temannya tertawa lagi. “Kau ini selalu begitu! Kau suka pria tampan, tapi tidak pernah benar-benar berkencan. Xin Lian, kau ini kurang menikmati hidup.”
Xin Lian menoleh, mengangkat alisnya dengan senyum kecil. “Siapa bilang aku tidak menikmati hidup? Aku menikmati apa yang aku mau, kapan aku mau. Hanya karena aku tidak berkencan, bukan berarti aku tidak bersenang-senang.”
Dia mengambil gelasnya lagi, meneguk minumannya dengan percaya diri. “Lagipula,” lanjutnya dengan nada menggoda, “pria tampan itu menyenangkan untuk dilihat, bukan untuk dipertahankan. Mereka seperti seni, hanya untuk dinikmati.”
Teman-temannya tertawa keras, sementara Xin Lian kembali mengalihkan pandangannya ke panggung. Salah satu pelayan pria mendekati meja mereka, membawa nampan minuman. Dia menatap Xin Lian dengan senyum penuh arti, lalu berkata, “Minuman spesial untuk wanita paling cantik di ruangan ini.”
Xin Lian menatapnya balik dengan senyum miring. “Oh, kau tahu cara berbicara, ya? Tapi sayang sekali, aku tidak mudah terkesan.”
Pria itu tampak terkejut sesaat, tetapi dia segera tertawa. “Aku suka tantangan,” katanya sebelum pergi, meninggalkan Xin Lian dan teman-temannya yang kembali tertawa.
Salah satu temannya menyikut lengannya. “Kau benar-benar tahu cara membuat pria gugup, Xin Lian.”
Dia hanya tersenyum tipis. “Tentu saja. Kalau aku tidak bisa membuat mereka gugup, apa gunanya?”
Namun, di tengah tawa dan obrolan itu, perasaan dingin tiba-tiba menjalari punggungnya. Dia menoleh, mencoba mencari sumbernya, tetapi tidak ada yang aneh.
Xin Lian menghela napas, mencoba mengabaikannya. “Mungkin aku hanya terlalu lelah,” gumamnya, tetapi di dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Dia berdiri. “Aku ke toilet dulu,” katanya singkat, meninggalkan teman-temannya yang masih sibuk tertawa dan bercanda.
Dan di situlah semuanya berubah—di toilet yang sepi, saat dia bertemu dengan pria dari lukisan itu, yang kini menjadi bagian dari hidupnya.
Xin Lian berdiri di depan cermin, membasuh wajahnya dengan air dingin. Saat menatap refleksinya, bayangan seorang pria tampan muncul di belakangnya, membuatnya berhenti sejenak. Tanpa terkejut, dia menoleh dengan tatapan tajam.
“Kau lagi?” katanya sambil melengkungkan bibirnya, suara penuh ejekan.
Pria itu, wajahnya dingin, hanya diam, menatapnya dalam diam. “Kau tidak akan bisa lari dariku.”
Xin Lian tertawa kecil, menyilangkan tangan di dada. “Aku tak takut pada bayangan. Kau hanya seorang hantu yang terperangkap dalam lukisan.”
Pria itu mendekat, suaranya berbisik di telinganya. “Kau milikku, Xin Lian.”
Dengan santai, Xin Lian menoleh, matanya penuh tantangan. “Milikku? Hanya jika kau bisa membuktikan itu.”
Namun, sebelum dia bisa bereaksi, pria itu menghilang, meninggalkan udara dingin yang menggantung. Xin Lian hanya tersenyum sinis. “Aku bukan gadis yang mudah ditaklukkan.”
.
.
.
.
.
Ilustrasi Visual Xin Lian di Bar
Malam itu, setelah kejadian di kamar mandi, Xin Lian merasa ada yang berubah.
Bukan hanya perasaan asing dari pelukan pria itu yang membuatnya gelisah, tetapi juga kenyataan bahwa hidupnya perlahan-lahan menjadi lebih kacau.
Pagi harinya, dia menerima kabar bahwa beberapa kliennya membatalkan janji temu. Telepon-telepon dari orang-orang yang biasa meminta bantuannya sebagai dukun tiba-tiba berhenti. Bahkan, hantu-hantu kecil yang biasanya berkeliaran di rumahnya—yang dulunya dia anggap sebagai teman meskipun menyebalkan—menghilang tanpa jejak.
Dengan cepat, Xin Lian menyadari satu hal: segala sesuatu yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya, seolah hilang begitu saja. Tanpa peringatan. Tanpa alasan yang jelas. Dia tidak tahu apakah ini hanya kebetulan ataukah ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Namun, entah mengapa, dia merasa semakin terasing di dunia yang dulu dia kuasai.
“Ini tidak masuk akal,” gumamnya, meletakkan ponsel dengan kasar di atas meja, matanya kosong menatap layar yang tidak menampilkan apa-apa.
Kesunyian yang Tak Biasa
Hari itu, rumah besar Xin Lian terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara-suara kecil dari hantu yang biasa bermain di sudut ruangan, tidak ada ketukan aneh di tengah malam, bahkan aura spiritual yang selalu dia rasakan seolah menghilang sepenuhnya.
Dia duduk di ruang tamunya yang luas, menatap layar ponselnya yang kosong. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Semua klien yang biasanya memohon bantuannya seolah-olah lenyap dari muka bumi.
Dengan ekspresi datar, Xin Lian memijat pelipisnya, berusaha menenangkan diri. “Kau sudah cukup kuat, Xin Lian. Tidak ada yang bisa menghancurkanmu.”
Namun, seiring waktu berlalu, perasaan tidak nyaman semakin menyelimutinya. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar hilangnya pekerjaan dan hantu-hantu kecil yang biasa menemaninya.
Malam yang Menegangkan
Ketika malam tiba, Xin Lian memutuskan untuk menghadapi pria itu. Dia tahu, seperti malam-malam sebelumnya, pria itu akan muncul lagi.
Dia duduk di tepi tempat tidurnya, mengenakan jubah tidur berwarna merah muda yang longgar, rambutnya terurai lepas. Di sampingnya, secangkir teh yang mulai mendingin tergeletak di meja kecil.
Seperti yang dia duga, udara di sekitarnya tiba-tiba berubah. Suhu ruangan menurun, dan aroma samar bunga melati mulai tercium. Lalu, dia merasakan kehadirannya.
“Kenapa kau di sini lagi?” tanyanya dingin tanpa menoleh, meskipun hatinya berdebar tak terkendali.
Pria itu muncul dari bayangan di sudut ruangan, seperti biasanya. Sosoknya tinggi dengan aura yang memancarkan kekuatan. Dia mengenakan pakaian yang mirip dengan seragam seorang jenderal dari zaman kuno, membuat kehadirannya semakin mengintimidasi.
“Aku selalu di sini untukmu,” jawab pria itu dengan suara rendah yang penuh keyakinan.
Xin Lian memutar bola matanya, lalu berdiri, menghadapi pria itu dengan tatapan tajam. “Kau pikir aku tidak menyadari apa yang terjadi? Hantu-hantu di rumahku menghilang. Klien-klienku membatalkan janji mereka. Bahkan pekerjaanku mulai kosong. Ini ulahmu, kan?”
Pria itu tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh oleh amarahnya. “Aku hanya melakukan apa yang perlu untuk melindungimu.”
“Melindungiku?” Xin Lian mendengus. “Aku tidak butuh perlindunganmu. Aku sudah cukup mampu untuk menjaga diriku sendiri!”
“Tapi kau tidak bisa melihat bahaya yang mengintai di sekitarmu,” balas pria itu dengan nada tenang. “Makhluk-makhluk itu hanya akan menyusahkanmu. Dan orang-orang yang datang kepadamu hanya memanfaatkanmu.”
Xin Lian mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah. “Jadi, kau pikir dengan mengusir mereka dan menghancurkan pekerjaanku, kau sedang membantuku? Kau membuatku tidak memiliki uang untuk makan!”
Pria itu melangkah mendekat, jaraknya hanya beberapa inci darinya. Tatapannya tajam, tetapi ada kelembutan yang sulit dijelaskan. “Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan, Xin Lian. Aku di sini untuk memastikan kau tidak pernah kekurangan.”
“Omong kosong!” teriaknya, mundur selangkah. “Aku tidak butuh belas kasihanmu! Ini hidupku, dan aku tidak ingin kau ikut campur!”
Pria itu menghela napas panjang, seolah-olah sedang menghadapi anak kecil yang keras kepala. “Kau terlalu keras kepala, Xin Lian. Aku hanya ingin memastikan kau aman.”
“Aman dari apa?” balasnya dengan nada mengejek. “Dari hantu-hantu kecil yang bahkan tidak bisa melukaiku? Dari klien-klien yang hanya ingin memanfaatkan jasaku? Aku sudah tahu risiko pekerjaan ini sejak awal, dan aku tidak pernah meminta bantuanmu!”
Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia menatapnya dengan intens, seolah-olah sedang mencoba membaca pikirannya.
“Apa kau pikir aku akan berterima kasih karena kau mengacaukan hidupku?” lanjut Xin Lian, nadanya semakin tinggi. “Kau membuatku kehilangan pekerjaan, kehilangan ketenangan, bahkan kehilangan privasi di rumahku sendiri!”
Pria itu akhirnya membuka mulutnya. “Kau tidak mengerti, Xin Lian. Ada sesuatu yang lebih besar dari ini. Aku tidak akan membiarkanmu terluka.”
“Terluka?” dia tertawa sarkastik. “Satu-satunya yang melukai aku sekarang adalah kau!”
Setelah pertengkaran itu, ruangan menjadi sunyi. Hanya suara napas mereka yang terdengar. Xin Lian menatap pria itu dengan mata yang penuh emosi, sementara pria itu tetap tenang, seperti tidak terpengaruh oleh kata-katanya.
Akhirnya, pria itu melangkah mendekat lagi. Kali ini, gerakannya lembut, seperti mencoba menenangkan Xin Lian. Dia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh pipinya, tetapi Xin Lian menepisnya.
“Jangan sentuh aku,” katanya dengan suara bergetar.
Pria itu menarik tangannya kembali, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Aku hanya ingin kau tahu, aku melakukan ini karena aku peduli padamu.”
Xin Lian menghela napas berat, lalu berbalik, membelakangi pria itu. “Kalau kau benar-benar peduli, kau akan pergi dari hidupku dan membiarkan aku menjalani semuanya sendiri.”
Pria itu tidak menjawab. Setelah beberapa saat, kehadirannya mulai memudar, meninggalkan Xin Lian sendirian di kamar itu.
Namun, sebelum dia benar-benar menghilang, suaranya terdengar lagi, lembut tetapi penuh tekad.
“Aku tidak akan pergi, Xin Lian. Aku akan selalu ada untukmu, meskipun kau membenciku.”
***
Xin Lian berdiri di depan pintu, tubuhnya kaku. Saat pria itu berbalik, langkahnya berat, Xin Lian merasa hatinya terhimpit, meskipun kata-kata perpisahan itu sudah terucap. "Pergilah," ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian.
Namun, saat pria itu menjauh, ada sesuatu yang kosong menggerogoti hatinya. Keputusan yang dia ambil seharusnya membebaskannya, tapi mengapa rasa kehilangan ini begitu dalam? Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya, tapi dia menepisnya cepat-cepat. "Apa yang terjadi padaku," pikirnya, meski hati terasa hancur.
***
Xin Lian terbaring di tempat tidurnya, namun tidurnya tidak memberikan kedamaian. Dunia lain menyambutnya, menariknya ke dalam mimpi yang penuh dengan kenangan lama yang seharusnya sudah terlupakan.
Dia berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin merah yang mempesona, dengan bordir emas yang bersinar lembut di bawah cahaya lentera. Namun, meskipun gaunnya indah, hatinya kosong. Dia menatap pintu besar yang tertutup rapat, tidak ada yang datang. Para tamu berbisik, mata mereka penuh dengan rasa iba, seolah tahu bahwa dia bukanlah pengantin yang bahagia.
“Dia pergi,” suara seorang pelayan terdengar di belakangnya, lirih.
Xin Lian menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tidak boleh menangis. Tidak di hadapan semua orang. "Ini tugasnya," gumamnya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan hatinya yang hancur. "Dia seorang jenderal. Aku harus mengerti."
Namun, meskipun kata-kata itu terucap, hatinya tetap terasa kosong, hampa. Tidak ada pelukan perpisahan, tidak ada kata-kata manis, bahkan tidak ada tatapan terakhir darinya. Dia hanya pergi, meninggalkannya di altar seperti pengantin tanpa mempelai.
***
Medan Perang yang Kosong
Pemandangan berubah. Kini, Xin Lian melihat seorang pria berpakaian zirah perang, menunggang kuda dengan gagah. Sosoknya tinggi dan tegap, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Dia adalah seorang jenderal yang ditakuti dan dihormati.
Namun, di balik keangkuhan itu, ada sesuatu yang mulai mengganggu pikirannya. Saat dia tiba di perbatasan, yang dia temukan hanyalah padang kosong. Tidak ada tanda-tanda musuh. Tidak ada pasukan yang menyerang.
Dia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang gelisah. Namun, saat itu juga, rasa sakit yang tajam menusuk dadanya. Bayangan wajah Xin Lian muncul di benaknya, senyum cerahnya, tatapan penuh harapnya.
“Xin Lian…” bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar.
Tanpa berpikir panjang, dia memutar kudanya dan memacu kecepatan penuh kembali ke ibu kota.
***
Kehancuran yang Menyakitkan
Ketika dia tiba di ibu kota, yang dia temukan hanyalah kehancuran. Api masih menyala di beberapa tempat, asap tebal memenuhi udara. Jalan-jalan yang dulunya ramai kini dipenuhi puing-puing dan mayat.
“Tidak…” suaranya bergetar, untuk pertama kalinya kehilangan ketenangan.
Dia berlari menuju istana, mencari sosok yang dia rindukan, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Dia berlari ke mansionnya, tempat terakhir yang dia harap bisa menemukan Xin Lian.
Namun, yang dia temukan adalah tubuh Xin Lian yang berdiri tegak di depan gerbang mansion. Gaun merahnya robek di beberapa tempat, tubuhnya dipenuhi luka, tetapi dia tetap berdiri dengan kepala tegak, seolah-olah dia adalah perisai terakhir yang melindungi tempat itu.
Di belakangnya, ratusan penduduk bersembunyi, selamat dari serangan berkat pengorbanan Xin Lian. Aura spiritual yang kuat masih mengelilingi tubuhnya, seperti benteng yang tak tergoyahkan.
“Xin Lian…” suaranya pecah saat dia berlutut di hadapan tubuhnya. Air mata mengalir deras di wajahnya, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Kehilangan. Penyesalan.
Dia tidak pernah menyadari betapa berharganya Xin Lian sampai dia kehilangannya.
***
Lukisan yang Abadi
Pemandangan berubah lagi. Xin Lian melihat sebuah ruangan kecil, di mana seorang pelukis tua sedang bekerja keras di atas kanvas. Lukisan yang dia buat adalah sosok seorang pria dengan baju zirah perang, berdiri gagah dengan wajah tampan tetapi dipenuhi kesedihan.
Di sudut lain ruangan, ada sebuah lukisan lain yang lebih kecil, sosok seorang wanita dengan senyum lembut dan mata penuh cinta. Itu adalah dirinya, Xin Lian.
“Dia memandang lukisanmu setiap hari,” suara pelukis tua bergema di udara. “Dia menyesal, tetapi penyesalan tidak bisa mengembalikanmu.”
Xin Lian ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tidak keluar. Dia hanya bisa menatap lukisan itu, merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan.
***
Kembali ke Dunia Nyata
Xin Lian terbangun dengan napas tersengal. Kamar tidurnya gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
Namun, mimpi itu terasa begitu nyata. Dia menyentuh wajahnya, menyadari bahwa dia menangis.
“Kenapa aku bermimpi seperti itu?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Hatinya terasa berat, seperti membawa beban yang tidak dia mengerti. Dan untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang aneh terhadap pria yang terus muncul di hidupnya.
Ada rasa sakit yang samar, bercampur dengan kemarahan yang tidak bisa dia jelaskan.
“Apa hubungan kita sebenarnya?” tanyanya pelan, meskipun dia tahu tidak ada yang bisa menjawabnya.
.
.
.
.
.
Ilustrasi Visual Lukisan Xin Lian
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!