NovelToon NovelToon

Hipertenlove

Hipertenlove~ part 1

...Gerentes asih ngagalindeng kangen, ngawirahma kana sukma. Yayi, pucuk asih sirungan rarenung na rasa....

...~Bagaskara Ragatan Niskala~...

* translate di akhir bab

"Neng?!" amih celingukan mencari Sasmita. Disaat salah satu panitia acara membisikan di pendengaran untuk bersiap memasuki acara *ngibing*, bocah satu ini malah ngilang entah kemana.

"Mih, kenapa?" Nawang melihat mertuanya yang gelisah saat ia khusyuk memperhatikan pengantin yang lagi tarik-tarikan *bakakak hayam* di dekat podium pengantin, kali aja kan mertuanya mendadak mules karena nervous, Nawang bakal kasih batu buat disempilin diantara lipatan stagen, mitos plus 62 yang mungkin masih dipercayai menak macam amih.

"Nyari neng Sasi, liat engga?" bisik amih bertanya. Nawang tau dari sorot mata amih, jika mertuanya itu sudah mulai khawatir sekaligus geram pada si bungsu karena mendadak hilang dari radarnya.

Katresna yang ikut terdistrack oleh kehebohan amih di samping ikut menoleh, "kenapa mih?"

"Sasi, mana?" tukas amih lugas nan tegas pada Katresna, terkesan menuduh dan menumpahkan kesalahan.

"Eh, bukannya tadi teh di----" Katresna memastikan jika pandangannya tadi tak salah, telunjuknya bahkan sudah mengudara ke arah belakang demi menunjukan arah dimana posisi Sasi, namun terpaksa ia turunkan kembali karena nyatanya Sasi tak ada.

Detik sebelumnya ia masih melihat adik ipar bungsunya itu di belakang, tapi sekarang ia sudah hilang bak ditelan air siraman.

"Tadi mah disini da!" ucapnya yakin jika matanya masih sehat, belum rabun.

"Eh si neng Sasi teh malah kemana?! Bukannya abis ini mau *ngibing* ngiringin Asmi?" ujar Katresna menggerutu.

Amih menatap Katresna dengan kerutan di dahinya, namun lain halnya dengan Nawang yang menganggap jika Sasi tengah kabur, siapa yang tak tau jika sebenarnya si bungsulah anak paling membangkang terhadap aturan amih di rumah, dengan dalih sibuk sekolah, dan ngumpet di ketiak apih untuk berlindung. Ia selalu berhasil mengalihkan ***perhatian dan fokus*** amih selama ini pada Rashmi.

Apalagi jika soal jaipongan, meskipun dirinya tak jarang dipaksa amih untuk berlatih jaipong. Karena menurut amih, jaipong adalah harga diri perempuan di keluarganya.

Dibanding Asmi yang penurut, Sasi lebih banyak berontaknya.

"Ck!"

"Biar Nawang cari, ya mih?" tawar Nawang menenangkan mertuanya yang sudah masuk mode Banaspati, bentar lagi abis nih tempat acara dibakar olehnya! Tak mungkin juga jika amihnya yang mencari Sasi sendiri mengingat ia adalah orangtua pengantin, yang sudah pasti akan dipanggil untuk ikut prosesi adat yang kini sedang berlangsung.

Amih mengangguk, "cepet neng!" titahnya, membuat Nawang bergegas berdiri dari duduknya, kakinya sudah mulai kebas karena sejak tadi duduk melipat kaki persis emak-emak lagi kumpulan sama bank keliling.

Diantara langkah terbatasnya karena samping yang melilit, Nawang meminta bantuan para ambu dan mamang, ia juga tak lupa menghubungi ponsel Sasi.

"Ambu liat Sasi?" tanya nya setiap bertemu dengan abdi dalem, "mang, liat den rara Sasmita?"

Nawang berdecak saat langkahnya mulai lelah, "Si!"

.

.

Di dapur, ketiga remaja tengah asik nyemilin penganan *awug* yang baru saja diangkat dari dandangnya.

"Awas masih panas den rara," pesan ambu Darmi yang langsung melengos pergi mengantarkan beberapa nampan penganan untuk para tamu ke bagian perjamuan.

"Aww...awww...panas ih!" Sasi mengibaskan tangannya dan menaruh kembali potongan awug itu ke dalam piring *hoe* (bambu/rotan) beralaskan daun pisang.

Bagas tertawa melihat Sasi kepanasan, "lapar cil? Tunggu dulu! Udah dibilangin panas, masih ngebul tuh!"

Sasi menatap keruh nan tajam pada Bagas lalu menepuk lengan lelaki itu, "ih! Biarin aja!"

Wilang tersenyum, ia beranjak dari samping Sasi, tangannya terulur mengambil *hihid* (kipas dari anyaman bambu) untuk kemudian mengipasi potongan awug milik Sasi, lalu dengan manisnya ia menyerahkan penganan manis itu pada radennya, "pelan-pelan makannya den rara."

Sungguh sikap itu bikin siapa saja gadis akan melambung dibuatnya, si pemuda hitam manis ini tersenyum dengan lesung pipi menggoda dibalik sikap gentlenya.

Bagas tak bisa lebih terkejut lagi melihat balasan sikap Sasi yang langsung menggigit awug dari tangan Wilang, *si alan! Anjirrrr! Gue dimupengin sama bocah*!

"Si, Elah! Lo punya tangan sendiri kan? makan tuh pake tangan sendiri, bukan nyosor kaya bebek gitu. Menak ngga boleh gitu!" Bagas menarik bahu Sasi, menghentikan aksi Sasi yang ingin melahap lagi awug dari tangan Wilang.

Tatapannya tak bersahabat, "a Bagas apa sih! Biarin kenapa sih, *Riweuh pisan* kaya amih, banyak ngaturnya! Lagian Sasi udah biasa disuapin Wilang, ya kan Lang?!" so, apa pula kakak barunya itu, toh Sasi sudah biasa *dimanjain* Wilang sejak mereka kecil, Wilang selalu ada untuknya, selalu menjadi yang terdepan.

Bagas semakin melotot dibuatnya, "disuapin?" ia tertawa sumbang, "cil...bocil....ck! Kalo gitu mulai sekarang jangan dibiasain...kebiasaan jelek itu!"

Ctak! Bagas menjitak kening Sasi, membuat Sasi memberengut dan mengusap kening.

Wilang mulai paham dengan apa yang terjadi, "ngga apa-apa kang. Saya ngga merasa keberatan. Lagipula sudah biasa..." ujar Wilang.

"Ngga bisa!" kekeh Bagas memancing gerakan tersentak dari Sasi dan Wilang, entah kenapa rasa lapar dan seleranya mendadak tertelan ke dasar bumi, kedua bocah yang sedang main *ibu-ibuan* ini mengusik ketenangannya.

"Pokoknya ngga bisa! Mulai sekarang, lo jangan ketergantungan gitu Si, kalo tangan si Wilang bekas cebok gimana?!"

Sasi mengernyit dengan alibi yang mengada-ada dari Bagas, "dih, ya ngga mungkin lah! Wilang ngga sejorok a Bagas, apa sih?!" sewotnya membela Wilang, yang justru pemuda ini sudah sibuk mengartikan sikap sewot Bagas saat ini, sepertinya memang Wilang lebih pintar dan peka daripada gadis oon di sampingnya.

"Enak aja." Bantah Bagas.

Perdebatan panas itu harus terhenti karena suara seseorang yang menyeru, "ya Allah! Dari tadi dicariin ternyata ada disini!" geram Nawang berkacak pinggang melihat si bungsu nakal.

"Teteh? Nyariin Sasi?"

"Den," Wilang membungkuk sekilas pada Nawang, bersama Bagas yang mengangguk sopan. Lirikan mata Nawang melihat Wilang dan Bagas bergantian seolah sedang bertanya, *lagi pada ngapain bertiga*?

"Si, kamu teh gimana. Itu amih udah ngamuk nyariin kamu, bentar lagi kan kamu ngibing bareng penganten."

"Astagfirullah! Lupa teh!" Sasi segera menyeka mulutnya dan mencari minum.

"Maaf den. Saya yang ajak den rara ke pawon jadinya den nganten nyari-nyari den rara." Wilang buka suara sambil menunduk singkat.

"Iya. Ngga apa-apa Lang, lain kali kalau ada acara begini jangan dulu ngajak Sasi melipir." Angguk Nawang.

Bagas mengangkat alisnya, bukan salah Wilang apalagi Sasi, tapi salah dirinya. Tapi kenapa Wilang mengambil kesalahan itu untuknya?! Yang benar saja! Mau so jadi pahlawan buat Sasi?

.

.

.

.

Note :

...***Bisikan cinta menyanyikan kata rindu. Menyampaikan sajak merindu pada jiwa. Dek, pucuk cinta bersemi terkenang dalam rasa***....

~ Bagaskara Ragatan Niskala~

.

.

.

Hay kalean, ada yang sama kaya aku ngga? Kangen banget Sasi sama pacar aku...si anak *baong* (nakal) tapi hati selembut kapas. (Bagas) 😂😂 Abis dari Malang Kita kembali ke Bandung yu ahhh, kangen sama anak ningrat sekaligus kejelimetan aturannya.

Hipertenlove~ part 2

Sasi menggeleng, "bukan teh. Tadi Sasi yang minta anter Wilang kesini, soalnya a Bagas lapar. Sasi juga pengen makanin awug langseng ambu Darmi." akui Sasi.

Nawang mengangkat alisnya sebelah tanpa berkata lagi, "cepet. Amih udah nunggu dari tadi, nanti kamu kena semprot, termasuk Wilang."

Sasi mengangguk cepat, "iya. Lang, Sasi ke depan duluan. A Bagas hafal kan jalan balik? Sasi duluan..."

"Muhun den."

"Hafal." Singkat keduanya kompak.

Sasi berlalu mengikuti Nawang meski dengan hentakan manja-manja kesel, "kenapa Sasi sih teh, Sasi males ngibing!" omelnya terakhir kali terdengar oleh Bagas.

Wilang menaruh piring rotan yang masih menyisakan awug sisa Sasi tadi, enggan untuk menghabiskan, "akang kalo masih mau makan disini, mangga. Saya ke depan duluan kang." Wilang melengos meninggalkan Bagas, namun tak mau kalah, Bagas ikut keluar dari dapur.

....

Prosesi demi prosesi telah dilakukan, ada acara dimana pengantin perempuan menari bersama pengiring gadis lajangnya di depan suami dan keluarganya yang disebut ngibing.

Amih menarik stagen di badan bagian atas Sasi lebih kencang membuat anak bungsunya itu mengaduh sakit nan sesak, "aw! Sesek atuh mih, jangan kenceng-kenceng!" keluh Sasi tajam.

Tatapan amih tak kalah sengit menatapnya, "biar kenceng. Kebiasaan." Dumel amih menggerutu, "amih ngga suka kamu gitu neng, jangan sekali-sekali lagi. Kabur-kaburan gini, jadinya susah, jangan ngancurin acara yang udah disusun rapi, jangan bikin malu..." amih si perfeksionis mengomel sepanjang jalan kenangan, ia memasang perintilan ronggeng di badan Sasi senada dengan milik Asmi, bersama beberapa saudara sepupu lainnya disana.

Sasi hanya bisa pasrah dan terdiam saja sambil beradu pandang dengan raden rara Kemala, sepupunya yang hampir seumuran dengannya.

Beban yang ditanggung Sasi tak bisa lebih berat lagi, bukan karena pakaian atau hiasan kepala dan tiara yang dipakainya sebagai identitas diri, namun beban Asmi yang secara tak langsung kini dibebankan padanya.

Dengan tanpa alas kaki, ia bersama beberapa sepupunya keluar ruangan, "semangat Si....bi Sekar mah perfeksionis orangnya..." bisik Kemala menggandeng Sasi yang manyun.

"Bukan perfeksionis, tapi penjajah..."sanggah Sasi memancing tawa gadis ini.

"Udah, terima aja Si." ia menggandeng Sasi menuju aula utama. Dari ruangan lain yang ia lewati, Asmi keluar dengan pakaian yang sudah berganti bersama amih, sebelumnya ia sudah terlebih dahulu masuk ruang Asmi, tentunya hari ini ialah bintangnya.

Asmi tak bisa untuk tak meledakan tawanya melihat adik kecil nakalnya yang terkesan tomboy justru menjelma jadi ronggeng dadakan, "cieee, adek teteh jadi geulis gini euy! Kaya bidadari turun bukan dari kahayang..." cibirnya. (kahayang\=keinginan)

"Teh Asmi, selamat ya! Selamat menempuh hidup bauuu!" tawa Kemala, sementara Sasi masih manyun.

"Nuhun Mala, ngga aamiin ah, masa do'anya gitu..." cebik Asmi.

"Amih ke depan duluan," pamit amih senyum dan mengusap sayang Asmi, tersenyum pada Kemala dan menatap penuh pengawasan pada Sasi, "senyum neng, jangan cemberut kaya orang lagi dagang tutut!" omel amih.

Asmi terkekeh, ia paham betul apa yang dirasakan Sasi kali ini, "yakin aja. Amih ngga akan sekeras kaya ke teteh kemaren..."

Sadar jika obrolan ini bukan ranahnya, Kemala bergabung dengan dua sepupunya yang lain dan membiarkan Asmi bersama Sasi, "Mala duluan teh, Si..."

Sasi mengangguk bersama Asmi, "teh, Sasi jadi takut, kalo amih tobatnya tobat sambel. Sifat amih mah udah menda rah daging..." ucap Sasi, Asmi tersenyum dan menggeleng, "insya Allah engga. Ada teteh sama yang lain. Teteh rasa amih ngga akan terlalu ngekang, hanya mungkin amih akan tetap patuh aturan menak." pandang Asmi getir, tak dapat dipungkiri bukan hanya amih yang memiliki aturan mengekang, namun pula kodrat menak mereka.

Sasi menghela nafas dan membuangnya kasar.

"Teteh minta pisan sama neng Sasi. Anggap aja ngibing hari ini, adalah hadiah nikah dari neng Sasi buat teteh sama kang Alva..." pinta Asmi pada adiknya itu, ia tau Sasi lebih suka pencak silat ketimbang jaipong. Sasi mengangguk.

"Alhamdulillah, hatur nuhun den Sasmita..." ucap Asmi menarik adik kecilnya ke aula.

"Siap menunjukan bakat terpendam, neng?" tanya Asmi, Sasi menggidik acuh, "harusnya mah jangan. Nanti teh Asmi kalah pamor sama Sasi." jawabnya jumawa memancing tawa Asmi.

Degupan jantung Sasi begitu kencang seiras dengan suara pembawa acara saat memanggilnya, tepukan tangan membawa langkah Sasi dan yang lain ke area tengah aula dengan musik kendang bertalu-talu berirama dinamik.

Bagas membeku di tempatnya saat melihat 4 orang gadis keluar dengan melenggak lenggok penuh patahan dan goyangan luwes, bukan karena kecantikan dan tarian epic para gadis itu saja. Melainkan ia seperti melihat sosok lain seseorang yang membuatnya menganga tak percaya.

"Itu Sasi?" Ganis sampai terkekeh tak percaya, "meni lucu gitu, jagoan ternyata ih!"

Terlebih saat pandangannya dan pandangan Sasi bertemu, incredible! Sorot mata bocah cantik di depannya seperti mampu membius Bagas dengan aura kharisma ningratnya, menjerat seorang Bagaskara.

Disaat semua orang berseru karena bergabungnya Asmi sang pengantin, Bagas justru memilih mengunci sosok raden rara Arum Sasmita.

Ada pasang mata dan senyum yang mengurai hangat di sudut lain, "den rara Sasi..." gumamnya, tentu pandangan itu bukan hanya sekedar rasa kagum.

~3 tahun kemudian~

Trek...

Ia mematikan mesin motor koplingnya. Sepatu sneaker hitam beraksen putih dan merah itu menapaki jalanan beraspal setengah mendorong sepeda motor, meski si empunya tak turun dari jok.

Berulang kali si pengendara menguap sambil memajukan motor demi mencapai rumah.

Diliriknya jam di tangan yang melingkar di pergelangan sebelah kirinya bersama beberapa gelang handcraft buatan anak negri, ciri khas anak fakultas teknik sekaligus anak band.

Hufft! Hanya lengu han berat nan penat yang terdengar diantara sunyinya malam. Bahkan jangkrik dan binatang nocturnal saja sudah masuk kembali ke peraduannya mengingat waktu yang mulai tergelincir ke pagi lagi, siap memberikan rasa hangat sang mentari pada penghuni bumi.

"Jam setengah 3." Gumamnya tak bisa mengalahkan suara deritan engsel pagar besi yang sudah puluhan tahun menjadi garda terdepan rumah kediaman.

"Bun," ia mengetuk pintu rumah, lebih tepatnya pintu setengah kaca, meminta dibukakan oleh ibunya.

Tak cukup sekali, mungkin karena sudah terlalu malam ia pulang, orang rumah pastilah masih berada di alam mimpinya masing-masing.

"Bun," panggilnya lagi kaya anak ilang, kini dengan suara mendayu persis merayu tukang selemvvak, biar harganya turun dikit. Bagas cukup tau diri untuk tidak memancing kerusuhan dan amukan tetangga. Ia tak mau pagi pertamanya di hari itu dapet jackpot lemparan sendal jepit butut.

Cukup lama ia menunggu, sampai sempat untuk rebahan di kursi depan berteman dinginnya malam, bersama mata yang mulai mengantuk, sayup terdengar suara kunci diputar dan handle pintu yang terbuka. Ia mulai menyiapkan hati dan telinga untuk menerima omelan ibun Ganis.

Hampir dibuat terkejut, wajah bantal datar mpap rupanya menyapa penglihatan rabun ayamnya, Bagas dapat tersenyum lebar karena telinganya selamat dari penda rahan pagi-pagi.

Tak ada pertanyaan yang bikin Bagas berpikir keras diantara kesadaran yang sudah menipis apalagi tamparan di bahu yang bikin ia langsung ambruk kaya bangku usang, mpap cukup tau dan paham dengan kehidupan anak-anaknya, mengingat Bagas pun adalah seorang vokalis band lokal yang seringkali wara wiri mengisi konser-konser band ternama kota, tentunya beraliran cadas bukan pop-pop asarehe yang video klipnya cowok-cowok bermata sembab karena cinta.

Ngga ada sejarahnya, cowok mewek cuma karena cewek! Bagi seorang Bagaskara Ragatan Niskala.

Ia masuk ke dalam saat mpap kembali melengos tanpa keluar, "kunci lagi pintunya."

"Iya."

Matanya sekilas menangkap pemandangan mpap yang masuk kembali ke dalam kamarnya, lalu suasana kembali hening setelah itu, kaya kuburan.

Masih dalam hening, Bagas menaruh helm dan melempar kunci motor begitu saja di meja ruang tengah, kebiasaan buruk sejak dulu, nantinya ia sendiri yang akan heboh mencari-cari barang tersebut.

Bep!

"Ahhhh---" Bagas langsung menjatuhkan badannya di ranjang empuk nan nyamannya, dengan sprei antariksa favoritnya yang sudah ibun rapikan sebelumnya, ibun bahkan menyalakan obat nyamuk bakar di sudut kamar agar istirahat anak bungsunya itu tak terganggu oleh nyamuk nakal.

Hmmmm, lavender! Wangi menyengat yang kemudian menjadi pengiring Bagas ke alam bawah sadar setelah melepaskan sepatu dan kaos kaki tanpa mengganti baju terlebih dahulu, ia sangat...sangat lelah.

.

.

Hipertenlove~ part 3

Srekkk!

Tap---tap---tap....

Krekkk....Brak---

"Pulang jam berapa sih?"

Udara dingin kota Bandung masuk begitu saja tanpa salam, menyerbu kamar membuat Bagas menggeliat seketika dan tangannya secara otomatis meraba mencari-cari selimut, "jam kulit pecah-pecah..." paraunya menjawab, masih berupaya mencari selimut tanpa mau membuka mata yang begitu lengket itu.

"Tutup atuh bun, dingin ah! Dedek emesh alergi dingin." pintanya serak-serak sedalam sumur bor.

Ganis justru dengan sengaja membuka lebar-lebar kedua daun jendela kamar Bagas biar setan yang bersemayam di dalam pada minggat kena sinar matahari, "kalo panas bukan di Bandung, tapi di Merkurius..dedek emesh alergi udara atau alergi tabokan ibun?" jawabnya memungut jaket, kaos kaki dan sepatu Bagas yang berceceran persis jiwa anaknya yang satu ini.

"Ck," Bagas berdecak dan menggulung badannya dengan selimut, tak peduli apapun yang terjadi. Mau warga negara konoha jaipongan, atau spongebob pake kopiah terus masuk pesantren sekalipun, pokoknya ia masih mengantuk. Bagas bahkan sudah menutup kepalanya dengan bantal.

"Gas, ibun ijinin kamu jadi anak band tuh dengan syarat ngga boleh ganggu kuliah. Kenapa jadi gini sih? Sering pulang pagi, kaya sodaranya bang toyib...sore ngeband, siang ngeband, malem ngeband," cecarnya. Tunggu! Bukankah bang toyib ngga pernah pulang? Bagas menaikan alisnya sebelah meski matanya terpejam. Wanita yang terlihat awet muda di usia yang sudah bau bau kembang kamboja itu duduk di tepian ranjang samping Bagas, berusaha menarik bantal yang di tahan oleh Bagas.

Tak ada jawaban yang keluar dari putranya itu.

"Pulang malem terus, alesan karena ngisi konser, bukannya ibun ngga bersyukur band kamu kepake, banyak yang suka....tapi kalo ganggu kuliah ibun ngga suka. Prioritaskan pendidikan! Denger ngga?!" tarik Ganis dengan perasaan, sedikit celah ia dapat melihat mata Bagas yang tertutup.

Bagas bukan tak mendengarkan, hanya saja terlalu lelah untuk menanggapi, ia kemudian mele nguh berat dan sedikit demi sedikit memaksakan matanya untuk terbuka, "denger ibun anu geulis. Engga sampe ganggu kuliah kok. Hari ini kuliah jam 10, cuma 2 mata kuliah...jam 9 bangun, i'm promise." Kemudian Ia membalikan posisi tidurnya membelakangi Ganis.

"Ibun pegang janji kamu. Cari uang jajan boleh aja, tapi jangan keasyikan sampe lupa kewajiban." Ganis beranjak dengan membawa kaos kaki dan jaket kotor keluar kamar.

Ganis sangat hafal dengan watak ketiga jagoannya itu, satu sifat seperti Nata.

Ia membawa cucian kotor ke belakang, setidaknya ember cucian kotor sedikit berkurang sejak Alvaro menikah 3 tahun lalu.

"Abang kasih tau Bagas kek, jangan nge band malem terus. Ganggu kuliahnya tau!" ujar Ganis menaruh cucian ke dalam mesin, sembari terus mengomel sewot pada Wira yang menikmati pisang goreng bersama kopi susu di meja makan sambil nontonin kesibukan pagi-paginya Ganis, acara favoritnya melihat si cantik menggemaskan ini sedang berlakon sebagai ibu rumah tangga.

"Udah passion, susah. Yang penting dia bertanggung jawab." Balas Wira dengan santainya, jawaban yang terlampau kalem itu memancing dengusan kesal Ganis.

"Bapak sama anak-anak sama aja. Ngga bisa gitu dibilangin kalo ambil job manggung yang pagi, atau siangan...jangan yang sampe malem?"

Wira melirik si manis jembatan pasopati ini, pagi-pagi saja sudah pake kostum cotton candy, pinky girl memang identitas yang melekat di diri Ganis sejak dulu, "konser band cadas kebanyakan malem, ay. Tapi bandnya Bagas juga kan ngga jarang manggung sore, kalo siang atau pagi bukan band pembuka konser underground namanya, tapi ngiringin senam aerobik ibu-ibu komplek..." jelas Wira.

"Cih,"

.

.

Drrtttt....

Drttttt.....

Drrrtt....

Seorang perempuan berdecak kesal, seraya berharap penuh jika panggilannya akan diangkat oleh sang adik ipar, "akang! Ngga diangkat sama Bagasnya ih!!" teriak Asmi, lalu menaruh ponselnya begitu saja setelah mengetik pesan untuk Bagas dan kembali bersolek.

Teh Asmi

Gas, maaf lah...teteh mau minta tolong, jemputin Sasi di Bumi perkemahan Siliwangi lah nanti jam 2 siangan. Teteh sama akang lupa ada acara di gedung sate bareng amih sama apih. Punten ya, da ganteng Bagas mah, hihihi.

Bagas yang masih asyik berkelana di dunia mimpi akhirnya memaksakan diri untuk terjun bebas ke dunia nyata, menyadarkan diri dan membuka matanya dari nikmat tidur saat mendengar alarm yang sudah ia stel sebelumnya dari ponsel berdering kencang.

"Argghhh! Hoammmm...." ia menggeliat bak cacing kepanasan, setidaknya badannya sedikit segar dari rasa lelah dan berat meski kepalanya sedikit berputar mirip buah mahoni ketebak angin, mungkin nanti secangkir kopi bisa membuatnya segar. Ia menaruh bantal begitu saja dan mematikan alarm hape, alisnya mengernyit bukan karena silau lampu ponsel saja, melainkan membaca notifikasi pesan dari Asmi juga.

"Teh Asmi? Pasti nitip si bocil..." gumamnya berujar menyeringai, seperti seorang cenayang, ia dapat menebak isian pesan Asmi yang sudah pasti ngga jauh-jauh dari Sasi, si adik kecil yang sudah beranjak ranum. Entahlah! Bagas senang sekali dititipin dedek yang satu itu walau tak jarang banyak ngelus dadanya, apalagi sejak acara resepsi pernikahan Alva 3 tahun lalu, moment saat si bocah cantik itu menari lalu menariknya untuk menari bersama dengan selendang begitu membekas di hatinya.

Flashback on

Asmi menarik Alvaro dengan selendangnya ke tengah aula mengundang seruan heboh para tamu atas aksi pengantin baru itu, awalnya Sasi ingin menarik Wilang, namun rupanya Kemala telah menarik leher Wilang duluan dengan selendangnya.

Sasi cukup kebingungan menghentikan langkahnya, ingin menarik a Candra atau a Bajra, posisi mereka cukup jauh dan riskan jatuh karena di atas podium. Pilihannya jatuh pada Bagas yang berada di antara keluarga mempelai lelaki di depannya, karena tak mungkin ia menarik om Nata atau om-om kalem nan dingin yang akrab disapa om Andro.

Sasi mengulas senyum dan kekehan ciri khasnya, gigi kelinci Sasi menambah kesan greget di diri Bagas.

"Hayu ngibing sama Sasi, a..." ajaknya.

"Wohhhhhooo!" seru keluarga Ganis melihat Bagas dan Alva.

"Gue ngga bawa receh, Si..." balas Bagas.

Bugh!

Di tengah tarian Sasi mendaratkan pukulannya singkat di perut Bagas, "a Bagas hutang saweran buat Sasi...seblak mafia yang di Dipatiukur ya.."

Flashback off

Bagas menggeleng sambil terkekeh mengingat potongan moment itu, belum Bagas membuka notifnya ia memilih turun dari kasur, menggeletakan ponselnya begitu saja di atas ranjang. Dan keluar kamar menuju kamar mandi sambil membawa sebatang rokok yang ia masukan ke dalam saku bo xer, setelah memelo rotkan celana jeans yang menyisakan bo xer one piece sepa ha, menampilkan bulu kaki kelaki-lakiannya yang tak begitu lebat.

Rambut pendek yang lebat nan semrawut, t shirt hijau botol kusut dan sandal jepit rumah menjadi outfitnya bangun tidur pagi ini.

"Ibun, ibunnya Bagas makin hari makin cantik! Di dunia ini mah ngga ada yang lebih cantik dari ibunnya Bagas!" ocehnya pagi-pagi, menggegerkan penghuni dapur.

"Cih," decih Ganis sinis, seakan tau kelakuan putra bungsunya Ganis menggidik cuek, "ngga mempan sama gombalan buaya buntung. Maaf, pacar ibun lebih ganteng dari anak jahe kaya kamu!" jawabnya, namun Bagas justru melingkarkan kedua tangannya di perut Ganis dari belakang.

"Aduh wangi gini ibunnya Bagas." ia menyesap aroma khas ibunya di balik dress rumahan Ganis.

"Téké geura! Pacar ibun cemburu, minggir! Tuh, ngga liat matanya udah bawa-bawa golok?!" tunjuk Ganis dengan spatula pada Wira yang justru anteng saja melihat putranya menggombali istrinya.

Bagas terkekeh, "hebat! Ibun mah kebal gombalan, kalo gitu, nanti Bagas pijitin lah...." rayunya lagi.

"Mau apa kamu teh? Mau nyussuu, ngopi? Ngerayu-rayu gitu?!" tanya Ganis, Bagas tertawa menggumamkan sebuah kata, kopi... membuat Ganis menutup hidungnya dan mendorong wajah putranya itu, "ngga usah ketawa, bau! Heran da ibun mah, cewek-cewek ngejar kamu sampe pada nangis, ngeliat kamu dari apanya? Meni udah pusing ibun mah kamu bawa cewek gonta-ganti kaya ganti baju aja!" ia melepaskan pelukan putranya.

"Sembarangan, harusnya ibun bangga. Aura mpap nempel di Bagas! Gantengnya bikin apotek tutup!" jawabnya.

Geplak!

Ganis menampar pan tat putranya itu, "udah sana mandi, nanti telat!" usirnya membuat Bagas kembali tertawa lalu ia membungkuk demi mendekati api kompor dan menyalakan rokok langsung dari sumbernya, rasanya ia sudah tak kuat untuk segera nongkrong di weseee.

Bagas masih bisa melihat ibun yang ngomel-ngomel, tentang para gadis yang ngantri padanya, namun sekelebat pikirannya tiba-tiba mengingat Sasi, si gadis kecil yang entah sejak kapan sering mengusik ketenangan jiwa si pemain hati-nya.

Hm, ada begitu banyak alasan ia memilih menolak semua rasa itu, selain karena Sasi yang masih kecil termasuk status mereka yang notabenenya adalah adik-kakak.

.

.

.

.

Note :

▪》 Téké geura, like be....jitak juga nih!

▪》 anu geulis....Yang cantik.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!