Gadis berusia 22 tahun itu berjalan menyusuri lorong gelap di sebuah klub malam kenamaan ibu kota. Parasnya yang cantik dan menggoda menjadi pusat perhatian para pria yang bahkan sudah memiliki wanita tak kalah menawan disisinya.
"Hanna!" Gadis itu menoleh.
"Ya?"
"Yang bener, Mami bilang lo berhenti?" Tiara salah satu teman se-profesinya sebagai wanita malam menghampiri. Ya, wanita malam atau orang-orang zaman sekarang memanggilnya 'ani- ani', apapun itu sama saja, intinya dia bekerja dengan menjual dirinya demi uang, memberi kepuasaan kepada setiap pria hidung belang.
Gadis bernama Hanna itu mengibaskan rambutnya anggun "Ya," Jawabnya.
"Kenapa?"
Hanna terkekeh "Lo pikir gue mau disini selamanya?" Hanna menggeleng dengan jari telunjuk yang dia gerakan ke kiri dan ke kanan "Enggak." Dia bahkan menekankan kata- katanya.
"Terus hutang lo?"
"Hutang gue sama Mami hampir lunas, dan gue udah punya kerjaan lain, dan Mami bersedia ngelepasin gue asal gue cicil sisanya." Selama ini Hanna memiliki hutang demi pendidikannya, di tengah kejamnya dunia, Hanna berhasil bertahan dengan uang dari Mami Popy dengan imbalan dia harus bekerja sebagai ani- ani.
Ya, begitu kejamnya dunia hingga Hanna tak memiliki pilihan lain, selain menjatuhkan dirinya ke dalam lubang kenistaan.
"Beruntung banget lo. Terus kerjaan lo apa?"
Hanna mengedikkan bahu "Rahasia."
Tiara mencebik "Lo dobel beruntung kalau gitu." Dan Hanna hanya bisa menepuk pundak Tiara sambil bergumam "Ya."
Hanna tersenyum lebar lalu merangkul pundak Tiara "Ayo, gue traktir buat malam terakhir gue jadi ani- ani-nya Mami Popy." Hanna menggiring Tiara ke meja bartender.
"Jo vodka dua." Hanna menunjuk kedua jari tangannya pada pria muda yang langsung tersenyum ke arahnya.
"Gue denger lo berhenti?"
Hanna menopang dagunya tersenyum "Berita menyebar dengan cepat ya."
Jo terkekeh, pria itu menuang pesanan Hanna ke dalam dua gelas kecil dan menyimpannya di depan Hanna dan Tiara.
"Ya, dia tega banget ninggalin gue," Ucap Tiara.
"Gue berhenti bukan berarti gue gak kesini lagi, jadi ... Tenang aja, posisi quen masih gue yang pegang." Hanna mengangkat gelasnya dan menyatukannya dengan milik Tiara hingga menimbulkan bunyi 'ting' lalu meminumnya.
"Lo gak boleh lupain gue juga kalau gitu," Ucap Jo sebelum pria itu pergi melayani pelanggan lain.
Hanna melambaikan tangannya "Ayo menari, malam ini gue mau senang- senang," Ucapnya dengan segera menarik Tiara ke lantai dansa.
Hanna dan Tiara menari mengikuti alunan musik keras dan kencang, bergerak dan meliuk dengan gerakan tubuh yang begitu menggoda, membuat setiap pria yang melihat menahan liurnya dan mencoba menarik perhatiannya.
Hanna tak peduli, sesekali dia hanya menyesap minumannya lalu kembali menari. Biarkan dia hilang akal hari ini, sebelum besok dia menjadi waras. Lebih tepatnya pura-pura waras.
****
Seorang pria berjas formal melihat ke arah para rekan bisnisnya yang asik dengan para wanita di sebelahnya dengan tatapan jengah, lalu mengalihkan tatapannya pada sekumpulan manusia yang tengah menari di lantai dansa, hingga tatapannya beradu dengan seorang gadis bergaun merah yang tengah menari meliukkan tubuhnya dengan berani, tatapan gadis itu teralihkan namun, seolah telah terkunci tatapan pria itu tak lepas darinya. Senyum seringai menghiasi bibirnya lalu menggerakkan tangannya agar seorang pria di belakangnya mendekat "Ya, Pak?"
"Aku ingin dia," Tunjuknya pada gadis bergaun merah yang asik menari dengan sesekali menegak minumannya.
"Baik, Pak." Pria di belakangnya beranjak.
Mata elangnya masih mengawasi gadis itu hingga seorang bodyguard menghampiri dan terlihat berbisik, namun gadis itu menggeleng.
Beberapa saat kemudian si asisten kembali lalu berkata "Maafkan saya, Pak. Gadis itu sudah berhenti, dan berkata tak ingin melayani siapapun." Dia bahkan memesan langsung dari Mami Popy untuk memesan gadis itu tapi, Mami Popy bilang dia tak bisa memaksa, sebab dia bukan anaknya lagi.
Pria itu masih belum kehilangan seringaian di bibirnya, "Sungguh?" Tanyanya tak percaya, dia baru saja di tolak? Egonya tersentil, namun dia masih tak melepaskan tatapannya dari gadis itu.
Edgar Emilio Bastian, 35 tahun. Seorang pengusaha properti, juga bisnis pertambangan terbesar di Kalimantan, saat ini masih dengan serius menatap gadis yang baru saja menolaknya beberapa saat hingga dia memutuskan keluar dari klub malam kenamaan di Ibu kota tersebut setelah asistennya mendapatkan seorang gadis lain untuk dia sewa.
Mobil yang membawanya, keluar dari parkiran bawah tanah klub, dan melaju mulus menyusuri jalanan, hingga mata tajamnya melihat gadis bergaun merah yang baru saja menolaknya berjalan sempoyongan dengan menggoyang-goyangkan tas bahunya dan sesekali memegang kepalanya.
"Berhenti!" Titahnya dengan suara berat.
Mobil berhenti tepat di depan gadis itu.
Edgar menggerakkan kepalanya memberi isyarat ada asistennya untuk membawa gadis bergaun merah itu.
"Keluar," Ucapnya pada gadis di sebelahnya.
"Tapi, darl?" Gadis itu merajuk manja, tentu saja dia mengenal siapa gadis di luar sana, Hanna, saingan terberat para ani- ani. Dan dari yang dia dengar Hanna sudah berhenti, bagaimana mungkin dia masih kalah dengannya, bahkan saat dia sudah berhenti.
"Kau akan mendapat uangmu dengan penuh, Nona," Tentu saja bukan Edgar yang bicara, dia tak perlu repot untuk menyiakan suaranya.
Asisten Edgar membuka pintu dengan sebelah tangannya menarik tangan Hanna, lalu mendorongnya masuk setelah gadis tadi keluar sambil mengumpat kesal.
"Apa- apaan nih!" Teriak Hanna kesal, bagaimana bisa dia di seret paksa masuk ke dalam sebuah mobil.
"Berapa hargamu?" Hanna mengerutkan keningnya menatap pada pria yang duduk dengan tenang di sebelahnya.
"Oh, kau ingin menyewaku?" Hanna terkekeh "Kau yang hendak menyewaku tadi?"
Edgar diam dan hanya berkedip tenang menatap Hanna.
"Aku sudah bilang aku berhenti." Hanna hendak membuka pintu namun pintu terkunci.
"Sebutkan saja berapa hargamu?"
"Sudah ku bilang, aku berhenti! Sekarang buka pintunya." Meski sudah mabuk, terlihat gadis itu mempertahankan kewarasannya.
"10juta, 20 juta?"
Hanna menyeringai, "Sungguh, kau ingin menyewaku?" Hanna mengangguk "Berapa yang berani kau bayar untukku?" Jari lentik Hanna meraba dada Edgar dengan sensual "Dari pakaian formal mu kau seorang pengusaha, menurutmu berapa hargaku."
Edgar terkekeh "Beritahu aku berapa hargamu agar aku bisa menentukannya."
"Orang-orang biasa menyewaku lewat Mamy Popy, mereka membayar 20 juta untuk setiap transaksi."
Edgar mengangguk, dia juga mendengar jika klub itu terkenal bukan hanya kemewahannya, namun di belakangnya ada sebuah bisnis prostitusi yang berharga fantastis untuk setiap gadis, sebab terjamin kepuasannya.
Mata sayu Hanna memicing mengira pria di depannya akan menyerah, "Kalau begitu, aku akan keluar."
"50 juta, jika kau bisa memuaskan aku," Ucap Edgar masih tak melihat ke arahnya.
Hanna menaikan alisnya lalu mengulurkan tangannya "Setuju." Saat Edgar menerima jabatan tangannya, Hanna dengan cepat menaiki tubuhnya dan memiringkan wajahnya untuk meraih bibir pria itu.
....
Eng ing eng... aku datang lagi, maaf kalau ada typo ya, seperti biasa tes ombak🤗
Hanna terbangun dengan tubuh polos yang hanya di balut selimut putih, meremas kepalanya yang terasa berdenyut, sambil mengingat apa yang terjadi semalam.
"Oh my gosh, apa yang gue lakuin?" kilasan tubuh pria gagah ada di pelupuk matanya, pria itu memacu dirinya dan seolah tak lelah terus menghajarnya hingga berbagai macam gaya mereka lakukan, parahnya lagi Hanna juga begitu liar dan tak terkendali.
"Sialan." Hanna melihat ponselnya, tak ada transaksi apapun di m- bankingnya, begitu pun uang 50 juta yang pria itu janjikan "Aku di bohongi!" dengan kesal Hanna menurunkan kakinya, namun tatapannya justru jatuh pada sebuah kartu nama di atas nakas.
Hanna membelalakan matanya saat melihat siapa pria yang bersamanya semalam "Mampus!" dengan langkah cepat dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Dia lupa hari ini, hari pertamanya bekerja.
Setelah selesai dengan urusannya, Hanna segera pergi dan tak lupa mengemas kartu nama pria semalam ke dalam tasnya.
Hanna bergegas memasuki rumahnya dan mengganti pakaian, tak ada waktu untuk sarapan sebab dia sudah terlambat untuk memulai pekerjaannya, beruntung dia sudah mandi di hotel tadi.
Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, parahnya lagi dia harus terlambat karena mabuk dan menghabiskan malam panas semalam dengan pria yang tak seharusnya.
"Mati gue kalau sampai gue di tendang sebelum di terima di perusahaan itu." Hanna meremas tangannya dengan gugup.
Sudah begitu lama dia mengincar pekerjaan ini, hingga perusahaan tersebut kembali mencari seorang sekretaris baru untuk direktur utama.
Susah payah dia menyusun siasat untuk ada di posisi ini, namun karena kejadian semalam dia terancam gagal.
Bagaimana lagi, pria semalam adalah direktur utama perusahaan tersebut, dan tentu saja tidak akan ada yang mau menerima mantan pekerja malam, sebab akan mencoreng citra perusahaan tersebut, kecuali ... raut wajah gelisah Hanna hilang begitu saja, berganti dengan wajah angkuh penuh percaya diri.
Dengan langkah tegasnya dia memasuki lobi perusahaan dan bertanya ada resepsionis "Maaf, saya datang untuk bertemu HRD," ucapnya dengan senyum ramah.
"Oh, kamu Hanna." wanita bername tag Olive itu membuka daftar janji di mejanya.
"Ya."
"Baik, silahkan ke lantai 13 untuk menghadap Pak Reno, selaku HRD kami."
Hanna menatap lift lalu mengangguk "Makasih," ucapnya, lalu berjalan ke arah lift lalu menekan angka 13 dan pintu besi itu pun tertutup.
Hanna mengikuti petunjuk, hingga dia bertemu dengan Pak Reno yang langsung membawanya ke ruangan direktur utama, dimana dia akan menjadi sekretaris.
"Selamat siang Pak, saya membawa sekretaris yang lolos kemarin lalu," ucap Pak Reno.
Sementara Hanna melihat pria di depan sana duduk acuh sambil membuka dan meneliti berkas di depannya.
Kilatan semalam kembali muncul di benak Hanna, lalu dia mengerjapkan matanya, hingga suara berat itu terdengar.
"Sudah yakin dengan kemampuannya?" Pria itu mendongak, hingga tatapannya beradu dengan Hanna, lalu menarik sudut bibirnya.
Hanna membeku, lalu dengan segera memalingkan wajahnya.
"Tentu saja, Pak. Hanna ini lulusan terbaik jurusan sekretaris Universitas Nusa Bangsa," jawab Reno.
"Lulusan terbaik tak menjamin dia punya kemampuan saat berada di lapangan, Reno. Bagaimana jika dia hanya bisa mendesah saja?"
Hanna memicingkan matanya, sementara Reno menunduk merasa perkataan bosnya terlalu frontal.
"Anda bisa memberiku masa percobaan." Hanna menatap Edgar dengan penuh percaya diri.
Ya, pria di depan sana adalah Edgar Emilio Bastian, pria yang semalam menghabiskan malam panas dengannya, dan meninggalkan secarik kartu nama.
"Lalu jika kamu tidak berguna." Hanna masih bersikap tenang, pria di depannya bukan hanya suka berkata frontal, tapi juga sangat kasar.
"Anda bisa memecat saya, lagi pula saya tidak akan pergi tanpa membayar seperti seseorang." Edgar terkekeh.
"Baiklah, satu minggu. Kita lihat apa kemampuanmu hanya mengerang dan mendesah?" Edgar berkata acuh dan kembali bekerja tanpa peduli raut wajah kesal dari Hanna.
Reno sang HRD pun mengangguk dan pergi meninggalkan Hanna dari ruangan Edgar, sementara Edgar memanggil asistennya untuk mempelajari apa saja jadwal Edgar.
Hanna menatap meja yang baru saja di tata di ruangan Edgar tepat di depan meja Edgar, dengan jarak empat meter saja dari pria itu.
Hanna tak mengerti kenapa dia di tempatkan disana, dimana tak seharusnya dia berada. Dari yang dia dengar dari Dani asisten Edgar biasanya mereka akan di tempatkan di ruangan samping dimana Edgar bisa melihat dari dinding kaca searah.
Namun sekali lagi Edgar berkata dia ingin mengawasi Hanna dan melihat kemampuannya.
Hanna benar-benar bersikap profesional dan bekerja dengan bagus, dan Edgar yang mengawasinya merasa terpana dengan kepintaran yang di miliki Hanna.
Genap satu minggu Hanna bekerja, dan dia tak melihat gelagat jika Edgar akan memecatnya, pria itu memang tak memujinya terang- terangan, namun Hanna tahu jika pekerjaannya selalu bagus hingga tak mendapat komplain apapun dari Edgar.
Hanna menatap dirinya di cermin, jas press body dengan rok span di atas lutut hingga menonjolkan lekuk tubuhnya, dia tersenyum melihat tubuh tinggi langsingnya, tubuh yang selama ini dia gunakan untuk mencari uang, terlihat cantik dengan stelan kerja. Hanna masih menatap dirinya di cermin hingga Edgar keluar dari ruang ganti dengan stelan baru, sebab mereka akan pergi ke jamuan makan siang.
"Anda sudah siap, Pak?" Hanna meraih jas di gantungan dan dengan sigap menyampirkannya di bahu Edgar.
Hanna mempelajari ini satu minggu menjadi sekretaris Edgar, dia harus selalu sigap, lebih seperti asisten yang melayani Edgar.
Mata Edgar menatap Hanna dari atas ke bawah, lalu melangkah lebih dulu.
Hanna melangkah dengan langkah cepatnya mengikuti lebarnya kaki pria itu bergerak, hingga tiba di luar ruangan Hanna melihat Dani yang juga sigap mengikuti.
"Kau cantik hari ini," bisik Dani.
Hanna tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya.
Dani awalnya terkejut saat melihat wanita yang menghabiskan satu malam bersama bosnya menjadi sekretaris keesokan harinya. Namun, dia yang tak memiliki wewenang apapun memilih diam. Apalagi dia mengetahui tabiat Edgar selama ini.
Dari pintu lift yang mengkilat Edgar melihat interaksi tersebut dengan tatapan datar, lalu memalingkan wajahnya.
Tiba di restoran tempat jamuan makan siang, Edgar segera masuk di temani Dani dan Hanna di belakangnya.
Setelah melakukan beberapa sapaan pada rekan bisnis yang ternyata tak hanya satu, akhirnya Hanna berhasil melepaskan diri, dari yang dia lihat ini bukan jamuan biasa, bukan hanya satu dua orang yang hadir, ini lebih seperti pesta yang diadakan sebuah komunitas sebab ramai dan juga meriah..
Hanna menghampiri stand minuman untuk memesan segelas jus, mungkin karena bukan malam hari dan mereka juga harus kembali bekerja tak ada minuman beralkohol disana.
Hanna melihat ke arah Edgar yang masih sibuk berbincang dengan rekan bisnisnya, pria itu sangat serius mendengarkan.
Bibir Hanna menyeringai, dengan kaki yang dia silangkan dan punggung bersandar pada meja bar, dia menatap Edgar yang masih saja acuh tanpa melihat ke arahnya, hingga seorang pria menghampiri nya barulah Edgar mengalihkan mata elangnya
Mengalihkan tatapannya Hanna tersenyum pada pria di depannya "Hai."
***
Jangan di tungguin ya, ini update suka- suka.
T: Lah emang kapan gak up suka- suka?
J: Yah, namanya juga suka- suka aku😅
Hanna mengikuti Edgar memasuki lift. Setelah menghadiri jamuan makan siang mereka kembali ke perusahaan.
"Dani, naik lift lain," ucapnya saat Dani akan memasuki Lift.
Dani mengangguk "Baik, Pak."
Baru saja pintu tertutup, Edgar menarik Hanna dengan sekali sentakan dan mengurungnya dengan tubuh besarnya "Kau suka sekali pria kaya?"
Hanna mengerutkan keningnya, namun wajahnya nampak tenang "Apa maksud anda, Pak?"
"Kau sengaja menggoda para pengusaha disana tadi?"
Hanna terkekeh "Siapa yang tak mau pria kaya?"
Edgar mendengus "Asal kau tahu mereka sudah memiliki istri di rumah mereka."
Hanna mencebik "Memang Pak Edgar enggak?" Hanna menggerakkan jaringan di dada Edgar, yang terbalut stelan kerjanya "Tapi, Bapak juga melakukan itu, bercinta denganku."
"Maksudmu kau ingin menjadi simpanan mereka?"
"Kenapa tidak? Anda lupa apa pekerjaanku sebelumnya?"
Edgar terdiam. Ya, tentu saja Edgar ingat, itu sebabnya dia tak menyangka jika Hanna bisa memiliki kemampuan handal sebagai sekretaris, sebab pekerjaannya sebelumnya hanya sebagai wanita malam.
"Apa yang kau maksud?"
"Aku suka uang, aku akan melakukan apapun demi itu." Hanna mendekat dan berbisik di telinga Edgar "Termasuk menjadi simpanan."
Edgar terkekeh "Jadi, berapa hargamu?"
Hanna menghela nafasnya dan mendorong bahu Edgar "Satu hal Pak, aku tidak mau menjadi simpananmu."
"Kenapa?"
"Terakhir kali kau tidak membayarku, dan aku tahu pria sepertimu tidak mau rugi, tapi jelas aku tidak mau melakukan itu dengan geratis." Hanna menegakkan tubuhnya tepat saat itu pintu lift terbuka, dan dia keluar mendahului Edgar.
Di depan pintu Dani sudah berdiri menyambut Edgar, dia mengerutkan keningnya saat dia tiba lebih dulu padahal Edgar jelas masuk ke dalam lift sebelum dirinya.
"Dani besok persiapkan keberangkatanku dan Hanna ke Jepang selama satu minggu." Hanna menoleh pada Edgar.
"Hanya kita Pak?" tanya Hanna memastikan.
"Ya, Dani akan menghandle pekerjaan disini," ucapnya dengan raut datar seperti biasanya, tak ada seringaian seperti saat pria itu di dalam lift.
Hanna mengangguk "Baik, Pak. Kalau begitu saya akan mempersiapkannya."
Saat tiba di kantor, Edgar masuk bersama Hanna, sementara Dani tak ikut masuk sebab dia harus mengurus tiket serta kepergian Edgar dan Hanna besok.
Saat masuk ke dalam ruangan Edgar dan Hanna berkerja kembali, seolah apa yang mereka bicarakan di dalam lift tak ada artinya.
...
"Sayang kamu pulang?" seorang wanita baru saja keluar dari kamar mandi di kamarnya, rambut basahnya dia biarkan tergerai sementara tubuhnya hanya di tutupi handuk sebatas dada dan paha.
"Saya, Dani Nonya," ucap Dani yang baru saja selesai memasukan pakaian terakhir Edgar ke dalam koper.
Wanita itu mencebik "Mau kemana lagi dia?" tanyanya dengan memutar matanya malas.
"Pak Edgar akan berangkat ke Jepang besok Nyonya." Dani menutup resleting koper Edgar, "Kalau begitu saya permisi, Nyonya." Dani mengangguk dan pergi. Dani sudah terbiasa datang hanya untuk mengambil barang- barang yang di butuhkan Edgar. Bosnya yang memang jarang pulang, hingga dia yang mengurus semua kebutuhan Edgar di luar rumah.
"Katakan padanya, untuk pulang setelah dia selesai dari Jepang, kalau enggak, aku akan buat dia gak bisa ketemu Naomi lagi." Dani yang baru saja menyentuh pintu menoleh dan mengangguk.
"Akan saya sampaikan, Nyonya," ucap Dani. Setelah mengangguk hormat Dani segera keluar dari kamar tersebut.
Fransiska Disastro wanita yang akrab di panggil Siska itu menatap pintu yang tertutup dengan kesal.
Dia adalah istri Edgar selama sepuluh tahun, namun hingga kini dia tak bisa memiliki pria itu sepenuhnya. Tak jarang Edgar hanya pulang untuk melihat Naomi putri mereka yang kini berusia sepuluh tahun, lalu pergi lagi, tanpa peduli padanya.
"Menyebalkan, kalau bukan karena uang darinya yang sangat banyak, aku sudah meninggalkannya. Pria dingin yang tak punya hati." Siska melepas handuknya, hingga tubuh mulusnya terpampang di depan cermin "Apa dia pria impoten, dia tak tergoda melihat tubuhku?" jelas banyak pria yang akan tergiur sebab kulitnya masih kencang meski usianya sudah 35 tahun, wajahnya masih cantik bahkan terkesan 10 tahun lebih muda dari usianya.
"Tapi tidak mungkin kami menghasilkan Naomi kalau dia impoten, ish!" Sisca berdesis kesal, meraih pakaian di dalam lemari dia segera keluar dari kamar menuju lantai satu.
"Nyonya, Non Naomi berkata ingin anda jemput di sekolah." seorang pelayan menghampiri dan berjalan terburu-buru menyusul Sisca yang tak mau berhenti walau sebentar, hingga tiba di depan mobilnya.
"Kalau dia tak mau pulang dengan supir, tidak usah pulang saja! Merepotkan!" Tanpa peduli raut wajah pelayannya yang kecut Sisca memasuki mobil dengan mengampit ponsel di telinganya "Iya Jeng? Aku datang dong, masa arisan sebesar itu aku gak datang," ucapnya sambil menyalakan mobil mewahnya.
....
"Dia bilang begitu?" Edgar masih fokus dengan pekerjaannya tak menoleh sedikitpun saat Dani melaporkan perkataan Sisca tadi.
"Iya, Pak."
"Sekarang kemana dia pergi?"
"Nyonya pergi ke arisan sosialitanya, Pak" jelas Dani.
Edgar tersenyum mengejek "Dia pikir aku tak tahu apa saja yang mereka lakukan disana."
"Saya masih meminta Edi untuk mengawasi Nyonya, Pak."
"Hm, lanjutkan pekerjaanmu."
Setelahnya Dani keluar dari ruangan, menyisakan Edgar dan Hanna yang sejak tadi fokus pada pekerjaannya.
Mata Edgar kini beralih pada Hanna, dahinya nampak berkerut dalam membuat Edgar bersuara.
"Ada yang tidak kau mengerti?" tanyanya, hingga Hanna mendongak dan menatap Edgar.
"Tidak, Pak." Hanna kembali menekuni pekerjaannya dengan serius.
Edgar berdecak lalu banngkit dari duduknya "Kalau ada, lebih baik kau mengatakannya, karena aku tak menerima kesalahan sedikitpun." Edgar menundukkan wajahnya dan melihat layar yang sejak tadi jadi fokus Hanna, lalu mengerutkan kening saat pekerjaan Hanna tak ada kesalahan sedikitpun "Ini bagus, apa yang kau pikirkan?"
"Saya sudah bilang tidak ada." Hanna menoleh dan menemukan wajah Edgar sangat dekat, lalu tersenyum "Saya bukan hanya bisa menggoda dan mendesah, Pak. Saya juga bisa menggunakan kemampuan saya." Hanna bahkan rela kurang tidur demi bisa mencapai posisinya sekarang, kuliah sambil bekerja sebagai wanita malam, Hanna berjuang sangat keras hingga rasanya ingin mati, tapi satu hal yang selalu menguatkannya, ambisi dan tujuannya!
"Kau bisa mengandalkan ini, kenapa masih ingin menjadi simpanan?" dengan kemampuannya, Hanna bisa sukses tanpa menjadi simpanan pria kaya.
Hanna masih tersenyum "Sudah aku bilang aku suka uang." Cara bicara Hanna kembali non formal saat Edgar membiarkan hal di luar pekerjaan.
Hanna melihat jam di pergelangan tangannya "Sudah selesai," ucapnya, dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, lalu melipat kakinya hingga rok diatas lututnya terangkat menampakan sedikit paha mulusnya. Jam kerjanya sudah selesai.
Tepat disaat yang sama ponselnya berdering, mengabaikan Edgar yang masih berada di dekatnya, Hanna menerima panggilan tersebut.
"Ya?"
"Hanna malam ini gue tunggu di klub mami popy."
Hanna mengerutkan keningnya "Acara apa?"
"Lo tahu malam ini bakalan ada pesta para pengusaha kaya, lumayan kan bayaran mereka selalu gede." Hanna menegakkan punggungnya namun tatapannya masih tersenyum ke arah Edgar, dia yakin jika Edgar mendengar meski dia tak mengaktifkan pengeras suara, sebab pria itu masih berjongkok di depannya dengan menopang kedua tangannya di kursi yang dia duduki.
"Oke, gue dateng." Tatapan Edgar menajam, namun seolah tak peduli Hanna melanjutkan "Sisain satu buat gue." setelah itu Hanna menutup panggilannya.
"Jam kerja saya sudah selesai ya, Pak. Saya permisi pulang." Hanna merapikan barangnya dan memasukkannya ke dalam tas.
Edgar menegakkan tubuhnya "Kamu tahu tugas sekretaris itu bukan hanya bekerja lalu pulang saat jam kerja usai? Kamu juga harus menunggu aku pulang. Lagi pula besok kita akan ke Jepang, aku tidak mau kau terlambat karena mabuk."
Hanna menggeleng dengan tersenyum "Saya jamin saya tidak akan terlambat, lagi pula pekerjaan saya sudah selesai." Hanna tetap menghiraukan lalu berdiri, namun baru saja akan pergi Edgar menahannya.
"Kau ingin sekali menjadi simpanan? Bagaimana kalau menjadi simpananku?"
Hanna tersenyum semakin lebar "Sudah aku bilang, Tidak dengan anda, Pak." Setelah itu Hanna pergi dengan anggun, dia bahkan melenggokkan tubuhnya sudah seperti model yang berjalan di atas catwalk.
...
Komen...
Komen...
Komen...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!