Jessika membuka matanya perlahan. Sedetik kemudian, dia menyadari udara dingin yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Jessika bergeser sedikit, mencari posisi nyaman karena lehernya terasa pegal.
Langit di luar jendela terlihat kelabu, pertanda hujan akan turun sebentar lagi. Kabut tipis sudah hampir menutupi seluruh jalanan. Mobil minivan hitam milik ayahnya tengah melaju agak kencang, memecah keheningan jalan pegunungan sore itu.
"Cuacanya selalu buruk seperti ini," gumam laki-laki yang ada di belakang kemudi. Badannya sedikit membungkuk. Bahkan dadanya hampir menyentuh kemudi. Mata laki-laki itu menyipit, berharap bisa melihat jalanan dengan lebih jelas.
"Tidak selalu seperti ini, Pa," tandas wanita berparas ayu yang duduk di sebelahnya. "Dulu, tidak seperti ini." Wanita itu melempar pandangan ke luar jendela, memperhatikan sekeliling.
"Padahal tadi di kota, cuacanya sangat bagus. Tidak ada tanda akan hujan sama sekali."
"Papa tidak bisa menyamakan cuaca di kota dan di pegunungan," jawab sang istri. "Apa karena iklim sudah berubah, ya? Sepertinya akan ada badai lagi, setibanya kita di rumah Ibu."
"Hhh, bisa gawat kalau kita sampai terlalu malam."
"Bisa gawat juga kalau Papa ngebut dalam kondisi begini."
Jessika menutup matanya kembali. Suhu udara yang rendah membuatnya mengantuk. Namun, telinganya masih awas, mendengarkan percakapan orangtuanya di bangku depan.
"Sudah lama kita tidak berkunjung," Nadia--wanita cantik yang duduk di sebelah bangku kemudi--mengusap lengan suaminya. "Apa oleh-oleh yang kita bawa tidak terlalu sedikit?"
Husman tertawa kecil mendengar kekhawatiran istrinya. "Kalau Ibu mau, Beliau bisa membeli satu pulau dengan uangnya. Ibu tidak akan protes apapun yang kita bawa, karena Beliau sudah memiliki segalanya."
"Benar kata Papa," Nadia mengangguk setuju. "Ibu memang hebat. Di usia senja begitu, masih bisa mengurus peternakan dan perkebunan yang sebegitu luasnya."
Husman melirik ke arah kiri selama beberapa detik. "Tapi, aku tidak akan berubah pikiran untuk menolak semua warisan dari Ibu."
"Hahaha," tawa Nadia terdengar pelan. "Aku juga tidak mengharapkan itu, Pa. Semua yang kita miliki saat ini, sudah cukup. Asal kalian sehat, aku tidak mengharapkan apa-apa lagi."
Tangan besar Husman terjulur, membelai kepala istrinya dengan penuh sayang. "Terima kasih karena sudah menjadi istri yang baik. Kalau kamu imut seperti ini terus, bisa-bisa Jessika malah punya adik."
"Hust!" Nadia menepis pelan tangan suaminya, dan disambut tawa kecil. "Oh, ya! Apa Papa sudah bawa penghangat ruangan? Jimmy pasti tidak nyaman kalau kamarnya terlalu dingin."
"Sudah. Itu hal pertama yang Papa masukkan agar tidak lu-akh!"
BRAK!
Sebuah benturan kecil membuat mobil minivan Husman sedikit oleng. Nadia memegang dashboard ketika Husman buru-buru menepikan mobilnya. "Apa itu, Pa?"
Jessika yang saat itu setengah sadar, langsung terbangun karena kaget. Matanya langsung awas memperhatikan sekitar. Dia mengikuti arah pandangan ibunya ke luar jendela, meski hanya kabut tipis yang terlihat. Hari sebentar lagi petang.
"Ada apa, Pa?" terdengar suara berat dari sebelah Jessika. Kakak pertamanya juga terbangun.
"Papa juga tidak begitu yakin apa itu. Tapi, Papa menabrak sesuatu," jawab Husman seraya menarik rem tangan. "Papa akan periksa," tambahnya. Kemudian Husman langsung melompat dari bangku kemudi dan pergi ke bagian belakang mobil.
Jessika memutar kepalanya mengikuti gerakan Husman. Rasa kaget membuat jantungnya berdebar kencang. Dalam hati, gadis itu berdoa agar yang ditabrak ayahnya bukanlah manusia.
Hening menghampiri untuk beberapa detik. Semuanya menunggu kabar dari Husman. Tidak banyak kendaraan yang lewat di hari dengan cuaca buruk seperti sekarang. Apalagi, sebentar lagi matahari benar-benar akan tenggelam.
"Mama akan menyusul Papa sebentar," Nadia sudah siap membuka pintu mobil.
"Biar aku aja, Ma," Jessika mendahului dan segera turun. Begitu kakinya menyentuh rumput liar yang tumbuh di pinggir jalan, bulu kuduknya langsung meremang. Udara dingin menusuk hingga ke tulang-belulang. Detik itu, Jessika menyesal hanya menggunakan sandal jepit.
Dia melangkah kecil sembari memeluk dirinya sendiri. Rambut bergelombang sepanjang punggungnya, bergerak tertiup angin, membuat telinganya membeku. Jessika menyapu seluruh sudut yang bisa ia lihat.
"Ada apa, Pa?" tanya Jessika.
Husman menggeleng. "Papa tidak menemukan apapun," jawabnya. "Mungkin itu binatang berukuran kecil yang melintas."
Jessika tidak langsung menjawab. Dia masih melihat ke sekeliling mereka. Angin yang bergerak semilir, membuat dedaunan di pepohonan bergerak pelan. Hawa dingin semakin menyengat. "Aku juga nggak lihat apa-apa," Jessika menyetujui perkataan ayahnya.
Husman berjalan cepat menuju depan mobil. "Jes, kamu masuk saja duluan!" serunya dari arah depan. Sepertinya Husman ingin memeriksa bagian depan mobil karena sudah menabrak sesuatu. Mungkin saja tertinggal sedikit jejak di sana.
Jessika bergerak perlahan. Matanya masih mencari di sela-sela lebatnya pepohonan. Ketika gadis itu memutuskan untuk kembali ke dalam mobil, tiba-tiba dia melihat sebuah pergerakan di balik pepohonan yang berjarak sekitar seratus meter jauhnya. Jessika berhenti bergerak. Pandangannya terpancang pada siluet beberapa manusia yang tiba-tiba muncul.
Matanya menyipit, ingin melihat lebih jelas apa yang sebenarnya dia lihat. "Anak kecil?" gumam Jessika, ragu. Siluet itu berbentuk seperti manusia. Namun, Jessika yakin kalau itu bukanlah manusia pada umumnya. Ukuran mereka setinggi anak kecil dengan badan yang sangat kurus dan ukuran perut yang besar. Tangan makhluk itu sangat kurus dan panjang, hingga hampir menyentuh lutut mereka. Tidak ada yang memakai baju di antara mereka, hanya mengenakan celana putih sebatas paha, membuat Jessika semakin yakin kalau itu bukanlah manusia.
"Jes?"
Tepukan lembut mendarat di bahu Jessika, membuatnya berbalik kaget. "Kak Jim?"
"Kenapa lo malah bengong di sini? Ntar kesambet, lho!" ujar Jimmy dengan sebelah alis yang terangkat.
Jessika menoleh kembali ke arah dia melihat sekumpulan siluet tadi. Mereka masih ada di sana. "Itu apa, Kak?" tanya Jessika pada kakak sulungnya sambil menunjuk ke makhluk-makhluk yang membuatnya penasaran.
Jimmy mengikuti arah telunjuk adiknya. "Lo nunjuk apaan?"
"Itu, Kak!" Jessika sewot, kesal karena kakaknya malah seperti orang bego. "Yang berdiri di pohon-pohon itu!"
Jimmy balik menatap adiknya. "Mata lo minus, ya?" ledeknya. "Nggak ada apa-apa di sana, kecuali pohon. Udah, ah!" Jimmy mencengkram bahu adiknya, kemudian mendorongnya kembali ke mobil. "Dingin, tahu! Gue bisa pilek kalau lama-lama di luar!"
Rasa penasaran yang besar membuat mata Jessika masih terpancang pada sosok-sosok itu. Mereka masih di sana. Tidak bergerak. Seolah menunggu Jessika hingga pergi.
Saat akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dan deru suara mesin kembali terdengar, Husman membuka percakapan. "Kenapa kamu bengong, Jes?"
Jesika menoleh ke arah pepohonan kembali untuk kesekian kalinya. Hilang. Apa yang tadinya ada di antara pepohonan, raib bak ditelan bumi. "Aku lihat sesuatu di sana, Pa," jawabnya.
"Mungkin Jessika salah lihat. Tadi nggak ada apa-apa di sana," tandas Jimmy.
"Ngomongin apa, sih?" Janu yang sedari tadi tidak bersuara, akhirnya terbangun dari tidurnya. "Kenapa kita berhenti?"
Jimmy berdecak tidak percaya pada Janu. "Lo seriusan tidur dari tadi?"
"Ya, lo kira gue ngapain? Main catur?" sindir Janu.
Jessika tidak menggubris ocehan kedua kakaknya yang mulai berdebat di dalam mobil. Sementara itu, Husman menginjak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju rumah kayu berlantai tiga dengan halaman seluas lima are di depan dan belakangnya.
"Tidak usah dibahas lagi. Sepertinya tadi Papa cuma menabrak binatang liar. Mobil juga hanya penyok sedikit," Husman memutuskan untuk tidak membahas masalah itu lagi.
"Kita harus cepat sampai di rumah Nenek," tambah Nadia.
Jessika tidak bisa untuk berpura-pura tidak memikirkan masalah tadi, berbeda dengan kedua orangtuanya. Melihat segerombolan sosok aneh di antara pepohonan lebat, membuat pikirannya melayang. Ingatan itu masih jelas. Gambaran siluet mengerikan yang tidak seperti manusia, terus terbayang di kepalanya.
'Aneh,' batin Jessika. Dia mencari posisi nyaman untuk duduk. 'Gue nggak pernah lihat hal-hal aneh seperti itu sebelumnya. Kenapa tiba-tiba?'
Jessika menggeleng pelan sambil memejamkan matanya. 'Cuma kebetulan. Gue juga nggak yakin itu apa. Bisa saja itu benar-benar penduduk asli sana. Gue, kan, nggak pernah mampir di sekitar sini selama berkunjung ke rumah Nenek,' Jessika mencoba berpikir positif.
***
Hujan lebat turun, tepat ketika mobil minivan ayahnya tiba di gerbang rumah neneknya. Rumah itu tidak lagi sama seperti yang Jessika ingat. Ada beberapa bagian yang sudah dipugar dan cat rumah itu sudah diganti lagi. Terakhir kali dia berkunjung adalah saat ulang tahun neneknya, dua tahun lalu. Kebetulan, ulang tahun neneknya hanya berjarak dua minggu dengan ulang tahunnya.
Gerbang besi yang sudah berkarat itu, terbentang kokoh di depan mobil minivan, tidak bergerak sedikitpun walau terbentur lebatnya hujan. Matahari sudah menghilang sejak tiga puluh menit yang lalu. Kabut membuat perjalanan mereka lebih lama dari perkiraan. Nadia tidak henti-hentinya bersyukur karena mereka bisa tiba dengan selamat, meski terhadang kabut tebal dan hujan.
Husman meraih topi yang tergeletak di dashboard, lalu membuka pintu mobil, kemudian berlari cepat ke arah gerbang rumah. Hujan deras seketika membuat bahunya basah. Husman buru-buru meraih kunci gerbang dan membukanya. Bunyi decit karena karat yang bergesek, terdengar hingga ke dalam mobil. Gerbang itu terbuka dengan sedikit dorongan keras dari Husman. Begitu terbentang ruang yang cukup untuk mobilnya lewati, Husman kembali ke dalam mobil.
"Kalungkan ini!" Nadia menyodorkan handuk pada suaminya yang kembali ke bangku kemudi.
Husman menurut saja dan menyampirkan handuk kering itu mengelilingi bahunya. "Dingin sekali di luar," gumamnya.
Jessika menoleh, mendapati Jimmy tengah memakai jaket keduanya, lalu disusul dengan syal tebal. "Sudah bawa obat flu, Kak?" Jessika berbasa-basi.
"Selalu," Jimmy mengeratkan syal di lehernya. "Sebenarnya, gue paling nggak suka kalau sudah harus berkunjung ke sini," gerutunya dengan suara kecil, namun cukup bisa didengar oleh Jessika. Jimmy tidak mau kalau orangtuanya sampai mendengar dan merasa tersinggung karena ucapannya.
Jessika mengubah arah pandangannya ke luar jendela mobil. Halaman rumah neneknya dipenuhi dengan berbagai macam jenis bunga. Beberapa pohon besar menjulang tinggi di dekat pagar dengan jarak sekitar sepuluh meter antarpohon. Suasana hujan badai seperti sekarang, membuat pemandangan itu lebih terasa menyeramkan.
"Ibu masih suka merawat mawar rupanya," celetuk Nadia dari kursi depan.
Meski Nadi berkata demikian, Jessika malah merasa tidak nyaman. Umumnya, orang yang menyukai mawar akan menanam berbagai jenis warna mawar. Namun, neneknya hanya menanam satu jenis warna, yaitu motif mawar batik. Jesika tidak begitu menyukai kombinasi warna itu.
Setelah melewati hamparan mawar yang tumbuh di halaman depan, akhirnya mobil Husman berhenti di sebuah bangunan tua dengan dinding kayu berwarna cokelat cerah. Bangunan itu hanya terdiri dari tiga sisi dinding kokoh dengan atap genting tanah liat, tanpa pintu. Penerangan bangunan itu di dapat dari dua buah lampu redup yang menggantung di atap. Lampu-lampu itu bergoyang heboh terkena hembusan angin malam.
"Apa Nenek nggak niat memperbaiki garasi rumahnya?" Janu berkomentar dari tempat duduknya, setelah seharian menghabiskan waktu untuk tidur di dalam mobil. "Tempat ini seperti akan roboh!"
"Nggak baik bicara begitu, Jan," Nadia memperingati. "Ayo, turun dan cepat masuk rumah!" Nadia sudah duluan membuka pintu mobil, bahkan sebelum mesinnya dimatikan. Jessika buru-buru mengikuti ibunya.
Jessika tampak awas. Hujan badai berangin kencang membuat rambutnya tersapu ke segala arah. Dia segera mengikat rambutnya dengan asal. Suara geretak dinding kayu terdengar menakutkan baginya. Di dalam hati, Jesika setuju dengan perkataan Janu. Bangunan itu sudah reyot, berbeda dengan rumah induk. Meski hanya digunakan sebagai garasi, tempat itu akan membahayakan jika runtuh nanti.
Ketika hendak membantu ibunya menurunkan koper, tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang. Jessika mengusap tengkuknya, kemudian menoleh ke belakang. 'Gue parno sendiri, deh,' batinnya di dalam hati.
"Selamat datang!"
Suara serak rendah terdengar dari arah pintu kayu jati yang menghubungkan garasi dengan rumah utama. Pintu itu tampak kontras dengan bobroknya garasi tua. Jessika langsung tahu, siapa pemilik suara itu.
"Malam, Bu," Nadia menghampiri sambil menjulurkan tangannya, hendak salim.
"Mantu kesayanganku, apa kabar, Nak?" jawab Kemala ketika menantunya mencium tangannya. Dia mengusap-usap ujung kepala Nadia. "Sudah lama kalian tidak berkunjung."
"Maaf, Bu. Husman agak sibuk dengan kerjaannya," Nadia menjawab kalem.
"Bu," Husman sudah berada di belakang Nadia, menunggu gilirannya untuk salim. Janu dan Jimmy ikut antre. "Kenapa Ibu sampai keluar? Dingin sekali di sini," ujar Husman ketika tiba gilirannya.
"Mana mungkin Ibu tidak menyambut mantu kesayangan Ibu," jawab Kemala, masih dengan pandangan melekat pada Nadia.
"Nek," Janu mendapat gilirannya. Tanpa berbasa-basi, anak kedua keluarga itu langsung menyingkir begitu sudah salim. Kemala juga tidak terlihat ingin menimpali sikap Janu yang cuek. Beliau hanya melempar senyuman kecil.
"Apa kabar, Nek?" Jimmy yang berbasa-basi.
"Baik, Cu," Kemala hendak mengusap kepala Jimmy, namun segera mengurungkan niatnya. Beliau tampak ragu. "Kamu tambah tinggi, ya?" Kemala mengubah topik pembicaraan.
"Iya, Nek. Aku masih dalam masa pertumbuhan," Jimmy cengengesan.
Jessika mencibir kakaknya yang terlihat jelas bangga dengan tinggi badannya. Di antara ketiga bersaudara itu, memang Jimmylah yang paling tinggi. Sementara Jesika hanya setinggi ketiak kakak sulungnya itu.
"Jessi!" Kemala merentangkan tangan. Matanya berbinar saat bertemu pandang dengan cucu perempuannya. Bahkan pipi Kemala sampai mengembung karena tersenyum lebar.
Jessika balas tersenyum, kemudian menghampiri neneknya untuk memberi pelukan. Setiap berkunjung ke sana, Kemala tidak pernah absen untuk melimpahkan kasih sayang yang luar biasa besarnya pada Nadia dan Jessika. Tentu saja, Jessika tidak keberatan dengan hal itu. Apalagi, saat di rumah, dia hanya menjadi sasaran empuk Janu yang jahil.
Nadia pernah bercerita. Kemala bersikap seperti itu, karena hanya memiliki seorang anak laki-laki. Begitu Husman mengenalkan dirinya pada Kemala, semenjak itu juga Nadia menjadi menantu kesayangan Kemala. Lalu, itu berlanjut pada Jesika yang menjadi anak perempuan satu-satunya di keluarga itu.
"Pak Rum!" tiba-tiba Kemala berseru ke arah dalam rumah. "Biarkan saja koper kalian di sana. Pak Rum akan mengurusnya," ujar Kemala.
Nadia baru akan mendebat ketika Kemala sudah berbalik sambil menggandeng Jessika untuk masuk ke dalam. "Kasihan Pak Rum kalau harus membawa semua koper ini," Nadia berpaling pada Husman.
"Ya sudah, kita bawa saja koper-koper kita sendiri," jawab Husman sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum. "Kalian, bawa koper kalian masing-masing!" Husman berkata pada dua anak laki-lakinya.
"Enak banget jadi Jessika," Janu menggerutu seperti biasa. Namun, tetap saja dia menyeret koper miliknya. "Lo yang bawa koper Jessi!" dia menyodorkan koper berwarna merah muda milik Jessika pada Jimmy.
"Lo tega sama orang penyakitan kayak gue?" Jimmy mengangkat sebelah alisnya. "Malu sama badan lo yang gede!"
Janu membuka mulutnya untuk berdebat. "Nggak usah sok paling tersakiti! Lo harus bisa tanggung jawab sama adik-adik lo," bantah Janu.
"Janu," suara rendah Husman membuat Jimmy dan Janu menoleh. "Bawa koper Jessika!"
Janu memutar bola matanya, sementara Jimmy tersenyum mengejek. "Ya, Pa," dia pasrah, seraya menyeret koper milik Jessika dengan berat hati. Namun, beberapa detik kemudian, seorang laki-laki berumur enam puluh tahunan datang dengan langkah tertatih-tatih. Dia segera merebut koper Jessika dari tangan Janu.
"Biar saya saja, Mas," ujar Pak Rum sambil menunduk. Dia langsung berbalik tanpa menunggu jawaban dari Janu.
Janu dan Jimmy saling bertukar pandang, kemudian sama-sama mengangkat bahu mereka. Tingkah Pak Rum yang sedikit bicara dan kelihatan tidak bisa akrab dengan siapapun itu, sudah tidak asing lagi di mata mereka. Setiap kali berkunjung ke rumah nenek, Pak Rum hanya muncul di saat-saat penting. Misalnya saat menyiapkan makanan, atau ketika Kemala membutuhkan sesuatu.
***
Jessika mengerjap, terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Selimut membelit kakinya. Gadis itu mengusap-usap lengannya yang terasa membeku.
"Pantes aja dingin! Kagak selimutan!" rutuknya pada diri sendiri. Dia merasa sedikit kesal karena harus terbangun di jam dua pagi, apalagi di kamar yang asing baginya. Meski kamar pemberian Kemala tampak lega dan nyaman, Jessika tetap tidak terbiasa dengan suasana itu. Remaja belia itu merindukan kamarnya sendiri.
Jessika menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia menikmati kehangatan yang ada di dalam selimut itu. Hujan badai di luar jendela membuat suara-suara ribut. Jessika menyesal tidak meminta ibunya untuk tidur bersamanya.
Krrrriiieeettttt
Jessika membeku. Suara pintu terbuka membuatnya tidak berani berkutik. Jessika tahu, bahwa pintu kamarnya yang dibuka.
'Siapa?' batin Jessika dengan jantung yg berdegup cepat. 'Tidak mungkin Papa atau Mama yang datang. Mereka tidak pernah datang ke kamarku pada jam segini. Apalagi Jimmy atau Janu.'
Rasa takut menyelimuti Jessika. Namun, dia lebih takut lagi untuk menyingkap selimut yang menutupi wajahnya dan melihat siapa yang datang.
Ingatan tentang makhluk asing yang sempat dia lihat saat perjalanan menuju rumah Kemala, kembali melintas di kepalanya. 'Nggak mungkin!' jeritnya di dalam hati. Otaknya berputar dengan cepat, mencari segala bentuk kemungkinan yang bisa saja terjadi.
"Cucu... Cucuku sayang..."
Suara rendah nan lembut yang sangat Jessika kenal, melunturkan rasa takut yang tadi menyergap. Digantikan dengan rasa bingung. 'Nenek? Kenapa Nenek ke kamarku jam segini?' pertanyaan itu berputar di kepalanya.
Tidak ada kalimat jelas yang kemudian terdengar. Kemala mengeluarkan suara yang lebih seperti merapalkan sesuatu. Jessika tidak begitu mengerti, tapi dia menangkap kata-kata 'turunkan', 'penjaga', 'cucuku' dalam bahasa daerah yang sering neneknya gunakan jika bicara dengan para pekerjanya.
Setelah beberapa detik. Kemala diam. Jessika hanya bisa merasakan debaran jantungnya di telinga. Detik berikutnya, suara berisik dari luar jendela makin menjadi. Gemuruh petir bersahut-sahutan. Lalu, Jessika mendengar sorak-sorai orang-orang di kejauhan. Anehnya, sorakan itu makin lama malah terdengar makin mendekat, dibarengi dengan tepukan tangan yang riuh. Saat tepukan tangan tepat terdengar di sebelah telinganya, Jessika tidak tahan lagi dan memilih untuk menyibak selimut yang menutupi wajahnya.
"Pagi, Sayang!"
Nadia berdiri di dekat jendela, sambil meletakkan segelas susu hangat.
"Sayang sekali pagi ini masih hujan. Kamu main-main di dalam rumah saja dulu, ya!" tambahnya.
Jessika tidak bergerak dari tempatnya. Dia bingung sendiri. Gadis itu masih bisa merasakan keberadaan neneknya yang merapalkan sesuatu di sebelahnya. Suara ribut orang-orang yang bersorak dan tepukan tangan yang riuh juga masih jelas terngiang di kepalanya.
"Jes?" panggilan Nadia membuat Jessika tersadar. "Kenapa melamun?"
Jessika mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Udara dingin semalam bahkan masih membekas di telapak tangannya. "Masih kebawa mimpi, Ma," dustanya.
Nadia tersenyum hangat. "Kalau kamu masih mau lanjut tidur, boleh aja. Tapi diminum dulu susunya, ya! Udara lagi nggak bagus, jangan sampai kamu sakit gara-gara tidur dengan kondisi perut kosong," ujar Nadia sebelum berlalu dari kamar Jessika.
Jessika masih terdiam. Tidak ada yang berubah dari kamarnya. Tidak ada tanda-tanda adanya segerombol orang yang masuk dan membuat keributan. Jika benar itu adalah manusia, tentu Nadia atau Husman sudah bertanya padanya tentang apa yang terjadi malam tadi. Namun, ibunya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Remaja belia itu turun dari ranjang berukuran satu orang dan pergi menuju meja rias di dekat jendela. Hujan memang masih turun. Meski tidak sederas kemarin, pemandangan di luar sana tetap saja terasa menakutkan. Langit sangat kelabu. Sayup-sayup, terdengar gemuruh petir dari kejauhan. Jessika dapat melihat beberapa pekerja Kemala bekerja di bawah hujan, dengan hanya mengandalkan topi jerami.
Jessika menyesap susu hangatnya. Seketika, rasa dingin yang tadinya menyergap dirinya, menghilang begitu saja. Kedua tangannya melingkari gelas kaca yang susunya kini sudah habis setengah.
Tok! Tok! Tok!
"Jes!"
Suara Janu terdengar dari balik pintu. Belum sempat Jessika menjawab, daun pintu kamarnya sudah menjeblak terbuka. Jessika hanya bisa menghela nafas.
"Buruan bantu gue di dapur! Jimmy mau ambil alih!"
Jessika mengernyit. Dia merasa aneh. Bukan karena perkataan Janu, namun karena apa yang dia lihat.
Janu tampak bercahaya. Wajahnya bersinar cerah seolah ada lampu neon yang bersinar di belakang kepalanya. Jessika mengusap matanya keras-keras.
"Ngapain lo? Buruan bantu gue!" seru Janu kemudian melipir keluar kamar. Suara langkah kakinya menuruni tangga bahkan sampai terdengar hingga ke kamar.
Jessika buru-buru menghabiskan susu di tangannya. Dia menyusul Janu beberapa detik kemudian. Masih dalam kondisi bingung, Jessika berpapasan dengan Pak Rum.
"Astaga!" Jessika sempat mundur beberapa langkah. Matanya membelalak.
Pak Rum yang melihat cucu majikannya bertindak aneh, langsung mengernyit. "Ada apa, Non?" tanyanya dengan nada ketus.
"Ah... Nggak apa-apa, Pak! Maaf, saya kaget karena baru bangun tidur," dustanya, dan langsung pergi dari hadapan Pak Rum.
Sesampainya di dapur, Jessika menyaksikan kedua kakaknya sedang beradu mulut sambil memperebutkan sebuah wajan. Jessika mengusap matanya lagi. Ternyata, apa yang dia lihat sebelumnya, bukanlah sebuah halusinasi. Janu memang bersinar. Bahkan sinarnya sangat menyilaukan.
"Jimmy?" gumam Jessika saat melihat kakaknya yang lain.
Berbeda dengan Janu, Jimmy tidak bersinar. Jimmy memancarkan cahaya putih, namun redup dan bercampur dengan warna abu-abu.
"Jes! Sini, buruan! Kakak lo, nih!" panggil Janu yang menyadari keberadaan Jessika.
"Jes, gue udah belajar masak! Lo tahu sendiri, kan?" Jimmy membela diri. "Gue bisa buat nasi goreng spesial!"
"Nasi goreng lo pakai gula!"
"Gue udah bisa bedain garam sama gula!"
Dua orang chef yang sedaritadi berdiri di pojok dapur, ikut bingung melihat perselisihan cucu majikannya. Jelas sekali terlihat di wajah mereka, kalau sebenarnya mereka ingin membuat sarapan secepat mungkin, namun diganggu oleh Jimmy.
"Kalian ini, masih pagi udah debat nggak jelas!" sahut Jessika. "Gue nggak mau makan masakan kalian berdua! Lagian, Nenek punya chef yang masakannya lebih terjamin nggak beracun!" Jessika menarik lengan baju kedua kakaknya untuk menjauh dari dapur, memberikan ruang pada ahlinya. "Kalian duduklah dengan tenang di ruang makan! Jangan ganggu orang lain kerja! Dan gue masih ngantuk untuk terlibat dalam pertengkaran kalian!"
Jessika memutuskan untuk tidak menghiraukan apa yang baru saja dia saksikan, walaupun rasa penasaran di kepalanya sangat besar.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!