Lovy memasukkan motor bututnya ke dalam garasi. Terik matahari terasa sangat menyengat siang ini. Dia pun membuka sepatunya dan menapakkan kaki ke pintu dapur.
Di buka kulkas dan di tuang air es ke dalam gelas. Lalu di teguknya sampai habis. Hilang sudah dahaganya.
Ku langkahkan kaki ke kamar mandi untuk cuci muka yang terasa penuh dengan debu. Terasa segar saat air itu menyentuh wajahku.
Perutku terasa sangat lapar. Aku buka lemari makan, namun tak ada apa apa. Aku buka juga penanak nasi, tapi tak ada sebutir nasi pun di dalamnya.
Sementara dari dalam terdengar suara beberapa orang sedang berbicara. Termasuk suara mama.
"Lovy.. Di panggil mama.." suara Loly yang terdengar angkuh.
Loly adalah saudara tiriku. Almarhum papa yang dulu statusnya duda menikah dengan mama tiriku yang berstatus janda. Usiaku dengn Loly hanya berpaut satu tahun
"Iya bentar.." jawabku
"Lelet amat sih.." sahutnya ketus.
Aku malas berdebat dengannya. Dengan langkah gontai aku menuju ruang tengah. Ku lihat ada seorang laki laki di sana dengan beberapa tumpukan kertas di atas meja.
Laki laki itu tersenyum, " hai Lovy..."
Aku pun membalas senyumnya. Lalu duduk di antara mereka. Ada apa ini..?, tidak seperti biasanya.
"Saya Tio, pengacara papamu. Dan hari ini sesuai dengan wasiat yang dulu pernah di buat oleh almarhum papamu, maka om akan membacakannya.."
Lovy mengangguk, "silahkan om.."
Kami mendengarkan dengan seksama ketika om Tio membacakan surat wasiat yang telah di tulis oleh papanya. Wasiat itu akan di baca ketika Lovy telah dewasa atau telah tamat sekolah.
Om Tio membacakan warisan yang akan di terima oleh Lovy, berupa tabungan yang memang sudah di siapkan oleh papanya tanpa sepengetahuan mama tirinya.
"Dan karena rumah yang kalian tempati merupakan milik orang tua mama tirimu, maka kamu tidak dapat menuntut hak waris atas rumah ini. Tetapi kalau mama tirimu mau berbagi denganmu itu wewenang dia.."
Lovy mengangguk tanda mengerti. Mungkin karena rumah ini milik ibu mama tiriku, pantas saja mereka bertindak sesukanya.
Tanpa banyak basa basi mereka pun menanda tangani surat persetujuan. Om Tio pun pamit. Meninggalkan Lovy di antara dua singa.
Lovy memegang sebuah amplop berisi buku tabungan yang di wariskan papa untuknya. Dia tak berani bertanya berapa jumlah yang di terimanya.
"Kamu udah dengar kan apa yang di bilang sama si Tio tadi..?, kamu gak punya hak di rumah ini. Jadi aku mau kamu pergi dari sini.. Aku gak mau menampung orang yang gak punya pekerjaan jelas kayak kamu.." ucap mama tirinya ketus.
Lovy tersenyum sinis, "santai aja ma.., gak usah terlalu ngegas kayak gitu. Tanpa di minta, Lovy akan pergi kok.."
Aku pun masuk ke dalam kamar, segera aku berkemas memasukkan pakaian dan beberapa berkas penting ke dalam tas. Untung saja barangku tak banyak.
"Silahkan jadi gembel dan pengamen di jalanan Lovyta..." ucap Loly dengan nada mengejek.
"Yoiii..., pengamen elit.." jawabku tak mau kalah.
Dengan langkah santai ku tinggalkan rumah ini. Masih jam dua siang. Aku segera meluncur ke sebuah bank untuk memutasikan tabungan yang di wariskan oleh papa.
Pelayanan pihak bank sangat baik, tak butuh waktu lama aku sudah mempunyai rekening sendiri. Dua ratus juta, cukup lah untuk bekal hidupku.
Perutku yang lapar memaksaku berhenti di sebuah warteg. Perutku sangat lapar. Aku pun memesan nasi dengan ayam goreng kesukaanku.
Handphone-ku tiba tiba berbunyi. Ku lirik siapa yang meneleponku. Ternyata om Burhan, teman papaku dulu.
"Ya om..." sahutku.
"Kamu dimana Lovy?, barusan om ke rumah, kata mamamu kamu pergi.."
"Lagi di luar om, ada apa..?" tanyaku
"Bisa kamu ke rumah..?, ada yang penting.."
"Bisa om.. Lovy langsung ke sana.." jawabku.
Aku segera meluncur ke sana setelah membayar makananku. Om Burhan lah satu satunya teman papa yang masih ada.
Om Burhan langsung melambaikan tangannya ketika melihat aku datang. Dia sedang asik memberi makan ikan ikan koi-nya. Aku pun menghampiri om Burhan lalu mencium lengan punggungnya.
"Apa kabar om..?, maaf Lovy udah lama gak ke sini. Soalnya kemaren baru selesai ujian.." ucapku.
"Gak apa apa.., kok kamu bawa tas gede banget..?, mau kemana..?" tanya om Burhan sambil melirik motor bututku.
"Uuhmm.. , mama ngusir Lovy.." jawabku singkat.
"Loohh..., gimana ceritanya..?" tanya om Burhan
Aku menceritakan apa yang baru saja terjadi. Om Burhan sangat terkejut mendengar ceritaku.
"Terus kamu mau kemanaa...??" tanya om Burhan.
"Cari kost om, Lovy kan udah tamat sekolah. Udah bisa kerja. Lagian kan ada uang peninggalan papa. Mungkin kalau cukup Lovy mau beli sepetak rumah.." jawabku.
"Punya niat ke luar negeri gak..?" tanya om Burhan sambil tersenyum.
Aku langsung tertawa, "om Burhan aneh.., kok tanya kayak gitu..?"
Om Burhan pun ikut tertawa, "om tanya serius.."
Ku pandang wajah om Burhan, terkadang om Burhan suka ng-prank. Kadang becandanya juga kelewatan.
"Hmmm... Kalau ada tujuan yang jelas, boleh juga sih.." sahutku santai.
"Kamu udah punya KTP kan..?" tanya om Burhan lagi.
Aku mengangguk, "udah om.."
Lalu om Burhan masuk ke dalam. Tak lama dia kembali membawa sebuah map besar. Dan menyerahkan padaku.
"Buka lah.."
Aku membuka map besar itu. Ada beberapa lembar kertas. Ku baca satu persatu. Mataku berbinar setelah membaca lembar pertama.
"Ini beneran om...???" tanyaku tak percaya.
Om Burhan mengangguk, "baru kemarin tiba, maaf om buka terlebih dahulu.."
Aku berlonjak kegirangan setelah tau apa yang tertulis. Aku akan mengejar mimpi dan mewujudkannya. Akan ku buktikan pada dunia, dengan bermusik aku bisa
"Kamu gak usah cari kost, untuk sementara tinggal di sini aja.." ucap tante Ratna istri om Burhan.
"Makasih banyak tante.., maaf kalau Lovy merepotkan.." sahutku.
Tante Ratna tersenyum, "papa kamu dulu juga banyak bantu kami kok.."
Aku tersenyum mendengarnya. Tante Ratna yang baik, om Burhan juga. Mereka dulu sering ke rumah sewaktu papa masih ada. Tapi semenjak papa meninggal tiga tahun lalu, hanya sesekali mereka mengunjungiku.
"Kak Lovy mau keluar negeri ya...?" tanya Luna
"Iyaa.. Mau lanjut kuliah di sana.." sahutku
"Kuliah musik..?" tanya Luna lagi.
Aku pun mengangguk. Usianya yang lebih muda delapan tahun dariku, namun terlihat Luna sangat pintar.
"Kak Lovy di sana sama siapa..?" tanya Luna lagi.
"Sendiri.., memang kenapa..?, Luna mau ikut..?" aku balik bertanya.
"Kak Lovy gak takut sendiri..??, nanti ada hantuu..." ucap Luna.
Aku dan tante Ratna tertawa. Ada ada saja kelakuan Luna.
"Kita siapin makan, ayo Luna, bantu mama bawa piring..." ucap tante Ratna.
Kami makan malam penuh dengan kehangatan. Om Burhan yang memimpin doa. Harmonis sekali keluarga ini. Terselip dalam hatiku rasa cemburu melihatnya.
...****************...
"Besok, om antar kamu urus paspor. Om udah telepon teman di kantor imigrasi agar di bantunya..." ucap om Burhan setelah makan malam.
"Terimakasih banyak om udah mau bantu Lovy.." sahutku.
Om Burhan banyak memberi arahan apa yang harus aku lakukan di sana. Tak pernah ku bayangkan sebelumnya, aku harus terbang jauh untuk menggapai mimpiku.
Dan aku pun tak pernah membayangkan, aku berhasil mendapat beasiswa itu. Universitas Art Musically di Greenville, salah satu kampus yang sudah di akui dunia untuk jurusan seni dan musik.
Aku akan mewujudkan mimpiku di sana. Akan ku buktikan pada mama tiriku dan Loly, bahwa musisi juga bisa hidup senang dan bergelimang harta.
...****************...
Om Burhan membantu memasukkan koper di bagasi belakang. Mereka yang akan mengantarku ke bandara. Aku akan terbang menjemput mimpi.
"Periksa lagi semuanya Lovy, jangan sampai ada yang ketinggalan.." ucap tante Ratna mengingatkan.
"Udah tante.." sahutku.
Sepanjang jalan tante Ratna menggenggam tanganku. Dia kembali memberi nasehat. Aku mendengarkannya dengan baik. Baru kali ini aku mendapat nasehat seperti ini. Dari orang lain, aku pun terharu mendengarnya.
Mungkin ini semua sudah takdir, takdir yang harus aku jalani. Dan ini semua keputusan yang aku buat. Keputusan yang di dasari akan kecintaanku yang besar terhadap musik.
"Kamu baik baik di sana ya..." ucap tante Ratna sambil memelukku.
"Baik baik ya Lovy.., hati hati nak di negeri orang. Ingat pesan om, ada apa apa segera hubungi KBRI..." pesan om Burhan.
Aku mengangguk, mataku berkaca kaca. Betapa tulusnya mereka. Aku meraih punggung tangan mereka satu persatu. Lalu meletakkan di keningku.
"Lovy pamit om.., tante.. Salam untuk Luna ya..." ucapku berusaha tersenyum.
Keduanya membalas senyumku dan mengangguk. Dengan penuh keyakinan ku langkahkan kaki menuju pintu ke pesawat yang akan membawaku terbang.
Dari balik dinding kaca, ku lihat mereka masih berdiri di sana. Aku melambaikan tangan dan mereka membalas lambaian tanganku.
Aku hanya memohon pada Tuhan agar aku mampu menjalani semua ini. Aku hanya seorang perempuan yang tak punya siapa siapa. Aku hanya makhluk yang lemah.
Di dalam pesawat aku menatap keluar jendela. Awan putih tanpa noktah. Langit biru yang terhampar sejauh mata memandang.
...****************...
"Kasihan Lovy ya mas..." ucap tante Ratna saat berjalan pulang.
"Almarhum papanya memilih pasangan yang salah. Lovy tak tau apa apa. Padahal setiap bulan ibu tirinya menerima royalty 100 juta dari semua lagu yang di ciptakan papanya..." sahut om Burhan
"Benarkah...??" tanya tante Ratna sedikit terkejut.
Om Burhan mengangguk, "tapi ibu tirinya serakah dan tamak. Lovy tak pernah merasakan hasil jerih payah papanya.."
"Tapi, dia tangguh seperti papanya.." sahut tante Ratna.
"Aku juga yakin dia bisa meraih mimpinya. Dalam segala hal dia mirip papanya. Di usia yang masih belasan, dia sudah piawai main gitar, piano, suling dan biola.." sambung om Burhan
"Mudah mudahan saja, apa yang di inginkannya tercapai.." tante Ratna menimpali.
Doa doa mereka yang menjulang tinggi, setinggi burung besi itu membelah angkasa membawa Lovy ke tempat barunya
Perjalanan panjang sepuluh jam membawa Lovy ke tempat baru. Terasa sangat asing baginya beberapa pasang mata memandangnya. Mungkin aneh bagi mereka melihat orang Indonesia dengan warna kulit coklat yang mencolok.
Petugas bandara dengan sangat ramah memberi petunjuk padanya dimana harus menunggu taksi. Ternyata ada juga taksi online di sini, yang memudahkannya menuju tempat yang di inginkan.
Musim gugur yang indah. Udara yang tak begitu panas seperti di Jakarta. Sepanjang jalan dia memperhatikan beberapa tempat. Dia pun mengingat tempat tempat itu di dalam benaknya.
"Anda sudah sampai nona..." ucap pengemudi taksi dengan ramah.
Aku langsung membayar ongkosnya sambil tersenyum. Supir taksi itu membalas senyumnya lalu pergi meninggalkan Lovy.
Tujuan utamanya adalah KBRI. Dia harus melaporkan kehadirannya.
"Maaf, saya ingin bertemu dengan pak Tomo.." ucap Lovy dengan sangat sopan.
"Kamu Lovyta..?" tanya sang resepsionis ramah.
Lovyta mengangguk, "iya.., saya Lovyta..."
Sang resepsionis langsung membawa Lovyta ke sebuah ruangan. Isi dalam gedung ini Indonesia sekali. Banyak pajangan dan hiasan dinding yang mewakili Indonesia.
"Silahkan..." ucap sang resepsionis sambil membuka pintu.
Lovyta mengangguk. Lalu duduk di kursi dalam ruangan itu. Tak lama seorang laki laki masuk. Dan langsung menghampiri Lovyta.
"Selamat datang Lovyta.., barusan pak Burhan sudah menelepon. Dia bercerita banyak tentangmu. Oia, untuk sementara kamu bisa tinggal di asrama. Sampai waktunya kamu masuk kuliah.." ucap pak Tomo.
"Terimakasih banyak pak Tomo. Awalnya saya agak sedikit bingung mencari tempat tinggal. Mungkin sampai beberapa minggu akan tinggal di sini sampai saya dapat tempat tinggal.." sahut Lovyta.
Pak Tomo mengantar Lovyta ke asrama khusus untuk warga negara Indonesia yang baru pertama kesini. Dia menjelaskan banyak hal tentang tempat ini.
Tak hanya itu, dia juga menjelaskan kemana Lovyta harus melapor jika terjadi apa apa atau dia membutuhkan bantuan. Juga tentang peraturan yang di tempat ini.
Sebuah kamar yang tidak terlalu besar. Tapi cukup baik untuk di jadikan tempat tinggal sementara. Satu kamar hanya di isi oleh satu orang. Dan kebersihan tempat ini patut di acungi jempol.
Lovyta hendak keluar untuk berbelanja membeli kebutuhannya.
"Anak baru ya..?" suara seorang di sampingnya.
Lovyta mengangguk dan tersenyum. Gadis yang menyapanya lalu menghampiri.
"Kamu mau jalan jalan..?, sama aku aja.." ucap gadis itu yang bernama Rema.
"Uuhhmm.. Boleh juga.." jawab Lovyta.
Rema pun berjalan bersama dengan Lovyta. Ternyata Rema baru sampai dua hari yang lalu. Dia di sini bekerja. Tapi baru mulai minggu depan.
Mereka berjalan bersama menyusuri jalan kota kecil ini. Kota kecil yang luar biasa. Semua tertata rapi. Tak ada satu pun sampah yang terlihat di sepanjang jalan atau di fasilitas umum.
Mereka bersama menuju sebuah pusat perbelanjaan. Lovyta kagum melihat betapa disiplinnya warga di sini. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang.
"Di sini kebanyakan orang jalan kaki atau naik sepeda. Makanya polusi udara sangat sedikit.." ucap Rema.
Lovyta mengangguk. Sangat jauh berbeda dengan di Indonesia. Dimana semua berlomba lomba untuk memiliki kendaraan sendiri sebagai bukti keberhasilan mereka. Atau hanya sekedar gengsi.
"Di sini juga tingkat kriminal rendah. Kita berjalan di tengah malam pun aman aman saja. Bahkan petugas kepolisian selalu standby.." ucap Rema.
"Ada tempat khusus untuk kumpul orang Indo..?" tanyaku.
"Pasti ada.. Sebuah resto kecil.. Kita kesana yuk.." ajak Rema.
"Aku traktir kamu deh makan di sana.." sambung Lovy.
"Terserah kamu.." sahut Rema.
Sebuah rumah yang di sulap menjadi sebuah restoran kecil. Terasa seperti di negeri sendiri. Oma Lani si pemilik sudah membuka restorant ini lebih dari tiga puluh tahun.
"Biasanya di sini tempat kita berkumpul. Kadang juga tempat diskusi, bahkan tempat curhat.." ucap oma Lani menyambut mereka.
Oma Lani sangat ramah dan terlihat sedikit kocak. Aku dan Rema berbicara panjang lebar. Tentang latar belakang kami menginjakkan kaki di tempat ini.
Rema yang menjadi tulang punggung keluarga terpaksa harus melanglang buana menjadi TKI. Tapi semua itu tidak menjadi beban baginya.
"Seru sih.. Aku bisa kemana pun aku mau.., malah aku merasa nyaman dengan semua ini. Targetku sampai usia tiga puluh atau empat puluh tahun. Setelah punya tabungan yang cukup aku akan berhenti bekerja.." sahut Rema.
"Ini pesanan kalian..." ucap oma Lani sambil meletakkan makanan di atas meja.
"Kalau kalian butuh sepeda atau info kost, oma siap bantu.." sambung oma Lani.
"Terima kasih oma, mungkin besok..." sahut lovy.
"Jangan menunggu, lebih cepat lebih baik.." jawab oma Lani kemudian.
"Tapi belanjaanku banyak oma, kan gak mungkin di bawa kemana mana.." sahut Lovy kemudian.
"Kamu bisa titip di sini sampai kamu kembali..." jawab oma Lani sambil tersenyum dan kembali ke tempatnya.
Aku dan Rema saling pandang. Kami pun langsung menyantap makanan yang sudah siap mengisi lambung yang kosong. Tanpa perlu waktu lama kami siap meluncur menyusuri tiap sudut kota ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!