"Hum, sekarang anak Mama udah cantik dan wangi."
Cinta tersenyum menatap putri kecilnya. Laura, balita berusia 18 bulan itu terlihat sangat menggemaskan dengan mengenakan dress berwarna pink dan bando berwarna senada.
Cinta kemudian menyiapkan segala keperluan Laura sebelum ia tinggal untuk bekerja. Begitulah rutinitasnya setiap pagi. Memberi makan, memandikan dan menyiapkan semua keperluan putri kecilnya itu kemudian ia titipkan pada mbok Darmi yang merupakan asisten rumah tangga di rumahnya
Kenapa ia titipkan pada mbok Darmi, sebab ia tidak mampu membayar jasa baby sitter. Padahal ia tinggal di rumah yang megah, papanya pun memiliki perusahaan besar, tetapi ia hanya seorang barista yang gajinya hanya mencukupi untuk kebutuhan Laura dan kebutuhannya sendiri. Belum lagi, ia akan memberikan sedikit dari gajinya pada mbok Darmi yang sudah menjaga putrinya disaat ia bekerja.
Miris memang, tapi begitulah keadaannya. Karena memiliki anak tanpa suami, namanya harus dicoret dari hak waris dan saudara tirinya lah yang kini menggantikan posisinya di perusahaan papa. Tapi ia bersyukur karena tidak diusir dari rumah. Biarlah ia diperlakukan dengan dingin dan acuh oleh papa, mama tiri dan saudara tirinya. Yang terpenting, putri kecilnya memiliki tempat tinggal yang layak.
Selesai menyiapkan segala keperluan Laura. Cinta kemudian membawa putri kecilnya itu keluar dari kamar dan mencari keberadaan mbok Darmi.
"Sudah mau berangkat kerja ya, Non?" tanya mbok Darmi yang kebetulan baru keluar dari dapur.
"Iya, Mbok. Titip Laura, ya?"
"Sip, Non." Mbok Darmi mengacungkan jempolnya kemudian mengambil alih menggendong Laura.
"Semua keperluan Laura sudah aku siapkan di kamar ya, Mbok. Pakaian ganti, popok, susu dan buburnya ada di atas meja," ucap Cinta.
"Iya, Non."
"Jangan rewel ya, Sayang." Cinta mengecup pipi chubby putri kecilnya, kemudian berpamitan pergi.
Dari lantai atas, papa Haris menatap kepergian anak semata wayangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dulu ia begitu memanjakan putrinya tersebut. Apapun keinginan Cinta akan ia penuhi. Namun, semuanya berubah saat Cinta kembali dari luar kota setelah lebih dari satu tahun tinggal di sana mengelola anak perusahaan. Cinta kembali dengan membawa bayi perempuan yang dinamainya Laura.
Marah, kecewa dan malu membuatnya menarik semua hak Cinta. Termasuk semua fasilitas yang selama ini digunakannya. Bahkan terkadang, ia memiliki keinginan untuk mengusir putrinya itu yang telah membawa aib, namun dalam hati kecilnya masih memiliki rasa tak tega. Terlebih Laura masih sangat kecil.
Ia pun mengizinkan Cinta dan Laura tetap tinggal, namun perlakuannya sudah tak sama lagi seperti dulu.
Setelah Cinta tak terlihat lagi, tatapan papa Haris berpindah pada Laura yang digendong mbok Darmi. Balita cantik nan menggemaskan itu tak mampu meluluhkan hatinya. Baginya Laura adalah aib keluarga yang sampai kapanpun tetap akan menjadi aib.
Papa Haris baru beranjak pergi setelah mbok Darmi membawa Laura menuju kamarnya Cinta.
Sementara itu di luar rumah...
Cinta berdiri di depan pagar menunggu ojek langganannya. Ia terkejut kala terdengar klakson mobil yang hendak keluar. Ia pun bergeser, mengalihkan pandangannya ke arah lain, sengaja menghindari pemilik mobil itu.
Tapi seperti biasa, Indri saudari tirinya itu tak akan membiarkan paginya tenang sebelum menyapanya dengan kata-kata yang menyakitkan.
"Hai anak kesayangan Papa. Ups, udah bukan anak kesayangan, ya?" Indri terkekeh sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. "Habisnya kamu gak jelas sih, makanya udah gak disayang lagi sama Papa. Gak punya suami tapi kok punya anak?" Ia tersenyum sinis menatap Cinta.
Cinta tak menanggapi. Ia menatap kearah lain dan berpura-pura tidak mendengar. Ia sama sekali tidak marah ataupun tersinggung statusnya di sindir, tapi yang membuatnya sedih adalah kenyataan bahwa ia memang bukan lagi anak kesayangan sang papa.
Jengkel tak dihiraukan. Indri sengaja menekan klakson beberapa kali agar Cinta merasa risih. Tapi saudari tirinya itu justru bersikap santai seolah tak mendengar apapun. Ia lantas melajukan mobilnya meninggalkan pelataran dengan perasaan kesal.
Siang ini ia ada pertemuan. Namun, ia berangkat pagi untuk melakukan perawatan di salon kecantikan langganannya terlebih dahulu, agar penampilannya lebih menarik. Semua itu untuk menarik simpati seorang pria yang merupakan rekan kerjanya. Terlebih saat mengetahui pria itu ternyata masih lajang, ia semakin bersemangat untuk mendekatinya.
Tak berselang lama. Ojek langganan Cinta pun datang. Mereka langsung berangkat menuju cafe tempat Cinta bekerja.
.
.
.
"Kok Cinta belum datang ya?" tanya Stev pada Sean pemilik cafe sekaligus sahabatnya. Sebenarnya ia dan Sean masih memiliki hubungan keluarga, tapi tidak terlalu dekat.
Kafe sudah mula ramai, tapi barista cantik tersebut belum juga datang. Meski ia juga sebagai barista di cafe itu, tapi pengunjung yang datang seperti tidak tertarik kalau bukan Cinta yang meracik minuman untuk mereka.
"Terjebak macet mungkin," jawab Sean tanpa menatap lawan bicaranya. Ia sibuk dengan gawainya. Namun, tingkah Stev yang terlihat gelisah itu membuatnya jadi tak nyaman. Ia pun menyimpan ponselnya dan menatap lelaki itu dengan lekat.
"Van, kamu udah benar-benar yakin kalau Cinta orang yang kamu cari?" tanya Sean.
Stev berdecak kesal. "Stev, panggil aku Stev kalau lagi di Cafe. Jangan sebut nama lain apalagi di depan Cinta!" tegasnya. Ia lalu mengeluarkan dompetnya dan mengambil sebuah kartu tanda pengenal, kemudian memperlihatkannya pada Sean.
"Ini kurang jelas apa lagi? Foto, nama, semuanya sama, kan? Cinta adalah orang yang aku cari." Ia lalu memasukkan kembali kartu tanda pengenal yang merupakan milik Cinta itu ke dalam dompetnya, yang selalu ia bawa kemanapun.
"Tapi, kenapa Cinta seperti gak mengenali kamu? Reaksinya saat pertama kali ketemu kamu juga biasa aja. Gak terkejut atau gimana gitu," ucap Sean.
Stev menekan pangkal hidungnya. Itulah yang tidak ia mengerti. Untuk mencari tahu, ia sampai kursus barista agar bisa bekerja di cafe yang sama dengan Cinta, yang kebetulan adalah cafe milik Sean.
"Tuh, orangnya udah datang." Sean menunjuk dagu ke arah pintu masuk.
Stev pun mengalihkan perhatiannya. Senyum mengembang di bibirnya melihat kedatangan Cinta.
"Hai Guys, maaf ya telat. Tadi jalanan agak macet," ucap Cinta.
"Santai aja. Ya udah, aku tinggal dulu. Semangat kalian berdua." Sean pun meninggalkan kedua barista nya itu. Sejak tadi ia di tahan oleh Stev untuk menemaninya menunggu kedatangan Cinta.
"Belum laku kopinya, Kang?" kelakar Cinta ketika melihat grinder yang biasa digunakan Stev masih tampak bersih.
"Belum, Neng," balas Stev sambil tersenyum.
Keduanya pun tertawa bersama. Tak berselang lama, mereka berdua mulai sibuk melayani para pelanggan. Tak ada lagi candaan, yang ada mereka kewalahan meracik berbagai varian kopi.
"Stev, itu untuk siapa?" tanya Cinta ketika Stev kembali meracik kopi. Padahal semua pelanggan telah mendapatkan kopi pesanan mereka.
"Untuk kita berdua," jawab Stev tanpa melihat lawan bicaranya. Setelah selesai ia menyodorkan secangkir kopi latte buatannya itu ke hadapan Cinta.
Cinta tersenyum menatap desain art berbentuk hati di atas permukaan latte. Namun, sesaat kemudian keningnya mengkerut begitu menyadari Stev hanya membuat satu kopi latte.
"Katanya untuk kita berdua, tapi kok cuma secangkir?" tanyanya.
"Nanti kena marah Pak Bos kalau kita bikin banyak-banyak. Udah, ini secangkir aja untuk kita berdua." Stev mengulum senyum, itu hanya akal-akalannya saja. Kalaupun ia menghabiskan seluruh kopi di cafe itu, Sean tidak akan marah karena ia bisa menggantikan dua kali lipat dari itu.
Cinta terkekeh. "Ya udah, biar adil kita pakai sendok aja," putusnya kemudian. Selain tidak enak menolak kopi buatan Stev, ia juga tidak mungkin membiarkan pria itu meminum di cangkir bekasnya.
"Eh, jangan!" cegah Stev ketika Cinta hendak mengambil sendok. Ia menahan tangan wanita itu dan meminta duduk kembali. Kemudian mengambil secangkir kopi latte itu dan memberikannya pada Cinta. "Ayo di minum."
"Tapi ... beneran gak apa-apa nih, kamu minum bekas aku?" tanya Cinta.
"Ya memangnya kenapa kalau aku minum bekas kamu? Kamu gak ada penyakit menular, kan?" Bukannya menjaw, Stev justru balik bertanya.
Cinta mencubit pelan lengan pria itu sambil memasang ekspresi cemberut. "Ya gak ada lah. Aku sehat walafiat."
"Ya udah kalau gitu, ayo minum."
Cinta pun mengambilnya. Meminum dengan tampak ragu. Karena terus memperhatikan Stev dengan tatapan tak enak hati sambil minum kopi, ia sampai tak menyadari jika busa latte tersebut menempel di sekitar bibirnya.
Stev langsung bereaksi cepat menyeka bibir Cinta menggunakan ibu jarinya. Kemudian menghisapnya.
"Stev!" seru Cinta. Terkejut sekaligus tercengang melihat apa yang dilakukan pria itu.
Stev dengan santainya hanya tersenyum. "Manis, semanis cintamu," ucapnya sambil menunjukkan ibu jarinya yang telah bersih sehabis ia hisap.
"Modus ya!"
"Kok tahu." Stev tergeletak melihat Cinta melotot. "Kamu tambah cantik loh kalau lagi marah."
Cinta mendelik. Apakah semua laki-laki seperti itu, gombal.
Dering ponsel Stev menyita perhatian pria itu. Ia mengeluarkan ponselnya dan langsung menjauh dair meja bar begitu melihat nama penelpon.
Cinta pun kembali meminum kopi latte buatan Stev sambil sesekali melirik pria itu. Entah telepon dari siapa, tapi sepertinya penting melihat ekspresinya sangat serius.
"Oke, saya akan ke kantor sekarang." Stev kemudian menutup sambungan teleponnya. Berdecak pelan, sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Baru saja sekretarisnya mengingatkan bahwa sebentar lagi ia ada pertemuan dengan pimpinan perusahaan yang sudah hampir dua tahun ini menjalin kerjasama dengannya.
"Telepon dari pacar ya?" tanya Cinta ketika Stev kembali.
Stev terkekeh. "Bukan," jawabnya. "Oh ya aku mau ke ruangan Pak Bos. Mau izin pulang, ada keperluan mendadak."
"Ya coba saja, semoga saja dikasih izin." Cinta merasa ragu. Ia saja pernah meminta izin pulang saat mbok Darmi menelpon dan bilang Laura sedang demam. Namun, tidak diizinkan pulang.
"Pasti diizinkan pulang kalau aku bilang, gajiku selama 3 bulan gak usah di bayar," kata Stev bercanda.
"Wow!" Cinta melongo. "Kamu yakin?"
"Yakinlah," ucap Stev kemudian melirik cangkir kopi latte di depan Cinta yang isinya tinggal sedikit sekali. "Wah, kayaknya kamu ketagihan nih sama kopi buatan aku."
"Hem, kebetulan aku haus."
Stev tersenyum. Ia meraih cangkir tersebut dan meminum habis sisanya.
Cinta hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Ketika akan meletakkan kembali cangkir kopi latte yang sudah kosong itu, tatapan Stev tak sengaja tertuju pada layar ponsel Cinta yang menyala. Kedua alisnya tebalnya hampir menyatu melihat foto balita yang kira-kira berusia satu tahun menjadi backgroundnya. Ia memang baru kali ini melihat layar ponsel Cinta.
"Itu, keponakan kamu?" tanyanya penasaran.
Cinta pun menatap layar ponselnya. Ia tersenyum menatap foto putri kecilnya itu. "Bukan, aku belum punya keponakan," jawabnya. Ia anak tunggal. Dan Indri saudari tirinya pun belum menikah.
"Terus, itu foto anak siapa?" tanya Stev lagi.
"Anakku, jawab Cinta.
"Anak? Bukannya kamu belum menikah?"
Cinta menghela nafas sambil mengangguk.
Stev tercengang, dalam beberapa saat ia kehilangan kata. Mengetahui ternyata Cinta telah memiliki anak membuatnya serasa kehilangan akal sehatnya.
Ia ingin bertanya lebih banyak lagi. Namun, mengingat ia ada pertemuan dan tidak bisa diwakilkan membuatnya harus menahan diri.
"Cin, aku pamit dulu ya." Stev buru-buru ke ruangan Sean.
Cinta menatap nanar kepergian pria itu. Ia yakin setelah ini Stev pasti akan menjauh darinya setelah mengetahui ia mempunyai anak tanpa suami. Sama seperti papanya yang berubah karena menganggap ia pembawa aib.
.
.
.
Di sisi lain. Indri menunggu dengan tak sabar. Sekarang sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan. Jika bukan karena memiliki niatan lain, ia pasti sudah memaki-maki pimpinan perusahaan yang bekerja sama dengannya karena bekerja dengan tidak profesional.
"Hei, kemari." Ia memanggil seorang wanita yang merupakan sekretaris Vano.
Wanita yang bernama Maura itu pun beranjak menghampiri Indri yang sejak tadi menunggu di sofa tak jauh dari meja kerjanya. "Apa Ibu butuh sesuatu?"
Indri mengulurkan ponselnya. "Berapa nomor telpon Bos kamu?"
"Maaf, Bu. Tadi saya sudah telepon Pak Vano, dan sekarang sedang dalam perjalanan kemari," jawab Maura. Sang bos sudah memperingati agar ia tidak sembarang memberi nomor telponnya pada siapapun. Jika ada keperluan, harus melalui dirinya.
Indri berdecak kesal. Namun, sekali lagi ia berusaha menahan diri. Sudah hampir dua tahun perusahaannya dan perusahaan Vano bekerjasama, tapi ia sama sekali tidak memiliki nomor telpon pria itu.
Ia sudah pernah meminta nomor telepon Vano pada pria itu langsung saat penandatanganan kontrak kerja sama. Tapi pria itu malah memberikan nomor telpon sekretarisnya, dan memintanya untuk menghubungi langsung sekretarisnya itu jika ada keperluan.
Ia pikir Maura akan memberikannya, tapi ternyata diluar ekpektasinya. Sepertinya Vano sudah mewanti-wanti sekretarisnya itu.
"Bu, itu Pak Vano sudah datang." Maura menunjuk ke arah bosnya yang berjalan tergesa-gesa.
Indri pun beranjak dari tempat duduknya.
"Maaf, sudah membuat Anda menunggu lama," ucap Stev alias Vano ketika telah berdiri di hadapan Indri.
Indri memasang senyum manisnya. "Gak apa-apa. Aku juga gak lagi terburu-buru, kok."
"Kalau begitu mari ke ruangan saya."
Indri pun mengikuti langkah Vano yang sudah berjalan lebih dulu.
"Tadi aja mukanya kusut banget. Giliran di depan Pak Vano sok kalem. Dasar!" Maura mengepalkan tinjunya dan mengarahkan pada Indri yang berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Vano.
Vano mempersilahkan Indri masuk ke ruangannya dan langsung menuntunnya menuju sofa. Membahas tentang perusahan mereka yang hampir dua tahun ini mendapatkan banyak keuntungan yang di peroleh semenjak perusahan mereka bergabung.
Bahkan tak jarang keduanya memenangkan banyak tender yang membuat beberapa pemilik perusahan lain nya menjadi iri pada mereka.
Selain itu, mereka juga membahas tentang strategi baru yang akan mereka gunakan untuk menarik perhatian supplier.
Setelah pembahasan selesai, keduanya mengobrol santai sejenak.
"Kalau akhir pekan ini kamu tidak sibuk. Aku ingin mengundang kamu untuk makan malam di rumahku," ujar Indri.
Vano terdiam. Memikirkan cara untuk menolak. Ia lebih baik menghabiskan waktunya di cafe dengan melihat Cinta daripada harus menerima ajakan makan malam dari Indri. Jujur saja ia tidak begitu menyukai kliennya satu ini. Selain cara berpenampilan nya yang tidak ia sukai, Indri juga terkesan ingin mendekatkan diri dengannya dan ia tidak nyaman untuk itu. Maka itulah ia berpesan pada Maura agar tidak memberikan nomor teleponnya pada wanita itu.
"Sayang sekali, akhir pekan ini aku ada acara keluarga." Akhirnya kalimat itu yang dipilih Vano.
Indri tampak kecewa, namun ia tetap berusaha tersenyum di depan Vano. "Oke, baiklah. Tapi lain kali kamu harus menerima ajakan ku."
Vano hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
Setelah Indri berpamitan pergi. Ia menelpon sekretarisnya untuk datang ke ruangannya.
"Ada apa, Pak?" tanya Maura.
"Duduk dulu." Vano mempersilahkan sekretarisnya itu untuk duduk.
Maura pun menarik kursi lalu duduk.
Vano menegakkan posisi duduknya. Keduanya tangannya ia letakkan di atas meja dengan saling menggenggam. Tatapannya berubah serius menatap sekretarisnya.
"Ternyata Cinta sudah punya anak."
Maura seketika nampak terkejut. Ia sama sekali tidak mengetahui hal itu. Saat dimintai sang bos untuk mencari pemilik KTP yang bosnya temukan di kamar hotel. Ia hanya berhasil menemukan dimana wanita itu bekerja, tapi tidak tahu dengan latar belakangnya.
"Apa Cinta sendiri yang mengatakan kalau dia sudah punya anak?" tanya Maura.
Vano mengangguk. "Anaknya sekitar berusia 1 tahun."
"Berusia 1 tahun?" Maura tampak berpikir. Apakah ini bukan sebuah kebetulan. Terhitung sejak kejadian yang dialaminya bosnya di luar kota saat itu, bukan tidak memungkinkan kalau anak itu berasal dari benih bosnya.
"Apa Pak Vano tidak curiga kalau itu adalah Anak Bapak?" tanya Maura. Selain Sean, ia adalah orang yang pertama kali mengetahui tentang kejadian itu sebab saat itu ia ikut menemani Vano dalam perjalanan bisnis ke luar kota.
"Aku juga sempat berpikir seperti itu." Vano menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya. Ia memejamkan mata sembari menekan pangkal hidungnya. Satu hal yang tidak ia mengerti. Kenapa Cinta bersikap seolah-olah tidak mengenalinya. Wajar jika ia yang tidak mengenali siapa wanita yang telah ia renggut kesuciannya. Saat itu ia berada dibawah pengaruh alkohol dan juga obat perangsang.
Saat tersadar ia sudah tidak menemukan siapapun lagi di sampingnya. Hanya tersisa bercak darah di sprei dan sebuah KTP yang tergeletak di lantai. Ia meyakini itu adalah milik wanita malang yang bernasib tragis di tangannya karena ulah seseorang yang berusaha menjebaknya.
Ia memiliki banyak sekali tugas yang belum terpecahkan. Belum selesai menemukan siapa orang yang telah berusaha menjebaknya. Di tambah dengan sikap Cinta yang seperti tidak mengenalinya sebagai orang yang telah merenggut kesuciannya. Dan yang lebih mengejutkan, fakta bahwa Cinta telah memiliki anak yang kemungkinan adalah darah dagingnya.
"Bagaimana kalau Pak Vano lakukan tes DNA dengan anak itu," saran Maura.
Vano membuka matanya. "Kamu benar, aku harus melakukan tes DNA." Kini yang harus ia pikirkan, bagaimana caranya agar dapat bertemu dengan anaknya Cinta dan diam-diam mengambil sampel DNA.
.
.
.
"Neng, ini ongkosnya kelebihan."
"Gak apa-apa, Pak. Anggap aja bonus untuk Bapak karena sudah jadi ojek langganan saya. Ojek lain belum tentu mau narik sampai tengah malam begini," ujar Cinta.
"Wah, terima kasih banyak, Neng. Kalau begitu saya langsung pamit."
Setelah tukang ojek langganannya itu telah pergi. Cinta pun meneriaki satpam untuk membukakan pagar. Teriakannya yang cukup kencang itu berhasil membangun satpam yang telah tertidur di pos.
Pak Amin bangun dengan kelabakan dan lari terbirit-birit menuju pagar. "Maaf, Non. Saya ketiduran," ucapnya setelah membuka pagar.
Cinta tersenyum. "Gak apa-apa, Pak. Justru saya yang minta maaf karena sudah ganggu Bapak lagi tidur." Ia kemudian menyerahkan sebuah plastik yang berisi kopi pada pak Amin.
Mata pak Amin seketika terang benderang mencium aroma kopi tersebut. "Terima kasih, Non."
"Sama-sama, Pak." Cinta pun melangkah masuk ke rumah. Ia terkejut kala melewati ruang tengah, suasana yang semula gelap tiba-tiba menjadi terang benderang.
Ia mematung di tempatnya berdiri kala tatapan tertuju pada mama Ratih yang berdiri di dekat sakral lampu. Mama tirinya itu menatapnya dengan tajam.
"Enak ya, seharian berada di luar dan pulang tengah malam. Meninggalkan anak di rumah. Kamu tahu kan, kalau Mbok Darmi itu asisten rumah tangga di rumah ini, bukan baby sitter!"
Cinta menarik nafas dalam-dalam. Memilih diam dan tidak membalas ucapan mama tirinya itu. Ia masih menghormati mama Ratih sebagai orang yang telah merawatnya sejak usianya 12 tahun kala itu.
"Kapan sih, kamu bisa sadar diri kalau keberadaan kamu dan anak haram kamu itu di rumah ini adalah aib!"
Cinta mengepalkan tangannya. "Jangan pernah sebut anakku dengan sebutan itu!" ucapnya nyaris membentak. Ia masih bisa tahan jika dirinya yang dihina. Tapi Laura, ia tidak akan terima.
"Selagi Papa belum mengusirku, aku dan anakku akan tetap berada di rumah ini." Setelah mengatakan itu, ia pun pergi meninggalkan mama tirinya yang terlihat kesal.
Cinta berjalan cepat menuju kamarnya. Setetes cairan bening merembes keluar dari sudut matanya. Ia paling tidak tahan jika mendengar ada yang menyebut Laura dengan sebutan anak haram. Baginya putrinya kecilnya itu suci, terlahir tanpa dosa.
Begitu membuka pintu kamar, tatapannya langsung tertuju pada putri kecilnya yang telah tertidur nyenyak bersama mbok Darmi. Ia pun melangkah masuk dan menutup pintu depan sangat pelan. Berjalan menuju tempat tidur kemudian duduk di sisi ranjang tepat di sebelah Laura.
"Mama kangen banget sama kamu, Nak. Kamu adalah penyemangat Mama." Ia menunduk, mengecup pelan pipi putrinya. Tak tega membangunkan mbok Darmi ia pun membiarkannya tidur bersama Laura. Wanita paruh baya itu juga pas kelelahan menjaga Laura sambil bekerja.
Ia pun membersihkan diri terlebih dahulu, kemudian memilih beristirahat di sofa. Sebelah alisnya terangkat begitu mengecek ponsel, ada notifikasi pesan masuk dari Stev. Ia pun membukanya.
"Kirim alamat kamu sekarang. Besok aku jemput, kamu gak perlu naik ojek lagi." Isi pesan Stev.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!