"Kesempatan itu berbanding tipis dengan keberuntungan, tapi mereka sama - sama datang di waktu yang tepat meski kadang tak disadari."
###
"Selamat, Kania. Mulai besok kamu nggak usah ke datang ke sekolah lagi."
Kania membulatkan matanya sempurna bersamaan saat nafasnya hampir tercekat begitu mendengar ucapan kepala sekolahnya.
Padahal selama ini Kania sudah menjadi anak yang baik dan tak pernah membuat masalah.
Ruang kepsek kini benar - benar sepi karna Kania hanya bisa terdiam di kursinya untuk waktu yang cukup lama dengan tubuh gemetar.
Apa ada yang mengadu dombanya?
"M-maksud Bapak, gimana ya?"
"Iya, kamu nggak perlu masuk sekolah lagi.
Karena selama 1 bulan kedepan kamu bakal
ikut karantina Olimpiade Fisika Nasional Di
hotel."
Kania tersentak. Ia terdiam sejenak untuk memahami
kondisi yang cukup memusingkan baginya ini.
"S-saya lulus ke tingkat nasional?"
"Iya, kamu jadi salah satu perwakilan sekolah kita di bidang fisika."
Salah satu? Kania mengangkat satu alisnya.
"Siapa wakil lainnya, Pak?"
Bapak Kepsek menarik segaris senyum lalu memberikan selembar kertas pada Kania. "Ini hasil tes-nya. Peserta lainnya adalah Liam Sangkara, anak 2A1 yang terkenal genius itu lho."
Kania meneguk ludahnya tepat usai Bapak Kepsek menyebutkan kalimat terakhir. Sembari menatap kertas di hadapannya, Kania menggigit bibir.
Benar.
Perolehan skor Liam Sangkara sendiri adalah 9.18 dan menempati peringkat teratas dari 5 orang lain yang berada satu tim dengannya. Sedangkan Kania berada di peringkat ke-3 dengan perolehan skor hingga 8.87.
"Belajar yang rajin ya, Kania. Dan bawa pulang mendali emas, oke?"
Kania meneguk ludah, lalu mengangguk. "Iya, pak."
── Olimpiaders ──
Sepinya koridor ruang kepala sekolah membuat Syera Kalettha menatap kedua ujung tali sepatunya, seolah ada jawaban yang ia cari disana.
Ini sudah setengah jam berlalu sejak bel pulang sekolah berbunyi dan Kania di panggil ke ruang guru. Syera tahu, sejak awal masuk SMA Isekai pun, Kania Abygail adalah anak baik-baik yang tak pernah mengotori buku pelanggarannya.
Syera hanya berharap, ada berita baik.
Drap drap
Syera menoleh begitu derap lembut suara sepatu Kania berhenti di dekatnya. Gadis itu pun langsung bangkit dan memegangi kedua pundak Kania erat.
"GIMANA!? Ada masalah apa? Siapa yang ngadu domba elo?"
Kania hanya menggeleng sembari tersenyum tipis.
Syera pun mengerutkan dahinya. "Ada apa?" tanya Syera lirih.
"Aku lulus tingkat nasional." Kania tersenyum tipis. "Mulai besok aku udah masuk karantina di hotel bareng anak-anak yang lain."
Syera membulatkan matanya sempurna dan sontak memeluk Kania begitu erat. "Selamat, Kania ! Astaga, selamat! Ya ampun, gue ikut seneng."
"Makasih," Kania menepuk-nepuk pundak Syera sembari tersenyum tipis. Untuk beberapa saat, Kania merasa lega hingga tak sadar seseorang telah memperhatikan dan menanti mereka dari ujung koridor sembari melipat tangan di depan dada.
Syera melepas pelukannya.
Kania tersenyum tipis pada Syera. "Teh Sabiru udah dateng,"
"Oh," Syera melirik ke ujung koridor dimana Sabiru telah menanti mereka. "Ya udah, hati-hati ya."
Kania mengangguk. Gadis itu pun berlari kecil mendekati kakak perempuannya itu.
Sabiru berdecak pelan, lalu menghela nafasnya belum mulai melangkah beriringan dengan Kania. Suara gemerincing kunci mobil yang melingkar di jemari Sabiru menjadi satu-satunya suara yang mengisi sepinya jalan menuju ke parkiran sekolah ini.
"Kamu ikut OSN?"
Kania melirik Sabiru sejenak yang melempar tatapan datarnya pada jalanan. "Iya,"
Sabiru tak menyahut lagi. Dia hanya melempar tatapan datar ke segala arah, namun diam-diam di dalam mulutnya, giginya menggertak.
Melihat tidak adanya raut senang, Kania pun menghela nafasnya pelan. "Teh-"
"Cepetan jalannya, Bunda pasti udah nyariin." potong Sabiru sembari mempercepat langkahnya mendahului Kania.
Sementara Kania hanya bisa menghela nafasnya.
Chapter 2: Sedekat hujan dan kulitmu
"Aku sudah berusaha. Aku berusaha keras. Dan kini aku lelah akan semua usaha itu."
\#\#\#
DINGINNYA mobil Sabiru adalah perpaduan sempurna saat di gabungan dengan birunya atmosfer antara dua kakak-beradik.
Belasan tahun hidup bersama rupanya tak pernah membuat suasana cair seolah keduanya benar-benar dekat. Kania tidak pernah begitu paham mengapa, yang ia tahu hanya keduanya punya dunia yang berbeda.
Sabiru lebih sibuk dengan latihan anggar dan keluar bersama teman-teman atletnya, sedangkan Kania sendiri lebih suka membaca buku soal sains dan ilmu pengetahuan lainnya.
Meski begitu, keduanya sama-sama bersikap begitu tenang hingga semua tak menyadari bahwa gadis setenang Sabiru bisa membantai lawan.
Yah, hanya itu kesamaan psikologis mereka. Selebihnya nol besar. Sabiru memang kelihatan tidak punya banyak topik untuk dibicarakan dengan Kania, dan Kania sendiri juga terlalu malu untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.
"Berapa hari di karantina?"
Kania tersentak kecil lalu reflek menoleh.
"Sebulan, Teh."
"Sebulan?" Sabiru reflek menoleh sembari mengangkat satu alisnya.
"Kenapa?" tanya Kania balik.
"Ah, nggak apa." Sabiru menghela nafas lalu kembali terfokus pada jalanan. "Si calon dokter itu ikut?"
"Calon dokter?" Kanao mengerutkan dahinya. "Maksud Teteh, Liam?"
"Iya, Sangkara Liam atau Liam Sangkara itu lah yang dulu masuk 3 besar NEM tertinggi waktu angkatanmu daftar."
"Ikut, Teh. Dia dapet peringkat satu, perolehan nilainya juga tinggi."
"Oh.." Sabiru mengangguk paham. Namun dalam batinnya sendiri, gadis itu sudah jengah mendengar eksistensi Liam Sangkara di sekolah.
Bagi Sabiru, Liam hanyalah siswa penjilat guru, bisa dilihat dari senyum ramahnya pada siapa pun. Dan bagi Sabiru, terkadang itu berlebihan. Sabiru tidak bisa berhenti berpikiran buruk pada Liam.
Pastinya Liam hanya beruntung mewakili sekolahnya dalam OSN.
"Kalo kamu peringkat berapa?" tanya Sabiru ringan.
"O-oh, aku-"
"Eh, maaf!" Sabiru mendadak menutup mulutnya. Gadis itu merutuki pertanyaannya sendiri pada adiknya.
Niatan Sabiru memang hanya untuk mengisi keheningan, lagi pula kecerdasan Kania juga bukan suatu hal yang bisa diremehkan. Bahkan ia juga jadi siswi dengan posisi 3 besar NEM tertinggi saat mendaftar.
Namun kalau dipikir-pikir lagi, pertanyaan itu justru terkesan membandingkan. Yah, cukup Sabiru saja yang merasakan.
Adiknya jangan.
"Nggak apa-apa, teh." Kania tersenyum tipis.
"Aku dapet peringkat 3. Nilai Liam emang lebih tinggi, tapi aku bakal berusaha lagi, kok."
Sabiru tak menyahut lagi bersamaan saat nyeri menyerang hatinya begitu mendengar kalimat terakhir Kania. Diam-diam, gadis itu berusaha menahan diri agar tidak emosional. Namun tepat beberapa saat usai mobilnya berhenti di lampu merah, air mata Sabiru jatuh.
"Teteh iri sama kamu."
Sabiru menelan ludahnya sendiri.
"Bunda mau punya anak yang jago sains, bukan bela diri. Bunda mau punya anak yang pinter, bukan tangguh. Dan kamu adalah apa yang dimau Bunda, bukan teteh."
"Teh..." Kania menggigit bibir bawahnya sembari menepuk pundak Sabiru. "Ayah selalu bangga punya atlet yang udah tembus nasional kayak teteh, kok."
Sabiru menggeleng sembari mengusap air matanya. "Ayah jarang di rumah. Teteh juga mau punya orang tua yang selalu peduli sama Teteh, nanyain tadi latihannya kayak gimana. Teteh capek di banding-bandingin sama kamu."
Deg.
Kania menggigit bibir bawahnya. Mungkin Sabiru tidak tahu, namun diam-diam Kania pun iri dengan sikap mandiri kakaknya yang begitu mengagumkan. Bahkan di sekolah pun, Sabiru lebih dikenal ketimbang Kania.
Tepat saat lampu lalu lintas menghijau, Sabiru kembali memajukan mobilnya sembari menghapus jejak air matanya. Kadang aneh saat Sabiru bisa sejujur ini dihadapan adiknya.
Begitu keduanya tiba di hotel yang dimaksud, Sabiru menghela nafas. Kania yang sudah siap pun segera menyiapkan barangnya dan berpamitan dengan Sabiru.
Kania masih sempat melambaikan tangannya dari jendela mobil setelah ia turun. Dan saat itu lah Sabiru kembali melempar tatapan dingin dan hanya menghela nafas sebelum akhirnya gadis itu berucap.
"Sukses. Teteh harap kamu bisa dapet mendali meski itu cuma bikin kamu makin menang di hadapan Bunda."
Pada kelokan jalan pertama dimana Sabiru dan mobilnya lenyap dari panjangan, rintik hujan pertama di awal pagi itu jatuh.
Pagi pertama, di depan hotel karantina.
Ketimbang mendali, kini Kania berharap hubungannya dengan kakak perempuannya baik-baik saja.
Karena ini baru pertama kali, mereka sedekat ini.
Sedekat hujan dan kulit Kania saat ini.
"Kukira rasa ini sudah terlupa seiring berjalannya waktu, ternyata belum."
###
RINTIK gerimis mulai menjadi deras, namun Kania tak kunjung beranjak dari tempatnya.
Baru kali ini gadis itu merasa menikmati setiap detik yang bergulir, karena kini rasanya lebih tenang seolah perang besar dalam hatinya telah sirna.
"Kania?"
Gadis yang disebutkan namanya langsung menoleh ke belakangnya, tempat arah datangnya suara. Kania pun terkisap begitu melihat Liam Sangkara dengan payung birunya berdiri dihadapannya.
"Kamu ngapain disini?" tanya Liam sembari mendekatkan diri sehingga payung biru itu ikut melindungi Kania dari hujan. "Kamu baru datang, ya?"
"Kok tau?"
Liam tersenyum tipis. "Kan kamu sendiri yang bilang kalo mau berangkat sendiri di grup olimpiade."
"Ah, hehe." Kania hanya tersenyum canggung. Hanya di depan pujaan hatinya begini, Kania bisa bersikap bodoh. Dan Kania tidak tahu mengapa.
"Masuk yuk. Hari pertama, kamu jangan sampe sakit."
"Iya," Kania tersenyum tipis sebelum akhirnya memulai langkahnya bersama Liam ke bibir hotel.
Tak sampai disana, Liam rupanya hendak mengantarkan Kania. Karena pemuda itu menaruh payung hotel kembali pada tempatnya dan berjalan menemani Kania bahkan hingga ke lift.
"Aku teh tadi mau keluar, cari makan sambil liat-liat daerah sini. Biar familiar juga, soalnya aku jarang main kesini. Eh taunya ada kamu."
Kania hanya tersenyum tipis sembari mengangguk. Jujur, ia tidak tahu harus menyikapi seperti apa. Liam kelewatan ramah, dan Kania kelewatan pemalu.
"Oh iya, aku lupa bilang." Liam membalikan tubuhnya dan menghadap persis di depan Kania lalu menjulurkan tangannya. "Selamat ya, kamu udah tergabung dalam tim fisika kita."
Kania tersenyum tipis, lalu menjabat tangan Liam ragu-ragu. "Makasih,"
"Jam sarapannya sebentar lagi. Tim kita juga masih nunggu dua orang lagi. Kamu bisa adaptasi dulu sama temen sekamar kamu."
Ting!
Lift berhenti tepat di lantai yang telah mereka tuju. Keduanya sempat melirik ke arah pintu lift yang terbuka, sejenak. Sebelum akhirnya Kania segera melangkah.
"Iya, makasih informasinya." ujar Kania sebelum ia melangkah keluar dari lift.
"Sure, good luck and have fun." Liam menarik segaris senyum tepat sebelum pintu lift kembali tertutup.
Kania pun terdiam cukup lama.
Lalu diam-diam menarik segaris senyum.
--- Olimpiaders ---
"Permisi,"
Kedua gadis yang sedang mempersiapkan diri dihadapan meja rias itu sontak menoleh ke arah suara, tepat dimana suara datang beriringan dengan derit pintu yang terbuka.
"Kania Abygail, ya?" sahut seorang gadis bersurai merah kecoklatan.
Kania terdiam sejenak lalu mengangguk. Gadis itu pun akhirnya memberanikan diri untuk melangkah masuk. "Kania Abygail dari SMAN 1 Isekai. Salam kenal,"
"Jadi bener, toh." seorang gadis dengan surai hitam panjangnya tersenyum tipis lalu bangkit dari kursi dan mendekati Kania. Gadis itu menjulurkan tangannya. "Renatta Claudine kelas 12 dari SMA Citra Pertiwi, tim biologi. Panggil aja Renatta, salam kenal."
Kania menjabat tangan Renatta sembari meneguk ludah. Mau dilihat berapa kali pun, Renatta memang keren dan amat modis. Tubuhnya juga proposional, dia benar-benar sempurna.
"Salam kenal." jawab Kania singkat.
"Berarti aku tim fisika pertama yang ketemu Kania setelah Liam, kan?" kini gadis dengan surai merah kecoklatan itu mendekat. "Aku Levia kusuma kelas 11 dari SMK Pusaka Lestari, tim biologi."
"Ah," Kania tersenyum canggung lalu mengangguk. "Salam kenal."
"Nah, sekarang taruh aja kopermu di deket lemari, terus kamu siap-siap. Abis itu kita langsung turun sarapan." tutur Renatta lembut.
"Iya, Kak." Kania mengangguk dan segera menuruti pengarahan dari Renatta. Dan beberapa saat usai ia meletakkan kopernya, satu notifikasi pun masuk.
Liam Sangkara : Kania, kan?
Liam Sangkara: Sarapannya sebentar lagi, jangan lupa ya! ^^
Kania terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Setahu Kania, Liam tak pernah menyimpan balik nomornya. Dan jelas, sepertinya pemuda itu menyimpan nomor Kania dari grup olimpiade itu.
Benar.
Memang hal kecil apapun yang dilakukan Liam selalu jadi hal yang tak pernah gagal untuk membuat kedua sudut bibir Kania naik.
Kania Abygail: Iya^^
✩₊̣̇. TO BE CONTINUE !!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!