Happy Reading...
"Mama ...!" Malik berlari ke arah mamanya yang sudah jatuh kesungkur di lantai dengan sebuah pisau yang menancap di perutnya.
"Ma ... Malik," ucap Rani yang terbata-bata, karena menahan sakit di perutnya.
"Iya, Ma. Malik di sini! Apa yang terjadi, Ma?" Malik memeluk dan menggenggam erat tangan mamanya.
Malik Idris Yansya. Remaja yang masih duduk di bangku SMA. Usia nya sekitar 18 tahun. Memiliki tubuh tinggi atlentis,dan wajah tampan rupawan. Namun memiliki sifat yang dingin.
"Pa ... Pa. Papamu se ... lingkuh, Lik."
"Enggak, Lik. Papa gak pernah selingkuh. Justru mamamu yang main di belakang papa, Lik!" bela Rama yang terliahat frustasi, karena melihat istrinya melukai diri sendiri.
"Ini buktinya, Mas." Melemparkan kertas-kertas bukti transferan.
"Udah, stop!" Malik menghentikan perdebatan orang tuanya.
Dia pun segera mengangkat tubuh sang mama untuk dibawa ke rumah sakit.
Sebelum melangkahkan kakinya. Malik berkata sesuatu pada Papanya.
"Jika terjadi sesuatu pada mamaku. Anda adalah orang yang harus disalahkan," ucap Malik dingin. Kemudian segera pergi dari situ.
"Lik, dengarkan penjelasan Papa dulu, Nak. Ini cuma salah paham ...."
Malik tidak menggubris ucapan papanya. Dia terus berjalan keluar, karena saat ini yang terpenting adalah nyawa mamanya.
"Ma ... Lik!" Tanpa disadarin Malik, papanya terjatuh karena menahan sakit di dada.
****
Di rumah sakit. Malik terus berjalan mondar mandir, cemas dengan keadaan mamanya saat ini yang masih ditangani oleh tenaga medis di dalam.
Hingga satu jam kemudian. Seorang dokter pun keluar dari ruangan mamanya.
"Dok, gimana keadaan mama saya,Dok?" tanya Malik yang menunggu jawaban dokter tersebut.
Dokter itu pun menghela nafasnya sebelum menjawab.
"Kamu yang sabar, ya. Ikhlaskan ibumu, mungkin Tuhan lebih menyayanginya." Dokter itu pun menggenggam bahu Malik, memberi kekuatan.
"Apa maksutnya, Dok!" Malik tidak terima dengan ucapan dokter itu barusan.
"Maafkan kami yang tidak bisa menyelamatkan ibumu. Karena pendarahanya yang berlebihan hingga ibumu banyak kekurangan darah. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin ... tapi tuhan berkata lain."
Dokter itu pun meninggalkan malik, setelah menjelaskan masalahnya.
Seketika pertahanan tubuhnya roboh, hingga terjatuh di lantai.
Rahangnya mengeras dengan mengepal tangannya kuat, karena Amarahnya yang dicoba ditahan.
"Ma. Malik janji, bakal balaskan perlakuan mereka semua ...." Pandangannya lurus ke depan dengan tatapannya yang tajam mematikan.
Tak terasa tiga bulan sudah berlalu. Sejak kematian mamanya. Sikap Malik semakin dingin dengan sekitarnya, apalagi dengan papanya sendiri. Jangankan bicara, melihat pun saja dia tak mau.
Sedangkan keadaan papanya sekarang sungguh sangat memprihatinkan. Akibat serangan jantung saat itu, membuat sebagian anggota tubuhnya mati sebelah. Hingga ia harus duduk dan berjalan di kursi roda.
"Ma ... Malek. Ma-afi Pa-pa," ucap Rama yang sedikit susah bicara.
Sedangkan yang diajak bicara tidak menanggapi sama sekali.
"Lek, Pa-pa bisa je-jelasen. Itu se-mua cu-cuma salah pa ...."
"Stop! Saya tidak mau mendengar penjelasan apapun dari anda."
Setelah memotong ucapan papanya. Malik berlalu pergi tanpa melihat papanya sedikit pun.
"Maaf, Den. Makan malam sudah siap," ucap bik Atun, sang asisten rumah tangga yang menghentikan langkah Malik.
"Saya mau pergi. Kamu urus saja orang tua itu dengan benar."
Deg.
Hati orang tua siapa yang tidak sakit. Jika mendengar ucapan anaknya seperti orang asing bagi dirinya.
"Tuan yang sabar, ya. Saya do'a kan semoga Den Malik segera berubah."
Mendengar ucapan pembantunya. Rama hanya bisa menunduk, menangis dalam diam.
****
Di kota yang penuh dengan gedung-gedung menjulang tinggi.
Ada seorang pemuda yang tengah duduk di atas puncak gedung.
Ya, siapa lagi kalau bukan Malik. Duduk di atas rooftop dengan ditemani dinginnya angin malam.
Drrrrttt ... drrrttt ...
Terasa geteran hp yang berada di saku celananya. Segera dia merogoh dan mengangkat sebuah panggilan dari orang kepercayaannya.
[Hallo, Tuan muda,]" ujar Gery membuka percakapan.
"Hmm."
[Saya sudah menemukan keberadaan wanita itu. Dia berada di kota B, Tuan]
"Segera temukan rurumahnya. Dan segera kabari saya," perintah Malik.
[Baik, Tuan]
Tit ...
Panggilan dimatikan sepihak.
"Ma, lihat! Malik sudah menemukan keberadaan wanita itu. Malik pastikan hidup mereka akan jauh lebih menderita dari kita."
Senyum devil tercetak di bibirnya, yang sedang menatap bintang-bintang di langit, Seolah-olah itu adalah ibunya.
***
SMA Nusa Jaya.
Kantin sekolah
"Eh, Ndra. Ngapa tu Malik, mukanya datar amat dah," tanya Rizki bisik-bisik, yang melirik ke arah Malik.
Sedangkan orang yang dibicarain acuh tak acuh. Tetap meminum satu botol soda yang digenggamnya tanpa ekspresi, dengan pandangan ke depan.
"Kayak lo kagak tau aja dah. Tu anak kan emang begitu sifatnya. Udah, ah! biarin aja. Dari pada liati tu anak, mending lo liat tu, bakso lo masih utuh," tunjuk Andra dengan pandangan yang mengarah pada semangkuk bakso temannya.
Sedang Rizki hanya membalas dengan cengiran.
Andra dan Rizki adalah teman Malik.
Mereka Most wanted di sekolah ini. Siswa tertampan yang banyak digilai kaum hawa. Tapi banyak yang tidak berani untuk dekat mereka, karena Takut berurusan dengan Malik. Leader yang disegani dengan tampang yang dingin dan tidak segan-segan memberi pelajar dengan orang yang berani mengusik ketentramannya.
Ting ....
Sebuah notif pesan di hp Malik.
Gery:
Tuan, orang kita sudah berada di depan rumah korban.
Anda:
Jemput gue sekarang di sekolah.
Gery:
Baik tuan.
Setelah mendapat kabar dari sang asisten. Malik segera beranjak dari duduknya.
"We, Mal. Mau mana, Lo?" tanya Rizki yang melihat Malik mau beranjak pergi.
"Cabut!" Dijawab singkat oleh Malik yang sudah menenteng jaketnya.
"Abis ini pelajaran Buk Siska, loh. Bisa mampus kita kalo sampek ditanyain guru killer itu," sambung Andra.
"Gue yang urus."
Setelah itu Malik pun pergi keluar gedung, dengan asistennya yang sudah menunggu digerbang sekolah.
"Yaelah. Emang tu anak, ya. Mentang-mentang sekolah bapake, seenak udel main cabut aja," gerutu Rizki.
"Sultan ma bebas ... ," sahut Andra.
Bersambung ...
Tinggalkan jejak!
jangan jadi pembaca gelap ya, Sayang.
Dua jam lebih. Mereka sampai juga di tempat tujuan, yang di mana tempat kediaman Nur Aini. Seorang janda beranak satu.
"Kita sudah sampai, Tuan," ucap Gery yang sudah membukakan pintu untuk Tuan mudanya.
Malik masih duduk diam di mobil, sambil memandangi rumah petak tersebut.
'Cih. Pantas saja papa banyak mengeluarkan uang untuk dia, ternyata wanita murahan,' batin Malik yang merendahkan.
Malik segera turun dari mobil dan sudah ada dua bodyguard yang menunggu di depannya.
Malik pun memberi intruksi dengan tangannya. Yang mengisyaratkan untuk maju, dan dibalas anggukan oleh mereka.
Tok ... tok ...
"Siapa? Tunggu sebentar, ya?" Mendengar pintunya diketuk. Buk Nur pun segera memakai hijabnya sebelum membuka pintu.
Suara pintu yang berderit, saat si empunya membukanya.
"Siapa ...?"
Brakkk!
Belum selesai Nur bertanya. Dia sudah jatuh tersungkur di lantai.
Akibat dorongan dari salah satu bodyguardnya Malik.
"Aw ...," pekik Buk Nur yang jatuh kesakitan. Namun, dia mencoba untuk berdiri kembali.
"Kalian Sia ...."
Plak!
Belum selesai Buk Nur bicara lagi, sudah mendapatkan sebuah tamparan, hingga dia harus jatuh kembali.
"Kamu mau tau kami siapa, hah! Dasar PELAKOR," seru Malik penuh penekanan, sambil menjambak rambut buk Nur yang berada di balik hijabnya.
"Apa maksudnya. Saya tak mengerti," ringis buk Nur menahan sakit di kepalanya.
"Jangan pura-pura, B*d*h!" sarkas Malik yang kini sudah mulai emosi.
Hingga ....
Plakk!
Satu tamparan kembali dinyalangkan. membuat si empunya kesakitan, sampai mengeluarkan darah segar di sudut bibirnya yang terobek sedikit, karena tamparannya yang cukup keras kali ini.
"Sumpah demi Allah. Saya gak mengerti. Tapi jika memang saya punya salah. Tolong maafkan." Buk Nur pun memelas.
"Pyuih! Semudah itu anda minta maaf. Jangan harap! Setelah apa yang anda perbuat, hingga ibu saya harus meninggal. Karena apa? Karena ulah KALIAN!" teriak Malik yang menggelegar di seluruh ruangan.
Jika kalian berpikir. "Kok gak ada tetangga yang datang, sih? Apa mereka gak tau?" Jawabannya adalah. Karena rumah buk Nur satu-satu nya yang berada di ujung kampung. jadi tidak ada yang tau, tentang kejadian ini.
"Apa! Meninggal?" kaget buk Nur yang tidak tahu siapa yang meninggal. Dan kenapa juga karena ulahnya.
"Kamu tahu ...." Malik menggenggam erat dagu Buk Nur.
"Saya adalah anak dari Rama Andriyansya dan ibu saya Maharani. Orang yang melukai dirinya sendiri karna sakit hati dengan kelakuan Kalian!" tegas Malik memberitahu.
"Apa! Kamu anak Mas Ram ...."
Plakk!
"Jangan berani-beraninya sebut dia dengan panggilan dari mulut kotormu! Menjijikan."
"Maaf, maafkan saya. Tapi saya memang benar tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarga kalian," terang buk Nur jujur.
"Cih, dasar wanita munafik! Anda bilang anda tidak tau apa yang terjadi. Sedangkan ini apa ...?" Malik pun melemparkan kertas-kertas bukti tranferan di wajahnya Buk Nur.
Buk Nur pun mengambil kertas tersebut dan melihat isinya, dan alangkah terkejut, karena itu bukti tranferan Rama atas nama dirinya.
"Kenapa? Kaget?" senyum sinis tercetak di bibir Malik.
"I-ini salah paham, Nak. Ibu bisa jelasin," terang Buk Nur, memegang lengan Malik.
"Cih ... jangan panggil aku nak! Karena kamu bukan ibuku!" seru Malik tak terima. Yang menghempaskan tanganya sampai membuat Buk Nur terhuyung ke belakang.
"Maaf, kalau gitu maafkan saya yang lacang, Tuan muda. Tapi benar, ini semua cuma salah paham. Uang yang diberikan Pak Rama itu semua saya kembali, Tuan," jelas buk Nur.
"Kenapa? Karena jumlahnya masih sedikit, hah! Lalu bagaimana dengan yang ini ...." Malik melemparkan kembali selembar kertas yang berjumlah 100 jt.
"Apa anda bisa jelaskan? Itu bukti tranferan, satu hari sebelum ibu saya meninggal!" seru Malik, yang mulai geram.
"I--ini ...." Buk Nur menggigit bibir bawahnya. Tidak bisa melanjutkan, karena takut salah bicara.
"Jelaskan!" bentak Malik.
"I--ini, saya terpaksa meminjam untuk biaya operasi anak saya," lirih Buk Nur. Tak terasa air mata yang sedari tadi dia tahan tumpah juga, sampai membasahi kedua pipinya yang mulai tampak usang dimakan usia. Tapi, masih terlihat cantik.
"Cih, sudah kuduga. Cuma alasan klasik," tebak Malik yang mulai bosan mendengarkan penjelasan Buk Nur.
"Benar, Tuan muda. Saya tidak berani berbohong," terang buk Nur gigih.
"Gery, cepat bereskan. Bunuh! Dan buang mayatnya ke laut. Saya malas bermain-main lagi," cetus Malik menyuruh asistennya.
"Tuan, maafkan saya. Saya mohon tolong lepaskan saya," pinta buk Nur meronta-ronta. Karena dia sudah dipegang oleh dua bodyguardnya Malik.
Sedangkan si empunya tidak mau mendengarkan ucapannya lagi. Dia pun berjalan ke arah pintu ke luar.
'Itu sebagai pelajaran, buat siapa pun yang berani mengganggu ketentraman keluargaku. Berarti mereka harus siap-siap, mati!' batin Malik yang sedang tersenyum miring.
Namun, saat dia menginjakkan kakinya keluar pintu. Tiba-tiba ada seorang gadis yang langsung nyelonong masuk.
Hingga sedikit menyenggol bahunya.
"Shittt, siapa yang beraninya nabrak gue," guman Malik yang geram sembari menepuk-nepuk bahunya.
'Siapa gadis itu, imut juga. Oh no, Malik. Lo harus fokus,' batin Malik yang menampar pikirannya. saat dia melihat wajah gadis itu.
"Bunda ...," teriak gadis itu yang berlari ke satu arah.
Bersambung ...
"Bunda ... " teriak gadis itu yang berlari ke satu arah.
Seorang gadis yang masih menggunakan seragam putih abu-abu itu. Langsung menghamburkan ke pelukan ibunya.
"Nay, maafi bunda, Nak. Bunda gak bisa jagai kamu lagi," ucap buk Nur sedih melihat anaknya.
"Gak, Bun. Enggak! Bunda jangan ngomong gitu. Om, lepasi ibuku, Om. Lepasi!" Naya pun memukul-mukul bodyguard itu, berusaha membantu ibunya.
Hanaya Humairah. Gadis cantik yang lemah lembut. Kulit putih bersih, rambutnya panjang hitam kilat bergelombang. Lesung pipi sebelah kiri menambahkan kemanisan diwajahnya. Tingginya 155 cm dan beratnya 45kg. Bentuk tubuh yang ideal untuk seusianya. Yang kini beranjak 17 tahun.
"Nay, Bunda gapapa. Kamu cepat pergi sekarang, Nay! Biar semua ibu yang tanggung," seru buk Nur.
"Gak, Bun. Apapun yang terjadi. Naya gak bakal biarin ibu terluka. Naya akan berusaha minta izin mereka buat lepasin, Bunda."
Naya pun berlari menuju ke arah Malik. Namun bukan Malik yang ia hampiri, melainkan Gery, asistennya Malik.
" Tuan. Tolong, Tuan. Tolong lepasin ibu saya. Ibu saya orang baik, Tuan. Pasti ini salah paham atau mungkin ada yang fitnah Ibu saya. Iya, pasti ini ada yang fitnah ibu saya."
Naya terus memohon sambil memegang kaki gery.
"Maafkan saya gadis kecil. Tapi saya tidak punya hak atas itu," jelas Gery
'Hah, apa maksudnya ini? Bukan kah dia bosnya' batin Naya bertanya-tanya.
Dia pun mendongak keatas melihat Gery. Ternyata orang yang dia lihat melirik ke samping. Memberi isyarat bahwa bos sebenarnya ada di sebelah.
'Hah, apakah dia bosnya. Tapi kok masih mengenakan seragam seperti yang kupakai. Yasudahlah, mau siapapun bosnya. Aku harus bisa membujuknya,' batin Naya kembali.
Naya pun berganti memegang kaki Malik. Memelas diberikan kemudahan.
"Kak. Tolong, kak. Tolong lepasin ibu saya. Saya yakin ibu saya pasti gak bersalah.
Bukhggg ...
Bukannya mendapat jawaban. Malik malah menendang Naya.
Membuat si empunya kaget bukan kepalang.
"Naya ...!" teriak buk Nur yang kaget melihat anak nya terjemberat ke belakang.
Melihat ibunya dan tersenyum. "Naya, gapapa, Bun."
Naya pun kembali memohon lagi kepada Malik.
"Kak. Saya mohon, tolong lepasin ibu saya, Kak" Naya kembali memohon.
Melihat gadis itu terus memohon. Membuat Malik jengah. Akhirnya dia pun angkat bicara juga.
"Lo denger baik-baik. Gak ada kata MAAF, buat orang yang udah hancuri keluarga, gue," tegasnya.
"Apa? Hancuri! Enggak, Kak. Pasti kakak salah orang. Ibu ku tak seperti itu," bantah Naya yang tidak terima orang lain berprasangkah buruk tentang ibunya.
"Lo liat buktinya sendiri! Kalau ibu lo menerima uang 100jt dari bokep gue. Yang buat nyokap gue bunuh diri karena sakit hati yang dibuat ibu lo. Dasar Pelakor!" bentak Malik.
Naya yang syok mendengar penuturan Malik. Menggelengkan kepalanya tak percaya. Dia pun mendekat ke ibu nya.
"Bun, benar kah yang dibilang mereka? Pasti itu semua gak bener kan, Bun. Pasti mereka salah orang kan, Bun? Iya kan, Bun?"
Pertanyaan bertubi-tubi dari Naya. Membuat ibu nya tidak bisa menjawab, yang hanya bisa menundukkan kepala nya sambil geleng-geleng.
Gery pun memberi isyarat kepada anak buahnya, untuk melepaskan sebentar. Agar anak dan ibu itu bisa bicara.
Buk Nur pun langsung mendekap anaknya. Memberi pelukan hangat, agar anaknya sedikit tenang.
"Nay, maafi bunda, Nak. Bunda terpaksa ngelakuin ini untuk biaya perobatan mu. Tapi sungguh, Bunda gak pernah selingkuh sama pak Rama, Nak. Naya percaya kan sama Bunda?"
"Iya, Bun. Naya percaya. Tapi kenapa uangnya sampai sebanyak itu, bukannya hari itu Bunda bilang, kalau Naya cuma operasi usus buntu. Tapi kenapa biaya nya sampai segitu?" tanya Naya yang tak habis fikir.
Malik yang melihat drama queen antara ibu dan anak itu pun, ingin segera dia akhiri. Namun, belum sempat dia berkata. Gery lebih dulu memberitahu berita lain.
"Maaf, Tuan. Saya baru dapat kabar dari orang kita. Kalau suami dia adalah teman papa tuan dari kecil. Mungkin saya rasa ... Tuan besar ingin balas ..."
"Stop!" Malik menghentikan ucapan gery dengan tangannya diangkat keatas.
Rasa dendamnya lebih besar ketimbang belas kasih saat ini. Hingga siapa pun tak mau dia dengar.
"Segera lakukan tugasmu," ucap Malik dingin, menyuruh Gery.
Gery pun langsung memberi isyarat agar anak buahnya membawa ibu itu.
Melihat ibunya di pegang lagi. Naya pun berusaha menepis mereka.
"Lepasin, saya mohon. Tolong lepasin ibu saya. Jangan sakiti ibu saya. Saya mohon!" Naya terus memberontak memohon belas kasian kepada mereka.
Sedangkan buk Nur, tidak bisa berkata lagi, dia hanya pasrah. Dengan air mata yang menderai sebagai saksinya.
Naya pun tidak bisa tinggal diam. Dia pun kembali membujuk Malik.
"Kak, tolong lepasin ibu saya. Jika kakak melepaskan ibu saya. Saya berjanji akan melakukan apapun yang anda mau. Tapi tolong! jangan hukum ibu saya," ucap Naya yang bersimpuh dikaki Malik. Karena tidak ada pilihan lain. Yang terpenting ibunya selamat. Itulah yang dia pikirkan saat ini.
Malik sendiri masih diam belum bersuara. Dia masih berpikir. Apakah perbuatanya kali ini sudah benar untuk menghukum wanita yang sudah membuat ibunya tiada. Apakah itu sepadan dengan apa yang dia perbuat.
Hingga akhirnya ia pun berkata.
"Menikah denganku."
Seketika membuat Naya pun membulatkan matanya. Tak terkecuali mereka semua yang ada disitu juga.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!