NovelToon NovelToon

Jerat Pesona Duda Beranak 1

Bab 1. Proses Transformasi Menjadi Wanita Malam

Hai gais kembali lagi dengan cerita saya 👋. Kali ini berada di cerita yang tak kalah lucunya dengan novel saya yang satu lagi NIKAH DADAKAN DENGAN DOSEN BRENGSEK.

JIKA ADA KESALAHAN KATA ATAU TANDA BACA, TOLONG KRITIK DAN SARANYA YAH🙏🙏

WARNING !!

ADA SEDIKIT ADEGAN DEWASA JADI BIJAKLAH DALAM MEMBACA🙏

HAPPY READING GAIS👋👋

***

**

*

Hari Pertama di Sekolah Baru

Pagi itu, Nadia, siswi kelas 10, memulai hari pertamanya di SMA dengan perasaan campur aduk. Rasa gugup bercampur rasa tidak enak badan membuat wajahnya terlihat pucat. Meski demikian, Nadia tetap berusaha masuk sekolah. Dengan langkah perlahan, ia memasuki kelas barunya. Ia melihat ke sekeliling ruangan yang penuh dengan wajah-wajah baru. Sayangnya, Nadia merasa dirinya bukan bagian dari keramaian itu.

Saat pelajaran berlangsung, Nadia berusaha berkonsentrasi meski tubuhnya terasa lemah. Satu per satu mata pelajaran berlalu, dan Nadia tetap bertahan meskipun kepalanya terasa berat. Namun, saat pelajaran terakhir, tubuhnya tak lagi mampu bertahan. Ia tertidur pulas di mejanya dengan kepala bersandar di lengan.

Namun, ketenangannya tidak berlangsung lama. Cici, siswi yang terkenal julid di kelas itu, mendekatinya sambil mengecap permen dengan suara yang disengaja. "Oi, wanita jelek dan murahan, kenapa kamu?" sindir Cici dengan nada sinis. Semua mata di kelas seketika tertuju pada Nadia yang masih terlelap. Cici, yang tidak senang diabaikan, memukul meja keras-keras hingga Nadia terbangun dengan kaget.

Nadia, yang dikenal sebagai siswi polos dan murah hati, hanya menunduk tanpa menjawab. Sikap diamnya itu justru memancing amarah Cici. Merasa dipermalukan di depan teman-temannya, Cici mendekat dan menarik rambut Nadia dengan kasar. "Mampus lu, bajingan! Kalau orang ngomong, dibalas! Bukannya malah diam, Dek!" bentak Cici sambil memutar-mutarkan rambut Nadia dengan kuat.

Meski merasa sakit hati dan kesal, Nadia memilih untuk tidak melawan. Ia berdiri dengan perlahan dan berjalan keluar kelas menuju kamar mandi. Tapi Cici tidak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan isyarat, Cici memanggil dua teman dekatnya untuk menghentikan langkah Nadia. Kedua gadis itu menangkap tangan Nadia dan mendorongnya dengan keras hingga kepalanya terbentur ke kursi.

Cici dan teman-temannya tertawa puas sambil meludah ke arah Nadia. "Lihat tuh! Enggak bisa berdiri, ya? Mau nangis, Bu? Ahaha!" ejek Cici tanpa rasa bersalah. Tak ada satu pun siswa di kelas itu yang berani menolong. Semua hanya menunduk atau berpura-pura tidak melihat.

Nadia berusaha bangkit meski tubuhnya terasa lemah. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar mandi sambil menahan sakit di kepala dan hatinya. Sesampainya di kamar mandi, Nadia membersihkan luka di dahinya dan menghapus bekas ludah yang menempel di wajahnya.

Saat itu, ketua OSIS (Ketos) baru, seorang siswa tampan dan bijaksana bernama Steven, melintas di dekat kamar mandi. Ia melihat Cici keluar dari sana dengan tangan memar kemerahan. Merasa ada yang aneh, Steven mendekati Nadia yang baru saja selesai mencuci wajahnya. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir.

Namun, Nadia hanya menunduk tanpa menjawab. Ia merasa terlalu lelah untuk berbicara. Dengan buru-buru, ia meninggalkan Steven dan berjalan menuju ruang UKS. Luka memar di tangan dan kepalanya semakin membuat tubuhnya lemas, tetapi Nadia tetap menahan air matanya.

Ketika lonceng sekolah berbunyi, semua siswa-siswi berkumpul di lapangan untuk kegiatan rutin. Namun, Nadia tetap terbaring di atas kasur UKS. Dari sana, ia mendengar percakapan beberapa siswa yang membicarakan ketua OSIS baru. Rupanya, pemilihan telah dilakukan dua hari yang lalu, tepat saat Nadia absen karena sakit. Sayangnya, Nadia tidak bisa mendengar nama ketua baru itu dengan jelas.

Tak lama kemudian, Bu Desi, salah satu guru, datang menghampiri Nadia di UKS. "Nadia, belum pulang, Nak?" tanya Bu Desi dengan lembut.

"Iya, Bu. Ini mau pulang, tapi kepala saya masih sakit," jawab Nadia dengan suara pelan.

"Ya sudah, biar Ibu antar kamu pulang," ujar Bu Desi sambil tersenyum.

Nadia akhirnya pulang diantar oleh Bu Desi dengan mobilnya. Dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja, Steven yang sedang mengayuh sepeda melintas dan melihat Nadia di dalam mobil. Namun, Nadia yang terlalu lelah tidak menyadari tatapan Steven.

Sesampainya di rumah, Nadia langsung terlelap di tempat tidurnya. Tubuhnya terasa sangat lelah, tetapi pikirannya masih mengulang-ulang kejadian buruk yang ia alami hari itu.

Keesokan harinya, di sekolah, Nadia pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Saat itu, ia melihat Steven sedang duduk di dekat jendela sambil membaca buku. Ia berusaha berjalan melewati Steven tanpa menarik perhatian, tetapi lantai yang licin membuatnya terpeleset.

Steven, dengan refleks yang cepat, menangkap Nadia sebelum tubuhnya menyentuh lantai. Tatapan mereka bertemu, dan sejenak waktu terasa berhenti. "Sorry, sorry, saya tidak sengaja," ujar Nadia sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Steven.

Tiba-tiba, suara air yang jatuh dari genteng membuat Nadia terkejut. Ia mendongak dan mendapati...

"Ibu Nadia menyiram Nadia dengan air.

'Bangun, Nadia. Ini sudah pagi,' ucap Ibu Nadia dengan nada lembut.

'Ternyata hanya mimpi,' gumam Nadia dalam hati, merasa lega sekaligus bingung dengan mimpi aneh yang ia alami."

Bab 2. Menyusui Sang Ayah?

Cinta dalam Diam.

Nadia yang semakin mencintai Steven dalam diam ingin mengungkapkan perasaannya kepadanya. Tetapi Nadia masih berpikir apakah Steven akan menerimanya atau tidak.

Nadia yang tak tahan melihat ketampanan Steven dan sudah lama menaruh perasaan kepadanya, ingin selalu menatap senyumnya yang manis itu. Tetapi Steven yang tidak memberikan umpan balik membuat Nadia ragu menyatakan perasaannya.

Nadia curhat dengan Melodi, teman yang pernah dirundung oleh Cici. "Mel, aku ingin mengatakan sesuatu, bagaimana cara menyatakan perasaan kepada orang lain?" "Mudah saja," ujarnya, "tinggal pakai mikrofon sekolah aja terus nyatain perasaanmu, kan mudah," ujarnya sambil bercanda dan tertawa.

Nadia yang polos bukannya ikut tertawa karena candaan Melodi, tetapi malah mendukung ide dari Melodi. "Benar juga ya," ucap Nadia. "Baik, saya akan melakukannya, Melodi. Terima kasih atas idenya."

Imel dan Dina, yang sudah tidak mempunyai teman lagi, meminta maaf dengan tulus kepada Nadia dan membantu Nadia untuk menyatakan perasaan kepada Steven menggunakan mikrofon sekolah.

"Kami akan membantu, Nadia, tenang saja. Steven akan membalas perasaanmu," kata Imel yakin. Nadia sangat yakin Steven akan membalas cintanya.

Tepat pada waktunya Nadia melihat Steven menuju lapangan untuk memberikan dokumen kepada kepala sekolah.

"Steven, aku mencintaimu dengan setulus hatiku. Ketampananmu membuat mataku ingin selalu menatapmu," ucapnya dengan keras.

Steven yang tidak pernah percaya akan hal itu sungguh sangat spontan terkejut. Steven kembali ke kelasnya.

"Apa yang terjadi? Kenapa jantungku berdebar sekencang ini, ya Tuhan? Apakah ini yang dinamakan cinta?" Kawan sekelas Steven bersahut-sahutan dengan mengatakan, "Cie..., cie..."

Steven sontak diam dan menarik napasnya. Semua teman-teman Steven menyalakan speaker Bluetooth di kelasnya. "Steven, kalau kau berani dan benar-benar mencintai Nadia, sekarang adalah kesempatan yang tepat," ucap teman Steven, Alvin.

"Ini mic-nya, cepat, cepat balas, bro, nanti keburu Nadia frustasi lagi."

"Nadia, aku juga mencintaimu," dengan nada lembut dan penuh kejujuran Steven mengatakan itu.

Jantung Nadia yang senam begitu cepat, melangkahkan kakinya ke depan halaman sekolah. Sama seperti Steven yang lari mengejar perasaannya itu ke halaman sekolah.

"Nadia, semua lukamu sudah hilang bukan?" ucap Steven. "Lukaku sudah hilang setelah melihat senyummu yang indah."

Rintik hujan yang turun begitu saja menjadi saksi bisu Nadia dan Steven menyatakan perasaannya.

"Sekarang lukamu akan aku balut dengan harapan yang besar," ucap Steven.

Imel dan Dina melihat itu sontak gembira dan memutar musik yang indah. Musik berputar dengan lirik yang indah:

"Luka itu aku balut dengan secercah harapan, menggantikan rasa perih dengan semangat baru.

Meskipun luka itu dalam, aku balut dengan secercah harapan yang menguatkanku setiap hari.

Dalam kegelapan luka, aku menemukan secercah harapan yang membimbing langkahku.

Setiap luka yang aku balut dengan secercah harapan, membawa aku lebih dekat pada kebahagiaan sejati."

Dari sekian banyak rintangan dan perundungan yang dialami Nadia, menjadi bait indah dalam jalannya, tetapi apakah cinta ini akan selalu abadi atau akan menjadi api lagi? "Apakah ini akan berakhir?" ucap kepala sekolah dalam hati kecilnya menatap Nadia dan Steven, mungkinkah cinta mereka akan menjadi seperti ini selalu?

Lonceng berbunyi menandakan bahwa mata pelajaran sudah selesai, mereka berlari pulang dengan bahagia. Saat mereka sedang berjalan-jalan di taman kota, Steven berhenti sejenak dan memandang Nadia dengan penuh cinta. "Nadia, aku ingin kau tahu bahwa aku sangat berterima kasih karena kau telah memberikan kesempatan ini. Aku berjanji akan selalu menjaga perasaanmu dan tidak akan pernah menyakiti hatimu," ucap Steven dengan tulus.

Nadia tersenyum dan menggenggam tangan Steven. "Aku juga berterima kasih, Steven. Kau telah membuatku merasa begitu istimewa dan bahagia. Aku sangat mencintaimu," jawabnya dengan penuh kasih sayang.

Steven mengantar Nadia sampai di depan rumahnya. "Ibu, aku pulang," dengan ucapan yang bahagia. "Kau sudah pulang, sayang. Suasana hatimu sepertinya sedang berbunga-bunga. Apakah ada cinta di balik senyum itu?"

"Ada, Bu, ini cintanya," sambil memeluk ibunya dan mencium pipinya. Nadia sangat bahagia. Dia tidak sabar dengan hari esok untuk bertemu dengan Steven.

Malam begitu cepat berganti. Pagi tiba dengan cahaya matahari yang menembus dinding kaca kamar Nadia. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan Steven. Setelah memakai seragamnya, dia langsung pergi dan berlari.

"Bu, putrimu pergi ya," ucap Nadia. "Iya sayang," sahut ibunya.

Nadia yang terlalu semangat dan tidak sabar melihat pacarnya berlari hingga ngos-ngosan. Nadia sampai di halaman sekolah dan melihat-lihat sekeliling ternyata Steven tidak ada.

Nadia masuk ke kelasnya dan belajar dengan semangat, sembari memikirkan ketampanan Steven dan mempraktekkan adegan ciuman romantis kepada teman sebangkunya.

Bu Desi yang sudah kembali, tertawa melihatnya. "Nad, kau kenapa nak? Mulutmu kok seperti itu, kau ingin mencium seseorang ya?" tanya Bu Desi. "Tidak, Bu," balas Nadia dengan malu.

Mata pelajaran selesai, Nadia pergi ke lantai atas untuk bertemu Steven, ketua OSIS sekaligus pacarnya. Dia melewati tangga yang begitu panjang.

Sampai di kelas kakak kelasnya itu, Steven yang dia cari sudah tidak sekolah di situ lagi, sudah pergi ke kota lain. Nadia tidak percaya dan bertanya kepada orang lain. "Kak, maaf, lihat kak Steven gak? Maaf dek, Steven sudah pindah sekolah ke kota lain, dan tidak sekolah di sini lagi."

Hati Nadia yang tercabik dan perasaan yang dia rasakan sangat sakit dan merupakan hal yang tak mungkin dibayangkan dia, tapi itu terjadi sekarang.

Nadia yang tak mampu menahan kesedihannya, karena belum percaya bahwa Steven pergi pindah sekolah. Dia pergi bertanya kepada kepala sekolah. "Pak, Steven di mana ya? Apakah dia benar-benar pindah?" sambil bercucuran air mata. "Iya nak, Steven sudah pindah hari ini, dan katanya akan berangkat sekarang ke bandara."

Nadia yang langsung bergegas pergi mengejar cintanya itu disambut oleh Imel dan Dina untuk membantunya. "Nadia, ayo naik mobil kami saja," ucap Imel.

Sampai di bandara Nadia tidak menemukan Steven lagi, dan luka itu kembali pulang ke pangkuan Nadia.

Bab 3. ADMELSS (Adrian Melissa)

Cinta dalam Diam.

Nadia yang semakin mencintai Steven dalam diam ingin mengungkapkan perasaannya kepadanya. Tetapi Nadia masih berpikir apakah Steven akan menerimanya atau tidak.

Nadia yang tak tahan melihat ketampanan Steven dan sudah lama menaruh perasaan kepadanya, ingin selalu menatap senyumnya yang manis itu. Tetapi Steven yang tidak memberikan umpan balik membuat Nadia ragu menyatakan perasaannya.

Nadia curhat dengan Melodi, teman yang pernah dirundung oleh Cici. "Mel, aku ingin mengatakan sesuatu, bagaimana cara menyatakan perasaan kepada orang lain?" "Mudah saja," ujarnya, "tinggal pakai mikrofon sekolah aja terus nyatain perasaanmu, kan mudah," ujarnya sambil bercanda dan tertawa.

Nadia yang polos bukannya ikut tertawa karena candaan Melodi, tetapi malah mendukung ide dari Melodi. "Benar juga ya," ucap Nadia. "Baik, saya akan melakukannya, Melodi. Terima kasih atas idenya."

Imel dan Dina, yang sudah tidak mempunyai teman lagi, meminta maaf dengan tulus kepada Nadia dan membantu Nadia untuk menyatakan perasaan kepada Steven menggunakan mikrofon sekolah.

"Kami akan membantu, Nadia, tenang saja. Steven akan membalas perasaanmu," kata Imel yakin. Nadia sangat yakin Steven akan membalas cintanya.

Tepat pada waktunya Nadia melihat Steven menuju lapangan untuk memberikan dokumen kepada kepala sekolah.

"Steven, aku mencintaimu dengan setulus hatiku. Ketampananmu membuat mataku ingin selalu menatapmu," ucapnya dengan keras.

Steven yang tidak pernah percaya akan hal itu sungguh sangat spontan terkejut. Steven kembali ke kelasnya.

"Apa yang terjadi? Kenapa jantungku berdebar sekencang ini, ya Tuhan? Apakah ini yang dinamakan cinta?" Kawan sekelas Steven bersahut-sahutan dengan mengatakan, "Cie..., cie..."

Steven sontak diam dan menarik napasnya. Semua teman-teman Steven menyalakan speaker Bluetooth di kelasnya. "Steven, kalau kau berani dan benar-benar mencintai Nadia, sekarang adalah kesempatan yang tepat," ucap teman Steven, Alvin.

"Ini mic-nya, cepat, cepat balas, bro, nanti keburu Nadia frustasi lagi."

"Nadia, aku juga mencintaimu," dengan nada lembut dan penuh kejujuran Steven mengatakan itu.

Jantung Nadia yang senam begitu cepat, melangkahkan kakinya ke depan halaman sekolah. Sama seperti Steven yang lari mengejar perasaannya itu ke halaman sekolah.

"Nadia, semua lukamu sudah hilang bukan?" ucap Steven. "Lukaku sudah hilang setelah melihat senyummu yang indah."

Rintik hujan yang turun begitu saja menjadi saksi bisu Nadia dan Steven menyatakan perasaannya.

"Sekarang lukamu akan aku balut dengan harapan yang besar," ucap Steven.

Imel dan Dina melihat itu sontak gembira dan memutar musik yang indah. Musik berputar dengan lirik yang indah:

"Luka itu aku balut dengan secercah harapan, menggantikan rasa perih dengan semangat baru.

Meskipun luka itu dalam, aku balut dengan secercah harapan yang menguatkanku setiap hari.

Dalam kegelapan luka, aku menemukan secercah harapan yang membimbing langkahku.

Setiap luka yang aku balut dengan secercah harapan, membawa aku lebih dekat pada kebahagiaan sejati."

Dari sekian banyak rintangan dan perundungan yang dialami Nadia, menjadi bait indah dalam jalannya, tetapi apakah cinta ini akan selalu abadi atau akan menjadi api lagi? "Apakah ini akan berakhir?" ucap kepala sekolah dalam hati kecilnya menatap Nadia dan Steven, mungkinkah cinta mereka akan menjadi seperti ini selalu?

Lonceng berbunyi menandakan bahwa mata pelajaran sudah selesai, mereka berlari pulang dengan bahagia. Saat mereka sedang berjalan-jalan di taman kota, Steven berhenti sejenak dan memandang Nadia dengan penuh cinta. "Nadia, aku ingin kau tahu bahwa aku sangat berterima kasih karena kau telah memberikan kesempatan ini. Aku berjanji akan selalu menjaga perasaanmu dan tidak akan pernah menyakiti hatimu," ucap Steven dengan tulus.

Nadia tersenyum dan menggenggam tangan Steven. "Aku juga berterima kasih, Steven. Kau telah membuatku merasa begitu istimewa dan bahagia. Aku sangat mencintaimu," jawabnya dengan penuh kasih sayang.

Steven mengantar Nadia sampai di depan rumahnya. "Ibu, aku pulang," dengan ucapan yang bahagia. "Kau sudah pulang, sayang. Suasana hatimu sepertinya sedang berbunga-bunga. Apakah ada cinta di balik senyum itu?"

"Ada, Bu, ini cintanya," sambil memeluk ibunya dan mencium pipinya. Nadia sangat bahagia. Dia tidak sabar dengan hari esok untuk bertemu dengan Steven.

Malam begitu cepat berganti. Pagi tiba dengan cahaya matahari yang menembus dinding kaca kamar Nadia. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan Steven. Setelah memakai seragamnya, dia langsung pergi dan berlari.

"Bu, putrimu pergi ya," ucap Nadia. "Iya sayang," sahut ibunya.

Nadia yang terlalu semangat dan tidak sabar melihat pacarnya berlari hingga ngos-ngosan. Nadia sampai di halaman sekolah dan melihat-lihat sekeliling ternyata Steven tidak ada.

Nadia masuk ke kelasnya dan belajar dengan semangat, sembari memikirkan ketampanan Steven dan mempraktekkan adegan ciuman romantis kepada teman sebangkunya.

Bu Desi yang sudah kembali, tertawa melihatnya. "Nad, kau kenapa nak? Mulutmu kok seperti itu, kau ingin mencium seseorang ya?" tanya Bu Desi. "Tidak, Bu," balas Nadia dengan malu.

Mata pelajaran selesai, Nadia pergi ke lantai atas untuk bertemu Steven, ketua OSIS sekaligus pacarnya. Dia melewati tangga yang begitu panjang.

Sampai di kelas kakak kelasnya itu, Steven yang dia cari sudah tidak sekolah di situ lagi, sudah pergi ke kota lain. Nadia tidak percaya dan bertanya kepada orang lain. "Kak, maaf, lihat kak Steven gak? Maaf dek, Steven sudah pindah sekolah ke kota lain, dan tidak sekolah di sini lagi."

Hati Nadia yang tercabik dan perasaan yang dia rasakan sangat sakit dan merupakan hal yang tak mungkin dibayangkan dia, tapi itu terjadi sekarang.

Nadia yang tak mampu menahan kesedihannya, karena belum percaya bahwa Steven pergi pindah sekolah. Dia pergi bertanya kepada kepala sekolah. "Pak, Steven di mana ya? Apakah dia benar-benar pindah?" sambil bercucuran air mata. "Iya nak, Steven sudah pindah hari ini, dan katanya akan berangkat sekarang ke bandara."

Nadia yang langsung bergegas pergi mengejar cintanya itu disambut oleh Imel dan Dina untuk membantunya. "Nadia, ayo naik mobil kami saja," ucap Imel.

Sampai di bandara Nadia tidak menemukan Steven lagi, dan luka itu kembali pulang ke pangkuan Nadia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!