NovelToon NovelToon

Ambil Saja Suamiku

Reruntuhan Bangunan Vs Reruntuhan Hati

Di Toko Bayi "Doremi"

Desi berjalan pelan-pelan di antara rak perlengkapan bayi. Perut besarnya membuat langkahnya sedikit berat, tetapi ia tersenyum lebar sambil memandangi baju-baju mungil berwarna pastel. "Ah, bayi kita pasti cocok pakai ini," gumam Desi sambil memegang satu set baju tidur biru lembut.

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar. Rak-rak di sekitarnya mulai bergetar. Desi melihat sekeliling dengan panik.

"Ada apa ini?" desisnya. Sebelum ia sempat bereaksi, dinding di belakangnya runtuh, disusul plafon yang mulai retak. Desi mencoba berlindung di bawah meja kasir, melindungi perutnya dengan kedua tangannya.

Ketika tim pemadam kebakaran tiba, kekacauan melanda. Asap dan debu memenuhi udara. Orang-orang berteriak meminta bantuan.

Bima memimpin timnya dengan tegas. "Ayo, periksa area sebelah timur dulu! Jangan sampai ada korban yang terlewat!" serunya.

Sementara itu, di bawah reruntuhan, Desi merogoh ponselnya dengan tangan gemetar. Perutnya yang besar membuatnya sulit bergerak di antara puing-puing yang menimpa tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal, namun ia tetap mencoba menekan nomor suaminya. Bima, sang kapten pemadam kebakaran. Hatinya berdebar kencang, berharap Bima bisa segera datang menolongnya.

Desi dengan gemetar dan darah mengalir di bawah pahanya, "Mas Bima… angkat… angkat, tolong…"

Panggilan tersambung. Suara Bima terdengar di ujung sana, penuh kelelahan.

Bima terdengar tergesa-gesa, "Halo? Sayang, aku sedang bertugas. Nanti aku—"

Desi terisak sambil tetap memegang erat perut nya, "Mas Bima! Aku… aku di toko Doremi! Bangunan ini runtuh, aku terjebak! Tolong aku!"

Hening sejenak di seberang. Suara sirine mobil damkar terdengar di arah belakang, diselingi suara teriakan tim evakuasi.

Bima terkejut dan terlihat panik, "Kamu di mana? Di Doremi? Tunggu, aku—"

Desi menahan napas, merasa lega sedikit, namun hatinya semakin berat. Ia mendengar suara Bima yang jelas cemas, tapi saat itu juga, sebuah suara perempuan yang dikenal oleh Desi terdengar samar-samar di arah belakang.

Suara seorang wanita yang memotong ucapan Bima, diikuti tangisan anak kecil.

Maya menangis ketakutan dan berteriak dengan kencang, "Mas Bima, tolong anakku! Abas kesakitan!"

Bima terkejut dan berusaha menenangkan, "Maya, aku di sini! Jangan khawatir, aku akan keluarkan kalian!"

Desi menggigit bibir, perasaan cemburu dan amarah menyelimuti hatinya. Maya. Wanita itu. Cinta pertama Bima.

Desi merasa hatinya hancur mendengarnya. Air mata mengalir di pipinya. Dengan suara tercekat, ia mencoba memanggil suaminya lagi. "Mas Bima… aku masih di sini. Mas Bima?"

Bima tersentak mendengar Desi memanggilnya, "Aku harus menolong Maya dan Abas dulu. Mereka terjebak di bagian terdalam. Desi, aku tidak bisa bicara lama. Bertahanlah, ya. Aku akan menyuruh tim lain mencari kamu!"

Telepon terputus. Meninggalkan Desi dengan hati yang hancur. Desi memeluk perutnya dengan erat, berharap anaknya bisa selamat.

Desi menangis dan dalam hati berkata, “Aku ini istrimu, mas Bima. Aku mengandung anakmu. Tapi kenapa Maya… selalu Maya? Bahkan di saat seperti ini…”

Desi memejamkan mata, menahan air mata yang mulai mengalir. Ia merasa seolah dunia tiba-tiba runtuh lagi, kali ini bukan oleh bangunan, tetapi oleh kenyataan yang menyakitkan. Ia tahu, suaminya memilih untuk menolong wanita lain yang lebih dulu hadir dalam hidupnya.

Tak lama kemudian, Desi melihat Bima muncul dari arah puing-puing. Harapan muncul di matanya, namun seketika hancur saat ia melihat Bima menggendong seorang anak kecil, Abas. Di belakangnya, Maya berjalan dengan tubuh lemah namun wajah penuh kemenangan.

Desi berkata dalam hati dengan hati yang hancur, “Dia datang, tapi bukan untukku…”

Maya melirik Desi sekilas. Tatapannya penuh rasa puas, seolah ia sengaja menunjukkan bahwa Bima ada di sisinya. Desi hanya bisa memandang, tubuhnya terasa semakin lemah.

Desi berbisik pelan, "Mas Bima…"

Air mata mengalir, Desi menggenggam perutnya, berusaha melindungi bayinya, tapi kekuatan itu mulai pudar, dan dunia menjadi gelap.

Di UGD, Tim medis di rumah sakit bekerja dengan tergesa-gesa saat Desi dibawa masuk. Salah satu dokter, Dr. Andini, segera memeriksa kondisinya. "Tekanan darahnya turun drastis! Kita harus segera melakukan operasi," perintahnya.

Seorang perawat, Sari, mencoba menelepon Bima. "Nomor suaminya sudah kita dapat. Aku akan coba hubungi dia."

Di ruang rawat inap, suasana terasa tenang meski penuh kecemasan. Abas duduk di tempat tidur, tubuh kecilnya tampak sedikit lemah. Bima duduk di sampingnya, sambil menyuapkan makanan kepada Abas dengan lembut. Abas menatap Bima dengan mata penuh harap. “Ayah, aku nggak mau makan dulu. Aku mau lihat taman. Bisa ayah gendong aku ke sana?”

Bima tersentak dengan panggilan anak dari cinta pertamanya ini. Bima menatap Abas, senyum hangat terbentuk di wajahnya meskipun hatinya penuh dengan kebingungan.

Bima mengangguk, “Tentu, Nak. Sebentar, ya.”

Bima memindahkan piring makanan ke meja samping tempat tidur, lalu mengangkat Abas dengan hati-hati.

Abas meringis sedikit, tapi senyum bahagia langsung terpancar saat ia merasa tubuhnya terangkat ke pelukan Bima. “Terima kasih, Ayah. Ayah paling baik.”

Bima tersenyum pahit, “Tidak masalah, Nak. Ayo kita lihat taman.”

Abas memeluk Bima dengan erat, berharap bisa merasakan kenyamanan. Bima berjalan menuju jendela kamar rawat inap.

Namun, ponsel Bima berdering, mengganggu ketenangan sejenak. Bima melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Desi, nama sang istri.

Bima merasa gelisah, tidak tahu harus menjawab atau tidak. Ia tahu bahwa Desi baik-baik saja, temannya baru menghubungi nya jika sang istri telah dibawa ke Rumah Sakit. Meskipun agak gelisah, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan Abas yang membutuhkan perhatiannya.

Bima ragu mengangkat ponselnya dan melihat layar. Apakah ia akan mengangkatnya atau tidak.

Maya, yang berada di tempat tidur, melihat ke arah Bima dengan tatapan yang tak terbaca. Ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa Bima tampaknya ragu-ragu. Maya kemudian membuka mulut dengan suara lirih. “Mas Bima… Apakah itu istrimu yang menelepon?”

Bima terdiam beberapa detik sebelum mengangguk pelan. “Iya, ini Istriku.”

Maya tidak mengucapkan apapun, namun ekspresinya sedikit berubah. Ia kembali memandang ke arah anaknya, Abas, yang kini terlihat tenang di pelukan Bima. “Ayah, lihat… taman!”

Bima menaruh ponselnya kedalam saku nya kembali, setelah dering telfon itu mati. Bima menatap ke luar jendela dan melihat taman kecil yang ada di luar. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke Abas yang sedang tersenyum, seolah ingin merasakan kebahagiaan sederhana itu.

Bima dengan lembut menggenggam tangan Abas lebih erat lagi, “Ya, Nak, lihatlah. Apakah kamu suka taman?”

Abas tertawa ceria, matanya berbinar. “Wah, indah banget, Ayah! Aku suka taman. Terima kasih.”

Bima hanya tersenyum, sedangkan Abas dengan nada manjanya, “Ayah, jika nanti Abas sembuh, Bisakah ayah berjanji untuk membawa Abas ke taman indah lainnya?”

Bima mengangguk pelan. “Janji, Nak. Tapi sekarang, mari kita nikmati pemandangannya taman disini dulu.”

Sedangkan di Ruang Operasi, Sari masih menekan nomor Bima. Namun, panggilan tidak diangkat. Sari gelisah, "Masih sibuk belum diangkat. Apa kita harus menunggu persetujuan keluarga?"

Dr Andini menggeleng, "Kita tidak punya waktu! Nyawa pasien dan bayinya dalam bahaya!"

Sari terlihat bingung dan cemas, namun tak ada waktu untuk berpikir panjang. Semua mata tertuju pada Desi yang tampak semakin lemah. "Tapi, tanda tangan persetujuan...."

Desi tiba-tiba membuka mata dengan lemah. Suaranya hampir tak terdengar.

Desi bersuara dengan lemah, "Aku… aku yang tanda tangan… aku yang setuju…"

Sari dan para perawat lainnya saling bertukar pandang, bingung. "Ibu tidak perlu memaksakan diri, kondisi Anda terlalu lemah."

"Tolong… selamatkan bayiku…" ucap Desi dengan suara hampir tak terdengar.

Dengan berat hati, Sari menyerahkan formulir. Setelah Desi menandatangani dokumen itu, ia kembali tak sadarkan diri.

Operasi Darurat Yang Mencekam

Ruangan operasi penuh dengan tekanan dan hiruk-pikuk. Perawat dan dokter bekerja dengan cepat, wajah mereka tegang. Desi terbaring lemah di atas meja operasi, tubuhnya diselimuti peralatan medis. Lampu sorot terang menerangi wajah pucatnya, sementara darah terus mengalir dari tubuhnya.

Seorang perawat muda, Nina, memandang monitor dengan wajah cemas. "Dok, tekanan darahnya terus turun. Sekarang di 70/40!"

Dr. Andini, seorang dokter bedah berpengalaman, mencoba menjaga ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. "Siapkan satu kantong darah lagi. Kita harus menghentikan pendarahannya sekarang."

Nina dengan cepat merespons, "Baik, Dok!" Ia bergegas mengambil kantong darah dari lemari pendingin di sudut ruangan.

Sementara itu, seorang perawat senior, Rina, mengelap keringat di dahi Desi sambil memantau tanda vitalnya.

"Dok, detak jantungnya semakin melemah. Kita mungkin harus mempertimbangkan tindakan agresif."

Dr. Andini memandang monitor, kemudian wajah Desi. Dalam hati, ia berdoa keras. "Ibu Desi, bertahanlah. Kamu harus bertahan, demi bayimu."

Namun, perhatian mereka teralihkan saat alarm monitor lain berbunyi. Monitor detak jantung janin menunjukkan garis datar. Semua orang terdiam sejenak.

Nina menahan napas. "Dok, detak jantung bayinya..." suaranya serak, hampir tak terdengar.

Andini menoleh tajam ke arah monitor. Matanya melebar, tapi ia segera menegakkan tubuh. "Jangan panik! Fokus pada ibu dulu. Kita bisa kehilangan dia kalau kita tidak bergerak cepat. Rina, tambah dosis obat penstabil. Nina, jaga tekanan darahnya tetap stabil."

Nina menggigit bibirnya, tangannya gemetar saat ia mengatur infus. Dalam hatinya ia berbisik.

Ya Tuhan, tolonglah dia. Tolong biarkan dia bertahan.

Namun, suara detak dari monitor janin benar-benar berhenti. Suara hening itu lebih memekakkan dibandingkan keramaian sebelumnya. Salah satu perawat, Ayu, tidak bisa menahan air matanya. Ia berbisik pelan. "Kita kehilangan bayinya, Dok..."

Dr. Andini berhenti sejenak, tatapannya kosong menatap monitor. Ia menghela napas dalam, rasa bersalah menyelimuti hatinya. "Tidak… ini tidak boleh terjadi. Aku harus menyelamatkan ibunya. Dia masih punya harapan."

"Fokus!" seru dr. Andini, memecah keheningan. "Kita harus menyelamatkan ibunya. Jangan biarkan pendarahan ini membuat kita kehilangan dia juga. Nina, tekan perutnya untuk membantu menghentikan aliran darah. Rina, awasi tekanan darahnya."

Rina mengangguk dengan cepat, menghapus air matanya. Ia berkata dengan suara bergetar.

"Kita tidak bisa menyerah sekarang, Dok."

Sementara itu, Nina berbicara sambil menangis. "Dok… tekanan darahnya terlalu rendah. Apa kita perlu meminta bantuan dokter lain?"

Andini menatap Nina tajam. "Aku tidak peduli berapa rendah tekanan darahnya. Kita harus membuatnya stabil. Sekarang!"

Rina tiba-tiba berseru. "Dok, jantungnya mulai menunjukkan irama tidak normal!"

Andini segera memeriksa monitor. "Defibrillator, cepat!" Ia memberikan instruksi dengan tegas. "Siapkan kejut listrik pada hitungan ketiga."

Nina mengulurkan alat defibrillator dengan tangan gemetar. Andini mengambilnya, tatapannya penuh tekad.

"Satu… dua… tiga!"

Suara listrik memenuhi ruangan. Tubuh Desi terangkat sedikit, lalu kembali terbaring. Semua mata tertuju pada monitor. Garis lurus di layar mulai bergetar, membentuk gelombang kecil.

"Detak jantungnya kembali," seru Nina lega.

Tapi dr. Andini tahu ini belum selesai. "Bagus. Sekarang lanjutkan transfusi. Kita tidak punya waktu." Dalam hati, ia terus berdoa. "Ibu Desi, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Aku berjanji."

Sedangkan di lorong rumah sakit, suasana juga tak kalah sibuk. Keluarga pasien lain lalu-lalang, beberapa menangis, yang lain menunggu dengan gelisah. Di antara keramaian itu, Sari masih mencoba menghubungi ponsel Bima lagi. Namun, hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban.

Perawat itu berbicara pada rekannya. "Dia suaminya, kan? Bagaimana mungkin dia tidak mengangkat telepon di saat seperti ini?"

Rekan perawat menghela napas. "Mungkin dia sedang sibuk. Tapi ini keadaan darurat. Sesibuk apa suami nya ini, hingga tak mengangkat telfon istrinya."

Sementara itu, seorang dokter lain mendekati mereka. "Bagaimana kondisi pasien di ruang operasi?"

Perawat pertama menggeleng pelan. "Masih kritis, Dok. Kita kehilangan bayi dalam kandungannya, tapi tim medis masih berusaha menyelamatkan ibunya."

Dokter itu mengangguk pelan, lalu memandang ponsel di tangan perawat. "Terus coba hubungi suaminya. Dia harus segera datang."

Kembali di Ruang Operasi, dr. Andini menghapus keringat di dahinya, tubuhnya mulai terasa lelah. Tapi ia tidak menunjukkan itu pada timnya. Ia tahu, satu momen kelemahan saja bisa membuat segalanya runtuh. "Nina, bagaimana tekanannya?"

Nina memeriksa monitor lagi. "Sedikit naik, Dok. Sekarang 85/50."

Andini mengangguk. "Itu belum cukup, tapi setidaknya ada kemajuan. Lanjutkan transfusi, dan pastikan dia tetap mendapat oksigen maksimal."

Ayu yang masih berdiri di pojok ruangan berkata dengan suara pelan. "Dok… bagaimana jika kita tidak berhasil?"

Andini menoleh tajam ke arah Ayu. "Kita tidak punya pilihan lain, Ayu. Kita harus berhasil. Kita tidak boleh gagal lagi."

Namun, di dalam hati, Andini tidak bisa mengabaikan rasa takutnya sendiri. "Ya Tuhan, tolonglah dia. Aku tidak ingin menyerah, tapi aku tahu, waktu kami hampir habis."

Monitor kembali berbunyi, kali ini menunjukkan penurunan tekanan darah yang drastis. Semua orang kembali panik.

Andini berteriak. "Nina, periksa alat bantu pernapasannya! Pastikan tidak ada sumbatan."

Nina berlari memeriksa tabung oksigen. "Semua normal, Dok."

Andini menggigit bibirnya. "Kalau begitu, kita harus meningkatkan kecepatan transfusi. Rina, siapkan kantong darah berikutnya."

Rina mengangguk cepat. "Baik, Dok!"

Di luar, seorang perawat masuk dengan wajah tegang. "Dok, kami masih tidak bisa menghubungi suaminya."

Andini merasa amarahnya memuncak, tetapi ia menahan diri. "Lupakan suaminya untuk sekarang. Kita tidak punya waktu untuk menunggu. Biarkan saja suami nya itu nanti pasti akan menyesal."

Setelah berjam-jam operasi yang melelahkan, akhirnya suasana mulai mereda. Dr. Andini menghela napas dalam-dalam, menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Desi masih terbaring di atas meja operasi, tubuhnya dipenuhi alat bantu medis, tetapi kondisinya sudah mulai stabil.

"Tekanan darahnya kembali normal, Dok," kata Nina dengan suara lega sambil memeriksa monitor. "Sekarang di 110/70."

Andini mengangguk, melepaskan sarung tangannya. "Bagus. Kita berhasil menstabilkannya. Kita harus memantau 24 jam ke depan. Siapkan ruang ICU dan awasi dia dengan ketat."

Rina yang berdiri di sisi lain ruangan berbicara pelan, masih diliputi kelelahan. "Dok, dia benar-benar kuat. Dengan kondisi seperti ini, dia masih bertahan..."

Dr. Andini memandang wajah pucat Desi yang seakan-akan tertidur. Dalam hati, ia merasa lega sekaligus bersalah. "Maafkan kami, Ibu Desi. Kami tidak bisa menyelamatkan bayimu. Tapi kami berjanji akan melakukan yang terbaik untukmu."

Seorang perawat membawa dokumen operasi darurat yang sudah ditandatangani Desi sebelum ia kehilangan kesadaran. Beberapa dokter dan staf medis berbincang tentang apa yang baru saja terjadi.

"Kau lihat tadi? Dia menandatangani dokumen itu sendiri," kata salah satu perawat dengan nada kagum. "Bahkan dalam keadaan seperti itu, dia tetap mencoba menyelamatkan dirinya sendiri."

Rekan perawatnya mengangguk. "Itu bukti dia punya tekad yang kuat. Tapi aku masih tidak percaya suaminya tidak ada di sini. Apa dia bahkan tahu apa yang terjadi?"

"Seharusnya dia tahu," jawab perawat pertama, menggelengkan kepala dengan rasa kesal. "Kami sudah mencoba menghubunginya berkali-kali. Tapi dia tidak menjawab."

Seorang perawat mendekati Dr. Andini dengan wajah cemas. "Dok, kami sudah mencoba menghubungi suami pasien lagi, tapi tetap tidak ada respons."

Andini menghela napas berat, wajahnya menunjukkan rasa kecewa. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Pastikan dia dipindahkan ke ICU sekarang. Kalau dia masih tidak datang, kita harus memutuskan sendiri langkah berikutnya."

Begadang Nonton Drama Korea

Desi terbaring di ruang ICU dengan berbagai alat bantu medis yang terpasang di tubuhnya. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang lemah.

Rina berdiri di sisi ranjang, menggenggam tangan Desi dengan lembut. Dalam hati, ia merasa terenyuh melihat perempuan itu berjuang begitu keras."Kamu pasti bisa melewati ini, Ibu Desi," gumamnya pelan. "Kamu sudah berjuang sejauh ini. Jangan menyerah, ya..."

Di sudut ruangan, Dr. Andini berdiri dengan tangan menyilang di dada, memandang pasiennya dengan ekspresi serius. Dalam hatinya, ia merasa ada beban besar yang belum terangkat.

Dia kehilangan bayinya… dan sekarang dia dalam koma. Apa yang akan terjadi jika dia sadar? Apa dia bisa menerima semuanya?

Namun, ia menepis pikiran itu. Sekarang bukan waktunya untuk menyerah. "Pantau dia dengan ketat. Laporkan setiap perubahan, sekecil apa pun," ujar Andini pada timnya sebelum melangkah keluar.

Di Kota Lain, Seorang gadis muda sedang duduk di ruang tamu apartemennya yang luas dan modern. Dia adalah Gendis, 25 tahun. Seorang gadis muda pemilik perusahaan, yatim piatu, dan mempunyai Kakak angkat laki-laki. Salah satu hobi nya adalah menonton drama Korea.

Ditemani segelas kopi yang sudah dingin dan tumpukan camilan, matanya terpaku pada layar laptop yang menampilkan episode terakhir dari drama Korea yang sedang ia tonton maraton.

"Gila, ini beneran nggak ada akalnya!" seru Gendis dengan suara setengah berteriak sambil memukul bantal di sebelahnya.

Ia menggerutu, "Kenapa sih cewek ini nggak bisa lihat kalau cowok yang selalu ada buat dia itu yang paling tulus? Eh, malah ngejar-ngejar si brengsek itu."

Tangannya meraih bungkus keripik di meja, lalu ia kembali menonton. "Ya ampun, kalau aku jadi dia, aku udah tinggalin cowok itu dari dulu."

Saat adegan emosional muncul, Gendis tak bisa menahan air matanya. Ia menyeka pipinya dengan lengan kaus. "Astaga, kenapa ini dramanya bikin nangis banget sih? Kok aku baper banget ya, padahal kan cuma cerita."

Jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari, tapi Gendis tidak peduli.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia mengerutkan dahi, mengangkat panggilan video dari kakak angkatnya, Raka.

"Kenapa, Kak?" Gendis bertanya sambil menggigit keripik.

"Gendis, udah jam dua pagi. Kamu nggak tidur?" suara Raka terdengar cemas.

Gendis memutar matanya. "Santai aja, Kak. Aku lagi seru nonton drama Korea, tahu."

"Drama Korea lagi? Kamu lupa besok ada meeting penting?"

Ia menguap, lalu menjawab santai, "Meeting bisa nunggu. Ini episode terakhir, Kak. Nggak bisa ditunda."

Raka mendesah panjang. "Gendis, kamu tuh selalu kayak gini. Kesehatanmu nggak dijaga. Jangan lupa, kamu kerja keras bangun bisnis ini. Jangan sampai semua yang kamu capai sia-sia cuma karena drama!"

"Lebay, Kak," Gendis berkata sambil tertawa kecil. "Aku baik-baik aja kok. Lagian, aku kan nggak pernah ambil cuti. Sekali-kali manja ke diri sendiri, nggak apa-apa, kan?"

Raka diam sejenak sebelum akhirnya menyerah. "Ya udah, tapi janji, kalau selesai, langsung tidur. Jangan maksa diri."

"Yes, Sir!" jawab Gendis sambil memberi hormat pura-pura.

Saat drama akhirnya selesai menjelang subuh, Gendis meregangkan tubuhnya. Namun, rasa lelah yang ia abaikan mulai menyerang.

"Kepalaku pusing banget," gumamnya, memegangi pelipisnya.

Ia mencoba berdiri, tetapi pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya terasa lemas, seolah energi hidupnya tersedot habis.

"Aduh, kenapa ini?" Ia terhuyung ke sofa, lalu jatuh terduduk. Napasnya mulai tersengal.

Di tengah kesadarannya yang mulai memudar, ia bergumam pelan, "Kak Raka… kayaknya aku butuh istirahat."

Namun sebelum ia sempat menghubungi seseorang, tubuhnya limbung ke sisi sofa, dan semuanya menjadi gelap.

Gendis membuka matanya perlahan, tetapi yang ia lihat bukan lagi apartemennya. Gendis berdiri terpaku di tengah taman bunga yang begitu luas. Angin sepoi-sepoi membawa wangi bunga melati, tetapi perasaan aneh merayap dalam dirinya. Di kejauhan, suara seorang wanita memanggilnya, lembut namun jelas.

"Halo, Gendis?"

Gendis memutar badan mencari sumber suara. Di bawah pohon besar, seorang wanita berkulit putih dengan rambut hitam panjang sedang menggendong bayi. Matanya yang coklat menatap langsung ke arah Gendis.

"Siapa kamu?" tanya Gendis, mengerutkan dahi.

Wanita itu tersenyum lemah. "Aku Desi. Bolehkah aku meminta bantuanmu?."

"Bantuan apa?" Gendis mulai melangkah mendekat, matanya tak lepas dari bayi di pelukan wanita itu.

Desi menatap bayi yang sedang tertidur lelap. "Bisakah kamu menjaga harta peninggalan keluargaku dan... menguburkan bayiku?"

Gendis berhenti sejenak, mengangkat alis. "Bayi? Maksudmu... bayi yang kamu gendong sekarang?"

Desi mengangguk pelan, air mata mengalir di pipinya.

Gendis menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dan merasa aneh, "Tunggu sebentar. Aku belum ngerti. Ini sebenarnya di mana sih? taman apa ini?"

Desi menarik napas dalam-dalam. "Ini portal antara hidup dan mati. Tempat orang-orang yang belum selesai dengan urusan dunia."

Gendis tertawa sinis. "Hah? Jadi aku mati? Aku nggak mimpi, kan?"

Desi mengangguk, menatap Gendis dengan penuh iba. "Ya, kamu sudah meninggal. Tubuhmu sudah dikubur."

Gendis melongo. "Mampus! Aku beneran mati gara-gara nonton drama Korea?! Aduh, aku pikir aku cuma pingsan!"

Desi tersenyum tipis, tapi matanya tetap sedih. "Aku tahu ini sulit diterima. Tapi... aku juga sudah meninggal."

Gendis menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. "Oke, jadi kita sama-sama mati. Kalau aku udah mati, kenapa aku nggak langsung ke surga atau neraka aja? Kenapa malah di sini?"

"Karena kamu punya pilihan," jawab Desi dengan lembut.

Gendis melipat tangannya, menatap Desi penuh selidik. "Pilihan? Oke, jelasin. Terus, kamu kenapa mati? Apa kamu juga pingsan gara-gara begadang?"

Desi menunduk. "Aku meninggal... karena terluka parah. Suamiku meninggalkanku saat aku butuh dia. Dia lebih memilih menyelamatkan cinta pertamanya."

Gendis menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Hah? Jadi suami kamu nggak nolong kamu yang istrinya sendiri? Wah, kurang ajar banget itu cowok. Tunggu, jangan bilang kamu masih cinta sama dia?"

Desi hanya diam.

Gendis tertawa sinis. "Ah, serius?"

Desi tersenyum getir sedangkan Gendis mendecakkan lidah. "Oke, terus kenapa aku?"

Desi menatap Gendis penuh harap. "Aku butuh seseorang untuk melanjutkan apa yang aku tinggalkan. Aku tidak bisa membiarkan bayiku dibiarkan begitu saja. Aku ingin dia dikuburkan dengan layak."

Gendis menghela napas panjang, lalu duduk di atas rerumputan. "Oke, aku ngerti kamu butuh bantuan. Tapi apa yang aku dapat dari semua ini?"

Desi tersenyum kecil. "Kamu bisa melakukan apa saja dengan tubuhku. Kau bebas menjalani hidup seperti yang kau mau. Aku hanya meminta dua hal: jaga peninggalanku dan kuburkan bayiku dengan layak."

Gendis memiringkan kepalanya, berpikir sejenak. "Hmm... kayaknya seru juga. Tapi, aku nggak mau jadi kayak orang linglung. Kalau aku setuju, kamu harus kasih aku ingatan kamu. Mana bisa aku tiba-tiba bangun terus nggak tahu apa-apa."

Desi mengangguk. "Tentu saja. Aku akan memberimu semua yang kamu butuhkan."

Desi mendekat kearah Gendis, lalu menyentuh dahi Gendis dengan lembut. Tiba-tiba, kilasan ingatan Desi memenuhi kepala Gendis. Adegan demi adegan berlalu seperti film yang diputar cepat: Desi kecil, remaja, dewasa, hingga ia menikah, momen bahagianya bersama suaminya, kehamilannya, hingga kejadian di reruntuhan.

Gendis membuka matanya, wajahnya memerah karena marah. "Astaga! Suami kamu itu cowok paling brengsek yang pernah aku lihat!"

Ia bangkit berdiri, berjalan mondar-mandir sambil menggerutu. "Cinta pertama? Ngapain sih masih ngurusin cinta pertama? Udah punya istri kok masih peduli sama mantan. Aduh, bikin emosi banget!"

Desi tersenyum kecil melihat reaksi Gendis.

Gendis melanjutkan, "Kalau aku jadi kamu, aku bakal kasih pelajaran buat dia. Biar tahu rasa. Aku nggak ngerti kenapa kamu masih peduli sama dia."

Desi menunduk. "Karena aku mencintainya."

Gendis menghela napas panjang, menatap Desi dengan iba. "Kamu terlalu baik buat dunia ini, tahu nggak? Tapi tenang, aku bakal buat dia nyesel seumur hidup. Mulai sekarang, tubuhmu adalah milikku, dan aku akan menjalani hidup yang kamu tinggalkan."

Desi tersenyum. "Terima kasih, Gendis. Aku percaya padamu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!