Di sebuah dataran rendah, terdapat sebuah rumah besar milik seorang pendatang dari negeri Tiongkok yang di kenal oleh warga sekitar dengan sebutan Tun Ai (Tuan Aisin).
Di rumah besar itu, dia tinggal bersama empat orang istri dan 7 orang anak yang terdiri dari tiga laki laki dan empat perempuan.
Dari istri pertamanya yang sering disebut dengan nyonya Na dia memiliki sepasang anak bernama Ai Sina dan Aisilya.
Dari istri keduanya yang dikenal sebagai nyonya Mei hanya seorang putri saja bernama Ai Sila. Sedangkan dari istri ketiga yaitu nyonya Lui hanya seorang putra bernama Aisin Yi.
Dari istri terakhir yang dipanggil warga dengan nama nyonya Ling terdapat dua anak kembar laki dan perempuan yang diberi nama Aisiow dan Ailing.
Selain mereka, ada seorang putri Tun Ai bernama Aisiaw Bi yang usianya hanya setahun di bawah Ai Sina dan Ai Sila dari mendiang istrinya yang telah lama sekali meninggal di usia muda.
Keluarga Tun Ai dikenal sebagai satu satunya saudagar di kampung kaki gunung brahma itu. Para warga sekitar banyak yang meminta bantuan kepada keluarga Tun Ai baik dari segi materil atau pun pengobatan alternatif yang memang dikuasai hampir oleh seluruh anggota keluarga.
Ketika kisah ini terjadi, Tun Ai baru lima tahun tinggal disitu setelah membuat sebuah istana besar di apit oleh telaga di kiri kanannya dengan halaman depan dan belakang yang sangat luas.
Pagi itu seperti biasa, Tun Ai berjalan bersama istri pertamanya yang menggendong putri mereka yang baru berusia 5 tahun bernama Aisilya.
Ketika ketiganya melewati jembatan penyeberangan sungai, seorang pria rambut putih berusia 60 tahun di ujung jembatan menatap tajam ke arah mereka terutama ke arah putri nya yang digendong sang istri.
"Maaf Tuan, bolehkah aku bekerja dengan mu? Aku butuh makan". Seru kakek itu dengan nada memelas.
"Maaf, kami sudah punya banyak sekali karyawan. Kalau hanya untuk makan, ini ada rezeki sedikit". Jawab Tun Ai sambil memberikan beberapa sen kepada kakek miskin itu.
"Aku tidak minta gaji, cukup untuk makan saja Alhamdulillah".
"Besok datang saja ke rumahku di ujung jalan ini sebelah kanan di tengah telaga hijau". Jawab Tun Ai yang mengajak istrinya segera melanjutkan perjalanan.
Baru saja beberapa langkah Tun Ai berjalan, dia kaget setengah mati ketika melihat ke belakang kakek tua tadi sudah menghilang tak berjejak sama sekali.
Tanpa memberitahukan kepada istrinya, dia berjalan hingga hari itu, dilaluinya seperti biasa.
Malam harinya ketika dia sedang duduk santai di teras rumah, penjaga pintu yang merangkap tukang kebun nya berlari menghampiri.
"Maaf Tun, ada seorang kakek di luar ingin berjumpa, katanya sudah janji".
"Suruh dia masuk". Jawab Tun Ai dengan wajah heran dan alis berkerut.
"Kenapa datang malam malam begini? Besok kan bisa!?" Seru nya dengan logat dan aksen sedikit aneh.
"Saya sebatang kara Tuan".
"Panggil saja Tun". Potongnya.
"Saya hanya ingin mendapat pekerjaan dari Tun asal bisa makan ya sudah. Tidur bersama kuda pun saya ndak apa apa Tun".
"Ya sudah kalau begitu. Simin, tolong ajak bapak ini ke kamar belakang. Dia pengurus kuda yang baru".
"Baik Tun. Mari pak?"
"Nama saja Lautino pak, biasa di panggil Ki Laut".
"Mari Ki kita ke belakang". Ajak Parsimin sambil berjalan duluan lewat serambi samping.
Mulai hari itu, Ki Laut pun tinggal bersama Tun Ai. Jika saja Tun Ai tau siapa Ki Laut sebenarnya, bukan Ki Laut yang harus memohon, tapi pasti dia sendiri yang meminta Ki Laut tinggal bersama nya.
{BEBERAPA BULAN KEMUDIAN}
"Pagi Tun".
"Pagi Ki, lihat Simin tidak Ki?" Tanya Tun Ai yang bernama asli Aisin Guero Jin.
"Subuh tadi dia pamit pulang kampung Tun, katanya ibunya sakit keras. Mau minta izin takut mengganggu Tun dan keluarga".
"Ya sudah. Tolong Ki siapkan kereta kuda, hari ini Ki ikut saya keluar kota untuk berbelanja ya!"
"Baik Tun". Sahut Ki Laut yang langsung bergegas ke belakang.
Tak lama kemudian, Ki Laut pun langsung menjadi kusir kereta yang membawa Tun Ai ke kota Makilan (Magelang sekarang).
***~###~***
Di pinggir laut Batavia yang jaraknya sangat jauh dari gunung Brahma terdapat sekelompok pria di pimpin seorang sakti mandraguna bernama Indrayan (indrayana).
Dia merupakan seorang hartawan besar masa itu yang memegang kunci perdagangan antara penduduk lokal dengan orang luar Nusantara yag banyak terdapat disana kala itu.
Selain menjadi perantara dagang, dia juga di kenal sebagai seorang ahli supra natural dan ahli nujum nomor satu di india utara.
Pagi itu dia bersama belasan anak buahnya sedang menaiki kapal yang akan berlabuh ke Makilan untuk mengantar pesanan seorang penguasa yang memesan jasanya beberapa waktu lalu.
Setelah melakukan pelayaran yang sangat jauh dan panjang, tiba lah mereka di pelabuhan Makilan dimana enam orang sudah menunggu.
Baru saja Indrayan turun dari dermaga sekelompok preman bersenjata segera menyerang mereka. Hal itu biasa terjadi tatkala ada barang berharga yang masuk ke dermaga Makilan.
Kepanikan segera terjadi disana apalagi ketika ada beberapa anak buah Indrayan yang tewas akibat tebasan parang dan celurit di tangan rampok darat itu.
Diantara semua yang hadir, yang terlihat tenang hanya indrayana dan dua orang pria yang dari tadi berdiri di sudut memperhatikan keributan itu.
Mereka adalah Ki Laut dan Tun Ai atau bagi pembaca yang sudah mengikuti kisah PEDANG PUSAKA, lebih familiar dengan nama Siaw Jin si pendekar sakti.
Setiap ada perampok yang mendekati indrayan, pasti akan tewas atau terjungkal ke dermaga. Setiap tendangan tamparan tinju sikut lutut bahkan kepala indrayana yang berusia 45 tahun itu menjadi senjatanya tersendiri.
Karena melihat para perompak yang terus menerus berdatangan dan hampir memenuhi jalan dermaga itu, akhirnya Tun Ai turun tangan menghajar para perampok itu.
Melihat sepak terjang pria paruh baya yang berpakaian indah tersebut sangat lah menggetarkan, beberapa perampok sudah berlari meninggalkan mereka setelah mengambil beberapa barang bawaan indrayan yang belum sempat di turunkan.
"Hei,, jangan lari kalian!!" Teriak Indrayana yang merangsek maju hendak mengejar.
Sebuah bacokan golok mengenai perutnya bagian kiri akibat terlalu fokus pada barang nya yang di curi.
Tun Ai membuka jurus mengerikan yang membuat tempat itu serasa dicekam ratusan setan yang membuat seluruh perampok kocar kacir.
Itulah ilmu yang berhasil di kuasainya dengan sempurna yang dulu dipelajarinya dari kitab Melawan Jiwa Iblis.
Beberapa petugas dermaga segera keluar dan menolong Indrayan yang mereka kenal setelah para rampok pergi.
Tun Ai yang malas berurusan dengan pihak penguasa yang tampak hadir di situ segera mengajak Ki Laut menjauhi dermaga Makilan.
Setelah semua barang sudah terbeli, Ki Laut pun di ajak kembali oleh Tun Ai ke gunung brahma yang akan memakan waktu lebih lama akibat kereta penuh oleh muatan yang mereka beli.
Keesokan harinya saat mereka tiba di rumah, Tun Ai dikagetkan oleh laporan istri keduanya yang mengatakan kedua putri nya mengalami kejang aneh.
"Kenapa bisa begini?" Tanya Tun panik.
"Entah lah., pertama Silya lalu Sila". Jawab nyonya Na yang memiliki nama asli Raghnaya.
"Jangan panik, mereka tak apa apa. Nyonya jangan kuatir,," Ki Laut mencoba menenangkan mereka.
BERSAMBUNG. . .
"Apa,, maksudmu Ki? Kau tau anak ku kenapa?" Tanya Tun Ai panik.
"Sebentar,". Jawab Ki Laut sambil mengisyaratkan tenang dan jangan ribut.
Pria tua itu segera memegang ujung kaki kedua gadis kecil itu sambil mulutnya komat kamit.
Melihat kedua putrinya mulai normal, Tun Ai dan para istrinya yang berkumpul dengan wajah cemas mundur selangkah membiarkan Ki Laut yang menangani mereka.
Baru saja kejang Aisilya hilang sama sekali, tubuhnya tersentak kuat dengan mata melotot memandang langit langit sambil berkata meracau tak menentu.
Hati Tun Ai sangat terenyuh melihat kejadian ini. Dulu pernah dia melihat orang kerasukan yaitu mendiang mertuanya yang tewas setelah kerasukan seperti ini.
Maka dapat dibayangkan betapa hancur hatinya memikirkan nasib kedua putrinya itu. Apalagi keadaan dan perasaan istri istrinya yang sangat menyayangi anak anak mereka.
Yang sibuk dengan bacaan dan percikan air adalah Ki Laut. Tak lama kemudian, Aisilya memejamkan mata sambil berbisik perlahan.
Segera Ki Laut menempelkan kupingnya di mulut Silya lalu keadaan tenang kembali setelah gadis kecil itu kembali jatuh pingsan.
"Mereka tak apa apa. Bawa mereka ke kamar. Jika sudah bangun, berikan air ramuan yang ku buat". Jelas Ki Laut sambil bangkit memberi isyarat kepada Tun Ai dan kedua istrinya untuk berkompromi.
Setelah Tun Ai dan nyonya Na bersama nyonya Mri duduk berhadapan dengan Ki Laut, Tun Ai bertanya heran,
"Sebenarnya siapa Ki Laut? Tolong jangan membohongi kami". Dengan sopan Tun Ai bertanya.
"Ah,,, aku seorang perantau yang mencari murid ku yang kabur entah kemana. Saat aku melihat putri mu, ada aura magis yang sangat besar di dalam dirinya. Apakah kalian pernah tau kenapa?" Tanya Ki Laut serius.
"Kami tak tau, hanya saja keluarga istriku ini adalah penyihir". Sahut Tun Ai.
"Siapa Dhurga?" Pertanyaan Ki Laut membuat wajah ketiga nya terbelalak pucat antara kaget dan ketakutan.
"Dari mana kau tau Ki?"
"Putri mu yang berbisik tadi membisikkan lepaskan Dhurga, lepaskan dia".
"Ah,, Dhurga adalah mertuaku".
"Dia ibuku yang merupakan keturunan langsung ahli sihir nomor satu di dunia pada masanya. Dulu ibu pernah berkata kutukan, namu entah apa itu aku tak mengerti".
"Kita harus menjaga putri mu baik baik. Bagaimana dengan Sina? Apakah dia baik baik saja?"
"Dia tak pernah mengalami hal aneh begini Ki. Entah lah, semoga saja hal ini di jauhkan". Nyonya Na berkata sambil berharap dalam hatinya.
***~###~***
"Lantas apa yang harus kami lakukan?"
"Sewa seluruh orang hebat, temukan barang barang itu. Jika tidak, kalian pasti akan celaka, semuanya". Terdengar suara ancaman keluar dari mulut pria yang perutnya masih di balut perban itu.
"Tapi ketua, para perampok itu, mereka kelompok Naga Hitam. Mereka mendapat sokongan dari kolonial tinggi".
"Aku tidak peduli. Cepat utus orang untuk menemukan kembali barang barang itu". Dalam sakitnya, Indrayana terlihat sangat emosi.
Beberapa orang keluar dari tempat itu dan menghubungi detektif juga pemburu bayaran untuk melaksanakan tugas dari ketua mereka.
Kala itu, di Batavia terdapat tiga organisasi yang sangat terkenal dan di takuti hampir seluruh kalangan.
Yang pertama ialah Naga Hitam. Yang kedua dan yang terbesar adalah Setan Merah dan yang terakhir kelompok yang di asuh oleh Indrayana bernama Sihir Sakti.
Tiga organisasi ini selalu bekerja sama dalam banyak hal untuk menyenangkan para pimpinan yang terdiri dari kolonial belanda.
Meski mereka tampak akur, namun ada semacam persaingan antara ketiga kelompok besar itu ibarat api dalam sekam.
Semakin lama pertentangan antara mereka semakin terlihat. Seperti kemarin baru saja terjadi perampokan pihak Naga Hitam kepada Sihir Sakti yang terjadi di pelabuhan Makilan.
Di antara sekian banyak intrik yang terjadi, ini lah yang paling besar sehingga membuat Indrayan murka dan menyatakan permusuhan terbuka kepada kelompok Naga Hitam.
"Guru, bagaimana keadaan mu? Kau baik baik saja bukan?" Ucap bocah berusia delapan tahun yang sering di panggil Entong.
"Aku baik baik saja. Mana ayah ibu mu?"
"Mereka singgah sebentar ke pasar depan membeli buah untuk mu".
"Duduk lah. Pijat kaki ku". Pinta indrayana kepada murid nya itu.
***~###~***
Jauh di Timur, pihak penguasa kerajaan qing sedang membuat acara besar. Pesta meriah besar besaran itu di kemudian hari di kenal sebagai Empal yaitu pesta terakhir sebelum kejatuhan dinasti Tiongkok untuk selamanya.
Tampak hadir disana sepasang suami istri bersama dua orang pria berpakaian hitam putih yang usianya berkisar 40 an tahun.
Sedang asiknya mereka berpesta pora, puluhan ribu pasukan pejuang revolusi bergerak mengepung mereka.
Terjadilah perang tanding antara prajurit kerajaan dengan pejuang yang mendapat dukungan penuh dari rakyat yang kebanyakan bermarga Han.
Provinsi Shantung hari itu juga dapat dikuasai musuh yang mereka sebut pemberontak. Banyak sekali terjadi pembantaian disana terutama pihak pembesar dan keluarga mereka yang menjadi korban utama.
Mudah nya pihak pejuang menguasai provinsi tersebut tak lepas dari persekongkolan penguasa kerajaan dengan pimpinan pejuang. Namun hal itu tentu saja tak di sebutkan dalam sejarah.
Meski banyak yang menjadi korban, sepasang suami istri yang tak lain adalah Sio Lan bersama pria tua berambut merah Angmojin yang di kenal sebagai ketua pertama kelompok Hekmopang bersama dua tangan kanan nya yang di juluki Pek mo yang berpakaian putih dan Hek mo yang selalu memakai setelan hitam berhasil selamat dari pembantaian itu berkat ilmu kesaktian mereka yang di atas rata rata.
"Kita kembali ke benteng. Kita susun kekuatan untuk gebrakan kedua". Seru Angmo di atas keretanya.
"Kalau bisa, Leubee kita singkirkan saja. Dia selalu menunjukkan sikap menentang atas kebijakan mu. Aku takut dia membocorkan rencana kita". Sahut nenek tua di sampingnya.
"Nanti kita rundingkan lagi". Tegas Angmo yang terus memerintahkan untuk membalapkan kereta kuda mereka.
Bagi pembaca yang penasaran bagaimana kisah Angmo, siapa Siolan mantan ibu suri ketiga dan siapa kah pula Pek mo dan Hek Mo, silakan membaca serial PEDANG PUSAKA.
Disana di ceritakan dengan gamblang tentang mereka yang nantinya akan mengisi kisah ini pula.
***~###~***
Pagi itu cuaca tampak cerah karena mentari bersinar terang menembus dedaunan pohon yang berada di belakang gedung besar yang di apit telaga itu.
Disana terdapat taman luas dan hutan buatan dimana bermacam burung warna warni bersuara indah meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya.
Selain itu, ada juga sebuah saung dimana Tun Ai sedang duduk santai bersama Ki Laut memandang ke arah taman dimana beberapa bocah sedang bermain berlarian menangkap kupu kupu dan ikan yang ada di kolam besar itu.
"Ki, aku masih merasa heran dengan pernyataan mu kemarin malam. Mengapa Sila bisa menurunkan darah itu. Dia sama sekali tidak ada hubungan nya dengan mendiang mertua ku".
"Hal itu tidak harus berhubungan darah baru bisa diturunkan. Melalui kontak batin pun bisa. Meski dia anak dari istri keduamu, namun bakatnya di bidang kebatinan jauh lebih besar dibandingkan Silya. Sejauh ini, hanya mereka berdua yang memiliki dasar isi ghaib. Entah nantinya akan ada lagi, aku belum bisa memastikan".
Percakapan seru terjadi antara keduanya sambil memandang ke arah anak anak yang di temani ibu mereka di pondok taman.
Mulai kemarin Ki Laut sudah tidak lagi bekerja pada Tun Ai, tetapi dia kini di angkat menjadi guru spiritual untuk nya dan keluarga.
Tiba tiba Tun Ai mendapat isyarat dari Ki Laut agar memperhatikan kedua putri nya yang tak lain adalah Sila dan Silya.
"Lihat urat hitam di kepala mereka, jika itu bertambah banyak, akan semakin membahayakan jiwa murni mereka".
"Apa yang harus kita lakukan untuk menolong kedua putriku itu?"
"Kita harus menemukan sumbernya. Hanya sumber kekuatan Ghaib itu sendiri yang akan mampu menjadi obat mujarab untuk kesembuhan mereka berdua".
Seorang pelayan wanita yang membawa minuman dan sarapan memotong pembicaraan keduanya.
"Naya, Lanmoi, ajak mereka kemari, kita sarapan dulu". Teriak Tun Ai kepada kedua istrinya.
BERSAMBUNG. . .
Di tahun 1901, keadaan Nusantara kala itu masih sangat jauh dari kata modern. Hanya beberapa kota besar seperti Batavia dan Bandoeng yang menjadi pusat kompeni belanda di Nusantara (Hindia Belanda) yang sudah mulai mengenal kemajuan.
Seperti juga pimpinan kompeni, banyak pribumi yang menjadi antek dan bawahan penjajah kala itu sehingga mereka membuat kekuatan atau kelompok demi menyenangkan hati pimpinan dalam bekerja menyetor hasil kepada penjajah.
Tun Ai hari itu tampak sibuk melihat pekerja yang membangun sebuah rumah jauh dari pemukiman warga sekitaran gunung brahma.
Rumah itu sengaja dibuat untuk menjadi tempat tinggal bagi Ki Laut yang mengatakan ingin bertapa di tempat tersebut sambil menemukan cara membantu penyembuhan putri Tun Ai yang nantinya menjadi murid langsung Ki Laut.
Rumah sederhana itu di pagari sekelilingnya. Di tempat itu juga di buat beberapa lahan untuk menanam sayur mayur dan ada juga kolam ikan selain sawah ladang di belakangnya.
Beberapa penghuni dusun kaki gunung brahma menjadi pekerja dalam pembuatan rumah itu.
"Aku permisi pulang dulu. Besok siap kan?" Tanya Tun Ai pada pak wardi yang sedang memasang ubin.
"Ya Tun, besok rumah ini sudah bisa di tempati".
"Mari Ki, kita kembali". Ajak Tun Ai menaiki kereta kudanya bersama Ki Laut.
***~###~***
Bumi terus berputar, pagi siang sore malam terus berganti hingga tanpa terasa, sudah lima tahun berlalu dari waktu pembuatan rumah Ki Laut.
Di tahun itu, susah ada beberapa sekolah yang di bangun kolonial belanda untuk orang orang terkemuka saja.
Putra putri Tun Ai termasuk anak anak yang beruntung bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang berjarak tiga kilometer dari rumah nya.
Hal itu tidak lah aneh, karena memang Tun Ai bukan pribumi yang termasuk di larang dalam mengenyam pendidikan.
Di hari itu sekitar pukul 11 siang, seorang warga yang juga menjadi tukang bersih bersih di sekolah menyambangi rumah Tun Ai.
"Permisi, permisi Tun, Nyonya, ada pesan".
"Ya kenapa man?" Tanya Tun Ai yang membuka pintu gerbang karna penjaga nya sedang kebelet.
"Ada pesan dari sekolah katanya Tun Ai di suruh segera kesana".
"Ada apa ya? Kok Tumben?"
"Non Sila sakit katanya. Kerasukan. Permisi Tun". Seru Manijan yang langsung pulang menuju rumah nya.
Dengan tergesa gesa Tun Ai berangkat ke sekolah setelah menitip pesan agar istrinya segera ke rumah Ki Laut.
Sesampainya disana, Tun Ai kaget setengah mati melihat Aisila dan Aisilya terbaring di pegang oleh masing masing lima orang yang menahan tubuhnya agar tidak mengamuk.
Sila yang kini usianya 13 tahun terlihat merah wajah nya. Matanya juga menyala seperti disiram air sirup.
Keadaan Silya pun tidak lebih baik dari Sila. Seluruh urat di wajah dan lehernya timbul dengan mata merah kehitaman berkata meracau tak tentu arah.
Tanpa terasa air mata Tun Ai yang panik melihat anak anak nya seperti itu menetes tajam tanpa suara.
Tenggorokannya seolah olah tak bisa mengeluarkan suara laksana tercekik oleh pemandangan yang di lihatnya itu.
Hampir setengah jam keadaan nya begitu hingga Ki Laut tiba dan membuat obat berupa ramuan di campur air yang di percikkan kemuka Sila dan Silya serta di basuh ke kepala mereka berdua.
Silya yang usianya 4 tahun lebih muda segera terpejam dan pingsan. Sementara Sila masih saja melawan meski kini gerakan nya semakin melemah.
Tak lama kemudian keduanya pun sadar dan kaget melihat sekeliling mereka telah ramai bahkan terdapat ayah dan guru mereka disana.
"Apa yang terjadi? Ayah?" Tanya Silya dengan wajah bingung.
"Tak ada apa apa. Yuk kita pulang duluan". Tun Ai yang sudah izin ke pihak sekolah segera membawa kedua putrinya pulang.
Setibanya mereka dirumah, ke empat ibu mereka sudah menunggu dengan khawatir dan langsung memeluk anak anak nya itu.
"Mereka tak apa apa kan?" Tanya Nyonya Na sambil menangis.
"Sudah tak apa lagi. Ajak mereka masuk dulu. Beri makan dan suruh istirahat". Ki Laut menjawab.
Selama mereka mengetahui keahlian Ki Laut dalam hal kebatinan, mereka sudah menganggap pria tua itu seperti ayah sendiri.
Hubungan para istri Tun Ai dan Ki Laut sedikitpun tidak terlihat canggung. Apalagi memang selama ini berkat di tangani Ki Laut, perkembangan anak anak mereka khususnya Sila dan Silya semakin berkembang baik dalam hal ilmu kebatinan maupun ilmu beladiri yang langsung mereka pelajari dari ayah dan keempat ibu mereka.
Beberapa hari kemudian, akibat getaran dahsyat yang terjadi dengan gunung brahma, Tun Ai memutuskan untuk mengajak seluruh keluarganya dan juga Ki Laut bersama karyawan dan pembantunya pindah ke kota ke tempat salah seorang kenalannya yang tinggal di daerah Hujung Galuh (Surabaya Sekarang).
Pada tahun itu juga kota Hujung Galuh diresmikan sebagai Kotamadya surabaya dimana seluruh daerah jawa timur tunduk kesana.
Di rumah kenalan dagangnya yang dikenal dengan panggilan Raden Soekemi, Tun Ai tinggal sementara sambil menunggu rumah barunya selesai di bangun di dekat rumah Raden Soekemi.
Mulai saat itu, mereka pun tinggal di daerah kota meski sesekali mereka menyambangi rumah nya di dusun kaki gunung brahma.
Selama bertahun tahun, Tun Ai hidup dengan aman dan damai tanpa mengalami perkelahian atau pertarungan dengan pihak manapun.
Hanya gangguan setan dan iblis kepada putri dan keluarganya saja yang sangat mengganggu ketenteraman hati keluarga itu.
Di belakang bangunan rumah barunya, Tun Ai bersama empat istrinya yang merupakan pendekar wanita ternama dulunya, melatih buah hati mereka.
Cara melatih Sinkang, Khikang, Lwekang, Gwakang dan Ginkang di ajarkan dengan sungguh sungguh.
Ke tujuh putra putrinya pun mendapat pelajaran ilmu beladiri tingkat tinggi yang kelak membuat mereka menjadi ahli silat ternama di kehidupannya masing masing kelak.
***~###~***
Malam itu, dua sosok bayangan mengintai rumah pemimpin Naga Hitam bernama Kumba dari arah belakang.
Kedua nya memiliki langkah yang ringan sekali sehingga para anak buah Naga Hitam yang berjaga tak mengetahui sedikitpun penyusupan mereka kesana.
Ketika keduanya meloncat ringan ke atas genteng, telinga Kumba yang super sensitif menangkap suara gesekan halus yang membuat nya bersiaga.
"Barong, coba lihat penjaga piket malam ini. Apa mereka tidur?"
"Baik ketua. Sebentar". Jawab Barong yang merupakan bawahan paling di percayanya.
Tak lama kemudian, Barong kembali ke kamar dan berkata, tak ada apa apa ketua, semuanya aman".
"Aman kepala mu!! Lihat di atas genteng, siapa yang berani menyusup kemari. Cari mati". Seru Kumba yang langsung bangkit dari tidurnya kemudian berdiri sambil menggenjot kaki menabrak pecah genteng dari dalam.
Alangkah kagetnya dua pria itu yang melihat Kumba sudah ada di belakang mereka.
"Lari,," Seru pria yang memakai penutup wajah bersama rekannya.
Tanpa menunggu anak buahnya, Kumba mengejar dari belakang di susul Barong dan Burna yang mengikuti sang ketua berlari cepat.
"Berhenti,,, hei,, kurang ajar!!" Kumba yang kian dekat mengumpat sehingga membuat kedua penyusup itu menambah kecepatan lari mereka.
Kedua bayangan yang ternyata adalah Indrayan bersama seorang bawahannya bernama Badhu terus berlari hingga melewati sebuah lapangan luas memasuki sebuah ladang milik warga sekitar.
Kumba yang kini berhasil menyusul mereka segera menghadang dan terjadilah perkelahian dua lawan satu di tempat itu.
"Sihir Sakti berani cari gara gara dengan ku ya?"
BERSAMBUNG. . .
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!