NovelToon NovelToon

Second Life, Second World

Rasa sakit ini

Di hari biasa, keadaan kota yang padat akan penduduk, macet sudah biasa terjadi...

"Tidakk!" Teriak seorang gadis, ia di cambuk oleh seorang pria di suatu ruangan gelap.

Gadis itu bernama Rheine. Sebelum kejadian itu....

"Apa yang harus kita lakukan pah?" Terdengar suara ibu sedang berbicara dengan suaminya. Keduanya merupakan Orang tua tidak kandung Rheine.

Mereka berdebat di ruang tamu, sedangkan Rheine hanya duduk di sudut ruangan tanpa mengetahui apa apa.

“apa lagi? —Kita jual saja gadis itu ke orang yang kemarin menawarnya” Saran sang suami.

"Kurasa itu ide bagus, tapi apa tidak masalah?" Tanya Ibu itu ragu.

"Tidak masalah! Habisnya, kita sudah tidak memiliki uang lagi. Apa boleh buat kan?" Keluh Sang Suami.

"Iya sih"

"Habisnya, kamu sih!"

"Selalu menghabiskan uang untuk berjudi!"

"Itupun ngga pernah menang" Gertak ibu itu sembari menuding nuding dada sang suami.

"daripada kamu!"

"menghabiskan uang untuk sesuatu yang ngga berguna"

"baju udah punya banyak, masih bagus bagus juga"

"malah beli lagi, mana harganya ngga masuk akal!" Gertak sang suami, berganti menuding dada sang istri.

"Hwalah!"

"Setidaknya aku mendapat barang yang kubeli!"

"sedangkan kamu? Bukannya dapat sesuatu, malah uang yang berkurang" Gertak sang istri.

"setidaknya, aku sudah mencari uang!"

"sedangkan kamu?" Gertak kembali sang suami.

Mereka terus berdebat hingga larut malam, sedangkan Rheine yang saat itu masih berusia 10 tahun hanya duduk di sudut ruangan melihat apa yang orang tua itu lakukan tanpa berekspresi.

Benar, orang tua kandung Rheine sudah meninggal akibat kebakaran yang pernah terjadi di tempat tinggal Rheine yang sebelumnya, itu terjadi 3 tahun yang lalu, saat usia Rheine masih 7 tahun. Karena tidak ada satupun orang yang mengenal Rheine, ia pun di pungut oleh suami-istri itu tadi lalu diperbudak oleh mereka.

Setiap hari, ia selalu menjadi pembantu yang mengurus semua hal di rumah sepasang suami-istri itu. Bahkan, ia seringkali di paksa untuk mengemis.

Tentu, karena Rheine tau rasa terima kasih, ia melakukannya dengan ringan hati.

Rheine sudah melakukan itu sampai umurnya 10 tahun (sekarang). Meskipun ia tidak pernah sekolah, ia telah mempelajari banyak hal di sana, di rumah sepasang suami-istri itu.

Setelah perdebatan “singkat” antara Suami-Istri tadi, mereka mulai mengambil kesimpulan untuk menjual Rheine kepada seseorang.

Kring ~

Kring ~

Kring ~

Suara dering ponsel terdengar dari ponsel yang tergeletak di sofa ruang tamu.

Sang suami segera mengembil ponselnya dari sofa itu, lalu mengangkat teleponnya.

"Halo?" Sapa suami.

"Halo" sapa balik sang penelpon

"Jadi? Bagaimana dengan tawaran saya?" Ucap penelpon itu, suara napasnya ter-engah engah.

Mendengar itu, seketika tangan sang suami gemetar, "I-iya"

"setelah memikirkannya dalam waktu yang cukup lama"

"saya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut" Ucap sang suami kepada penelpon itu.

"Baguss" Balas sang penelpon, suaranya berat dan misterius.

Sang istri berjalan perlahan dan berhenti / berdiri di belakang sang suami

“ekhem ekhem”

"Oh iya, apa bayarannya masih sama seperti yang dijanjikan" Tanya Sang suami, tangannya gemetar namun masih berusaha tetap profesional.

"kalau soal itu, bapak tenang saja" Jawab si penelpon.

Kemudian, “tiit tiit” si penelpon menghentikan telpon itu, lalu mengirim sms kepada sang suami.

Sang suami menekan notifikasi sms itu yang berisi alamat dimana Rheine akan di serahkan dan, “Datang ke tempat ini pukul 14:00, setelah gadis itu kami terima dengan selamat, kami akan segera mentransfer jumlah uangnya sesuai janji kami”.

Tanpa pikir panjang, sang suami sontak melompat kegirangan, begitu juga sang istri. "Akhirnya, hidup mewah" Seru sang istri, sedangkan Rheine hanya duduk bengong di sudut ruangan, pandangannya menerawang jauh entah kemana, seolah dia tidak melihat apa apa, sepasang suami-istri itu juga tidak peduli terhadap Rheine seolah Rheine tidak ada disana.

“Apa ini?”

“Aku akan meninggalkan tempat ini?”

“Bukankah tempat ini adalah tempat tinggalmu sekarang?”

“ibu, ayah...”

“kenapa aku tidak ikut bersama kalian?”

“bukankah asyik kalau kita pergi bersama sama?”

“Iya kan?”

“benarkan?”

“tapi..”

“mengapa?”

“mengapa?”

“mengapa aku ditinggal sendirian?”

“kalian sudah tidak menyayangiku lagi?”

“kalian tidak membutuhkanmu?”

Pikir Rheine saat itu, ia menekuk kedua lututnya dan duduk termenung di pojok ruangan, dengan kondisi tubuh yang lemas.

Setelah jam 2 siang,

"Ayo! Masuklah" Bentak sang suami kepada Rheine, ia memaksa Rheine masuk ke dalam kotak yang ia siapkan.

"Ayo masuk! Jangan melawan" Bentak sang istri, ia mendorong Rheine dengan kasar hingga Rheine terjatuh.

Sedangkan Rheine hanya terus mengikuti tanpa berbicara sepatah katapun, matanya hanya menerawang jauh tanpa melihat ke depan.

Hingga setelah masuk ke kotak itu, Sang suami mendorong kotak itu hingga ke pickup, lalu membawanya ke lokasi tujuan.

~ ~ ~ Beberapa saat kemudian ~ ~ ~

Pickup mereka sampai di sebuah bangunan luas yang diduga pabrik terbengkalai.

Sang suami kemudian melajukan mobil pickup itu perlahan masuk ke pabrik terbengkalai itu, hingga berhenti di titik tengah.

Tiba tiba....

“Dorr!⁴” Tertembak peluru dari segala arah.

Peluru itu menembus kaca bagian depan dan samping mobil, hingga tepat mengenai sepasang suami-istri itu hingga keduanya tewas.

Komplotan mereka pun naik ke pickup itu, lalu menurunkan kotak berisi Rheine kemudian membukanya untuk mengeluarkan Rheine dari dalam sana.

Setelah kotak itu dibuka, terlihat Rheine yang sedang dalam kondisi terikat di kaki, tangan, dan plester di mulutnya. Dengan wajah penuh luka.

Mereka pun melepas plester dan tali yang mengikatnya lalu membuat Rheine berdiri.

"Si-siapa kalian?" Tanya Rheine pelan, suaranya hampir tak terdengar.

"Hah?" Ucap salah seorang komplotan itu.

Rheine kemudian menoleh ke pickup kembali dan matanya terfokus ke darah yang ada di tanah, lebih tepatnya di bawah roda bagian depan pickup.

“Mayat lagi—Yah?” Gumamnya pelan

"Hah? Kau sudah pernah melihat yang seperti ini?" Tanya Salah seorang dari komplotan itu dengan kasar.

“Benar, aku sudah sering melihatnya” Jawabnya dengan nada pelan, pandangannya masih menerawang jauh seolah tidak melihat apa yang ada di depannya.

Salah seorang komplotan tadi menoleh ke bosnya

"Jadi, boss? Apa yang akan kita lakukan dengan gadis ini?" Tanya orang itu.

"Niatnya sih..., aku akan menjadikannya budakku"

Pemimpin komplotan itu pun langsung menghampiri Rheine yang duduk bengong, lalu memegang dagu Rheine dengan kasar "Belum lagi, parasnya cukup cantik"

Melihat itu, Rheine menolak dengan cara memalingkan wajahnya tiba tiba.

Mengetahui itu, “Plakk!” Pria itu tadi menampar wajah Rheine dengan cukup keras.

Rheine hanya terdiam, ia tak tau bagaimana cara untuk melawan.

Ia tetap dalam kondisi awal, dimana dia tidak melakukan apa apa dan matanya masih menerawang jauh seolah dia tidak pernah menatap sekitar.

Komplotan itu kemudian menendang Rheine "Brakk", hingga Rheine terseret cukup jauh lalu menghantam tanah.

"Arkhhh" Desah Rheine, ia mengeluarkan darah dari mulutnya.

Sang boss pun berjalan menjauh meninggalkan Rheine di ruangan itu, "sudah sudah, ayo" Ucapnya ke awaknya yang lain, sembari melambaikan tangan ke belakang.

Mereka semua pun mengikuti langkah bossnya, kemudian keluar dari ruang itu dan meninggalkan Rheine yang masih bengong dari tadi.

Tubuh Rheine yang saat itu babak belur tidak dapat kabur dari tempat itu. Boro boro kabur, berdiri saja tidak bisa. Kondisi itu memaksa ia terbaring lemas di tanah...., di dalam pabrik terbengkalai itu....

Apa yang akan kau lakukan padaku?

Sebulan setelah transaksi ilegal itu...

"Ayo!" Bentak seseorang sembari menarik seutas tali dengan kasar, membuat tali itu bergetar di udara.

Benar, tali itu terhubung ke leher Rheine yang saat itu hanya bisa merangkak terseret-seret di atas tanah. Tubuhnya berlumuran debu dan tanah, pakaiannya terkoyak di sana-sini hingga compang-camping, kedua tangannya terikat kuat di belakang punggung, dan mulutnya tersumpal lakban tebal. Namun, ia tetap menjalani rutinitasnya tanpa protes, menyeret lutut-lututnya yang telah lecet di atas permukaan tanah yang kasar.

"Ayo!" Bentak pria itu lagi, ia menarik tali dengan sentakan keras dan membawa Rheine tersaruk-saruk ke sebuah gudang tua yang berukuran besar. Pintu gudang yang berkarat itu berdecit mengerikan saat dibuka.

Benar saja, setelah masuk ke dalam sana.

"Brwak!"

Pria itu membanting tubuh Rheine ke tanah dengan keras, menghempaskannya hingga debu-debu beterbangan di udara.

"Hahaha" Tertawa Pria itu, suaranya menggema di dalam gudang kosong. Rheine hanya terdiam di lantai tanah yang kotor, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit.

Kemudian, pria itu berlutut dan mencengkeram dagu Rheine dengan jemarinya yang kasar, "Kalau di lihat², kau cukup cantik..."

"aku heran mengapa bos hanya menggunakanmu sebagai babunya saja" Ucap Pria itu heran, sembari menaikkan bahunya, jari-jarinya masih mencengkeram dagu Rheine dengan kuat.

Pria itu kemudian melepaskan cengkeramannya dan mengangkat tangannya, menggerak-gerakkan 10 jarinya di udara dengan gerakan merayap yang menjijikkan seolah ia meraba sesuatu.

Sementara Rheine hanya terbaring diam tanpa mengeluarkan reaksi apapun, matanya yang dingin menatap kosong, seolah dia sudah menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Baiklah!"

"mari kita lihat, mwehehe" Ujar pria itu dengan semangat, ia perlahan mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Rheine dengan jari-jarinya yang berkeringat.

Lalu, saat Pria itu mengarahkan tangannya yang gemetar ke bawah rok atau selangkangan Rheine....

"Brwakk"

Rheine mengayunkan kakinya dengan kecepatan kilat, menendang pria itu tepat di dadanya dengan sangat keras sehingga pria itu terpental dan menabrak dinding gudang.

Setelah bangkit dengan terhuyung-huyung dari tanah..

"Kau! Beraninya kau" Ujar Pria itu marah, nafasnya tersengal-sengal menahan amarah.

Pria itu kemudian berlari maju ke arah Rheine dengan langkah berat, sembari mengepalkan dan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, bersiap untuk memukul Rheine sekuat tenaga.

Menyadari itu, Rheine maju dengan gerakan cepat sembari melangkah zig-zag, debu beterbangan di setiap langkahnya.

Pria itu melihat Rheine yang tepat dihadapannya, lalu memukulnya seketika dengan sekuat tenaga, "Brwakk"

"Zlepp~"

Serangan pria tadi hanya mengenai kepulan debu bayangan Rheine yang memudar di udara.

Rheine melesat bagai kilat ke belakang pria itu, lalu...

"Dragg"

Rheine mengayunkan tangannya dengan presisi, mengkarate leher pria itu dengan telak, hingga membuatnya terjatuh dan pingsan seketika.

Setelah semua itu, Rheine mengamati sekelilingnya dengan cermat dan melihat tumpukan papan kayu di dekatnya. Dengan gesit ia naik ke atas sana. Ia kemudian duduk di sana, lalu dengan lincah mengayunkan lengannya ke bawah kakinya untuk memindahkan posisi tangannya ke depan.

Ia kemudian melepas lakban yang menempel di mulutnya dengan hati-hati, lalu menggigit tali yang melilit kedua tangannya dengan gigitan-gigitan kecil namun pasti.

Tali itu terbuka, lalu jatuh menghantam lantai dengan suara gedebuk pelan.

Ia kemudian menatap pria yang pingsan itu dengan mata dinginnya, "tak kusangka, semua berjalan sesuai rencana ku"

"Sekarang tinggal menunggu setahun atau dua tahun lagi"

"Berpura-pura memanglah tidak mudah"

"Kapan aku bisa menyusul keluargaku, yahh?" Gumamnya pelan, masih dengan ekspresi datar seperti sebelumnya, matanya menerawang jauh.

"Brakkk!" suara pintu di tendang keras dari luar, engselnya hampir copot.

Seseorang muncul dari pintu itu dengan langkah-langkah berat.

Benar, dia adalah boss dari pria tadi. Orang yang membeli Rheine.

"Kauuu!" Geramnya, ia menatap Rheine yang sedang berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh amarah, urat-urat di lehernya menonjol.

Namun, Rheine tetap melihat ke bawah dengan tenang seolah tidak memperhatikan ada seseorang di sana, rambutnya yang kotor jatuh menutupi wajahnya.

Seketika, semua awak boss itu menodongkan pistol ke Rheine dengan tangan gemetar, "Cklek⁴" Suara load pistol pistol itu menggema di dalam gudang.

Setelah beberapa saat yang mencekam, Rheine perlahan mengangkat kepalanya, menatap sang boss dengan tatapan datar nan kosong yang menusuk.

"tatapan itu—"

"—tatapan orang yang tidak takut akan kematian" Gumam sang boss, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Sang boss menuding Rheine dengan jari yang bergetar, "Semua, tangkap dia" Perintahnya dengan suara parau.

Mendengar itu, anak buahnya langsung berlari serentak ke arah Rheine dengan langkah-langkah berat. Kemudian melompat ke arahnya dengan brutal lalu bersiap mengikat kedua lengannya dengan erat, menarik tali sekuat tenaga hingga menggores kulitnya, begitu juga kedua kakinya dan melakban mulutnya dengan kasar.

Merasakan beban yang sangat berat di punggungnya dari tubuh-tubuh yang menindihnya, Rheine tersungkur ke tanah dengan keras dan hanya terdiam mengikuti kemauan mereka, tubuhnya gemetar menahan sakit.

Setelah mereka selesai mengikat Rheine dengan ikatan yang sangat kuat, mereka menyeret dan memasukkan Rheine kedalam mobil beserta pria yang pingsan tadi, mendorongnya dengan kasar ke kursi belakang.

Mobil itu melaju pelan di jalanan yang ramai dan macet, roda-rodanya berputar lambat. Dari luar mobil itu yang berkaca gelap, tidak ada yang bisa melihat tembus ke dalam. Sehingga tidak ada yang memperdulikannya meski ada seorang gadis tertahan dari dalam.

Mobil itu akhirnya sampai di sebuah pabrik tak berpenghuni yang menyeramkan, yang dulunya itu adalah tempat dimana Rheine di jual oleh orang tua angkatnya. Bangunan itu berdiri angker dengan cat yang mengelupas.

Rheine hanya duduk melemas di dalam mobil, mulutnya tersumpal lakban tebal, dan kedua matanya juga tertutup rapat, membuatnya tak dapat melihat apa-apa selain kegelapan.

Salah seorang awak melepas lakban yang menutup mata Rheine dengan sentakan kasar, "Nah" Gumamnya dengan nada mengejek.

"Apa yang akan mereka lakukan di tempat ini lagi?" Pikir Rheine, jantungnya berdegup kencang.

"Benar, aku sangat³ membenci tempat ini"

"mengingat kejadian itu membuatku ingin muntah"

"kejadian dimana aku melihat darah"

Ia larut dalam pikiran itu, ia mengatakannya dalam hati dengan nada kesal yang mendalam.

"Ayo!"

"Keluar!" Ucap salah seorang awak dengan bentakan, ia menarik tubuh Rheine dengan kasar, menyeretnya keluar dari mobil hingga Rheine tersandung.

Rheine yang terdesak, hanya bisa menuruti kemauan mereka tanpa mengucap sepatah katapun, kakinya terseret-seret di tanah.

Rheine mengangkat kepalanya perlahan, melihat boss mereka duduk dengan angkuh di tumpukan kayu di atas Rheine, kakinya berayun-ayun mengejek.

Boss itu menyilangkan kakinya dengan congkak, lalu menginjak kepala Rheine dengan keras, kemudian menendang perut Rheine dengan dengkulnya tanpa ampun.

"Arkhh" Desah Rheine kesakitan, darah mengalir dari sudut bibirnya.

"Ikat kakinya juga!" Perintah sang boss dengan suara menggelegar.

"Baik" Sontak awaknya patuh, awak-awaknya kemudian menahan tubuh Rheine yang lemas, lalu mengikat kedua kakinya dengan tali yang sangat kuat. Namun, melepas lakban yang ada di mulutnya serta matanya kali ini.

"Brwakk" mereka membanting Rheine ke tanah dengan keras, debu beterbangan di sekitarnya.

"Boss, bukankah lebih baik jika kita bermain-main dulu dengannya" Usul salah seorang awak dengan nada penuh nafsu.

"Bermain-main?" Tanya sang boss kepada awaknya, alisnya terangkat.

"Iya, Lihat!" Ucap awaknya lagi dengan semangat, ia mencengkeram dan menunjukkan wajah Rheine kepada bossnya.

"Dia memiliki paras yang cantik, mengapa kita tidak bermain dengannya dulu?" Usul salah seorang awak yang lainnya dengan nafas memburu, ada 4 awak disana yang mengelilingi Rheine (tidak termasuk boss dan awak yang pingsan tadi).

Boss mereka berpikir sejenak, sembari memegang dagunya dengan gerakan berpikir, "Kau benar" Responnya setelah beberapa saat.

"Tapi...,"

"Kalian saja lah yang bermain dengannya" Ucap Bossnya sambil beranjak dari duduknya.

"Mengapa?" Tanya awak-awaknya heran.

"Aku sudah punya istri" Jawab Bossnya singkat, ia kemudian berjalan perlahan keluar dari pabrik itu, langkah-langkahnya menggema.

"Baiklah" Ucap awak itu dengan seringai, mereka memasang wajah menyeramkan penuh nafsu.

Sedangkan Rheine hanya terdiam tak berdaya karena kedua kaki dan tangannya terikat kuat.

Salah satu dari Mereka mendekatkan wajah mereka ke tubuh Rheine dengan nafas memburu, lalu meraih dagu Rheine dengan jari-jari yang berkeringat.

Rheine berusaha menggerakkan kakinya yang terikat dengan sekuat tenaga, tapi karena kedua kakinya terikat menjadi satu, tendangannya meleset jauh.

"kau berusaha melawan yah!?" Teriak Salah seorang awak itu dengan nada kasar, matanya menyala marah.

"brwakk" salah seorang awak lainnya mengayunkan tinjunya, memukul wajah Rheine dengan keras, membuatnya terpental dan menabrak dinding.

Rheine tetap terdiam, tidak mengucap sepatah kata apapun meski darah mengalir dari sudut bibirnya. Ia larut dalam pikirannya yang berkecamuk.

"apa?"

"apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Benar, tetap tenang—"

"—agar mereka bisa melakukan 'itu' kepadaku, mereka harus membuka selangkanganku—"

"—dengan kata lain...,"

"mereka harus membuka tali yang mengikat kedua kakiku dulu" pikirnya dengan nada dingin.

Salah satu dari Mereka kemudian mencengkeram dan mencekik leher Rheine dengan tangan besarnya.

"Hnngh—" Rheine hanya bisa mengerang tertahan merasakan aliran darah di tenggorokannya terhenti, ia berusaha untuk meringankan dan melemaskan tubuhnya yang memberontak. Agar tekanan di lehernya bisa terjalankan, meski sedikit.

"Brwakk!" orang itu melempar tubuh Rheine ke dinding dengan keras.

"Ayow! Kita bersenang senang" Ucap Salah seorang pria itu dengan tawa mengerikan, ia memegang dagu Rheine dengan tatapan mengancam.

~ ~ ~ Continued ~ ~ ~

Akhirnya!

Setelah semua hal yang merepotkan itu.

Rheine terbaring lemah di tanah yang dingin dengan kondisi lemas, bajunya tersayat-sayat bekas robekan di dadanya, dan kedua kaki serta tangannya masih terikat kuat oleh tali yang menggores kulitnya.

Tampaknya, pria-pria tadi telah meninggalkannya begitu saja di sana, meninggalkan jejak-jejak kaki berdebu di lantai.

"Tak kusangka..."

"mereka tidak membuka selangkanganku"

"sehingga aku tidak bisa menggerakkan kakiku"

"mereka hanya menyentuh dan memainkan dadaku"

"Yah—dengan begitu, aku tidak terlalu merasa kesakitan"

"Jadi, aku tidak perlu khawatir"

"karena sesuatu tidak hilang dari diriku"

Gumamnya pelan dalam hati, tangannya yang terikat gemetar.

Saat itu, napasnya terengah-engah berat karena kelelahan, dadanya naik turun dengan cepat.

Ia kemudian memejamkan matanya perlahan karena rasa kantuk dan lelah yang amat sangat mendera tubuhnya.

Setelah menutup matanya, ada semacam suara yang berdengung di pikirannya—seolah ada orang yang memanggilnya dari kejauhan.

"Heyy, bangunlah"

"Jika kau terus seperti itu, kau akan mati kelaparan"

"apa kau hanya akan menerima kondisi seperti ini begitu saja?"

"mengapa kau tidak mencoba melawan?"

Suara itu tiba-tiba muncul bergema di pikirannya, suara itu terdengar seperti suara anak laki-laki yang jernih.

Mendengar suara itu, Rheine reflek terbangun dengan sentakan.

"hah—hah—hah" ia terbangun dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar, kaget karena merasa dirinya dipanggil seseorang dari alam bawah sadarnya.

"A-Apa itu tadi?" Gumamnya dengan suara serak.

"Aku merasa seperti ada yang berbicara kepadaku?" Gumam Rheine heran, matanya bergerak liar.

Ia lalu menolehkan kepalanya, melihat sekeliling dengan tatapan waspada, melihat apa ada seseorang di ruangan itu. Namun, yang ia lihat hanyalah tumpukan benda-benda tua yang tak berguna dan berdebu.

Ia pun terpikir sesuatu, kedua alisnya berkerut dalam, "melawan? Yahh?"

"apa aku mampu melakukan itu?" Gumamnya dengan suara kecil, jemarinya yang terikat bergetar pelan.

Tak lama kemudian,

"Brwakk!"

Seseorang menendang pintu dengan keras hingga engselnya berderit.

Benar, boss datang membawa sepiring nasi yang tampak lusuh dan kotor dengan butiran-butiran nasi yang menempel di pinggirannya.

"kau masih di sini ternyata" Ucap pria itu, langkahnya bergema di lantai.

"bagaimana aku bisa keluar dengan kondisi seperti ini coba?" Ucap Rheine dalam hati dengan nada kesal, matanya melirik ke tali yang mengikat kaki dan tangannya.

"Anak buahku tadi nampaknya tidak sabaran yah..?" Ucap sang boss, nada suaranya mengintimidasi, seringai tipis terbentuk di bibirnya.

"ada pistol di saku sabuk sebelah kanan pinggangnya yah?"

"aku lihat, pria ini berjalan tanpa menggerakkan tangan kanannya"

"itu artinya, ia selalu dalam keadaan waspada"

Pikir Rheine, ia mengamati sang boss dengan seksama dari ujung kaki hingga kepala, matanya menangkap setiap detail gerakan pria itu.

"nih makan!" perintah pria itu dengan kasar, pria itu melemparkan piring plastik berisi nasi yang tampak lusuh dan kotor itu ke arah Rheine hingga beberapa butir nasi berhamburan.

Sementara Rheine masih larut dalam pikirannya yang berkecamuk,

"kalau aku bisa menyambar pistol itu, aku bisa langsung menembaknya"

"Tapi—"

"—kelihatan sekali kalau sarung pistol itu terkunci dengan rapat. Dengan begitu, mustahil bagiku untuk menyambarnya"

"apalagi kalau dia adalah tipe orang yang selalu dalam keadaan waspada"

"ia bisa mundur beberapa langkah dengan cepat, lalu menodongkan pistolnya ke arahku"

"jika itu terjadi, aku bisa terbunuh sebelum aku membunuhnya"

"jadi, yang bisa kulakukan untuk sekarang hanya mengikutinya saja"

"toh, dia juga tidak akan membunuhku asal aku tidak mulai duluan"

Pikir Rheine, jemarinya yang terikat bergetar menahan emosi.

Rheine kemudian merangkak mendekati nasi yang di lemparkan oleh Boss tadi, ia memakannya dengan lahap meski rasanya tidak enak dan bau, karena ia sendiri belum makan berhari-hari hingga perutnya terasa perih.

Hari demi hari telah ia jalani dengan sabar, tubuhnya menahan setiap rasa sakit, mulai dari melayani sang boss dengan tangan bergetar, melakukan tugas rumah sang boss hingga tangannya lecet, hingga di seret kesana-kesini bagaikan binatang dengan tali yang diikat kuat di lehernya yang memar.

Saat waktu tidur, Rheine selalu dalam keadaan kedua kaki dan tangannya diikat erat hingga kulitnya tergores, lalu dilempar dengan kasar ke pabrik kosong yang dulunya pernah menjadi tempat transaksi atau tempat Rheine di jual seperti barang dagangan.

Hingga 1 tahun pun berlalu dengan penderitaan, umur Rheine menjadi 11 tahun, sudah 4 tahun berlalu semenjak kematian orang tua Rheine yang masih membayang dalam ingatannya.

Di pabrik kosong itu, sang boss mencengkeram kerah Rheine lalu melempar tubuhnya ke tanah dengan keras, "Diam!" teriaknya, suaranya menggema di dinding-dinding pabrik.

"apa kau ingin meracuniku? Hah!" tanya sang boss dengan kasar, urat-urat di lehernya menonjol menahan amarah.

Rheine yang terlempar dan tersungkur, hanya terdiam menatap pria itu dengan tatapan datar nan dingin.

"jawab!" bentak pria itu, ia kemudian mengayunkan kakinya dan menendang perut Rheine dengan dengkulnya sekuat tenaga.

"Arkhh" Desah Rheine kesakitan, darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang pecah.

Rheine kemudian mengusap darah di bibirnya dengan punggung tangannya yang bergetar.

"Bu-bukan..." Ujar Rheine, napasnya terengah-engah menahan sakit.

"Dragg" Pria itu mengepalkan tangannya dan menjotos wajah Rheine dengan keras, membuat tubuh kecil Rheine terpental dan menabrak dinding.

"Berani-beraninya" Ucap pria itu dengan gigi menggeretak, sembari mengepalkan tangannya yang memerah.

"Setelah ini, dia pasti membunuhku" Pikir Rheine, tubuhnya tersungkur lemas di tanah yang dingin.

"Ahh sudahlah!"

"Cepat ganti pakaianmu, lalu bersiap-siaplah"

"carikan uang yang banyak" Perintah Pria itu dengan nada kasar, sembari melempar selembar pakaian yang sobek-sobek ke arah Rheine yang masih tersungkur lemah di tanah.

Rheine berusaha untuk bangkit dengan bertumpu pada lengannya yang gemetar. Namun, tangannya terlalu lemas hingga ia tersungkur kembali ke tanah dengan suara gedebuk pelan.

Sang boss itu berjalan perlahan menuju pintu dengan langkah-langkah berat, membukanya dengan sentakan, lalu keluar dari sana meninggalkan Rheine sendirian, kemudian menutupnya kembali dengan suara berdebam.

Rheine yang terbaring di tanah hanya terdiam dengan mata kosong memikirkan sesuatu yang berkecamuk dalam benaknya.

"Tak kusangka, pria itu tidak membunuhku"

"padahal, aku tidak melakukan apapun"

"belum..."

"Tapi—"

"—percuma saja"

"setidaknya, aku yang akan membunuhnya setelah ini"

"aku sudah menyabotase masing-masing tempat tinggal orang-orang itu selama setahun ini"

"Yah—, membutuhkan waktu setahun untuk melakukan itu semua"

"tapi, yaw udahlah"

"setidaknya—"

"aku hanya perlu menunggu sampai nanti"

"sebenarnya, kedua orang tua kandungku juga di bunuh oleh komplotan yang sama"

"jadi—"

"—aku akan membunuh mereka dengan cara yang sama"

"tapi—"

"—apa yang akan kulakukan setelah ini?"

"benar—"

"—aku mungkin bisa mati dengan tenang setelah ini"

"dengan begitu, aku bisa bertemu lagi dengan mereka di alam sana"

Itulah yang berkecamuk dalam pikiran Rheine.

"Baiklah!" Gumamnya pelan namun terdengar bersemangat meski tubuhnya masih bergetar.

Ia kemudian berusaha untuk bangkit dengan bertumpu pada tangannya yang lecet, "e-enh" desahnya pelan menahan sakit.

Ia kemudian berdiri dengan tubuh yang masih lemas dan bergoyang, lalu berjalan tertatih-tatih menghampiri pintu yang tertutup rapat.

"baiklah!"

"ini saatnya—"

"—memikirkan kematian yang cocok untukku" Gumamnya dengan semangat yang membara dalam matanya.

Ia membuka pintu itu dengan sentakan keras, "brwakk" terlihat pemandangan pepohonan yang rindang dan indah di baliknya, letak pabrik terbengkalai itu memang tersembunyi di tengah lebatnya hutan.

Namun, Rheine tiba-tiba menghentikan langkahnya mendadak, kemudian berpikir sembari memegang dagunya dengan jemari yang masih bergetar.

"tunggu,"

"bisakah aku keluar dengan kondisi seperti ini sekarang?" Gumamnya ragu, ia menunduk melihat ke bawah, memperhatikan kondisi pakaiannya yang compang-camping memperlihatkan beberapa bagian tubuh yang seharusnya tidak dilihat.

"fyuhh" Rheine menghela napas panjang sejenak, bahunya turun lesu.

"baiklah, balik aja dah" ucapnya, semangatnya surut seketika.

Ia berbalik dengan gerakan lambat, namun kakinya tidak melangkah sedikitpun.

"ah bodoamat"

"toh, nanti juga aku bakal mati"

"emang kenapa kalau begini"

Gumamnya, semangatnya kembali membara dalam matanya. Ia kemudian berbalik dengan cepat lalu melangkah keluar pabrik itu dengan langkah berat, lalu menjauh perlahan meninggalkan tempat itu.

Ia kemudian mengendap-endap menuju kota dengan hati-hati, berjalan perlahan dengan langkah-langkah seringan kucing agar tidak ada yang melihatnya dalam kondisi seperti ini.

Di tengah perjalanan menyusuri gang sempit, hidungnya mencium aroma lezat yang menggoda. "Ffh~" "Ffh~" ia berusaha mengendus-endus mencari asal aroma menggiurkan itu, ia mengikutinya dan menyusuri lorong yang gelap karena terbayangi gedung-gedung tinggi yang menjulang.

Hingga akhirnya ia sampai di sebuah warung makan yang terlihat mewah, matanya berbinar melihat berbagai macam makanan yang berjejer menggoda di meja yang ada di warung itu.

"hai kau!" panggil seseorang dengan suara kasar dari belakang.

Rheine menoleh ke belakang dengan gerakan kaku.

"apa yang sedang kau lakukan di sini?". Tanya pria itu dengan nada menuduh, pria itu mengenakan topi chef yang sudah lusuh, terlihat seperti pemilik kedai makan mewah itu.

"kau mau mencuri yah?" tuduh pria itu dengan mata menyipit curiga, ia menuding Rheine dengan jari telunjuknya.

Rheine mengibas-kibaskan tangannya di udara dengan panik, "Ti-tidak, a-aku hanya"

Belum selesai Rheine menjelaskan, pria itu kemudian mencengkeram kerah baju Rheine yang sobek lalu mengangkatnya dengan kasar hingga kaki Rheine tidak menyentuh tanah.

"Ehkk—"

Pria itu kemudian menyeret Rheine menjauh dari kedai makan itu dengan kasar, "brakk" pria itu melempar tubuh kecil Rheine ke tanah kotor, di lorong yang gelap dan pengap.

Rheine yang merasa tulangnya seakan remuk reflek memegang punggungnya yang nyeri.

"enyahlah dari sini!" Bentak pria itu dengan kasar, kemudian berbalik lalu pergi meninggalkan Rheine sendirian di kegelapan.

"aku kan juga butuh makan" Gumam Rheine pelan dengan nada kesal, ia menatap punggung pria itu yang menjauh.

Rheine kemudian bangkit perlahan bertumpu pada tangannya yang lecet.

"yahh—"

"—aku juga tidak punya uang sih"

Gumamnya pasrah, sembari menepuk-nepuk bajunya yang kotor dengan tangannya yang bergetar.

Setelah berdiri dengan susah payah, ia kemudian berjalan tertatih-tatih menyusuri gang yang sempit, kotor, nan gelap itu. Banyak sampah dan kotoran berserakan di sekitarnya, menambah bau pengap yang menyengat.

Setelah beberapa saat Rheine berjalan tanpa arah, telinganya menangkap suara gaduh perkelahian.

Disana ia melihat, sekelompok pria bersenjata sedang mengeroyok 3 orang gadis yang ketakutan.

Ia seketika mengendap dan bersembunyi di balik dinding yang retak, sesekali ia mengintip dengan hati-hati dari balik tembok.

"inikan...?" ia mengintip dari balik dinding gedung itu dengan mata menyipit.

"Perampokan? Penculikan?" Gumamnya dalam hati, tangannya terkepal erat.

Salah seorang dari kelompok itu mengangkat dan menodongkan pistol hitam mengkilat ke arah ke-3 gadis yang gemetar ketakutan itu.

Tepat sebelum jari pria itu menarik pelatuk, Rheine berlari secepat kilat ke arah mereka.

"Dorr!" pelatuk ditarik, dan peluru melesat keluar dari moncong pistol.

Rheine melompat dengan gerakan cepat, menghadang peluru itu dengan tubuhnya.

Cipratan darah keluar mengenai wajah ke-3 gadis itu yang membeku di tempat.

"a-apa I-itu?" Gumam Pria itu.

Tubuh Rheine yang berlubang perlahan jatuh ke tanah dengan suara gedebuk pelan, peluru tadi melesat tepat menembus dada Rheine, membuat napasnya terhenti seketika.

Sebelum ia benar-benar menutup mata, ia menatap langit yang bercahaya terang.

"A—"

"—apa aku te—lah ma—ti?" Gumamnya dalam hati dengan suara tercekat, napasnya terengah-engah menahan sakit yang luar biasa.

"benar, aku harap—"

"—aku bisa tenang se—"

"telah i—"

"nihh"

Pandangannya mulai mengabur dan menghitam, kemudian ia perlahan menutup matanya yang semakin berat, ke-3 gadis itu berlutut dan berusaha membangunkan Rheine yang terbaring kaku.

Tangis ke-3 gadis itu pecah memecah keheningan saat mengetahui Rheine yang tidak kunjung bangun.

Karena suara tembakan yang cukup keras menggema di gang sempit itu, lampu-lampu di lorong tiba-tiba menyala satu persatu, orang-orang dari luar berlari berhamburan ke dalam dengan panik, tidak memberikan kesempatan bagi kelompok itu untuk menarik pelatuk untuk kedua kalinya.

~ ~ ~ Continued ~ ~ ~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!