"AAARRRRGGHHHHH......!" Sean mengeluarkan juga umpatan kesalnya walaupun tidak begitu keras.
Bodoh amat dengan beberapa orang yang memperhatikannya.
Sean menggusar wajahnya dengan kasar saking sebalnya.
Tadi setelah teringat kalo dia melupakan tasnya, secepat kilat Sean berlari ke arah toilet.
Apes!
Beneran apes!
Tasnya udah raib.
Sean menghentakkan kaki dengan cukup keras saking betenya perasaannya.
Wajarlah langsung lenyap. Tas dengan corak tiga garis yang ngga sama panjang itu pasti sangat menggiurkan orang yang melihatnya.
Modelnya juga limitted edition.
Sean mencoba menenangkan dirinya.
Ngga lama kemudian tersungging senyum miring di bibirnya. Hampir saja dia melepaskan tawanya.
Bodohnya! Dia terlalu menjiwai perannya sebagai orang biasa.
Sean sudah kembali ke mood cueknya lagi.
Dia akan mencari taksi ke hotel daddynya, nanti ongkosnya biar dibayar di sana.
Sean menggelengkan kepalanya perlahan.
Susah juga kalo harus totalitas jadi orang biasa, batinnya nyengir.
Mungkin sekarang daddy dan maminya sedang menunggu kabar darinya.
Orang orang yang diam diam mengawalnya pasti sudah memberitaukan kalo dia sudah sampai di Surabaya.
Hanya karena ingin menjahili orang orang daddynya itu, dia sampai kehilangan tasnya.
Untung dibalik musibah kehilangan tas, Sean belum melihat keberadaan pengawal daddynya.
Maaf, mam. Sesekali aku mau bebas. Sebentar saja, ya, ya....., batinnya memohon berjuta maaf pada mami tersayangnya, seakan akan maminya ada di sini.
Palingan sejam lagi dia sudah mengabari maminya. Karena dia sudah tiba di hotel keluarga mereka dan bisa menggunakan fasilitas hotel.
Langkahnya terhenti ketika melihat seorang perempuan yang tampak kebingungan di depan mobilnya. Dia terlihat menelpon dengan wajah panik.
Satpam yang ada di dekatnya juga tampak bingung memperhatikan isi di dalam kap mobil yang sudah terbuka itu.
Orang orang yang berlalu lalang tampak cuek, mungkin juga ngga yakin bisa membantu.
Angel dan devil sedang berdebat di dalam pikirannya.
Bantu tidak, ya?
Angel : bantu, dong mas tampan
Devil : Ngapain. Ngotor ngotorin tangan aja.
Angel : Kamu, kan, ngerti mesin, mas Sean.....
Devil : Bodoh amat.
Sean hampir saja mengikuti saran si Devil kalo saja dia ngga mendengar suara panik gadis itu.
"Oke, oke! Aku pesan taksi online sekarang. Kalian ngga berhak memulai rapat pemegang sahan tanpa aku!"
Sean mendekat dan melihat ke dalam mesin mobil.
Tangannya terjulur membuat tubuh satpam bergeser, memberikannya tempat agar lebih leluasa.
"Ngerti mesin, mas?" tanya satpam itu dengan wajah cerah, seolah sudah memenangkan undian berhadiah mobil semewah ini.
"Lumayan." Sean memperhatikan dengan teliti, kemudian sekelumit senyum tersungging di bibirnya.
Perempuan yang nampak marah setelah menyahut di telponnya, menoleh pada Sean.
Posisi laki laki itu agak membungkuk dan tangannya sibuk mengutak atik mesinnya.
Dia pun mendekat sambil menyimpan ponselnya.
"Nona, maaf, saya harus kembali. Sepertinya masnya bisa menolong," ucap satpam berniat melarikan diri. Dia sudah cukup lama meninggalkan poskonya.
"Oh iya, pak. Makasih ya."
"Ya, nona." Dia malah ngerasa ngga perlu ucapan baik si nona, karena ngga bisa membantu dari tadi. Hanya berdiri saja memandang mesin mobil itu dengan bodoh.
Satpam itu menganggukkan kepalanya pada Sean yang meliriknya sebelum dia melangkah pergi.
"Bisa? Kalo ngga bisa, ngga apa apa," ucapnya agak ngga sabar
Sean tau, gadis ini sepertinya sedang dikejar waktu.
"Aku naek taksi online saja. Mobilnya biar ditinggal," sambungnya lagi sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
"Ngga apa apa, mas, kalo ngga bisa. Aku buru buru," lanjutnya lagi ketika tiada respon dari laki laki yang masih memunggunginya dan terus berkutat dengan mobilnya.
Laki laki itu mengeluarkan punggungnya dan menegakkannya.
Perempuan muda itu yang belum melihat wajahnya, sesaat terpana saat keduanya bersitatap
Tampan, batinnya memuji tanpa sadar.
Sean juga mengakui kalo gadis di depannya cantik.
Dia menutup kap mobil audi itu dan mengulurkan tangannya.
"Kuncinya."
"Buat apa?" Walau bingung, gadis itu menyerahkan juga kunci mobil yang sedari tadi dia pegang.
"Aku akan mengetesnya."
Gadis itu mencium bau oli saat tangan itu meraih kunci mobil yang dia serahkan. Juga agak kotor.
"Sebentar." Dia mengeluarkan saputangan dari dalam tasnya.
Sean membatalkan langkah kakinya yang akan bergerak menuju pintu kemudi.
Tanpa ragu gadis itu mengelap jari jari itu dengan sapu tangan miliknya.
"Maaf, tangan anda jadi kotor."
"Ngga apa apa," ucap Sean sambil menatap tajam gadis yang sedang menunduk itu.Tingginya hanya se dadanya saja.
Setelah gadis itu melepaskan genggaman tangannya, Sean membuka pintu mobil dan menekan tombol start.
Gadis itu terperangah.
Mesinnya bisa dihidupkan.
"Sudah bisa nona," ucap Sean bermaksud keluar dari pintu mobil
"Bisakah kamu mengantarkan aku. Aku harus buru buru.... Tapi aku sangat gugup," pintanya dengan wajah merona.
Baru kali ini dia meminta tolong pada orang asing.
Terpaksa. Keadaannya darurat, belanya dalam hati.
"Tapi kalo ngga bisa ngga apa apa. Aku akan naek taksi saja. Thank's atas bantuannya," ralatnya buru buru karena baru sadar dengan ucapannya yang bisa saja disalah artikan laki laki muda ini.
Sean ngga bermaksud menolak, dia hanya memperhatikan tangan perempuan itu yang sedang tremor.
"Katakan saja alamatnya. Akan aku antarkan," sahut Sean membuat satu kedutan tipis tercipta di sudut bibir perempuan cantik itu.
"O...ok. Thank's." Ngga ada waktu lagi buat basa basi dan khawatir. Hidupnya sudah mendekati di titik nadir.
"Alamatnya," ucapnya sambil memberikan sebuah kartu nama perusahaan konstruksi yang cukup besar dan terkenal.
"Oke." Setelah gadis itu mengenakan seatbeltnya, Sean segera melajukan mobil audi itu saat meninggalkan parkiran bandara.
"Aku Ariella," ucapnya mengenalkan diri sambil menggenggam erat pegangan di atas pintu mobilnya.
Laki laki ini sangat mahir bermanuver. Apalagi saat ini mereka sedang melaju kencang di tol.
Setidaknya kalo harus masuk IGD, Ariella sudah tau siapa nama laki laki yang tampak acuh dan cuek itu.
"Javin." Lidah Sean keseleo menyebut namanya.
Sean asal sebut saja. Lagipula itu masih ada dalam rangkaian namanya juga.
Hening lagi.
Ariella memejamkan mata. Laki laki ini ngga mikir apa, kalo dia ngga sendiri? Batinnya kesal.
Mobil sangat kencang menyalib dan melaju di tol. Mungkin dia memang akan cepat sampai ke perusahaannya atau akhirat.
Tiba tiba mobil melaju perlahan dan saat sepasang mata Ariella terbuka, ternyata dia sudah sampai di depan pintu gerbang perusahaannya.
Ada seorang satpam yang mencegat mobil mereka.
Sean menurunkan kaca jendela mobilnya dan memundurkan wajahnya agar perempuan itu bisa menampakkan wajahnya dengan jelas hingga bisa dilihat satpam.
"Nona Ariella....!" kaget satpam itu, kemudian buru buru membuka palang pintu gerbang.
"Kakek anda sudah menunggu, nona," ucapnya ketika mobil Ariella akan melewatinya.
Ariella menganggukkan kepalanya.
Sean melajukan pelan mobil hingga parkir di depan halaman perusahaan yang merupakan tempat parkir khusus para bos.
Begitu mobil berhenti, Ariella segera membuka pintu mobilnya.
"Bisakah menunggu sebentar? Setelah ini aku harus ke rumah sakit," ucapnya setelah menjejakkan sebelah kakinya ke luar mobil.
"Tarifku mahal," tolak Sean sambil melepaskan seatbeltnya. Dia akan mencari taksi online di depan.
"Aku akan membayarmu, berapa pun. Tolong tunggu."
Sean bisa mendengar suara itu bergetar dan tangan yang membuka pintu mobil itu juga gemetar. Masih tremor.
Dia kenapa? batin Sean heran. Wajah cantiknya seperti sedang menanggung beban berat.
"Aku harus cepat cepat. Nanti katakan saja tarifnya berapa," ucap Ariella sambil keluar dan tanpa menunggu jawaban Sean dia setengah berlari meninggalkan pintu mobilnya yang masih dibiarkan terbuka.
"Gadis ceroboh," nyengir Sean sambil menarik pintu itu hingga tertutup
Sean kemudian memundurkan kursi dan sandarannya.
"Boleh juga tidur sebentar," ucapnya pelan. Pegal kakinya masih cukup terasa. Untung mobil mewah ini bisa membuat dia nyaman dengan bisa menselonjorkan kedua kakinya.
Sandaran jok mobil yang sudah tiga puluh derajat miringnya membuatnya ngga lama kemudian tertidur nyenyak. Tentu saja jendela mobilnya sudah dibuka sedikit untuk pertukaran oksigennya.
Sementara itu Ariella terus melarikan kaki kakinya mendekati lift. Sapaan stafnya tidak dia hiraukan.
Sesampainya di dalam lift, Ariella baru mengatur nafasnya.
Sebentar lagi. Sebentar lagi dia akan menghadapi orang orang serakah yang ngga tau diri.
"Nona....!" Beberapa pengawalnya menyambutnya ketika pintu lift sudah terbuka dan langsung berjalan mengiringi langkahnya.
Pengawal yang sedang berjaga di depan pintu ruangan meeting mengangguk hormat.
"Nona....." Mereka pun membukakan pintu ruangan meeting untuknya.
Semua orang di sana menatapnya dengan ragam tatapan yang berbeda.
"Ariel," seru seorang laki laki yang mendekati setengah abad usianya terkejut bercampur senang.
Cucunya yang dia harapkan kedatangannya akhirnya muncul juga.
"Kenapa dia bisa di sini?" bisik seorang wanita angkuh empat puluhan pada anak gadisnya yang kira kira usianya ngga jauh beda dengan Ariella.
Gadis yang dia tanyakan tidak menjawab, tapi melihat pada pengawal yang berada ngga jauh darinya
Pengawalnya tampak menunjukkan wajah bersalahnya. Tindakannya yang merusak mobil sepupu nonanya gagal total.
Harusnya dia memotong saja kabel remnya, gumamnya dilanda rasa takut membayangkan hukuman yang akan diterimanya nanti.
Tapi karena merasa ngga tega terhadap sepupu nonanya yang mungkin akan mengalami kecelakaan, dia hanya melonggarkan saja kabel kabel di mobil itu, terutama pengapiannya hingga mobil ngga bisa dijalankan.
Dia dan teman temannya tadi juga sudah membuat nonanya harus mendapat banyak pertanyaan di ruang imigrasi akibat obat tidur yang berhasil temannya masukkan ke dalam tas sepupu nonanya.
Perintahnya jelas agar sepupu nonanya tidak bisa menghadiri rapat penting ini.
Tapi ternyata mereka gagal. Padahal sudah dilakukan dengan sangat teliti dan cermat.
Sialan, sialan! makinya berulang kali dalan hatinya.
Melihat wajah nona dan nyonya besarnya yang tampak sangat marah, dia sudah tau beratnya hukuman yang akan mereka terima nanti.
"Kenapa terlambat sekali?" tanya kakeknya sambil memegang lengannya lembut.
"Hari ini banyak sekali masalahnya, kek," ucapnya penuh arti.
Tante tante dan om om nya beserta para sepupunya memasang wajah B aja.
"Syukurlah kamu datang, Ariel," sapa tante Maglena dengan menyunggingkan sedikit senyuman.
Ariella hanya membalas dengan sama sedikitnya bibirnya yang berkedut.
Dia ngga tau sekarang, tante dan om mana yang tulus dengannya saat ini.
Keadaan sudah berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalan hitungan jam.
"Sudah ke rumah sakit?" tanya Om Fredo, adik bungsu papanya.
"Belum, om," sahut Ariella sambil menggelengkan kepalanya.
"Bisa kita mulai rapatmya?" sergah Om Idrus, adik papanya yang nomer dua. Papanya adalah anak pertama. Omnya yang paling ambisius.
Tante Maglena adalah satu satunya perempuan yang merupakan adik papanya yang nomer tiga.
Yang nomer empat adalah om Yusra.
Selain itu adalah para istri dan suami juga beberapa sepupunya yang hadir.
Kakeknya Luthfi Muhsin segera membimbingnya menuju kursi tertinggi yang selama ini ditempati papanya membuatnya tercekat. Sama sekali ngga menduganya. Juga menginginkannya.
"Papa tidak bisa begitu. Harusnya aku yang menggantikan mas Ghosam," protes Om Idrus yang merupakan putra kedua papanya, menghentikan langkah keduanya.
"Ariella mewarisi semua saham papanya. Ditambah papa, dia memiliki saham tertinggi " kilah kakeknya tegas.
"Tidak akan terjadi jika kami semua bersatu, papa," ucap tante Maglena cepat dan mengubah suasana menjadi dingin mencekam.
Lutfi Muhsin tetap menggenggam lengan cucu kesayangannya.
Dia menatap wajah putra putra dan putrinya dengan tatapan tajam.
"Jadi kalian sudah sepakat menggantikan Idrus dengan Ghosam?" bentak Luthfi Muhsin dengan suara keras dan bergetar hebat.
"Papa harus bisa lebih mempercayaiku," ucap Om Idrus lantang.
"Kami sudah menduga kalo papa akan menggantikan kedudukan mas Ghosam dengan Ariel. Ariel belum matang, perusahaan bisa hancur kalo berada di tangannya sekarang," sambung Tante Maglena panjang lebar
Ariella menatap para om dan tantenya ngga percaya. Ngga menyangka om dan tantenya bisa berucap yang menyakitkan hatinya.
Papanya baru beberapa jam yang lalu masuk ICU, tapi mereka sudah bekerja sama untuk menggantikannya.
Padahal papanya selalu adil membagikan laba perusahaan.
"Papa harus adil dengan cucu cucu papa yang lainnya juga. Bagaimana perasaan mereka jika tau Ariella yang malah melewati orang tua mereka dan menjadi bos " ucap Om Idrus lagi.
"Ariel, kamu jangan salah paham. Kami hanya ngga mau perusahaan sebesar ini malah hancur lebur di tangan kamu karema kurangnya pengalaman dan keahlian kamu," tukas tante Maglena, lagi lagi panjang lebar menjelaskan asumsi dan dugaannya.
Kata katanya begitu tajam menghunjam hati lembut Ariella.
"Hanya sementara sampai papamu sadar dan sembuh, Ariel," tambah Om Yusra berusaha mendinginkan suasana.
"Ya, saat papamu sembuh kita akan langsung rapat untuk menentukan pemimpin selanjutnya," sanggah tante Maglena lagi.
BRUK!
"KAKEK!"
"PAPA!"
Luthi Muhsin menahan sakit di dadanya ketika kedua tangannya dihempaskan dengan kasar di atas meja.
"Kalian.... Mengapa.... tidak ada empati .... sedikitpun?" ucapnya dengan nafas terengah.
Suasana mendadak hening.
Ariella menahan punggung kakeknya bersama Nikko, putra Om Fredo.
"Ini hanya sementara, papa. Perusahaan harus tetap berjalan, selama Mas Ghosam sakit," ucap Om Idrus memecah kesunyian.
"Ariel, kamu ngga keberatan, kan?" tanya Om Yusra pelan. Dia terpaksa ikut dalam keributan ini.
"Kamu bisa konsen mengurus papa kamu. Perusahaan biarkan saja om Idrus yang mengurusnya," sambung Om Fredo lagi. Dia ingin perdebatan ini cepat berakhir.
Jauh jauh dipanggil pulang hanya untuk terlibat dalam kekisruhan begini, batinnya mengomel.
"Masa kamu ngga percaya dengan Om Idrus yang pengalamannya sama banyaknya dengan papa kamu, Riel," sarkas tante Maglena menyentak hati kecil Ariel.
Dia terpaku. Selama ini dia memang membantu papanya atas permintaan papa dan kakeknya.
Sepupu sepupunya yang lain juga begitu.
Di dalam kepalanya ngga ada sedikitpun keinginan untuk menguasai perusahaan setelah papanya pensiun.
Tapi bisakah mereka memintanya baik baik?
Tidak di saat papanya sedang koma di ICU begini? berontaknya dalam hati.
"Perusahaan saingan kita sedang melebarkan sayapnya di sini. Kita harus bisa dengan cepat mengatur strategi agar ngga kalah dalam setiap tender melawannya. Kabarnya cucunya sendiri yang langsung diturunkan di sini. Ariel belum pengalaman tapi cucu Pak Rakha sudah ngga diragukan lagi otak dan kinerjanya. Apalagi kalo teman temannya membantunya. Kita bisa hancur, papa," tukas Om Idrus panjang lebar.
Opa Lutfi Muhsin ngga menjawab. Tangannya masih mengepal kuat dengan tubuh bergetar menahan kekesalan.
"Ariella tetap akan jadi wakil CEO di sini." Lutfi Muhsin tidak akan pernah peduli dengan apa pun yang dikatakan putra dan putrinya.
Dia tau dengan jelas watak dan karakter putra kedua dan putri ketiganya.
Mereka terlalu ambisius, perusahaan akan lebih cepat jatuhnya jika diserahkan begitu saja pada keduanya.
"Papa, jika saham kami semua digabung, jumlahnya lima puluh tiga persen. Papa dan Ariel sudah kalah," tegas Maglena tetap ngotot.
"Kalian semua menyerahkan saham pada Idrus?" tanya Opa Lutfi Muhsin dingin sampai pandangi wajah dua putra paling kecilnya, Yusra dan Fredo.
Yusra dan Fredo mengalihkan tatap papanya. Merasa ngga bersalah.
Mereka terpaksa, karena kakak pertama mereka sekarang sedang sakit parah. Dan juga mereka ngga ingin berurusan dengan kakak kedua mereka yang bisa melakukan apa saja demi ambisinya.
"Sementara saja, Pa. Beri kesempatan Mas Idrus memimpin. Kalo kinerjanya jelek, kita bisa pecat dia," bujuk Yusra membuat Idrus mendelik.
"Apa katamu? Kau ngga percaya dengan kemampuanku?" todong Idrus tersinggung. Padahal dia sudah memberikan tambahan sepuluh persen keuntungan laba perusahaan bagiannya agar adik adiknya mendukungnya.
"Kita hanya ingin melihat kamu memajukan perusahaan seperti mas Ghosam," bela Fredo agak kecut.
Hanya Mas Ghosam yang ditakuti Mas Idrus. Kalo papa Ariella sampai meninggal, Fredo tau Mas Idrus akan menguasai semuanya. Papa mereka juga sudah renta dan sering sakit sakitan.
Idrus mendelikkan matanya ke arah adiknya. Tajam dan mengancam.
"Yusra, Fredo, kalian apa apaan? Mas Idrus berhasil, kan, mengembangkan perusahaan papa di Makasar dan di Selangor?!" sergah Maglena ketus.
Iya, hutang dan masalahnya juga banyak. Terutama korupsi, maki Yusra dalam hati.
Mas Ghosam yang menyelesaikan masalahnya, batinnya lagi.
"Kita lihat dulu perkembangan perusahaan di tangan Mas Idrus, papa. Jika ngga ada kemajuan, Ariella bisa dijadikan CEO," ucap Fredo.
"APA KATAMU!" bentak Idrus ngga terima.
"Aku benar, kan, mas. Selama ini potensi Ariella juga bagus," sambungnya berani. Sahamnya juga menentukan kedudukan kakak ambisiusnya.
BRAK!
Idrus memukul meja dengan keras. Rahangnya mengetat.
"Dia kelihatan pintar karena didukung oleh papanya," sinis Idrus dengan sorot mata mengancam.
"Kalo dia tidak membawa bawa nama papanya, paling jadi karyawan biasa," cela Magdalena ngga kalah sinisnya.
Hati Ariella sakit mendengarnya. Setaunya malah anak anak om dan tantenyalah yang seenaknya saja bekerja dan menggunakan fasilitas perusahaan.
Dia mendiamkannya karena papanya ngga ingin ada keributan. Perusahaan nampak besar di luar tapi kopong di dalam.
Berapa banyak tender dan proyek fiktif yang dilakukan mereka.
Ariella dan papanya yang harus bekerja keras untuk menambalnya.
Dia menoleh karena Om Fredo menyenggolnya.
Fredo menatap Ariella penuh permohonan. Ini juga deni keselamatan keponakannya.
Mas Idrus dan keluarganya bisa melakukan apa saja untuk mencelakakan Ariella.
Kakaknya Magena pasti selalu mendukung tindakannya karena watak mereka sama. Ambisius.
Karena itu dia dan keluarganya tidak mau ikut campur dalam masalah kepemimpinan perusahaan. Laba yang selama ini dikirimkan sudah cukup membuatnya membangun dan mengembangkan perusahaan baru di London.
Yang terlibat langsung di perusahaan keluarga, adalah ketiga saudaranya beserta anak anak mereka.
Tapi jabatan mereka berada di bawah Ariella yang menjadi wakil CEO. Dukungan penuh papa mereka memang terkesan tidak adil, tapi kalo mengingat jasa Mas Ghosam yang sudah memajukan perusahaan hingga ke luar benua Asia hingga Amerika, rasanya sah sah saja menjadikan Ariella sebagai tangan kanan kakaknya itu.
Mereka pun tinggal hidup enak dengan pembagian laba yang besar tiap bulannya. Ratusan milyar.
Tapi begitulah manusia yang bernama kakaknya Mas Idrus, selalu saja menginginkan lebih.
Pedro pun yakin keterlambatan Ariella pasti masih ada hubungannya dengan jejak kotor kakaknya itu.
Dalam hati bersyukur kalo keponakannya masih baik baik saja.
"Papa tidak bisa menahanku menggantikan mas Ghosam," ucap Om Idrus penuh tekanan.
Opa Luthfi Muhsin mengambil palu kecil dan mulai mengetuk tiga kali di atas meja.
TOK TOK TOK
"Baiklah. Idrus akan menjadi CEO sementara hingga Ghosam sembuh. Ariella tetap menjadi wakil CEO."
"Papa, jangan pilih kasih begitu. Anakku seharusnya yang jadi wakil CEO," bantah Maglena cepat.
Tedy putra tunggalnya selama ini hanya jadi menejer saja. Mumpung kakak keduanya jadi CEO, dia ingin putranya naek pangkat.
"Keputusan papa sudah ngga bisa diganggu gugat," tegas papanya-Luthfi Muhsin. Sakit di dadanya mulai mereda
"Opa, sudahlah. Aku ngga apa apa ngga jadi wakil CEO." Ariella ngga tega melihat wajah opanya yang seperti menahan sakit.
Dia ingin cepat mengakhiri perdebatan panas ini.
Papanya di rumah sakit.
Dan....
Wajah Ariella sontak pias.
Laki laki yang ngaku namanya Javin itu, apa masih di sana?
Dia ngga bawa lari mobilnya, kan?
Seketika Ariella mulai panik. Udah hampir satu jam dia membiarkan laki laki itu menunggu.
Yah, sudahlah kalo mobilnya nanti dibawa pergi, batinnya pasrah.
Hanya saja yang mengganjal pikirannya, kalo laki laki itu jadi marah karena terlalu lama menunggunya.
Ariella memijat kepalanya yang sedikit berdenyut
Niko melihat sepupunya sekilas. Mereka ngga akrab, dia pun jarang pulang. Kalo pulang dengan mama dan papa hanya mengunjungi opanya saja sebelum melanjutkan ke tempat lain.
"Kamu sakit?"
Pertanyaan Niko membuat kakeknya juga menoleh.
"Kamu sakit apa, Riel?" wajah kakeknya dari emosi berubah menjadi sangat khawatir.
"En enggak. Aku ngga apa apa.... Aku.... aku hanya mau jenguk papa," jawabnya gugup.
"Ooo... Iya ya...." Kakek Luthfi Muhsin langsung maklum.
"Maaf, papa, tidak bisa begitu. Dulu saat mas Gosham menjadi CEO, putrinya yang jadi wakilnya. Sekarang aku minta, putriku yang jadi wakil CEOnya," tolak Om Idrus lantang.
"KAMU......!" suara papanya-Luthfi Muhsin mulai bergetar lagi karena amarah.
"Mas Idrus! Kamu ngga bisa begitu," bentak Maglena cepat. Dia merasa kakaknya mulai bertingkah seenaknya sendiri.
"Aku hanya akan lebih nyaman kalo bekerja dengan putriku sendiri. Ariella pasti juga merasa begitu. Bukan begitu, Riel?" Om Idrus mengacuhkan kemarahan adik dan papanya. Matanya menyorot tajam pada Ariella.
"Ariella bisa menggantikan tempat putriku, Calinda," sambungnya lagi.
Tangan Luthfi Muhsin mengepal kuat.
"Papa kasih kamu waktu enam bulan. Ingat enam bulan! Jika kamu menjerumuskan perusahaan, sahammu akan papa tarik dan kamu ditendang dari perusahaan ini!"
"Aku setuju," sahut Om Idrus lantang.
Hening, hanya Maglena yang
cemberut dan menatap sangar kakaknya.
"Sudahlah, ma. Ngga apa apa. Aku juga betah jadi menejer," bujuk Tedy.
Dia ingin bekerja santai. Apalagi kalo harus jadi tangan kanan omnya, pasti bakal diperas tenaganya seperti kuda.
Gaji yang diberikan sudah sangat besar. Hidupnya juga lebih dari cukup. Kenapa harus ditambah mikir hal hal yang rumit, batinnya santai.
"Kamu ini juga harus jadi bos," balas mamanya pelan dan kesal melihat ketakpedulian putranya pada kekuasaan.
"Ngga perlulah, ma," tolak Tedy. Dia meringis kalo mengingat cara kerja Ariella yang ngga kenal waktu istirahat dulu.
Itu bukan gayanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!