Lampu neon berkilauan memantul di dinding kaca, sementara dentuman musik DJ menggema memenuhi ruangan. Syanas berdiri di tengah kerumunan, menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik yang menghentak.
Rambut panjangnya yang bergelombang menari liar di bawah sinar lampu strobo, membuat sosoknya mencuri perhatian siapapun yang berada di sekitarnya. Ia menikmati setiap hentakan bass, seakan dunia luar yang penuh masalah tak pernah ada.
Disisi lain beberapa temannya ikut larut dalam suasana. Gelas-gelas koktail berdenting, suara tawa dan teriakan euforia menggema.
“Syanaaas! Tambah lagi dong gelasnya! Jangan setengah-setengah!” teriak Rido, salah satu teman lelaki Syanas yang sudah mulai kehilangan kendali.
Syanas menoleh, lalu tertawa sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “Santai Do! Gue masih bisa lebih lama dari lo!” teriaknya balik, suaranya hampir tenggelam dalam hingar bingar musik. Ia meneguk habis isi gelasnya dalam satu kali tegukan, lalu menjentikkan jari ke arah pelayan, meminta minuman tambahan.
Rido mendekat dengan senyum miring, menepuk pundak Syanas. “Gila lo Syas. Gue makin yakin lo ini cewek paling gila di sini.”
“Dan itu kenapa lo selalu balik buat party bareng gue kan?” balas Syanas dengan nada menggoda, matanya menyipit penuh percaya diri.
Setelah beberapa lagu berlalu, kerumunan mulai semakin padat. Rido dengan wajah yang sudah memerah akibat alkohol, menyelinap lebih dekat ke arah Syanas. Ia menundukkan tubuhnya, membisikkan sesuatu yang membuat napasnya terasa di telinga Syanas.
“Syas, gimana kalau malam ini kita cabut? Gue punya tempat yang asyik buat kita lanjutin, cuma kita berdua.”
Syanas menghentikan gerakannya. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Rido dengan tatapan tajam yang membuat pria itu sedikit mundur. Lalu, bibir Syanas melengkung membentuk senyuman sinis.
“Lo pikir gue cewek murahan yang gampang lo ajak gitu aja?” tanyanya dengan nada dingin, tapi matanya tetap memancarkan rasa menantang.
Rido terkekeh, mencoba terlihat santai. “Santai dong Syas. Gue cuma ngajak santai. Lagian, siapa sih yang nolak cewek cantik kayak lo?”
Mendengar itu, Syanas maju selangkah, membuat jarak di antara mereka hampir tak ada. Wajahnya mendekati wajah Rido, tapi bukan dengan kelembutan. Matanya menatap tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya.
“Oke, gini aja Do,” ujarnya pelan namun tajam, membuat Rido semakin gugup. “Kalau lo beneran mau ngajak gue, tunjukin dulu nyali lo. Lompat dari bar ke lantai dansa di sana, di depan semua orang. Kalau lo berhasil, gue ikut lo. Kalau nggak, jangan pernah coba-coba deketin gue lagi.”
Rido menelan ludah. Tawanya mendadak hilang, wajahnya berubah kaku. Ia melirik ke arah bar yang disebut Syanas, lalu kembali ke wajah wanita itu yang kini penuh rasa menantang.
Semua mata di sekitar mereka mulai tertuju ke arah keduanya, menunggu bagaimana Rido akan merespons.
“Lo serius?” Rido berusaha mempertahankan wajah santainya, meskipun nada suaranya mulai bergetar.
Syanas mengangguk santai, lalu menyilangkan tangan di depan dada. “Gue enggak main-main Do. Sekarang atau enggak sama sekali.”
Kerumunan di sekitar mulai bersorak, beberapa bahkan mendorong Rido untuk melakukannya. Musik yang sebelumnya terasa memompa adrenalin kini menjadi tekanan yang tak bisa diabaikan oleh Rido.
Dengan mendadak, Rido menggelengkan kepala, lalu meninju udara kosong dengan frustrasi. “Lo gila Syas!” teriaknya sebelum berbalik pergi, menghilang di tengah kerumunan.
Syanas hanya tertawa kecil, lalu menoleh ke teman-temannya yang masih terkejut melihat kejadian itu. Ia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “Lihat? Cowok kayak dia nggak bakal pernah punya nyali buat hadapin gue.”
Teman-temannya saling pandang, beberapa terkikik geli. Tapi mereka tahu, ini adalah Syanas, wanita yang selalu penuh percaya diri, meskipun kadang caranya membuat orang lain menghela napas panjang.
Namun, di balik semua itu, Syanas tahu ada rasa kosong yang terus ia hindari. Dentuman musik, lampu strobo, dan gelas-gelas koktail hanyalah pengalih perhatian.
Di dalam hatinya, ia masih merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini ia tolak untuk dihadapi. Tapi untuk malam ini, ia memilih menutupinya dengan tawa dan tarian.
“Udah yuk balik joget lagi! Gue belum selesai sama malam ini!” seru Syanas sambil menarik tangan Nindi ke tengah lantai dansa. Dan sekali lagi, ia menghilang dalam riuhnya kerumunan, seakan dunia ini adalah miliknya seorang.
Keramaian klub masih menggema. Dentuman musik DJ yang menghentak terus memompa semangat para pengunjung, membuat lantai dansa penuh dengan orang-orang yang bergerak liar.
Dengan rambut panjang bergelombang dan tubuhnya yang masih energik, Syanas akhirnya memilih mundur dari lantai dansa. Ia berjalan ke area VIP, tempat beberapa temannya sudah lebih dulu duduk.
“Capek banget, sumpah,” ujar Syanas seraya menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk. Ia meraih segelas mojito yang tersisa di meja, meneguknya hingga hampir habis.
Nindi, salah satu teman perempuan yang duduk di sebelahnya, menyenderkan tubuh ke sofa, mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah karena keringat. “Syas, sini dulu bentar. Gue mau ngomong serius,” ujarnya sambil menoleh ke arah Jennie yang duduk di sisi lain.
“Ngomong serius? Di tempat kayak begini?” Syanas mengangkat alis, bingung. “Lo mabok ya Nin?”
Jennie tertawa kecil, tangannya memutar-mutar gelas margarita yang ia pegang. “Bukan mabok Syas. Ini beneran serius. Lo tau kan, gue baru nemuin platform investasi gitu? Nindi juga udah coba, hasilnya gede banget.”
“Investasi?” Syanas melirik mereka bergantian, matanya menyipit. “Lo ngapain sih bawa-bawa investasi di tengah party kayak begini? Lagi seru-seruan, malah ngomongin duit. Lo udah tua Nin?”
“Eh, lo jangan nyinyir dulu!” Nindi menyenggol lengan Syanas, lalu mendekatkan tubuhnya. “Gue kasih tau ya, kalau lo investasi sekarang, duit lo bakal ngembang dengan sendirinya. Bayangin aja, kerjaan lo cuma duduk cantik kayak gini, tapi saldo lo terus bertambah.”
Jennie mengangguk setuju, wajahnya terlihat penuh semangat. “Iya Syas. Duit lo di bank tuh nggak ngapa-ngapain selain jadi beban. Bunganya kecil banget, nggak sebanding sama inflasi. Kalau lo main investasi, minimal lo bisa punya passive income buat masa depan.”
Syanas memutar bola matanya dengan ekspresi malas. “Passive income, inflasi, bla bla bla. Lo semua beneran kelihatan tua banget, sumpah. Hidup itu simple aja. Duit gue di bank tuh aman. Kalau gue mau pakai, tinggal ambil. Gak perlu ribet mikirin ini itu.”
“Ya ampun Syas!” Nindi mendesah panjang, frustasi. “Lo tuh tau nggak, orang-orang kaya itu nggak cuma nyimpen duit di bank. Mereka bikin duit mereka kerja buat mereka!”
Jennie menambahkan, “Lo sadar nggak sih, uang lo tuh kayak nganggur. Nggak ada gunanya di bank. Mending lo muterin uang itu buat sesuatu yang lebih produktif. Kayak gue sama Nindi sekarang, udah dapet hasilnya loh.”
Syanas menyilangkan tangan di depan dada, matanya menatap teman-temannya dengan ekspresi datar. “Gue udah kerja buat dapet duit, jadi gue bebas ngelakuin apa aja sama itu duit. Kalau lo pikir gue salah, ya bodo amat. Hidup gue bukan buat nyenengin ekspektasi orang.”
Jennie menggeleng pelan sambil terkekeh sinis. “Lo tuh parah banget Syas. Gue nggak tau ya, apa lo terlalu malas buat belajar atau lo emang sengaja pura-pura nggak peduli.”
“Gue nggak peduli Jen. Bukan pura-pura.” Syanas menegaskan, lalu berdiri dari sofa dengan santai. Ia meraih gelas kosongnya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. “Dari pada ngomongin duit yang nggak bakal habis-habis, mending kita balik lagi ke lantai dansa. Hidup cuma sekali, nikmatin aja!”
Jennie dan Nindi saling pandang. Ada rasa frustasi di wajah mereka, tapi mereka tahu Syanas adalah tipe orang yang susah diubah.
Mau debat seperti apapun, wanita itu selalu punya jawaban santai yang entah kenapa membuat argumen mereka terdengar sia-sia.
“Udahlah, dia nggak bakal ngerti Nin. Lo tau kan, Syas itu selalu nunggu sampai segala sesuatunya meledak dulu sebelum dia mikir ulang,” ujar Jennie sambil menyeruput margarita di tangannya.
Syanas mendengar itu, tapi memilih mengabaikannya. “Gue nggak peduli apa yang lo omongin. Yang penting sekarang gue mau nikmati hidup gue.”
Keasyikan itu tiba-tiba terganggu oleh dering ponsel Syanas yang berdering. Syanas mengerutkan dahi, melihat nama mamanya, Rukmini, yang berkedip di layar ponselnya. Ia mendesah panjang. “Hah, nyokap lagi,” gumamnya.
Nindi yang duduk di sebelahnya langsung cekikikan. “Anak kesayangan nih! Dicariin sama nyokap. Beda banget sama kita.”
Jennie ikut menimpali. “Nyokap gue mah mana peduli. Yang penting gue nggak minta duit lebih dari jatah bulanan.”
“Bener banget,” tambah Nindi. “Nyokap gue juga gitu. Hidup gue bebas-bebas aja, asalkan nggak bikin malu keluarga.”
Syanas hanya mendengus kecil, lalu menekan tombol hijau di ponselnya. Ia menempelkan ponsel ke telinga, setengah menutup telinga satunya lagi untuk menghalau dentuman musik. “Halo? Ya Ma. Kenapa lagi sih?”
Suara tegas ibunya langsung terdengar dari seberang, memotong sikap santainya. “Syanas, kamu di mana sekarang?! Udah jam berapa ini?! Pulang sekarang juga!”
Syanas memutar bola matanya, suaranya terdengar malas. “Aku lagi di luar Ma. Sama temen-temen. Santai aja, aku aman.”
“Aman gimana?! Ini udah tengah malam Syanas. Pulang sekarang juga, atau mama jemput kamu di sana!” suara Rukmini makin tinggi.
Syanas terkekeh sinis. “Hah, jemput aku di klub malam? Aku nggak nyangka mama bakal serendah itu buat dateng ke tempat kayak begini.”
Tiba-tiba nada suara Rukmini berubah dingin dan tajam. “Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Jennie yang melihat reaksi Syanas, bertanya dengan penasaran. “Kenapa lo ketawa? Apa sih kata nyokap lo?”
Syanas masih terkikik, meneguk minuman di depannya sebelum menjawab. “Nyokap gue bilang mau jual gue ke anak temennya bokap gue, namanya gus Kahfi. Katanya, gue bakal diurus sama dia kalau gue nggak pulang sekarang.”
Nindi terbahak. “Serius?! Itu nama aja udah kayak ustaz. Ngapain orang kayak gitu mau sama lo?”
“Makanya gue ketawa,” ujar Syanas sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Nyokap gue terlalu sering bikin ancaman aneh-aneh. Kayak gue bakal beneran takut.”
Namun, di balik tawa itu, ada sesuatu yang Syanas sembunyikan. Ancaman ibunya memang terdengar mustahil, tapi ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan nama gus Kahfi.
Sosok itu pernah disebut oleh ayahnya dulu, seorang pria yang dihormati, rendah hati, dan sangat berbeda dari gaya hidupnya sekarang. Lelaki yang selalu tampil bijak, terlihat sebagai sosok yang bisa jadi sangat berbeda dengan dunia yang Syanas kenal.
Tiba-tiba seorang laki-laki mendekat, langkahnya penuh percaya diri. Penampilannya rapi dan menggoda, jas mahal yang terpasang pas, rambut yang tertata rapi, dan wajah tampan dengan senyuman penuh arti. Laki-laki itu menatap mereka bertiga, lalu berhenti di depan Syanas. Pandangannya penuh godaan.
“Hei, kalian bertiga kayaknya seru-seru banget. Gimana kalau kita habiskan waktu bareng? Mungkin kalian tertarik untuk tidur sama gue malam ini?” tawarnya, suaranya santai namun penuh hasrat.
Nindi dan Jennie langsung saling pandang, matanya berbinar, jelas terlihat terpesona dengan penampilan laki-laki tersebut. Mereka mengalihkan perhatian dari Syanas, hampir tidak bisa menahan rasa ingin tahu.
“Dia oke juga Syas. Coba deh pikirin,” ujar Nindi sambil tersenyum nakal.
Jennie menimpali, “Iya, dia pasti orang yang bisa bikin malam ini makin seru.”
Namun, Syanas yang sudah cukup terbiasa dengan godaan semacam itu, justru merasa jijik dan kesal. Ia menatap laki-laki itu dengan tajam. “Lo pikir gue ini siapa? Barang yang bisa lo beli dengan mudah gitu aja?” jawabnya, suara penuh ketegasan.
Laki-laki itu tersenyum lebar, meski tatapannya mulai mengarah pada tantangan. “Lo kira gue nggak bisa dapetin lo? Kalau lo nggak mau, gue bisa paksa.”
Syanas terkekeh sinis. “Paksain gue? Lo kira gue takut? Coba aja, gue malah ingin lihat kalau lo berani,” ujarnya dengan nada menantang.
Dengan penuh keyakinan, laki-laki itu melangkah lebih dekat, hampir mengancam. “Lo pasti nggak tau siapa gue. Kalau lo nggak pulang sama gue malam ini, gue bakal buat lo menyesal.”
Namun, belum sempat ia melanjutkan, tubuh laki-laki itu mulai goyah. Ia terhuyung-huyung, kemudian terjatuh ke lantai dengan keras, akibat efek alkohol yang sudah terlalu banyak. Kejadian itu sontak menarik perhatian kerumunan di sekitarnya.
Nindi dan Jennie langsung tertawa terbahak-bahak melihat laki-laki itu tergeletak tak berdaya di lantai. “Lo bikin dia jatuh Syas! Gila sih!” Nindi hampir menangis saking terhiburnya.
Syanas hanya mengangkat bahu, tidak terlihat sedikit pun terkejut. “Gue sih bisa menilai siapa yang pantas untuk gue. Dan jelas, dia bukan salah satunya,” jawabnya sambil tersenyum, melihat tubuh laki-laki yang masih terkapar di lantai.
Jennie masih tertawa, tak bisa berhenti. “Lo emang nggak ada matinya Syas. Bisa-bisanya lo bikin orang kayak gitu jatuh.”
Syanas meneguk minuman di depannya, memandangi teman-temannya yang masih terpingkal-pingkal. “Lo pikir gue bakal takut sama ancaman kayak gitu? Gue tau banget siapa yang cuma cari perhatian, dan siapa yang cuma bisa mengancam tanpa punya apa-apa,” ujarnya sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa, tenang.
Teman-temannya masih tertawa, tapi di dalam hati Syanas, ia merasa lega karena bisa mempertahankan dirinya dari hal-hal semacam itu. Mungkin malam ini penuh dengan kebisingan dan godaan, tapi ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah ditentukan oleh orang-orang yang hanya ingin memanfaatkannya.
“Udah, ayo balik ke lantai dansa. Gak usah dipikirin,” ujar Syanas sambil bangkit, mengajak teman-temannya kembali ke pusat keramaian. “Hidup ini harus dinikmati kan? Kalau dipikirin terus, malah bikin stres.”
Teman-temannya mengangguk, masih dengan senyum lebar di wajah mereka. Mereka tahu bahwa Syanas, meskipun terkadang terlihat keras, selalu tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Dan meskipun mereka mungkin tidak selalu sepakat dengan caranya, mereka menghargai keberanian dan prinsip yang ia pegang.
Mereka pun kembali ke lantai dansa, tenggelam dalam dentuman musik yang semakin menggema, melupakan sesaat segala hal yang rumit, dan menikmati malam yang masih panjang.
Syanas kembali tenggelam dalam dentuman musik yang menggema, tubuhnya bergerak bebas mengikuti irama yang menghentak-hentak. Cahaya neon yang berkilauan memantulkan bayangan liar di wajahnya, membuat matanya bersinar dengan energi liar. Ia seperti lepas dari dunia nyata, seolah waktu terhenti hanya untuk menikmati malam itu.
Keramaian di klub semakin menggila. Tawa dan canda terdengar bersahutan, sementara dentuman musik hampir menyatu dengan denyut nadi setiap orang.
Syanas tersenyum tipis, menikmati kebebasan yang hanya bisa ia temukan di sini. Namun, tanpa ia sadari, sesuatu sedang berubah.
Awalnya itu hanya sekilas perasaan. Dingin. Tidak biasa. Udara di sekitarnya seolah menjadi lebih berat, seperti ada tekanan tak terlihat yang menekan ruang itu.
Syanas mencoba mengabaikannya, terus bergerak mengikuti irama. Tetapi detik berikutnya, ia merasakan sesuatu, tatapan. Tajam. intens. membakar.
Tatapan itu begitu kuat, seperti menghancurkan dinding yang selama ini melindunginya. Ia berhenti, menoleh perlahan, dan matanya bertemu dengan sepasang mata hitam pekat yang berdiri tak jauh darinya.
Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena musik, tetapi karena sosok itu. Laki-laki asing itu berdiri di sana, tubuhnya tinggi dan tegap, wajahnya begitu tampan hingga terasa hampir tidak nyata.
Namun, bukan wajahnya yang menarik perhatian Syanas, melainkan aura yang dibawa, dingin, keras, dan penuh kuasa.
Pakaian laki-laki itu benar-benar tidak sesuai dengan tempat ini. Sarung putih yang terikat rapi di pinggangnya, dan sorban yang melilit kepala, membuatnya terlihat seperti muncul dari dunia lain.
Kontras yang aneh dengan suasana klub yang liar. Tapi justru itu yang membuat semua orang di ruangan itu terdiam, termasuk Syanas.
Dari sudut matanya, Syanas melihat teman-temannya yang biasanya riuh kini membeku, saling berbisik, dengan wajah tegang dan bingung.
Syanas berusaha tetap tenang, mencoba mengabaikan tatapan laki-laki itu. Namun, semakin ia mencoba melanjutkan tariannya, semakin kuat rasa tidak nyaman itu. Seolah laki-laki itu menariknya dengan kekuatan yang tak terlihat.
Sosok itu akhirnya melangkah maju, langkahnya mantap dan terukur. Ia bergerak seperti seseorang yang tahu ia menguasai segalanya, termasuk ruangan ini. Orang-orang di sekitarnya spontan memberi jalan, seperti terhipnotis oleh kehadirannya.
Syanas terdiam di tempat, tubuhnya seolah kehilangan kekuatan. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, bahkan dentuman musik yang biasanya menggema kini terdengar jauh, seperti teredam oleh kehadiran laki-laki itu.
Ia berdiri tepat di hadapan Syanas, menatap dengan intensitas yang hampir membuatnya kehilangan keseimbangan.
Laki-laki itu seorang gus, bernama Kahfi. Namun, sebelum Syanas sempat mengatakan apa-apa, laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. Dengan gerakan cepat, ia menutupi tubuh Syanas dengan mukena besar yang membungkusnya dari kepala hingga kaki.
Syanas terkejut dan langsung meronta. “Hei, lo apaan sih? Ini klub malam, bukan masjid! Jangan sok-sokan di sini!” serunya sambil mencoba menarik mukena itu.
Namun, laki-laki itu tidak menggubris protesnya. Dengan tenang, ia membungkuk dan tanpa peringatan langsung mengangkat tubuh Syanas ke dalam gendongannya.
“Turunin gue! Lo gila ya?!” Syanas berteriak, suaranya nyaris tenggelam oleh musik yang masih menggema. Ia meronta, mencoba melepaskan diri, tapi laki-laki itu tetap kokoh memegangnya.
Suasana di klub semakin hening. Semua orang memperhatikan adegan itu dengan tatapan bingung, sebagian bahkan mulai berbisik-bisik.
“Lo nggak dengar gue bilang apa? Gue bisa jalan sendiri!” teriak Syanas dengan nada penuh kemarahan.
Namun, laki-laki itu tetap diam, wajahnya tenang seperti tidak terganggu sedikitpun oleh amukan Syanas.
“Apa lo nggak malu? Seorang Gus, anak dari ulama terkenal, menggendong perempuan yang bukan muhrim lo? Kalau papa gue masih hidup, lo pasti kena semprot!” bentak Syanas, mencoba menyerang sisi moral laki-laki itu.
Kahfi tetap melangkah mantap menuju mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu keluar klub malam itu. Syanas meronta dalam pelukannya, suaranya menggema dalam malam yang dingin.
“Turunin gue sekarang juga, brengsek! Lo pikir siapa lo, hah?!” bentak Syanas dengan amarah membara.
Kahfi tidak menjawab. Tanpa ekspresi, ia membuka pintu belakang mobil dan dengan mudahnya memasukkan Syanas yang masih terbungkus mukena.
“Lo nggak bisa giniin gue, sialan! Lo dengar nggak gue ngomong apa?!” Syanas berusaha melepaskan mukena itu, tapi gerakannya terhenti ketika tatapan dingin Kahfi menghunjam seperti pedang.
Kahfi masuk ke mobil, menutup pintu dengan suara keras yang bergema, membuat Syanas tersentak. Di dalam mobil, suasana berubah menjadi sunyi, mencekam. Hanya suara napas cepat Syanas yang terdengar.
Kahfi menoleh perlahan, wajahnya mendekat hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. Dengan nada berat dan dingin, ia bertanya, “Mau ke hotel atau ke rumah?”
Mata Syanas membelalak, kemarahannya memuncak. “Gila lo ya?! Apa maksudnya? Lo pikir gue cewek murahan yang bisa lo bawa-bawa ke hotel?!” suaranya penuh emosi, nyaris berteriak.
Kahfi tidak bergeming. Dengan tenang yang menyeramkan, ia mengulangi pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih tajam. “Hotel atau rumah?”
“Bangsat lo ya! Ngancem gue pake omongan kayak gitu? Gue bisa laporin lo ke polisi tau nggak!” Syanas melemparkan tatapan penuh kebencian, tubuhnya bergerak gelisah di kursi.
Kahfi mendekat lebih lagi, tatapannya begitu menusuk hingga Syanas tanpa sadar mundur ke sudut kursi. “Jawab sekarang,” bentaknya, suaranya menggelegar seperti gemuruh di malam yang sunyi.
Tubuh Syanas gemetar, napasnya tersengal. Ia mencoba mencari keberanian untuk membalas, tapi tekanan dari tatapan Kahfi terlalu kuat. Akhirnya dengan suara pelan dan bergetar ia menjawab, “R-rumah.”
Kahfi tidak berkata apa-apa lagi. Ia keluar dari mobil, menutup pintu dengan keras, lalu pindah ke kursi sopir. Dengan gerakan cepat, ia menyalakan mesin dan melaju, meninggalkan keramaian klub malam di belakang.
Syanas duduk diam di kursi belakang, tangannya mencengkeram mukena yang masih melilit tubuhnya. Amarahnya bergolak, namun ketakutan yang lebih dalam merasuki hatinya.
Sesekali ia melirik Kahfi melalui kaca depan, namun lelaki itu tetap fokus pada jalan, wajahnya dingin dan tak tergoyahkan. Tak ada sedikit pun reaksi dari dirinya atas umpatan atau perlawanan yang baru saja dilontarkan Syanas.
Pikiran Syanas kacau. Ia berusaha menenangkan diri, namun ketegangan dalam mobil itu begitu tebal, membuatnya merasa semakin terperangkap. Suasana mencekam, seolah udara di dalam mobil menekan dinding dadanya, membuatnya sulit bernapas.
Tiba-tiba, suara ibunya terngiang begitu jelas di benaknya, membuat hatinya bergetar. Ancaman itu datang kembali, menggema di telinganya seperti suara yang tak bisa dibungkam.
Ibunya dengan tegas mengatakan bahwa jika Syanas tidak segera pulang, ia akan dijual ke anak teman almarhum papanya, pria yang kini sedang mengemudi dengan tenang di depannya.
Tubuh Syanas menggigil, perasaan terperangkap itu semakin kuat. Apakah ini benar yang dimaksud ibunya? Di balik kemarahan dan ketakutannya, sesuatu dalam dirinya terbakar.
Syanas tahu jika ini benar-benar terjadi, ia tak akan membiarkan hal itu begitu saja. Ia tak akan menyerah begitu saja pada takdir yang direncanakan orang lain untuknya.
Dengan mata terbuka lebar, ia menatap punggung Kahfi, membiarkan rasa benci dan kebencian mengalir deras dalam tubuhnya. Ia tidak akan menjadi obyek yang bisa diperlakukan semena-mena oleh siapapun.
Tidak ada cara untuk mundur lagi. Jika ini adalah ujian terakhir yang diberikan hidup padanya, maka Syanas bersumpah, ia akan melawan dengan segala cara. Tidak peduli apa yang harus ia lakukan, ia akan berusaha menentang nasibnya dan berjuang untuk dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!