Pernikahan itu sudah seminggu berlalu. Vanya merasa bahagia bisa bersanding dengan lelaki yang selama ini sudah menjadi kekasihnya.
Vanya hanya seorang gadis biasa yang bekerja di sebuah toko kosmetik milik sang ibu mertua. Dan kisah cinta Dilmar Prasetya dan Vanya Anjani berawal dari sana.
Dilmar sering menjemput sang mama pulang dari toko. Saat itulah pertemuan-pertemuan yang tidak sengaja sering terjadi antara Vanya dan Dilmar. Dilmar tertarik dengan Vanya yang lumayan menarik, terlebih jika Vanya sudah berdandan, wajahnya yang eksotik terpancar nyata di depan mata Dilmar. Kulitnya yang kuning langsat menjadi daya tarik tersendiri bagi Dilmar. Saat menatap sang gadis, Dilmar tidak merasa bosan menatapnya. Terlebih gadis itu ramah dan memiliki attitude yang bagus menurutnya.
Sama halnya dengan Vanya, ia sering berdecak kagum ketika melihat Dilmar mendatangi toko untuk menjemput Bu Sonia, ibu kandung Dilmar. Dilmar menjemput Bu Sonia masih dalam keadaan berseragam TNI-AD. Kala itu Vanya merasa kagum dengan penampilan Dilmar yang gagah dan tampan. Sejak saat itu Vanya mulai tertaut rasa terhadap Serka Dilmar Prasetya.
Dilmar menyatakan rasa sukanya pada Vanya melalui sang mama, lalu Bu Sonia menyampaikan perasaan Dilmar untuk Vanya. Seiring berjalannya waktu, cinta mereka pun tumbuh. Mereka sering bertemu hanya di toko, selebihnya Dilmar sering mengantar Vanya pulang ke rumahnya.
***
"Apakah Abang tega akan meninggalkan Vanya, padahal kita masih pengantin baru? Kita baru seminggu menikah, Bang," rengek Vanya sembari memeluk suami tercintanya dari belakang.
Dilmar mengurai pelukan Vanya lalu bangkit. "Kita pengantin baru, tapi apa yang bisa abang rasa, kamu justru tidak bisa abang sentuh saat malam pertama." Desahan nafas berat terdengar dari helaan nafas Dilmar, Vanya tahu Dilmar kecewa.
"Maafin Vanya, Bang. Ini bukan keinginan Vanya, ini sudah kehendak Yang di atas, lagipula ini memang siklusnya." Vanya beralasan dengan nada penuh penyesalan.
"Hmmmmm." Dilmar menghela kembali nafasnya berat.
"Tapi semua bisa dilakukan dengan cara lain, Abang juga menyukainya," balas Vanya sedikit genit. Tapi tidak ada respon dari suaminya.
"Tolong, siapkan baju abang, dan masukkan ke dalam tas ransel itu," titahnya sembari berlalu.
"Bang." Panggilan Vanya tidak berbalas, Dilmar sudah beranjak dan menjauh. Vanya mencelos menatap kepergian Dilmar.
Hatinya mulai bertanya tentang sikap dingin suaminya yang memang sudah ia rasakan seminggu sebelum pernikahannya berlangsung. Tapi Vanya menganggap, semua itu hanya karena tugas negara di pundak Dilmar yang kini dibebankan lagi padanya, yakni Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste. Padahal baru beberapa bulan yang lau, Dilmar kembali dari Satgas Kongo, Afrika.
"Mungkin Bang Dilmar lelah, harus menerima Satgas ini kembali setelah beberapa bulan baru kembali dari Kongo," pikir Vanya positif, sembari memasukkan satu per satu pakaian dan perlengkapan lain untuk dibawa Dilmar.
***
Seminggu sebelum pernikahan digelar, Dilmar mendapat kabar tentang mantan kekasih yang kembali ke kota ini. Secara kebetulan, mantan kekasihnya yang ternyata seorang Perawat itu, mendapat sebuah tugas yang sama dan tempat yang sama dari rumah sakit pemerintah tempatnya berdinas, untuk ditugaskan di wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste. RS tersebut, mengirimkan kurang lebih lima Perawat dan dua dokter . Semua personil tenaga kesehatan, diberangkatkan bersamaan dengan personil TNI-AD.
"Sela telah kembali. Dia kembali ke kota ini sebagai Perawat?" kejut Dilmar. Di wajahnya muncul antara dua mimik, bahagia dan rasa tidak percaya. Cinta yang sudah berusaha dia kubur tiga tahun yang lalu, kini harus timbul lagi dan tiba-tiba merekah kembali. Ternyata hati Dilmar belum selesai dengan masa lalunya.
"Sela juga mendapat tugas yanga sama, ke perbatasan Papua dan Timor Leste? Yang benar, ini tidak bercanda bukan? Kenapa kami harus dipertemukan kembali?" gumamnya di sela jam istirahat kerja.
"Sayangnya, aku seminggu lagi menikah. Apakah aku batalkan saja?" obrolnya pada Dilan teman satu leting.
"Jangan begitu Pot, itu tidak gentlemen namanya. Kasihan calon istrimu. Kalau boleh saran, jangan sampai kamu tergoda untuk kembali ke masa lalu. Terlebih sebentar lagi kamu akan menikah," peringat Dilan kembali.
Dilmar terdiam, entah apa yang sedang ia pikirkan. Mungkin saja peringatan Dilan itu kini sedang dipikirkannya.
Dan pernikahan itu akhirnya digelar. Namun, hati Dilmar justru terpaut pada sosok Sela sang Perawat cantik yang kini akan ditugaskan di tempat yang sama dengan dirinya di wilayah perbatasan.
***
"Vanya, apakah semua sudah kamu masukkan? Tidak ada yang tertinggal?" Dilmar mencoba meyakinkan.
"Sudah, semua sudah Vanya masukkan," jawabnya penuh senyum yang merekah. Dilmar mengangguk lalu meraih tas ranselnya yang kini sudah penuh dengan perlengkapan dirinya di tempat Satgas yang baru.
"Abang, tidak kasih Vanya nafkah?" Vanya menengadahkan tangannya di hadapan Dilmar. Dilmar menatap wajah Vanya, lalu mengangkat bibir bawahnya tipis.
"Ambillah, nanti Abang transfer setiap bulan. Di sini juga masih ada saldonya," ucap Dilmar memberikan sebuah kartu ATM ke tangan Vanya. Vanya menerimanya dengan senang hati.
"Terimakasih Abang," ucapnya seraya memeluk Dilmar penuh suka cita dan bahagia, disertai bibirnya yang tersungging sebuah senyuman bahagia.
Malamnya sehari sebelum keberangkatan Dilmar. Vanya sudah membersihkan diri dan berdandan cantik. Tidak lupa di tubuhnya kini sudah melekat sebuah gaun minim yang tembus pandang. Rencananya Vanya akan menggoda Dilmar malam ini sebelum mereka tidur. Kebetulan Vanya sudah bersih dari halangan, sehingga sejak sore tadi Vanya sudah siap-siap mempersiapkan diri. Ia akan berusaha menyenangkan hati Dilmar sebelum kepergiannya besok Satgas.
Senyum Vanya merekah saat melihat Dilmar sudah terbaring di atas ranjang. Perlahan Vanya menaiki ranjang, ia sudah bertekad bahwa malam ini akan menyerahkan jiwa dan raganya untuk Dilmar dan akan menjadi malam pertama yang indah dan berkesan bagi keduanya, meskipun setelahnya mereka harus LDR-an.
Vanya mulai membaringkan tubuhnya di samping Dilmar, lalu memeluknya dan memberikan sentuhan yang bisa membangkitkan hasrat Dilmar bangkit. Namun, sayangnya, semakin digoda, Dilmar justru semakin nyeyak. Bahkan dia sempat menolak karena takut besok lelah dan bangun kesiangan.
"Abang takut lelah dan bangun kesiangan besok," tolaknya sembari terlelap kembali. Vanya teramat kecewa, bahkan tubuhnya yang sudah seksi menggoda saja, tidak mampu membuka mata Dilmar untuk melihatnya.
"Huhhhh."
Hingga keberangkatan itu tiba, kepergian Dilmar diantar Vanya dan kedua orang tuanya. Meskipun semalam Vanya harus kecewa, tapi hari ini dia harus tegar mengantar sang suami ke medan tugas. Namun kesedihan akan perpisahan itu tidak bisa dibendung lagi, sehingga Vanya berderai air mata saat melepas kepergian Dilmar.
"Abang hati-hati di sana. Jaga diri dan kesehatan," ucap Vanya seraya merangkul Dilmar dan menangis di sana. Kesedihannya kembali merekah. Kali ini kesedihan itu tiga kali lipat lebih sedih dibanding saat Vanya harus ditinggalkan Dilmar saat ke Kongo. Saat itu mereka baru menjalin hubungan pacaran empat bulan, sehingga Vanya tidak terlalu berat melepas kepergian Dilmar.
"Baiklah, kamu juga jaga diri ya," balas Dilmar lalu mengecup kening Vanya satu kali. Setelah itu diapun melepas tangan Vanya perlahan. Dilmar pun berpamitan pada kedua orang tuanya sebelum pesawat yang akan mengantarkannya Satgas segera memanggilnya.
"Jangan lupa hubungi," kode Vanya dengan gerakan tangannya. Sayangnya Dilmar tidak merespon, dia hanya sempat menoleh lalu bergegas menuju badan pesawat.
Tatap mata Vanya menatap dalam dan jauh sampai tubuh Dilmar memasuki pesawat. Dari situ, tidak ada lagi lambaian tangan Dilmar yang terlihat, karena tubuh Dimar terhalang badan pesawat.
NB: Assalamualaikum. Hai semua, ini kisah terbaru dari Author. Sebetulnya Author masih bingung dengan ide yang ada dalam otak Author, untuk itu mohon dukungannya ya supaya Author ada ide yang cemerlang dengan kisah Dilmar dan Vanya ini. Ada saran lain nggak ya untuk nama prianya, Dilmar atau ganti ya? Masih bingung Author.
Seminggu setelah kepergian Dilmar ke wilayah perbatasan, belum sekalipun Vanya mendapatkan telpon dari suaminya itu. Vanya masih berpikir positif, ia tahu tidak mudah di wilayah perbatasan mendapatkan sinyal yang bagus untuk bisa berkomunikasi jarak jauh. Terlebih tidak terdapat tower provider di dekat sana. Sinyal pun hanya bisa didapat sesekali saja, dan itupun hanya di jam tertentu.
"Van, belum ada telpon dari suamimu?" tanya Bu Sonia menatap Vanya dalam, berharap Dilmar sudah ada menghubungi Vanya.
"Belum, Ma," Vanya menggeleng.
"Coba sesekali kamu saja yang hubungi, tapi di jam-jam istirahat, seperti jam 12 siang."
"Iya, Ma. Nanti akan coba Vanya hubungi Bang Dilmar," patuh Vanya sembari tangannya sibuk membersihkan etalase kosmetik.
"Vanya, selama suamimu satgas, kamu tinggal di rumah ibu. Biarkan rumah kalian sesekali di tengok dan dibersihkan Bi Jumsih dan Mang Karsim," ujar Bu Sonia.
"Iya, Ma. Vanya juga sudah merencanakan tinggal di rumah Mama. Tapi, apakah Mama tidak keberatan Vanya tinggal sama Mama?" tanya Vanya masih ragu. Seperti memanggil Bu Sonia saja, sebetulnya Vanya masih ragu. Berhubung Bu Sonia meminta kepada Vanya untuk memanggilnya mama, akhirnya Vanya mulai dibiasakan memanggil Bu Sonia dengan sebutan mama, walau terkadang masih terdengar ragu-ragu.
"Ya tidak apa-apa dong Vanya. Kalaupun kamu mau pulang ke rumah ibumu, sesekali boleh-boleh saja. Kamu kan tetap harus menengok ibumu," ujar Bu Sonia terdengar bijaksana. Hati Vanya bersorak bahagia mendengar mama mertuanya mengijinkan dia tinggal di rumahnya atau sesekali pulang ke rumah ibunya.
"Ya, sudah. Walaupun kamu sudah menjadi menantu mama, tapi kalau kamu masih ingin bekerja, kamu tetap harus profesional, ya," tukas Bu Sonia.
"Siap, Ma." Vanya mengangguk patuh. Setelah itu Bu Sonia berlalu menuju ruangannya.
Vanya dan dua pelayan toko lainnya kembali bekerja seperti biasa. Toko kosmetik milik Bu Sonia ini bukan hanya sekedar toko kecil di pinggir jalan, akan tetapi sebuah toko besar atau agen kecantikan besar di kota itu. Sehingga ada beberapa pekerja di toko itu. Pelayannya saja tiga orang termasuk Vanya.
Siang harinya seperti yang dikatakan oleh Bu Sonia tadi pagi, Vanya akan mencoba menghubungi Dilmar. Kebetulan jam 12.00 Wib, merupakan jam istirahat Vanya.
Vanya biasanya selalu pergi ke taman belakang toko jika istirahat. Di sana dia dan beberapa teman lainnya sering menghabiskan waktu untuk makan dan sholat dzuhur, kebetulan ada mushola kecil di samping taman.
Vanya segera menyantap makan siangnya yang dia beli tadi di warung sebelah toko. Tadinya mau bekal dari rumah mertuanya. Berhubung masih malu, akhirnya Vanya membeli makanan dari warung sebelah toko untuk makan siang.
Setelah makan, Vanya segera ke mushola dan mendirikan sholat dzuhur. Lalu Vanya buru-buru ke dalam toko. Namun, kakinya ia belokkan ke sebuah gudang. Biasanya di jam istirahat gudang memang kosong. Dan saat inilah waktu yang tepat bagi Vanya mencoba menghubungi Dilmar.
Panggilan pertama, Hp Dilmar susah dihubungi. Suara operator memberitahukan kalau nomer Dilmar sedang di luar jangkauan. Tidak putus asa Vanya kembali mengulang panggilannya yang lagi-lagi gagal.
"Gagal terus. Sepertinya sinyal di sana memang kurang bagus. Aku coba hubungi sekali lagi saja, siapa tahu terhubung.
Dan mujurnya, dipanggilan yang ke tiga, panggilannya ternyata berdering. Vanya girang seketika, lalu menghadapkan wajahnya lurus dengan kamera, karena Vanya saat ini sedang melakukan vidio call.
"Assalamualaikum, Abang. Abang, apa kabar? Vanya sudah rindu sama Abang," seru Vanya dengan kegirangan plus wajah full senyuman yang merekah.
"Bisa tidak menghubunginya jangan di jam kerja seperti ini? Aku ini masih sibuk, tahu. Apa salahnya menunggu aku yang menghubungi kamu, bukan kamu hubungi aku duluan?" Suara Dilmar terdengar membentak, membuat Vanya tersentak dengan mulut menganga.
Beberapa detik kemudian, panggilan itu berbunyi tut tanda diakhiri. Dan Dilmar yang mengakhiri. Vanya terdiam merasa bersalah, dia seharusnya tidak mengikuti saran dari sang mertua. Akhirnya, Vanya kena semprot Dilmar yang baru pertama kali membentaknya seumur-umur menjalin hubungan.
Ada perasaan sakit di ulu hati ketika bentakan itu kembali terngiang. Dilmar juga tidak biasanya menyebut dirinya aku, biasanya panggilan abang selalu tersemat jika memanggil dirinya di depan Vanya.
"Bang Dilmar kenapa tadi membentak aku? Atau memang Bang Dilmar sedang sibuk dan tengah banyak kegiatan. Eh, bukankan aku menghubungi Bang Dilmar justru disaat yang tepat? Ini kan jam istirahat?" renungnya merasa ada yang janggal dengan kemarahan Dilmar yang pertama terhadap Vanya.
"Vanya minta maaf Abang kalau Vanya sudah ganggu kegiatan Abang. Vanya tidak tahu kalau jam segini Abang sedang ada kegiatan. Vanya hanya kangen sama Abang. Vanya ingin mengungkapkan rasa rindu dan cinta terhadap Abang. I love you, Bang Dilmar, 😘😘😘." Pesan WA Vanya dikirimkan pada Dilmar, diakhiri emot ciuman.
Vanya kembali ke mode awal. Dia masih menganggap sikap Dilmar wajar, karena ia pikir memang Dilmar sedang berkegiatan di jam istirahat ini.
Jam istirahat pun habis, Vanya kembali memasuki toko. Dan melayani kembali pembeli yang memang selalu tidak pernah sepi belanja ke toko kosmetik milik mama mertuanya ini.
"Vanya, bagaimana, apakah suamimu sudah bisa dihubungi?" gertak Bu Sonia dari belakang Vanya. Vanya tersentak, jantungnya hampir saja mau copot gara-gara pertanyaan mertuanya yang tiba-tiba dan tepat di belakangnya.
"Ya ampun Mama," kejutnya seraya membalikkan badannya dengan kedua tangan di dadanya.
Bu Sonia merasa bersalah, meski demikian wanita berusia 50 tahun itu tersenyum tipis seolah menertawakan reaksi kaget Vanya yang menurutnya lucu.
Setelah Vanya bisa menguasai diri dari rasa terkejut, Vanya mulai menjawab rasa penasaran sang mama mertua.
"Sepertinya sinyal di sana memang kurang bagus, Ma. Beberapa kali Hp Bang Dilmar di luar jangkauan. Namun saat di panggilan yang ke tiga, Hp Bang Dilmar berdering lalu diangkatnya," lapor Vanya sesuai yang tadi dia rasakan.
"Lalu?"
Wajah Bu Sonia terlihat berbinar saat Vanya menyebutkan bahwa Dilmar berhasil dihubunginya.
"Sayangnya, saat Vanya hubungi, rupanya Bang Dilmar sedang dalam kegiatan. Terpaksa panggilan itu kami tutup," tuturnya tanpa sedikitpun menyinggung kejadian yang sebenarnya. Vanya tidak ingin Bu Sonia mendapatkan laporan yang jelek-jelek tentang putranya, Dilmar.
"Walah ... Ya ampun Vanya, pantas saja suamimu bilang ada kegiatan di jam segitu, kamu tahu, disaat kamu menghubungi Dilmar di jam 12.00 Wib, maka di Papua saat ini sudah menunjukkan pukul dua siang hari. Mama lupa kasih tahu kamu, tadi," tukas Bu Sonia baru ingat.
"Oh ya?" kejut Vanya yang baru sadar kalau wilayah Papua, waktunya dua jam lebih dulu dibanding wilayah barat Indonesia.
"Lalu apa yang dikatakan Dilmar lagi?" Bu Sonia merasa penasaran.
"Bang Dilmar bilang, Vanya jangan menghubungi duluan, biarkan Bang Dilmar yang menghubungi duluan," jawab Vanya sembari menghela nafas dalam.
Ayo, Author tunggu dukungannya. Semoga suka.
Sebulan kemudian. Dilmar belum ada menghubungi Vanya seperti yang pernah ia katakan sebulan yang lalu. Vanya semakin dilanda resah dan gelisah. Tapi, atas bujukan sang mama mertua, akhirnya Vanya bisa bersikap tenang dan tidak terlalu berpikiran yang tidak-tidak tentang Dilmar di sana.
"Doakan saja suamimu selamat di sana. Mama rasa di sana sinyalnya memang buruk. Jadi, kalau mau menghubungi menunggu sinyal bagus dan di jam-jam tertentu."
Vanya hanya mengangguk apa yang dikatakan mama mertuanya. Dia pun tidak mau berpikiran yang tidak-tidak tentang Dilmar.
Sore pun tiba, saatnya pulang. Hari ini Vanya merasa ingin pulang ke rumah ibunya. Jarak tempuh ke rumah ibunya hanya setengah jam. Tapi sebelum memutuskan, Vanya harus ijin dulu sama Bu Sonia. Karena selama ini Vanya memang tinggal bersama mertuanya.
"Ma, bolehkan Vanya hari ini pulang ke rumah ibu? Vanya sudah kangen sama ibu," ijinnya ragu.
Bu Sonia menoleh ke arah Vanya, "Boleh. Pulanglah dulu ke rumah ibumu. Tapi, tunggu sebentar. Mama ke toko samping dulu, mama mau beli oleh-oleh untuk ibumu. Kamu tunggu saja di toko dan selesaikan tugas terakhirmu," ujar Bu Sonia sembari berlalu.
Vanya senang mendengar mama mertuanya mengijinkan ia pulang ke rumah ibunya. Karena sudah sebulan Vanya tidak pulang ke rumah ibunya yang kini sudah menjadi janda ditinggalkan wafat oleh suaminya, dua tahun yang lalu. Kini sang ibu tinggal bertiga dengan adik laki-laki dan perempuan Vanya yang masih duduk di bangku SMA. Sedangkan adik laki-laki yang merupakan adik pertama Vanya, sudah keluar dari SMK, lalu bekerja di salah satu bengkel mobil di kotanya.
Beberapa saat kemudian, Bu Sonia datang dengan membawa dua kantong kresek yang isinya tentu saja makanan. "Nah, ini bawa untuk ibu dan adik-adikmu. Titip salam mama untuk ibu dan adik-adikmu," ucap Bu Sonia seraya memberikan dua kantong itu ke tangan Vanya.
"Ma, banyak sekali." Vanya sempat terkesima melihat dua kantong kresek yang diberikan mama mertuanya yang isinya banyak. Kantong pertama kue bolu dan kue-kue kering, dan kantong kresek yang kedua merupakan buah-buahan.
"Sudah, bawa saja. Kamu segera pulang, mama takut kena macet kalau jam segini masih di sini. Hati-hati di jalan, ya," ujar Bu Sonia seraya menyuruh Vanya segera pergi karena di jam segini memang sering padat karena bertepatan dengan kepulangan orang-orang dari tempat kerjanya masing-masing.
"Iya, Ma. Vanya pamit dulu. Assalamualaikum." Vanya mencium tangan Bu Sonia sebelum ia bergegas menuju motornya di depan toko.
Motor Vanya segera melaju menuju jalan yang menghubungkan ke alamat rumah ibunya.
Tiga puluh menit kemudian, motor Vanya sudah tiba di depan rumah sang ibu. Kebetulan Bu Fatma baru saja menutup warung makannya yang berdiri di samping rumahnya. Bu Fatma adalah ibunya Vanya. Sejak suaminya masih ada, Bu Fatma sudah berjualan di samping rumah. Barang yang dijualnya bahan-bahan pokok dan masakan yang sudah jadi.
"Assalamu'alaikum. Ibu."
Vanya memarkirkan motornya dengan betul sebelum ia turun, lalu menghampiri ibunya yang sudah sebulan ini tidak ia jumpai.
"Waalaikumsalam. Teh Vanya." Bu Fatma menyambut sang anak sulung dengan pelukan hangat penuh kerinduan, lalu diciumnya kepala Vanya. Walau sudah menikah, tapi Bu Fatma masih memperlakukan Vanya layaknya anak kecilnya.
Bu Fatma memanggil Vanya dengan sebutan Teteh, karena Vanya memang anak pertama dan sebutan itu untuk membiasakan kedua adiknya memanggil Vanya Teteh juga sebagai penghormatan kepada sang kakak perempuan.
"Ayo, Bu, masuk. Vanya punya oleh-oleh dari mama mertua buat ibu dan adik-adik. Ngomong-ngomong, ke mana Vela dan Vero, apakah mereka belum pulang?" heran Vanya seraya menoleh ke dalam rumah yang terlihat sepi, mencari kedua adiknya.
"Mereka ada di dalam, mungkin saja baru selesai sholat Ashar." Baru saja Bu Fatma menjawab, Vela dan Vero muncul dan menghampiri keluar lalu menyambut Vanya.
"Wah, ada Teh Vanya. Velaaa, Teh Vanya datang, bawa oleh-oleh banyak," pekik Vero adik laki-laki Vanya girang, seraya meraih kantong oleh-oleh yang dibawa Vanya dan membawanya ke dalam.
"Teh Vanya? Lama banget Teteh nggak ke sini setelah nikah," sambung Vela yang mengikuti kakaknya dari belakang, sembari meraih tangan Vanya lalu menciumnya.
"Ayo, masuklah." Bu Fatma menggiring ketiga anaknya yang masih berkumpul di teras depan menyambut kedatangan Vanya yang lama ditunggunya.
"Oleh-olehnya banyak banget. Ini boleh dibuka, kan, Teh?" seru Vero sedikit ragu.
"Buka saja, itu dikasih mama Sonia untuk ibu dan kalian," ujar Vanya membuat Vela dan Vero senang.
"Asikkkk."
Vanya terharu melihat tingkah kegirangan kedua adiknya. Vanya paham dengan sikap kedua adiknya itu, karena selama ini mereka jarang membeli buah-buahan di rumah. Cukup makan sama telur dan ikan asin atau tahu tempe saja sudah bersyukur, karena mereka hanyalah keluarga sederhana.
Walau demikian Bu Fatma sangat bersyukur, almarhum suaminya Pak Fadil merupakan seorang ASN di sebuah instansi pemerintahan. Meskipun suaminya sudah meninggal, Bu Fatma masih bisa mendapatkan uang pensiun dari almarhum suaminya dan tunjangan buat kedua anaknya karena masih di bawah 21 tahun, meskipun tunjangan dari pemerintah yang dibayarkan tiap bulan itu tidak banyak, tapi Bu Fatma bersyukur setidaknya masih bisa menyekolahkan anak-anaknya minimal SMA atau SMK.
"Bagaimana kabar suaminya Teh, sudah ada menghubungi?" singgung Bu Fatma.
Vanya menghela nafas sejenak sebelum menjawab, "Bang Dilmar sudah bisa dihubungi seminggu setelah berada di perbatasan. Tapi, saat ini kami masih belum ada komunikasi lagi, berhubung sinyal di sana buruk." Vanya menjawab seadanya. Tapi, Vanya tidak bercerita tentang apa yang dikatakan Dilmar atau seperti apa sikap Dilmar di telpon kala itu.
Bu Fatma mengangguk-angguk sebelum berkata, "Kamu harus banyak bersabar, Teh. Doakan saja suami kamu supaya selamat dan sehat di sana," harap Bu Fatma tidak bertanya lagi.
Setelah beberapa saat bercengkrama bersama keluarga kecilnya sembari menikmati bolu pemberian mama mertuanya, Vanya berpamitan untuk masuk ke kamar. Karena ia pun saat ini harus segera membersihkan diri untuk sholat Maghrib.
Kedua adik Vanya pun mengikuti jejak sang kaka, mereka masuk ke kamarnya masing-masing untuk melaksanakan sholat Maghrib. Tapi Vero keluar kamar lagi dan bergegas keluar untuk sholat di mesjid.
Vanya membaringkan tubuhnya setelah ia melaksanakan sholat Maghrib. Suara dering telpon tiba-tiba terdengar. Vanya segera meraih Hp nya. Alangkah bahagianya Vanya sebab yang menghubunginya adalah Dilmar sang suami yang selama ini dirindukannya.
"Assalamualaikum, Abang," sambutnya girang.
"Waalaikumsalam. Kamu lagi di mana? Oh ya, Aku saat ini sehat-sehat saja. Jadi, kamu jangan khawatir di sana, ya. Terus kalau aku tidak menghubungi, kamu jangan hubungi aku dulu. Baiklah, hanya itu yang ingin aku sampaikan. Salam buat mama." Dilmar bicara tanpa henti dan belum sempat dijawab Vanya, seakan waktunya terbatas.
"Abang, tunggu sebentar." Vanya menahan Dilmar supaya jangan dulu menutup telponnya.
"Siapa itu Kak?" Sebelum panggilan itu ditutup, terdengar sebuah suara perempuan yang lembut didekat suaminya. Vanya tersentak, batinnya bertanya-tanya siapakah gerangan suara perempuan barusan yang terdengar dari ujung telpon sana?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!