NovelToon NovelToon

Love Stalker Syndrome

Pembuka

"Ahh.. Aru.. I need more.." desahan manja sang wanita begitu jelas terdengar di telinga setiap orang yang ada dalam acara pernikahan mewah itu.

Di hadapan para tamu undangan, layar proyektor yang seharusnya menampilkan kilas balik kedua mempelai sebelum bertemu dan menjalin cinta, kini malah menampilkan adegan panas. Terlebih lagi, pelaku kegiatan panas tersebut adalah sang mempelai pria. Dimana sang mempelai pria dengan jelas menikmati kegiatan itu.

Sang mempelai wanita terus memperhatikan tanpa sedikitpun memalingkan wajah. Napasnya tak beraturan menahan luapan amarah. Rasa kecewa menghantam dirinya. Sudah cukup ia menyaksikannya. Air matanya jatuh. Ia memejamkan mata mencoba menenangkan hatinya.

Setelah merasa menguasi control dirinya, sang mampelai wanita berbalik menatap sang pria yang sedari tadi hanya diam.

Plak!

Satu tamparan yang cukup keras dilayangkan sang mempelai wanita.

"Bajingan!! I hate you! Aku tidak ingin menikah dengan pria yang suka berselingkuh! Detik ini juga pernikahan kita batal!!" itulah luapan amarah sang mempelai wanita yang sudah di khianati calon suaminya.

Di hadapan para tamu undangan, pria itu merasa dipermalukan. Apalagi dia ditinggalkan sang wanita di atas altar. Calon istrinya sudah pergi dengan keluarga wanita itu yang merasa kecewa.

"Arutala." Panggilan itu menyadarkan Arutala.

Pradana Ganapatih ayah dari Arutala Ganapatih menghampiri putra pertamanya yang masih berdiam diri.

"Papa tidak akan menyalahkan tindakanmu itu. Tapi papa tidak mau jika sampai ada wanita tidak jelas yang tiba-tiba datang dan mengaku mengandung anakmu. Urus dalang dibalik kejadian ini. Papa akan mengurus media dan menjelaskan tentang pernikahanmu yang batal." Setelah mengatakannya, Pradana langsung keluar.

Elisa mengusap belakang kepala putra tertuanya. Wanita dengan senyuman hangat itu menggenggam tangan Arutala.

"Ibu harap insiden ini tidak membuatmu terpuruk. Apapun keputusanmu, mama akan selalu mendukungmu. Mama percaya padamu Aru."

Arutala membalas dengan senyuman. Setelah memastikan kondisi anaknya, Elisa berjalan keluar menyusul sang suami.

"Wah.. sungguh pertunjukan yang sangat epic." Ujar Kavin penuh takjub. Ia bertepuk tangan dengan dramatis.

"Aku tidak tau kau bisa sepanas itu saudaraku." Sang adik juga tidak ingin ketinggalan menggoda sang kakak. Banura Ganapatih, anak kedua di keluarga Ganapatih. Dia dan Arutala hanya terpaut tiga tahun.

"Aku kira kali ini kau akan benar-benar menikah. Ternyata aku salah. Penguntitmu itu justru menyebar aibmu."

Arutala menarik kadua sudut bibirnya. Tersenyum puas dengan kadaannya sekarang. Tatapannya gelap penuh dendam. Satu tangannya terkepal kuat, dan satunya lagi melonggarkan dasinya. Ia melepas tuxedonya, menyisakan kemeja putih.

"Cukup sudah main-mainnya. Setelah berhasil menangkap penguntit kecilku, akan ku pastikan dia tidak akan bisa lepas dariku." Ucapnya penuh tekad.

Banu dan Kavin saling bertukar pandang. Seakan tau maksud Arutala.

"Cukup menyeramkan. Tapi sebelum itu, kita harus bisa keluar dari gedung ini terlebih dahulu. Para awak media sudah siap memburu berita dari gagalnya pernikahan sang konglomerat." Ucap Kavin menggambarkan kondisi saat ini.

"Kavin benar. Lagi pula kak, apa kau tidak sedih? Sedikitpun? Aku sempat melihat jika Davina tadi menangis tersedu-sedu."

Sedih? Jelas tidak. Pernikahannya hanyalah pernikahan bisnis. Ia tidak pernah benar-benar ingin menikah.

Hanya saja satu tahun terkahir, setiap Arutala akan menjalani kencan buta selalu ada bukti yang menunjukkan kejelekan dari orang akan ia kencani. Alhasil Arutala akan selalu menolak. Dan bukti-bukti itu dikirim secara anonym.

"Tidak ada waktu untuk menangis Banu. Lebih baik aku bekerja keras untuk menemukan pelaku ini semua."

"Aku suka semangatmu itu kawan." Dukung Kavin.

"Oke. Kalau gitu ikuti aku. Kita keluar pakai mobilku yang tidak terlalu mencolok. Tapi kita tunggu sampai papa membuat klarifikasi dulu di depan media." Kata Banu. Adiknya itu memang bisa diandalkan.

*\~*

"Pernikahannya berhasil dibatalkan." Kalimat yang paling ia tunggu akhirnya terlaksana.

Milantika Pramoedya, dialah wanita yang ada di dalam video panas bersama Arutala. Untungnya, video yang terputar tidak dengan jelas menunjukkan wajahnya. Video itu hanya menunjukkan wajah Arutala. Dan itulah rencananya.

"Selanjutnya apalagi Milan?" tanya Lyra.

Milan menyesap winenya dengan tenang. "Tidak ada. Aku hanya perlu menunggu." Wajahnya bahkan terlihat santai.

"Masalahnya, untuk apa kau selalu mengagalkan kedekatan Arutala dengan wanita lain, jika kau sendiri tidak bergerak dan menunjukkan dirimu tertarik dengannya."

"Hanya, tidak ada wanita yang pantas bersanding dengan Aru selain diriku."

"Iya terus? Kau ingin menikah dengannya atau tidak?"

Cukup lama Milan terdiam. Dan Lyra menahan cukup sabar untuk tidak mengacak-ngacak rambut indah sahabatnya.

"Apa aku harus menikah dengannya?" Milan Justru bertanya balik.

Lyra menggeram. Kesal dengan sifat aneh Milan. Selama hampir setahun Lyra membantu Milan dalam menyelidiki calon-calon kandidat yang akan menjadi calon kekasih Arutala. Dan memang semua kandidat yang berhasil Lyra selidiki semuanya tidak cocok bersanding dengan Arutala.

Dan hanya Davina yang lumayan pantas. Tidak, lebih tepatnya sangat tepat. Karena Lyra tidak bisa menemukan aib wanita itu. Jadilah mereka mengagalkan pernikahan Arutala dengan membuat pria itu terlihat brengsek.

"Tentu saja Milan.. lalu apa tujuan dari semua ini jika kau tidak berakhir menikah dengannya?" penuh kesabaran Lyra menyelesaikan ucapannya.

"Aku hanya tidak mau Aru menjadi milik siapapun. Dan itu bukan berarti aku harus menikah dengannya bukan?"

Lyra menepuk jidanya frustasi. "Baiklah. Kau benar. Kau tidak harus menikah dengannya."

Tidak adalagi yang bisa Lyra lakukan. Jika itu sudah mutlak keputusan dari Milantika Pramoedya.

Milan menatap foto Arutala yang masih mengenakan seragam sma. Foto itu ia ambil saat dirinya masih duduk di bangku sma. Dan saat itu, Arutala adalah seniornya. Ia diam-diam mengambil foto Arutala yang dengan santai duduk di bawah pohon rindang. Tubuh atletis Arutala kala itu berubah sepenuhnya. Kini tubuh Arutala lebih kekar. Jika pada masa itu, Arutala memiliki wajah polos dan menenangkan, kini Arutala memiliki wajah yang selalu terlihat serius dan memiliki tatapan yang tajam.

Milan akan selalu menyukai setiap perubahan dari diri Arutala.

Dering dari ponselnya menyadarkan lamunannya. Panggilan masuk. Dan nama yang tertera dari panggilan itu adalah nama dari orang yang kini memenuhi otak kecilnya.

'Arutala calling'

Lekas Milan menjawab panggilan itu.

"Iya pak?" sapanya.

"Milan, cepat temui saya di kantor."

"Bukannya hari ini pernikahan Pak Aru? Kenapa Pak Aru justru menyuruh saya datang ke kantor?"

"Apa kau tidak membaca berita? Pernikahan ku di batalkan. Jadi hari liburmu juga batal. Sekarang kembali bekerja. aku tidak bisa bekerja tanpa asisten pribadiku."

Milan tersenyum penuh arti.

"Baik pak. Saya akan ada di sana dalam tiga puluh menit."

Segera Milan berjalan menuju walk-in closet. Berganti dengan pakaian kerjanya. Tak lupa pula ia memakai kaca mata. Milan menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sudah tampak normal seperti pegawai pada umumnya.

Inilah Milan. Dia bekerja sebegai PA untuk Arutala. Samaran yang sempurna untuk bisa terus berada di samping pria itu.

Penguntit

Satu jam sudah Milan duduk di coffeshop yang ada di sebrang jalan dekat dengan gedung pencakar langit tempat Arutala berada. Wanita itu hampir setiap hari berada di sana. Memperhatikan dari jauh. Hal yang ia dapat adalah melihat Arutala yang pulang kerja.

"Denger-denger, Pak Aru lagi cari asisten pribadi? Emang iya?" percakapan dari pengunjung yang duduk di belakangnya cukup mencuri perhatian Milan.

"Iya. Kenapa? Kamu mau coba daftar? Duh, mending jangan deh. Pak Aru itu orangnya super killer. Gimana yaa ngomongnya, asistennya yang kemarin itu ga kuat kerja sama dia. Katanya jadi PA-nya Pak Aru tuh lebih kayak semacam jadi pembantunya. Jam kerjanya ngikutin jam kerja pak Aru. Harus selalu standby."

"Tapi bukannya gajinya gede yaa?"

"Iya sih gede. Tapi buat apa punya gaji gede, kalau hampir ga punya jam bebas."

"Bener juga."

Milan meminum sisa kopi yang ada di gelasnya. Setelahnya ia menatap keluar. Kearah pintu utama gedung sebrang. Jalan yang akan ia lalui nantinya. Segera ia mengirim pesan pada sahabatnya. Ia terlalu fokus pada gawainya, sampai ia melewatkan satu keajaiban yang melintas di depannya.

"Eh, itukan Pak Aru! Gila ganteng banget dia." Pekikan itu membuat pandangan Milan terangkat.

Arutala memasuki coffeshop bersama sahabatnya. Kedua pria itu cukup mencolok sehingga mampu memancing atensi di ruangan itu.

"Sekali-kali kau harus mampir kesini. Dissert di sini sangat enak." Ujar Kavin.

Wajah Arutala jelas sekali terpaksa. "Pesankan apapun untukku. Aku sudah terlalu lelah hanya untuk sekedar memilih menu." Lalu setelah itu, Arutala memilih duduk di meja yang berhadapan dengan Milan.

Dengan gamblang Milan tak mengalihkan pandangannya. Jadi secara tidak sengaja, pandangan Milan dan Arutala bertemu.

Arutala juga tidak berniat mengalihkan pandangan saat matanya menangkap seorang wanita berkaca mata dengan mimik muka tenang dan tatapan tajam. Ada yang aneh dengan wanita itu. Dan Arutala menyadarinya.

"Aru, kau suka macaron kan? Aku harap kau menyukainya. Karena aku memesan itu untuk kita berdua." Kavin menyusul duduk di depan Arutala. Membuat tatapannya terhadap wanita itu terhalang.

Menyadari kecurigaan Arutala. Milan berdiri dan berjalan keluar. Lagi pula hari ini cukup memuaskan. Apalagi dia sampai bisa menatap muka Arutala secara langsung.

Arutala mencoba mengenyahkan pikiran negatifnya terhadap wanita yang baru ia lihat barusan. Toh wanita itu juga sudah pergi.

"Gimana? Kau sudah dapat PA baru?"

Arutala diam. Dan Kavin sudah tau jawabannya.

"Mau aku carikan? Aku tau persis dengan seleramu? Bagaimana?"

Tawaran Kavin barusan sangat menarik. "Baiklah, carikan dalam waktu dua hari. Jika tidak jangan pernah menemui ku lagi."

Kening Kavin berkerut. "Kenapa begitu? Kita itu bestie. Jadi paling tidak kita harus bertemu setiap hari."

Arutala memutar bola matanya, jengah dengan sifat Kavin yang satu ini. "Kau bukan kekasih ku Kavin. Jadi aku muak jika harus bertemu denganmu setiap hari."

"Ayolah.. aku baru saja putus dengan Victoria. Jadi aku butuh teman." Rengek Kavin seperti remaja puber yang baru putus cinta.

"Kalau begitu kenapa kau tidak cari wanita lain saja? Mencari wanita bukanlah hal yang sulit bagimu."

"Yaa. Tapi aku malas dengan wanita cerewet. Hanya Victoria yang tidak cerewet dan tidak manja padaku."

"Semua wanita memang seperti itu. Terimalah kenyataannya."

Mereka berdua masih berdebat hal sepele. Bagi Arutala, wanita dan cinta adalah hal yang tidak penting.

Jadi ia memilih melajang untuk menghindari semua keriwehan yang disebabkan wanita dan cinta.

\~*\~

"Apa? Kamu mau melamar kerja jadi PA-nya Arutala? are u sure?" Lyra hampir tidak mengerti dengan jalan pikiran Milan. Buat apa juga Milan sampai rela menjadi kacungnya Arutala di saat Milan dapat kemewahan dari kedua orang tua wanita itu.

"Yaa. Tidak ada salahnya bukan? Aku bosan hanya melihatnya dari kejauhan." Milan menatap foto-foto Arutala yang berhasil ia dapatkan dari jepretannya sendiri. Mencetak hasil fotonya lalu menempelkan pada papan putih.

Milan dan Lyra memiliki kamar rahasia. Tempat itu digunakan Lyra untuk melakukan hacking. Sedangkan Milan menggunakan kamar itu untuk menyimpan fakta-fakta tentang Arutala. Hidup Milan hanya berputar pada Arutala.

"Oke. Kalau itu mau mu. Akan segera ku kirim cv mu ke tempat Arutala bekerja." Lyra memutar kursinya. Kembali berkutat pada komputernya. "Kau mau pakai latar belakang aslimu apa tidak?"

Milan yang duduk di sofa sambil menghadap Lyra, diam sejenak. "Menurutmu?"

"Kita pakai data palsu saja. Aku tidak mau mendapat omelan jika kedua orang tua mu tau. Kalau anaknya bekerja sebagai kacung Arutala." sindir Lyra.

"Hei! Bukan kacung. Tapi PA. personal asisten." Koreksi Milan.

"What ever." Lyra kembali melanjutkan pekerjaannya.

Kegilaan Milan terhadap Arutala tidak hanya menguntit pria itu di tempat kerja. Milan bahkan tinggal di penthouse yang sama dengan Arutala. Dan Lyra sebagai orang kepercayaan orang tua Milan, selalu berada di sisi wanita itu. Mereka bedua memiliki masa lalu yang panjang.

Hanya butuh waktu dua hari untuk Milan dapat panggilan kerja. Dan pagi ini, Milan tengah bersiap untuk hari pertamanya.

Dia tengah bersiap-siap di walk in closet. Milan memilih mengenakan rok selutut dengan atasan blazer.

Di tengah-tengah memilih High heels yang hendak ia gunakan, Lyra masuk menghampirinya.

"Heels mana yang akan kau gunakan?"

"Ini." Milan menunjuk salah satu high heelsnya.

"Kau serius? Kau mau pakai heels dari jimmy choo? Jangan. Latar belakang yang kau gunakan saat ini, kau hanya wanita biasa. Pakai punyaku saja."

Milan mengangguk. Tidak banyak protes.

"Lalu, kendaraan apa yang ingin kau pakai?"

"Mobilku seperti biasa."

Lyra menepuk jidatnya. "Sepertinya aku harus mengajarimu hidup miskin. Aku akan mengantarmu saja."

"Kau mau mengantarku dengan pakaian seperti itu?" Milan menunjuk Lyra yang tampak brantakan.

Saat berada di dalam, Lyra memang selalu terlihat berantakan. Dia tidak terlalu peduli pada penampilan.

"Oke. Aku ganti baju sebentar." Setelah Lyra menghilang dari pandangannya, Milan tersenyum membayangkan ia akan bekerja di samping Arutala.

Tak butuh waktu lama bagi Lyra bersiap.

Lyra menghentikan mobilnya di depan gedung milik Arutala. sebelum membiarkan Milan, Lyra terlebih dulu menasehatinya.

"Ingat Milan, jangan melakukan hal gila. Jika kau merasa ga sanggup, aku akan ada di café sebrang. Kapanpun kau mau kabur. Aku siap membawamu."

Milan menghela napas. "Aku tidak akan kabur."

Ya, Lyra sendiri juga tidak yakin dengan itu. Malah Lyra takut Milan akan nyaman sebagai personal asisten Arutala.

Memasuki gedung dengan wajah lempengnya. Ia menekan tombol lift setelah mendapat arahan dari sang resepsionis. Alangkah terkejutnya Milan ketika pintu lift itu terbuka. Di sana sepasang manusia kini tengah berciuman cukup panas. Bahkan mereka terlihat tidak terganggu.

Milan dapat mengenali pria yang sedang bercumbu itu adalah Arutala. karena posisinya sang wanita yang lebih mendominasi. Arutala yang bersandar menaikkan pandangannya. Dan di saat itulah pandangannya dengan Milan bertemu. Bukannya menghentikan cumbuannya, Arutala justru semakin menarik pinggang wanitanya. Tatapan Milan menggelap. Dia tidak suka apa yang barusan ia lihat. Arutala hanya boleh di sentuh olehnya.

Kedua tangan Milan terkepal kuat. Pintu lift kembali tertutup dengan Milan yang masih berdiri di luar.

Bertemu

Selain sibuk dengan pekerjaannya, Arutala sekarang memiliki pekerjaan lain yang tidak penting. Yaitu mendengarkan curahan hati Kavin. Sudah hampir dua jam Kavin mengoceh tiada henti.

Arutala memijat pelipisnya yang terasa pening. Kalau ia biarkan terus menerus, bisa-bisa ia yang setres.

"Carilah kesibukan Kavin. Bekerjalah dengan benar, atau kau akan bangkrut." Ujar Arutala. Meski ia tau kekayaan keluarga Kavin tidak akan habis sampai tujuh turunan.

Kavin yang merebahkan diri di sofa mendudukan diri untuk melihat Arutala yang duduk di meja kerjanya.

"Aku bosan bekerja. jadi lebih baik aku menganggumu saja. Ayolah, kau harus membuat dirimu lebih santai. Kau sudah kaya. Buat apa tambah kaya."

Pikiran gila Kavin itu selalu di abaikan Arutala.

"Oh iya, aku sudah mendapat beberapa kandidat untuk jadi PA-mu. Kau mau lihat?" tawar Kavin. Ia mengambil tablet miliknya. Membuka beberapa email yang masuk. meski hal ini bukan salah satu pekerjaan Kavin, tapi pria itu dengan suka rela membantu. Memang otak Kavin rada sedikit geser.

Arutala yang juga penasaran langsung meninggalkan pekerjaannya. Ia duduk di samping Kavin. Ikut nimbrung melihat siapa saja yang mendaftar.

"Ini sepertinya bagus. Dia cantik dan seksi." Pilihan Kavin selalu tertuju pada tubuh terlebih dahulu. Dan yang di tunjuk Kavin barusan menurut Arutala tidak lebih seperti wanita panggoda.

Sedangkan yang dibutuhkannya, wanita yang siap bekerja dan tidak tergoda dengan dirinya.

Saat menscroll kebawah, Arutala langsung memusatkan perhatiannya pada satu cv yang menarik perhatiannya. Menampilkan foto seorang wanita dengan kaca mata yang tidak asing bagi indra penglihatannya. Tidak salah lagi.

Sudut bibir Arutala tertarik. Cukup menarik. Mari kita lihat permainan ini akan sampai mana.

"Aku mau wanita ini. Besok dia harus sudah ada di sini." putusnya.

Kavin ternganga. "Hah? Diantara banyaknya wanita seksi, kau justru memilih wanita yang terlihat nerd? Sepertinya wanita ini juga terlihat tidak seru."

"Yang membutuhkan PA itu aku. Jadi terserah padaku."

Kavin menghela napas. Mau bagaimana lagi.

"Oh ya, dan satu lagi. Aku butuh seorang wanita panggilan."

"Hah?!" kalimat itu sukses membuat Kavin terjengkang karena terkejut. "Buat apa?"

Arutala tersenyum penuh arti. "Hanya bersenang-senang."

\~*\~

Dalam kurun waktu yang cukup lama, akhirnya Milan dapat kembali menatap mata itu. Milan yang kini sudah berada di dalam ruangan Arutala. Berhadapan dengan sang atasan. Pandangan Milan jatuh pada bibir Arutala. Bibir yang tadi sempat bermesraan dengan wanita lain. Apa mungkin memang Arutala sering melakukan itu. Tapi selama Milan menguntit pria itu, belum pernah Milan menemukan fakta tentang Arutala yang suka bermesraan di depan umum. Kenapa rasanya Arutala memiliki sifat yang beda.

"Milan Pramoedya." Arutala menyebut namanya. Membuat jantung Milan bedebar.

Pria itu akhirnya memanggil namanya. Milan menyukai suara Arutala ketika mengalunkan namanya.

"Ya Pak." Balas Milan.

Arutala bertopang dagu, ia memperhatikan Milan. "Coba jelaskan orang seperti apa dirimu itu."

Milan diam sejenak sebelum menjawab. "Saya seperti kebanyakan orang biasanya Pak."

Jari Arutala mengetuk di atas meja. Tatapan semakin tajam dan dalam. Seperti mengintimidasi lawan bicaranya. "Aku tidak butuh wanita biasa. Aku butuh wanita yang mampu menyamaiku."

Kalimat Arutala barusan membuat Milan cukup berpikir. Pasalnya, kalimat Arutala itu memiliki beberapa arti.

"Jadi, wanita yang seperti apa yang Pak Aru cari?"

"Seperti wanita yang tadi kau lihat di dalam lift." Pandangan Arutala menggelap.

Milan sebisa mungkin mengatur ekspresinya terlihat tenang. "Maaf Pak. Saya tidak bisa menjadi wanita seperti itu."

Arutala berjalan mendekat pada Milan yang berdiri di hadapannya.

"Dengar Milan, yang kubutuhkan tidak hanya sekedar personal asisten seperti biasanya. Aku butuh seseorang yang kuat. Tidak mudah menangis. Dan siap berada di kondisi apapun." Arutala memojokkan Milan. Ia berdiri cukup dekat dengan wanita itu. Bahkan Arutala dapat mencium aroma Milan.

Dan dengan tololnya Milan justru menjawab "Memangnya Pak Aru mau membawa saya ke medan perang?"

Kalimat itu membuat Arutala memundurkan langkahnya. Ia hampir saja tertawa. "Bukan seperti itu. Kadang kala saya berada di posisi yang cukup bahaya. Dan saya tidak mau jika kita sedang dalam kondisi seperti itu, kau justru malah menangis ketakutan."

"Pak Aru tidak usah khawatir. Saya bukan termasuk wanita seperti itu."

"Baguslah. Kau bisa mulai bekerja sekarang. Tapi sebelum itu, apa kita pernah bertemu?"

Pertanyaan terakhir dari Arutala cukup menjawab apa yang selama ini menjadi pertanyaan Milan. Apa Arutala mengingatnya? Dan ternyata memang Arutala tidak mengingatnya. Sungguh mengecewakan.

"Kurasa tidak Pak." Balas Milan. Lalu setelahnya ia pamit undur diri.

Bohong. Tentu saja mereka pernah bertemu sebelumnya. Dan Arutala mengingat itu. Dengan jelas ia melihat Milan di caffe dekat kantornya. Dan setelah insiden kemarin, Arutala yang penasaran dengan Milan langsung bertindak.

Ia menelpon bawahannya, dan menyuruhnya untuk mengecek cctv caffe. Dan benar saja, Milan hampir setiap saat berada di caffe itu. Bahkan pandangan Milan selalu mengarah ke gedung kantornya. firasatnya tidak pernah meleset.

Dan setelah mengetahui fakta bahwa Milan mendaftar sebagai PA-nya, tanpa pikir panjang Arutala menerimanya.

Tanpa ada ketukan di pintu, seseorang masuk ke dalam ruangannya. Hampir saja Arutala mengumpati orang tersebut. Namun ia urungkan setelah mengetahui siapa orang yang masuk. Pradana sang ayah yang datang mengunjunginya.

"Aru, papa tidak mau basa basi. Waktu papa Cuma sebentar. Asisten papa sudah mengirim email, dan itu beberapa wanita yang harus kau pilih untuk kencan buta." Pradana selalu seperti ini. Tidak mau membuang waktu. Karena baginya, waktu sangat berharga.

Arutala berjalan menuju kursinya. Bahkan ia tanpa repot-repot mempersilahkan sang ayah untuk duduk.

"Apa hal ini wajib Pa?"

"Iya. Ingat Aru, Papa ingin kau segera menikah." Bahkan wajah Pradana sangat lempeng-lempeng saja.

"Baiklah. Nanti aku akan memilihnya. Milan akan membalas email Papa nanti."

Kening Pradana berkerut. "Milan?"

"Iya, PA baruku. Orang yang duduk di depan yang papa lewati barusan."

Pradana tak peduli akan hal itu. "Siapa nama lengkapnya?"

"Milan Pramoedya."

Nama itu terasa tidak asing di telinga Pradana. Tapi ia tidak mau hal itu menganggunya.

"Yasudah Papa pergi dulu." ucapnya lalu pergi.

Setelah kepergian sang Ayah, Arutala menyuruh Milan untuk masuk.

"Ya Pak?"

"Kemarilah. Aku ingin kau memilihkan ku beberapa wanita. Cek latar belakangnya. Dan pastikan dia wanita yang tidak punya banyak masalah." Arutala menyodorkan tab miliknya.

"Untuk apa Pak?"

"Untuk kencan buta. Aku akan segera menikah Milan. Jadi kau harus memilih dengan teliti."

Milan terpaku di tempatnya. Sialan! Baru saja Milan masuk ke kehidupan Arutala. Dan pria itu malah akan menikah. Tentu saja Milan tidak akan membiarkan ini terjadi.

"Baik Pak. Akan saya carikan dengan hati-hati." Pamitya undur diri.

Pandangan Arutala tidak lepas dari Milan yang berjalan keluar dari ruangannya. Wanita itu memang berpenampilan seperti biasa. Tidak terlihat mencolok. Tapi Arutala tau betul barang yang di gunakan Milan cukup mahal.

"Halo? Banu, aku butuh informasi tentang Milan Pramoedya." Arutala menghubi sang adik.

"Segera kakak." Balas Banu tanpa bertanya lebih.

Banura Ganapatih cukup pandai dalam mencari informasi. Dan dia selalu bisa Arutala andalkan.

Arutala miliknya. Hanya miliknya.

Kalimat itu terus berputar di otak kecil Milan. Ia tengah berada di dalam kamar mandi mengatur kondisinya yang tidak setabil. Kedua tanganya mengepal kuat. Rasa cemas dan gelisah ketika membayangkan Arutala menjadi milik orang lain membuat kondisnya tidak setabil.

Ia lantas menghubungi Lyra.

"Halo? Kau baik-baik saja? Milan?" suara Lyra terdengar panik.

Milan mengatur napasnya. "Cari tau setiap kebusukan wanita yang datanya ku kirim padamu."

"Apa? Untuk apa?" tanya Lyra kebingungan.

"Aku mau mengagalkan setiap wanita yang akan Arutala kencani. Dan juga, kirim pada Arutala secara anonym."

Inilah kegilaan Milan Pramoedya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!