NovelToon NovelToon

BUKAN DI TANGAN-ku

01 - Bukan sekedar Jus

“Lo dimana? Gue aja yang kesana, gimana?” ucap seorang gadis berbicara pada ponsel nya. Ia duduk di sebuah restoran kecil, di depannya sudah tersaji minuman Favoritnya.

“Big No! yang ada gue sumpek, lo anteng-anteng aja disana, bentar lagi gue kesana.” terdengar suara seseorang di ponsel.

“Oke. Lo masih lama nggak? Perlu gue pesenin sesuatu?” tawarnya, sambil santai mengaduk jus alpukat nya dengan sedotan.

“Ide yang bagus tuh, kebetulan gue lapar, seperti biasa yaa.” balas temannya di telepon terdengar senang.

“Lo di ma—” gadis itu menggerutu kesal.

Temanya sudah lebih dulu memutus panggilan.

Ia memajukan bibirnya beberapa senti. Menatap layar ponsel seolah protes.

Waktu terus berjalan. Beberapa pegawai resto terlihat lalu-lalang, sibuk mengantarkan pesanan ke meja-meja pelanggan. Namun si gadis masih belum menyentuh makanannya. Jus yang sejak tadi menemani nya pun belum juga ia minum.

Saat ia mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk. Matanya menangkap sosok yang di kenal nya. Ia langsung melambaikan tangan.

Seseorang yang baru masuk itu membalas lambaian tangan Arsa, dengan senyum lebar.

“Sorry yaa, gue telat. Biasa ada drama,” ucap Belleza gadis tinggi 160cm, sambil menarik kursi dan duduk.

Gadis yang sedari tadi menunggu hanya mengangguk pelan, masih fokus mengaduk jus alpukat di tangannya. Dialah Faira Arsanika Abrinadao, yang kerap di sapa Saa oleh teman-teman yaa.

“ Jadi... gimana keputusan Lo?” tanya Belleza memakai pakaian mencolok serba pink.

“Gue bingung, justru itu gue pengen ngobrol sama lo, minta saran,” jawab Arsa lirih.

“Sorry. Hehe....” Belleza buru-buru menutup mulutnya, merasa bersalah karena tidak fokus mendengarkan, malah asik makan.

Arsa hanya tersenyum, tertawa kecil. Tangannya ikut berhenti mengaduk minuman favorit nya.

“makan dulu aja. Lo ga sempet makan lagi, kan.”

“Heem, seperti yang lo tahu.” ucap Belleza menahan lelah.

Keduanya tertawa kecil bersama. Entah apa yang mereka tertawakan, tapi tawa itu terasa ringan–seperti jeda yang menyenangkan diantara kepenatan hari.

Namun beberapa detik kemudian, Belleza seperti baru tersadarkan akan sesuatu.

“Wait–lo tadi bilang bingung? Jangan bilang dari tadi lo cuma ngaduk jus itu tanpa nyentuh sama sekali?” tanyanya dengan nada sarkas.

“ Eh, eh....” Arsa tersentak , lalu menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Belleza menggelengkan kepala melihat sikap temannya, ia menyenderkan tubuhnya di kursi, mengela nafas sejenak. Namun tiba-tiba, ekspresinya berubah serius. Tatapan nya terarah kewajah Arsa, seolah sedang mencari sesuatu yang tersembunyi di paras cantik itu. Tatapan itu hanya berlangsung singkat sebelum akhirnya Belleza bersuara.

“Sini, minuman itu. ujarnya sambil menarik Juice alpukat milik Arsa. “Juice favorit Lo sekarang jadi milik gue. Ini juice lo, ini minuman lo.” Ia menukar makanan Tom Yam Goong miliknya dengan Ramen yang tadi di pesan Arsa.

“ Tapi... Zaa. Lo tau kan, gue selalu makan ini.” protes Arsa pelan sambil memegang gelas jus milik temanya.

Belleza mengangguk membenarkan ucapan Arsa. “Gue tahu. Tapi udah, sekarang lo nikmati aja makanan lo. Selamat makan.”

Tak ada obrolan lanjutan, hanya terdengar dentingan suara sendok dan garpu yang bersautan diantara mereka berdua, diiringi suara lain pengunjung, yang memanggil pelayan disela keramaian suara meja terasa tenang.

Belleza menyeruput jus alpukat yang kini telah resmi jadi miliknya, lalu membuka percakapan setelah beberapa saat hening.

“Jadi gimana? Langkah apa yang lo mau ambil?” tanyanya, kali ini dengan nada serius namun hangat.

“Gue bingung, Zaa... Gue masih menimbang-nimbang. Soalnya pilihan yang dirasa lebih baik pasti punya resikonya masing-masing” jawab Arsa, diselingi helaan nafas berat.

“Saa... Setahun yang lalu, tepat dihari ini kalau gue nggak salah, lo pernah ngomong ke gue sama Lyin. Lo bilang hidup itu hanya soal sudut pandang. Digeser sedikit saja cara kita pandanganya, bisa bikin sesuatu yang keliatan menyakitkan jadi kelihatan beda. Tapi gue lupa itu kata kata siapa, yang jelas gue inget Lo pernah bilang gitu.”

“Tereliye. Kata bang Tere.” Balas Arsa datar, “ Terus... apa hubungannya sama masalah gue?”

“Gak ada sih, Haha. Gue Cuma pengen kelihatan bijak aja.” canda Belleza sambil tertawa.

Namun tawanya cepet reda, diganti dengan tatapan serius lagi. “Eh beneran, tapi sekarang gue mau tanya. Gimana rasanya makanan itu.”

“Makanannya cukup enak... ga buruk juga,” jawab Arsa pelan lalu menatap mangkuknya. “Gue ngerasa ada yang beda, tapi nggak buruk.”

“Nah, itu dia.” Ucap Belleza sambil mengangguk. “Lo ngerti maksud gue, kan.”

Namun sungguh disayangkan—Arsa belum mengerti maksud dari perkataan Belleza. Ia memang tidak mengatakan secara langsung bahwa ia tak paham, tapi dari gelengan kepala nya saja, Belleza tahu arti di baliknya.

“Aduh, kenapa lo jadi oon gini sih!” keluh Belleza sambil memutar mata.

“Gini lho, bukanya lo dari dulu ada niatan resign dari perusahaan itu?” lanjutannya.

“Untung waktu itu gue dengar nasihat lo. Lihat sekarang, gue terbebas dari segala hal toxic di tempat itu.”

Arsa hanya mengangguk, menyimak dengan seksama perkataan temannya.

“Nah, bukannya lo udah dapat tawaran di perusahaan lain, kan? Jauh lebih baik dari yang sekarang. Nggak ada lagi tuh fisik lo terkuras. Kerja bagai kuda. Tapi ya itu, kalau lo berani ambil kesempatan. Kerjanya juga nggak banyak gerak, tinggal duduk depan komputer. Pesan gue cuma satu: lo cuma perlu lebih teliti. Itu aja, udah jadi nilai plus buat lo.” cerocos Belleza tanpa jeda.

“Tapi kan... lo tau sendiri,” Arsa menghela nafas. “Gue susah banget adaptasi ditempat baru, apalagi cari teman. Gue nggak kaya Lyin ataupun lo yang gampang akrab sama orang.”

Belleza mengendus pelan, lalu membenarkan helaan rambutnya. “Lagian, buat apa juga Lo kenal semua orang? Temenan satu-dua orang dulu aja cukup. Kenal banyak orang nggak menjamin dekat juga.

Ia menatap Arsa lekat-lekat, kali ini dengan nada lebih lembut. “Lo pasti bisa. Lo tuh sebenernya friendly, Arsa. Lo pengertian, etika lo juga bagus. Tapi ya itu... lo terlalu sibuk membangun benteng tersendiri. Dan benteng lo tinggi banget. Gimana orang mau dekat kalau lo sendirinya menutup diri terus?”

Arsa berdehem kecil sebagai tanggapan, tapi ekspresinya berubah. Kedua alis nya berkerut, tanda ia benar-benar sedang memikirkan perkataan temannya.

“Lalu... apa yang harus gue lakuin?” tanyanya pelan, sambil memainkan bibir bawahnya dengan gelisah.

Belleza tersenyum tipis, lalu menunjuk dua piring yang telah kosong di meja secara bergantian

“Lo tanya lagi ke diri lo sendiri: lo mau tetap di perusahaan yang bikin lo lelah dan tertekan, atau lo mau ambil sedikit resiko buat coba tempat baru yang mungkin jauh lebih sehat buat hidup lo.

Arsa menghela nafas. “Sejujurnya... gue mau resign. Gue udah terlanjur cape, Zaa. Tapi masalahnya... gue juga nggak pandai bergaul. Bahkan, lo sendiri yang bilang gue terlalu membangun benteng, kan?”

Senyum kecut mengambang di wajahnya nyaris tidak terlihat.

Belleza mengangkat satu alis,”Nah itu dia, ibaratnya nih ya—lo tuh terlalu menutup diri. Terus di sekeliling lo, lo bangun benteng yang terlalu tinggi banget, tanpa pintu pula. Gimana orang mau masuk? Kalau posisi gue ataupun Lyin sih nggak masalah, kita mah udah biasa manjat, hahaha. Tapi gimana sama orang-orang baru? Orang yang bakal lo temui di tempat kerja lo nanti?”

“Itu juga masalahnya,” ucap Arsa pelan. “Gue terlalu takut keluar dari zona nyaman. Gue lebih nyaman ngelakuin hal-hal yang sama, berulang kali. Karena itu yang paling aman buat gue.”

Belleza kini terdengar lebih serius. “So.... bisa dibilang lo lebih milih jatuh di lubang yang sama berkali-kali? Kalau gitu caranya, Arsa, lo nggak akan pernah maju. Lo nggak akan belajar apa-apa.

Arsa menunduk. suaranya nyaris tidak terdengar, tapi cukup jelas untuk Belleza. “Ya... kalau itu menurut gue lebih baik, kenapa nggak? Gue terima.

“Saa... dengerin baik-baik, ya.” Suara Belleza melembut tapi penuh penekanan, “Keluar dari zona nyaman itu perlu. Lo nggak bisa terus diam begini. Kalau masalah nya cuma takut memulai, ingat momen ini.”

“momen ini?” tanya Arsa bingung.

“Iya. Momen pertama kalinya lo makan dan minum sesuatu yang baru buat lo. Dan lo bilang rasanya nggak seburuk itu?”

Arsa tersenyum kecil. “Nggak janji, tapi gue coba. Haha.”

“Nah, gitu dong!” sahut Belleza semangat. “Lo harus coba, Arsa. Ambil sedikit resiko. Keluar, dan lebih banyak ambil tindakan. BTW—lain kali kalau kita nongkrong, gue nggak mau lihat ramen dan jus alpukat ini lagi. Titik. Banyak menu lain yang bisa lo coba. Anggap saja sebagai latihan keluar dari zona nyaman.

02 - Siapa Mildan

“Btw gimana soal lo.” tanya Arsa penasaran.

“Gue? Lo tau sendiri dia yang secara ugal-ugalan ngejar gue. Padahal, gue suka temennya. Hehe.” balas Belleza tertawa pelan.

“Hati-hati hlo. Nanti dia sama yang lain lo yang nyesel. Haha. Tapi serius nih ya, masa lo ga ada rasa?” tanya Arsa, serius menatap belleza.

Belleza dibuat kaget saat Arsa terlalu mendekatkan wajahnya, ia mengalihkan pandangannya, gelagat nya mulai aneh.

Sementara itu, Arsa yang didepannya menghela nafas pelan, hampir tidak terdengar. Entah apa yang di pikirannya. Tapi, jauh dari itu Arsa benar-benar dibuat kaget atas jawaban Belleza. Sejujurnya ia tidak berniat menanyakan soal relationship tamannya, namun Belleza malah membahasnya.

Arsa hanya mendengarkan saja, menanggapi cerita Belleza, tidak protes. Ia berpikir, mungkin itu yang dibutuhkan temannya.

Belleza memainkan nail artnya berkata pelan, tanpa menatap mata Arsa “Dia baik, pengertian, dan selalu ada saat gue butuh. Gue rasa nyaman itu ada. Tapi, ga sebanding sama rasa gue ke temennya.Hehe.”

“Hah... Siapa?” ucap Arsa kaget, matanya membulat mulutnya sedikit menganga.

“Mildan, Saa. Lo ga inget dia?”

“Eh–gue... kaya nya ga ada deh.” Arsa bingung, seinget nya memang tidak ada nama itu

Belleza menopang dagunya, “Ada Saa. yang sering bareng Arga. Tinggi, putih dan paling harum di pabrik. Hahaha.”

“Haha... Emangnya si Arga ga wangi?” tawa Arsa renyah. Ia memutar-mutar ponselnya, “Tapi, gue ga kenal Mildan.” jawab Arsa yakin.

“Pasti kenal, kerjaan kalian saling berkaitan.” Balas Belleza.

Arsa masih asyik memainkan ponselnya, ia mengerutkan kening. “Serius? Apa iya sih? Gue beneran nggak inget,lho.”

“Ada, bentar... gue tunjukkin. Coba pinjem hp lo, deh. Ponsel gue lowbat, hehe. Ternyata susah banget nyari foto tuh anak.” ucapnya sambil menscroll ponsel milik

“Kayanya gue tau.” Gumam Belleza sedikit berpikir lalu mengganti nama @ildan_A di kolom pencarian IG dengan nama @Ar__nizo. Tak lama, akhirnya foto yang di cari muncul.

“Nih, lo tau, kan?” Belleza menyodorkan ponselnya pada Arsa.

“Miu.” ucap Arsa, terpaku beberapa detik menatap layar ponselnya.

“Hah, lo bilang apa tadi?” tanya Belleza, karena perkataan Arsa yang nyaris tak terdengar.

“Setau gue, nama dia Miu, Zaa. Terus, dulu lo sempet bilang dia punya pacar, kan! Lo masih tertarik sama pacar orang?” balas Arsa, takut pertanyaan nya menyakiti temannya.

“Haha. Eh–gue masih waras,lho. Tapi, gue rasa jadi tertarik lagi sama dia, karena—gue tau dia single, hehehe. Mildan udah putus dari lama, kalau ga salah, sejak kali pertama gue anter lo ke toko buku itu.” ucapnya memainkan helaian rambut.

“So... lo mau ngejar dia lagi? dan gantungin si Arga gitu?” ucap Arsa, melirik Belleza penuh tanya.

“Kalo bisa, ya kenapa engga, haha. Tapi, untungnya gue ga tau dia dimana, so–buang jauh-jauh kecemasan lo. Arga aja nggak tahu keberadaan sohibnya dimana, gue sempet nanya sia soalnya.”ujar Belleza menyeruput minuman terakhirnya.

“Eh–Saa. Kayanya orang-orang disana memperhatiin lo, deh? temen lo?” tanya Belleza, menunjuk sesuatu lewat matanya.

“Haha. Bukan gue tapi lo, Zaa.” Ucap Arsa tertawa pelan.

“Masa? Mumpung kita mumpung ini, sekalian main gak sih, sayang banget kan kalau langsung pulang. Gue juga udah lama nggak shopping, lho?” ajak Belleza tersenyum lebar.

“wah–ide bagus tuh. Tapi, sayang banget kurang kehadiran Lyin.” ucap Arsa cemberut.

Ia tampak berpikir sejenak, kedua alisnya menjelaskan, “yaudah, ayo cabut. Kayaknya gue juga mau beli sesuatu deh baju misalnya gitu.”

“Baju?” tanya Belleza

“Iya. Setelah denger teori ramen dan alpukat ga buruk juga. Haha.” Ucap Arsa tertawa terbahak. Beberapa orang mulai melirik karena suaranya yang pecah.

Belleza buru-buru berdiri dari kursinya, lalu berlari kecil ke arah Arsa dan memeluknya erat

“Akhirnya si kepiting ini mau keluar juga. Haha.”

Tawa mereka mulai mereda. Suasana pun perlahan mulai kembali tenang. Arsa mengirim ke jam di ponselnya.

“Ayo keburu sore.” gumamnya

Tak lama kemudian, pelayan yang tadi mereka oangg datang menghampiri meja mereka.

“QRIS aja bisa, mas?” tanya apa sama siapa mengambil ponsel.

“Bisa kak.” pelayan itu mengangguk, lalu menyodorkan barcode ke arah Arsa.

“Apa lagi, mas ? tanya Arsa bingung.

Pelayan itu tampak canggung. “Eh, maaf, kak... apa benar itu Kak Belleza Cannonova? tanya nya agak ragu, sambil melirik ke arah Belleza.

Arsa melirik cepat ke arah sahabatnya, bingung harus menjawab atau tidak. Tapi saat dia mau membuka mulut, Belleza sudah lebih dulu melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah pelayanan.

“Iya, saya sendiri. Kenapa, Mas?”jawab Belleza dengan senyum ramah.

“Anu, Kak... boleh minta foto.” Tanya pelayan itu dengan hati-hati.

Belleza yang mendengarnya hanya tersenyum lebih ramah. Ia mengangguk, pelayan itu merongga ponsel di sakunya. Sudah membuka aplikasi kamera untuk mengambil gambar bersama Belleza.

Arsa hanya memperhatikan, lalu ia sedikit bergeser dan duduk di kursi yang kosong di sebelah kursinya tadi. Namun Arsa justru di tahan oleh pelayan itu. Pelayan itu tidak keberatan berfoto satu bingkai dengan Arsa. Asa hanya menuruti tidak bisa menolak permintaan.

Setelah mendapat 2 jepretan. Arsa menawarkan diri untuk membantu pegawai laki-laki tersebut.

“Saya bisa bantu ambilkan gambarnya, Mas. Kapan lagi coba, kan.” ujar Arsa tersenyum lebar.

Pelayan itu tampak berpikir sejenak, antara menyetujui perkataan Arsa dan tidak. Tak lama kemudian akhirnya pelayan itu menyetujui saran dari Arsa, setelah Arsa selalu menawarkan hal yang sama.

Elsa mengandung gambar beberapa jepretan, tidak membutuhkan waktu lama dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan oleh pelayan laki-laki itu. Pelayan itu tidak lupa berterima kasih, berterima kasih kepada Arsa kepada Belleza bahkan keduanya,

Namun sebelum Arsa dan temanya akan melangkah meninggalkan restoran. Pelayanan terkuat tempat meminta izin kepada Belleza untuk mengunggah hasil jepretannya. Belajar yang mendengarnya, hanya tersenyum mengangguk. Tak lama pelayan itu pergi dan Belleza pun melanjutkan perjalanannya bersama Arsa

“Saa... masnya lucu ya. Gue serasa artis. Haha.” senyum sumringah terlihat di wajah Belleza

“lo baru sadar, lo itu terkenal. Gue harap lo selalu dapat lingkungan yang sportif.”ucap Belleza pelan.

“Thanks juga, sudah jadi dari bagian perjalanan untuk tumbuh berkembang hingga gue sampai di titik ini.

03 - Bukan tugas-ku

Sebelum Arsa dan Belleza menginjakkan kaki di sebuah mall. Dari kejauhan mereka sudah melihat orang-orang berlalu lalang, tempat yang mereka kunjungi kali ini, adalah salah satu mall yang memiliki lantai paling rendah dibanding mall lainnya, tapi bukan berarti sempit.

Justru karena tidak menjulang tinggi, ruangannya terasa lebih luas. Mall ini hanya tidak memiliki lantai bertingkat–tapi soal kenyamanan jangan diragukan.

Tepat saat mereka menginjakkan kakinya di pintu masuk mall, pendengarannya sudah disambut oleh lagu-lagu, entah dari kedai yang mana.

Arsa melihat ke sekitar, pandangannya lebih tertarik melihat sebelah kanan, ada satu tempat yang terlihat sangat ramai sekali, bahkan diantaranya terlihat orang-orang rela mengantri. Sedangkan di sebelahnya yang tidak begitu jauh, terlihat sedang mengadakan festival, orang-orang pun berkerumun menyaksikan.

Arsa berjalan mengikuti langkah kaki Belleza, ia sadar bahwa orang-orang di belakangnya makin ramai memasuki mall. Semakin sore waktunya semakin banyak orang-orang yang berdatangan, ditambah arsa melupakan fakta bahwa, seperti inilah yang terjadi di mall ketika weekend.

Orang-orang mungkin mengunjungi mall hampir di setiap weekend, terlihat seperti sekarang banyak sekali orang-orang yang keluar masuk, bahkan Arsa mendengar orang-orang membicarakan film yang akan ditonton. Pantas aja mall kali ini terasa sangat ramai. Para pekerja kantoran pun mungkin sebagian besar berada di sini, karena mereka memiliki waktu libur lebih banyak dibanding dirinya.

Saat orang lain libur di hari minggu, bahkan Arsa harus bangun pagi sekali untuk bekerja. Meski begitu Arsa memiliki mimpi yang sangat besar, dan semangat yang tidak bisa diragukan, namun sayang sekali, hampir semua gajianya dia serahkan kepada orangtuanya untuk membantu perekonomian dan kebahagiaan keluarganya.

Arsa adalah gadis yang memiliki prinsip yang kuat. Tapi tiap kali waktunya melangkah untuk keluar dari zona nyaman, ia selalu ragu. Bukan karena lemah–melainkan terlalu lama hidup dalam batas aman. Ditambah ia bukan pekerja kantoran seperti terdapat di novel-novel yang sering orang orang baca, dimana tempat kerjanya pasti’ terdapat ruangan ber AC, atau seperti kisah sekertaris jauh cinta pada CEO dan cerita sejenis nya.

Jauh dari itu, ia sama saja seperti kebanyakan dari kalian yang sedang berjuang untuk kehidupan nya yang lebih baik. Dia hanya karyawan pabrik hanya seorang buruh kasar karena pekerjaan nya mengandalkan kemampuan fisik.

Mall masih ramai tidak menunjukan perbedaan dari sebelumnya, Belleza telah menyamakan langkahnya dengan arsa. Mereka sekarang jalan bersebelahan.

“Sa....” panggil Belleza.

Arsa hanya diam. Tidak bergeming sedikitpun, seolah ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya–membuatnya tenggelam dalam dunianya sendiri.

“Arsa! Saa...” teriak Belleza, menggoyangkan punggung temanya.

“Hah? Iya, Zaa?” Arsa kaget, Zaa tiba-tiba menghalang jalannya.

“Cari skincare dulu yaa,” pinta Belleza tersenyum tipis.

Tanpa pikir panjang arsa langsung mengangguk, menyetujui permintaan temanya–berjalan mengikuti langkah Belleza. Arsa tersenyum melihat punggung temannya. Ia baru menyadari sesuatu dari temannya, setiap bertemu–Belleza pasti tidak bisa lepas dari warna pink. Ada aja warna pink yang melekat di tubuhnya entah dari tas, baju, sepatu, ataupun blazer nya.

Tidak membutuhkan waktu yang lama mereka telah sampai di tempat yang dituju, Belleza langsung masuk dan begitu antusias, mencari-cari barang yang diinginkannya.

Tempat yang dikunjungi Belleza bisa dibilang surga dunia bagi para kaum perempuan, namun tidak ada yang bisa menarik perhatian Arsa, ia tidak tertarik untuk melihat apapun, lebih memilih mengikuti temannya. Meski toko tersebut menunjukkan label diskon yang sangat besar. Tapi tetap saja Arsa tidak tertarik.

Arsa mengikuti Belleza ke manapun, bahkan keduanya hampir bertabrakan karena arsa tidak memperhatikan. Ia bukan tidak menyukai skincare ataupun set-set makeup, hanya saja dia begitu sayang akan uang yang harus dia keluarkan untuk mengadopsi nya. Dia lebih memilih untuk belanja di toko online, melihat harga disana lebih murah di banding tempat yang sekarang, sedang dia jelajahi bersama temannya.

Arsa mendengar orang-orang menanyakan sesuatu kepada pegawai disana, Belleza masih sibuk memilih skincare, arsa ikut mencari barang yang Zaa inginkan. Sejujurnya Arsa bisa saja menyenangkan dirinya untuk sekedar berbelanja apa yang dia suka, namun Arsa selalu mengingat orang-orang yang berada jauh dengan dirinya sekarang. Mengingat bagaimana jadinya jika dia tidak bisa membantu membiayai biaya sekolah adiknya, dan hal lainnya.

Salah satu teman arsa pernah bilang, tugas seperti itu bukan tugas Arsa–untuk membiayai sekolah adiknya. Karena Arsa masih punya orangtua yang harusnya masih bisa membiayai sekolah adiknya. Namun Arsa adalah Arsa yang ingin mencoba berbakti untuk membantu kehidupan keluarganya, mengingat orangtuanya yang kian tahun umurnya semakin menua

Jadi pikir Arsa, ini saatnya dia berjuang mati-matian untuk menyenangkan keluarga. Walaupun hal tersebut sedikit menyakitkan, karena dia terkadang lebih banyak mengorbankan kebahagiaan dan keinginannya untuk menyenangkan keluarga.

Pernah satu waktu Arsa ingin sekali membeli sepatu, karena sepatunya sudah tidak nyaman. Bawahnya sudah cukup tipis, terasa sakit saat dipakai. Arsa sudah berniat untuk membelinya, sudah juga memasukan ke dalam keranjang online belanjaannya ditoko orange.

Pada saat itu ia berencana untuk men check out nya di sore hari. Karena itu merupakan waktu santainya setelah bekerja. Gaji per dua minggunya pun selalu masuk siang hari. Setelah pulang dari kerja dia bersantai lalu membuka aplikasi itu untuk membeli barang keinginan. Namun sesaat saat ingin membuka aplikasi orange. Ia mendapatkan notifikasi dari mamanya, memberi tahu bahwa adiknya perlu sebuah sepatu karena sepatu dan mengirimkan bukti keadaan sepatu adiknya.

Arsa hanya tersenyum kecut, seakan dirinya memiliki tanggung jawab yang mungkin bukan seharusnya tugasnya. Mengingat di luaran sana orang-orang seusia nua sibuk dengan pendidikannya, bahkan sebagian teman-temannya sudah ada yang mendapatkan jodoh.

Pesan singkat yang dikirimkan mamanya, menjadikan beban, ia mulai sibuk menimbang-nimbang kebutuhan siapa yang harus dia dulukan.

Kebutuhannya dirinya atau kebutuhan adiknya. Lamunannya di buyarkan oleh dering ponsel tanda panggilan masuk seseorang ingin melakukan sambungan video dengan dirinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!