Sinar mentari pagi menyusup lembut di sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan berkilauan di lantai trotoar depan toko bunga milik seorang pemuda bernama Arman.
Di dalam toko yang semerbak wangi bunga mawar dan melati, Anna berdiri dengan wajah sendu.
Tangannya menggenggam erat tas kecil yang sudah lusuh. Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di tempat itu.
“Kamu yakin, tidak mau memikirkannya lagi?” Arman pria muda dengan tubuh tegap dan sorot mata penuh perhatian memandang Anna ragu. “Kamu bisa tetap bekerja di sini, aku yakin ibu Sumi akan mengerti.”
Alana menggeleng, ia mencoba tersenyum meski jauh dalam hati begitu berat mengambil keputusan ini.
Arman begitu baik padanya, tapi Anna juga harus membalas budi kebaikan ibu Sumi sudah merawatnya sejak dirinya remaja hingga dewasa seperti sekarang.
“Tidak, Mas. Ibu mulai sakit-sakitan dan aku tidak bisa membiarkan ibu bekerja sendirian. Lagipula ini sudah kewajibanku sebagai putrinya,” jawab Anna.
Arman terdiam cukup lama. Seolah enggan melepaskan kepergian Anna.
“Baiklah,” ucap Arman akhirnya memilih menyerah. “Kalau suatu hari kamu tidak betah di sana, toko bungaku ini selalu terbuka buatmu, Anna. Ingat itu!”
“Terima kasih, Mas Arman.” Anna membungkuk sedikit dengan mata berkaca-kaca.
Arman memberikan amplop coklat pada Anna. Sisa gajinya bulan ini, tidak banyak tapi cukup untuk ongkos Anna ke Jakarta.
Setelah berpamitan, Anna melangkah keluar toko. Ia langsung bergegas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Anna menemui ibunya yang terbaring lemah di dipan kayu tua.
Ayahnya, duduk di sebelah sang ibu sambil memijat kakinya.
“Kamu sudah pulang, Nak?” tanya sang ayah, tersenyum hangat.
“Hmm. Bagaimana keadaan ibu, Yah?” tanya Anna, khawatir. Apalagi ibunya semakin lemah dan pucat.
“Kamu tidak melihat ibu sudah lemas seperti ini? Pake tanya segala,” bentak Sumi, masih sakit Sumi sempat memarahi Anna.
“Sudahlah, Bu. Ndak usah marah-marah terus malu didengar sama tetangga,” bisik Bowo, suaminya.
“Biarin saja malu! Putri kesayanganmu ini sangat menyebalkan, Pak! Aku gedek sama dia!” balas Sumi. “Paling dia mau bilang kalau tidak mau pergi ke kota menggantikan aku. Padahal aku sudah ngomong sama majikanku kalau anakku mau menggantikan jadi pembantu rumah tangganya!”
Sumi sering meminta Anna menggantikannya, tapi Anna selalu menolak. Dan baru sekarang, Anna bersedia.
Kebetulan Anna sudah tidak lulus SMA.
Kalau dulu, Sumi menyuruh Anna saat Anna sedang duduk di bangku kelas dua. Jelas saja Anna menolak.
“Sudah-sudah, kalian jangan bertengkar Anna kesini cuma mau pamit,” ucap Anna berjongkok di sisi dipan dan menggenggam tangan ibunya. “Doakan Anna supaya sampai di Jakarta dengan selamat, Bu, Yah.”
Sumi menepis tangan Anna. “Bagus kalau begitu. Cepat pergi sana! Jangan lupa kirim uang tiap bulan!” ketusnya.
Anna mengangguk. Ia bahkan tidak marah ataupun dendam dengan sikap ibu Sumi selama ini terhadapnya.
“Hati-hati di jalan, Nak. Kalau sudah sampai kabari ayah. Jangan terlalu memaksakan diri, ingat, kondisi kamu,” ucap Bowo sambil memeluk erat putrinya.
Anna tersenyum kecil, menyembunyikan kegundahannya.
Anna tahu, kakinya yang cacat seringkali menjadi alasan orang meremehkannya. Tapi kali ini, Anna harus membuktikan kalau dirinya bisa.
Pagi itu dengan bekal keberanian dan doa, Anna memulai perjalanan panjang menuju Jakarta.
**
**
Pagi itu, Anna memulai perjalanannya menuju Jakarta. Dengan tas sederhana dan hati penuh harapan, ia menaiki bus menuju kota yang sudah lama tidak ia kunjungi.
Perjalanan panjang membuatnya sedikit gugup, tetapi Anna tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil.
Sesampainya di terminal Jakarta, Anna turun dari bus dan menghirup udara kota yang penuh dengan hiruk pikuk.
Bau khas asap kendaraan dan suara klakson mengingatkannya pada masa lalu ketika Anna kecil. Dimana Kania dan Adrian selalu membawanya jalan-jalan ke mall saat liburan tiba.
“Permisi, Pak. Saya mau ke alamat ini. Naik angkot yang mana, ya?” tanya Anna sopan pada seorang supir angkot.
Supir itu melirik alamat di tangan Anna dan tersenyum samar. “Oh, saya tahu tempatnya. Ayo naik, saya antar,” jawabnya ramah.
Namun, siapa yang menyangka jika perjalanan itu ternyata bukan menuju alamat yang dimaksud.
Supir angkot dan rekannya malah membawa Anna ke sebuah gedung kosong yang terpencil.
Anna mulai merasa ada yang tidak beres, tetapi sebelum ia bisa turun, mereka menarik tasnya dengan kasar.
“Apa-apaan ini? Tolong! Lepaskan tasku!” teriak Anna panik.
“Berikan saja tasmu, atau nyawa kamu melayang,” ancam rekan supir tersebut.
Anna menggigit tangannya dan langsung turun dari angkot. Anna berlari dengan sekuat tenaga.
Karena keterbatasannya, Anna kesulitan berlari. Supir angkot dan rekannya berhasil mencengkeram tangan Anna dan merebut tasnya.
“Tolong! Siapapun, tolong aku!”
“Hahaha, tidak ada apapun di sini nona manis,” ejek supir angkot.
Teriakan Anna rupanya menarik perhatian seseorang yang sedang mensurvei gedung itu.
Seorang pria dengan tubuh tinggi tegap dan wajah dingin berdiri di depan pintu, mengenakan kacamata hitam dan pakaian rapi.
Pria itu menatap mereka satu persatu dengan tatapan tajam.
“Kalian berisik sekali!” ucap pria itu dingin tanpa ekspresi.
“Siapa kamu! Jangan ikut campur urusan kami!” maki supir angkor berwajah gemuk itu.
“Aku paling tidak suka ada seseorang masuk wilayahku dan membuat keributan,” ucapnya dingin.
Tanpa ragu, pria itu maju menghajar para pelaku satu per satu. Pukulan dan tendangannya begitu cepat dan mematikan, membuat para pelaku tak berdaya. Setelah beberapa saat, mereka kabur meninggalkan Anna yang bersimpuh di lantai, gemetar memeluk tasnya.
Anna mendongak, melihat pria itu mendekat. “Terima kasih. Anda sudah menolong saya,” ucapnya pelan, meski tubuhnya masih gemetar.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Anna dengan ekspresi datar, lalu melemparkan beberapa lembar uang ke arahnya.
Anna terkejut. “Apa-apaan ini? Saya tidak butuh uang anda, Tuan!” tegasnya.
Anna kesal, kenapa dia diperlakukan seperti seorang pengemis setelah pria yang ada di hadapannya ini membantunya.
Pria itu tersenyum sinis, memakai kembali kacamata hitamnya. “Gadis miskin sepertimu pasti butuh uang kan?Gunakan itu untuk pergi ke dokter dan mengobati lukamu. Jika kurang, aku bisa memberimu lebih,” katanya dingin, sambil mengeluarkan lagi beberapa lembar uang seratus ribu dan melemparkannya ke lantai di depan Anna.
Anna mengepalkan tangannya erat, menahan amarah. “Saya bilang saya tidak butuh uang anda!”
Pria itu mendengus, menatap Anna dengan pandangan merendahkan. “Kamu mengingatkanku pada seorang gadis sombong dan sok kuat! Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi. Gadis miskin sepertimu hanya membuat alergiku kambuh,” katanya sambil berlalu, meninggalkan Anna dengan hati yang panas.
Anna tetap diam di tempatnya, menatap punggung pria itu yang mulai menjauh dengan perasaan campur aduk. Meski hatinya dipenuhi amarah, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pria itu baru saja menyelamatkan hidupnya.
“Dasar lelaki sombong!” gumamnya, memungut tasnya dan melangkah dengan tertatih.
Di dalam mobil, sang asisten bertanya dengan nada penasaran sambil melirik bosnya dari kaca spion depan.
“Apa anda mengenal gadis itu, Tuan Zio?” tanyanya.
Enzio terdiam.
Wajah gadis itu tadi memang mengingatkannya pada sosok Anna, anak angkat kedua orang tua Enzio sekaligus gadis yang ingin Enzio lupakan seumur hidupnya.
Dulu, Anna yang pergi begitu saja tanpa pamit, membuat Enzio merasa kesal dan membencinya.
“Aku sama sekali tidak mengenalnya!” sahutnya dingin.
“Oh, saya pikir anda mengenalnya. Maafkan saya sudah lancang, Tuan” ucap Leon.
Leon tidak bertanya lagi dan memilih diam, lalu melajukan mobilnya menuju ke kantor milik Enzio.
Hai, selamat datang di novel terbaruku, semoga kalian suka. Jangan lupa tinggalkan jejak kakak semua😘
Perkenalan tokoh
Anna Sandrina Wijaya (24 tahun)
Enzio Alexander Pratama (28 tahun)
Note : Di season pertama Judul “Dicerai Setelah Malam Pertama” usia Anna lebih tua dari Enzio, tapi disini aku balik ya kak, biar nggak jomplang😚
“Ini benar kan alamatnya?” gumam Anna.
Langkah gadis itu terhenti di depan sebuah rumah megah yang berdiri kokoh dengan gerbang tinggi berwarna keemasan. Bangunan itu tampak seperti istana dalam dongeng, sesuatu yang selama ini hanya ia impikan.
Halamannya luas, dihiasi pepohonan yang tertata rapi dan bunga-bunga yang bermekaran. Keindahan tempat itu seperti mimpi bagi Anna, namun ia tahu betul siapa dirinya.
Dengan pakaian lusuh dan wajah lelah, Anna merasa seperti bercak kotor di tengah kemewahan ini.
Tangannya menggenggam erat secarik kertas yang bertuliskan alamat rumah ini. Setelah cukup lama mencari, akhirnya ia sampai.
“Siapa di sana?” suara tegas seorang penjaga keamanan memecah lamunannya.
Anna tersentak, menoleh ke arah pria berseragam yang berdiri di pos keamanan. Tatapan pria itu menyapu dirinya dari atas ke bawah, penuh curiga.
Anna menyadari, penampilannya yang kusut, dengan pakaian yang sedikit kotor dan sobek di beberapa bagian, pasti meninggalkan kesan buruk.
“Maaf, kami tidak menerima sumbangan,” ucap penjaga itu dengan nada datar, matanya masih memandang Anna dengan tatapan tak percaya.
Anna mengangkat kedua tangannya, mencoba menjelaskan. “Saya tidak meminta sumbangan, Pak,” ucapnya dengan nada sopan, meski hatinya terasa sedikit sakit.
“Lalu apa maumu, Nona?” tanya pria itu, suaranya tetap curiga. “Penampilanmu yang seperti ini–”
“Saya Anna,” potong Anna cepat. “Putri dari Ibu Sumi.”
Wajah penjaga itu berubah sedikit bingung. Nama Ibu Sumi tidak asing baginya, karena sang asisten rumah tangga kepala, Hana, sempat memberi tahu bahwa anak Ibu Sumi akan datang hari ini.
Hanya saja, penampilan Anna yang kumal membuatnya ragu.
“Ibu Sumi?” tanyanya pelan, mencoba memastikan.
Anna mengangguk. “Benar. Saya putri beliau.”
Untuk membuktikan ucapannya, Anna segera mengeluarkan KTP dari tas kecilnya yang usang dan menyerahkannya kepada penjaga.
“Ini, kalau Bapak tidak percaya,” katanya.
Pria itu mengambil KTP tersebut, memeriksanya dengan seksama. Setelah beberapa saat, ia mengangguk kecil, lalu mengembalikan kartu identitas itu kepada Anna.
Ekspresinya berubah lebih sopan, dan ia menundukkan sedikit kepala.
“Maafkan saya, Nona Anna. Silakan masuk. Saya diberi tahu bahwa anda memang akan datang hari ini,” katanya dengan nada lebih ramah.
Anna hanya tersenyum tipis, meski hatinya masih sedikit terguncang oleh perlakuan awal pria itu.
“Terima kasih,” ucapnya singkat, lalu melangkah masuk ketika pintu gerbang terbuka perlahan.
“Melihat perlakuan penjaga keamanan tadi, aku jadi tidak yakin, apa mereka mau menerimaku? Apalagi dengan keadaan kakiku ini,” batin Anna.
**
Anna berjalan melewati jalan setapak menuju pintu utama. Ia merasa seperti orang asing di tempat ini, meskipun ia tahu ini adalah tujuan yang harus ia capai.
Dari kejauhan, seorang wanita berseragam hitam dan putih keluar dari pintu besar rumah itu, melangkah dengan anggun ke arahnya.
Rambutnya yang disanggul rapi dan ekspresinya yang tenang menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari staf rumah tangga di rumah ini.
“Apa kamu Anna?” wanita itu menyapa dengan sopan.
“Iya,” jawab Anna singkat, sedikit gugup.
“Aku Siska, asisten kepala rumah tangga. Aku sudah diberi tahu oleh bi Sumi kamu akan datang. Silahkan masuk aku akan mengantarmu ke kamar,” kata wanita itu sambil mempersilakan Anna masuk ke dalam rumah.
Ketika memasuki rumah, Anna nyaris tak bisa berkata-kata. Interiornya jauh lebih megah daripada yang ia bayangkan. Lantai marmer yang mengkilap, lampu gantung kristal yang berkilauan di langit-langit, dan perabotan mewah membuat tempat ini terasa seperti dunia lain.
Hana memperhatikan ekspresi Anna dan tersenyum kecil.
“Apakah kamu ingin istirahat dulu? Atau langsung saya antarkan untuk bertemu pemilik rumah?” tanyanya.
Anna menggeleng cepat, merasa tidak sopan jika langsung meminta istirahat.
“Saya ingin bertemu pemilik rumah,” jawabnya dengan tegas, meski perasaan gugup masih meliputi dirinya.
Hana mengangguk. “Baiklah.”
Anna mengikuti Hana menyusuri lorong panjang dengan dinding yang dipenuhi lukisan. Hatinya berdebar semakin kencang.
“Anna, kamu harus ingat satu hal, tuan muda paling tidak suka dengan pelayan yang berpakaian kumal dan tidak menarik. Jadi, usahakan kamu harus selalu rapi,” ucap Hana. “Dia alergi pada gadis miskin dan berpenampilan asal juga tidak terawat dengan baik.”
“Iya,” jawab Anna.
Dalam hati, Anna bertanya-tanya pria seperti apa yang memiliki alergi aneh seperti itu.
**
Di ruang tamu yang luas, seorang wanita anggun sedang duduk di sofa. Senyum tipis terlukis di wajahnya.
“Nyonya, dia Anna putri ibu Sumi,” ucap Hana dengan sopan, memperkenalkan Anna.
Wanita itu menoleh, memandangi Anna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya, hanya ketenangan yang sulit dibaca.
“Jadi, kamu putri ibu Sumi?” tanyanya pelan.
Anna mengangguk pelan, merasa canggung di bawah tatapan wanita itu. “Benar, Nyonya,” jawabnya masih menundukkan wajah.
Wanita itu bangkit berdiri, melangkah mendekati Anna.
“Kamu datang tepat waktu,” kata wanita itu, suaranya kini terdengar lebih hangat. “Selamat datang di rumah ini.”
Anna mendongakkan kepala sedikit. “Terima kasih Nyo–” kalimat Anna terputus saat melihat sosok wanita yang setiap hari ia rindukan.
“Tidak! Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa selama ini ibu bekerja di rumah keluarga mama Kania?” ucap Anna namun hanya dalam hati.
Jika Anna tahu, kalau ibu Sumi bekerja di sini, Anna akan memilih menolak dan tetap tinggal di kampung.
Sementara Kania, sama terkejutnya melihat Anna–putri angkatnya yang menghilang tanpa jejak.
“Anna sayang? Apa benar ini kamu, Nak?” Kania langsung memeluk erat Anna. Menumpahkan segala kerinduan yang selama beberapa tahun ini terpendam.
Anna duduk di ruang keluarga bersama Kania. Wajahnya pucat dan tubuhnya terlihat sedikit kurus, namun senyum hangat Kania yang menyambutnya memberi rasa nyaman yang telah lama hilang.
Setelah mendengar cerita panjang Anna tentang kehidupannya selama beberapa tahun terakhir, hati Kania terasa hancur.
“Sayang, mari kita ke meja makan,” ajak Kania, menatap Anna dengan penuh kasih sayang. “Kamu pasti lapar.”
Anna mengangguk perlahan, meski hatinya masih merasa ragu.
Ketika mereka duduk di meja makan, Kania terus memperhatikan Anna.
Setiap gerakan kecilnya, setiap sorot matanya, semuanya membuat Kania bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada putri angkatnya ini selama mereka berpisah.
“Kamu terlihat sangat kurus, Anna. Apa yang sebenarnya terjadi padamu selama ini?” tanya Kania.
Anna menundukkan kepala, sedikit canggung. “Nyonya, saya tidak pantas diperlakukan seperti ini,” katanya dengan suara pelan. “Saya hanyalah seorang pelayan. Tidak seharusnya saya duduk di meja ini.”
Kania menggeleng.
“Anna, bagiku kamu tetap putriku. Tidak peduli siapa kamu atau di mana kamu dibesarkan, perasaan itu tidak pernah berubah.”
Mata Anna mulai berkaca-kaca. Sejak kecil, Kania selalu memperlakukannya dengan tulus. Rasa hangat itu kini kembali mengisi hatinya.
“Terima kasih, Nyonya. Saya tidak tahu harus berkata apa.”
“Kamu tidak perlu berkata apa-apa,” jawab Kania dengan senyuman lembut. “Yang aku mau hanyalah kamu tetap tinggal di sini, Anna. Bersama kami.”
Namun, kata-kata itu justru membuat Anna merasa serba salah. Ia memberanikan diri menggenggam tangan Kania.
“Tapi, Nyonya, saya hanya datang untuk menggantikan ibu saya. Saya tidak tahu apakah ini keputusan yang benar.”
Kania mengelus tangan Anna. “Keputusanmu benar, sayang. Tinggallah di sini. Kalau kamu merasa harus menggantikan Ibu Sumi, aku tidak akan memaksamu untuk tidak bekerja. Tapi dimataku, kamu lebih dari itu.”
Anna terdiam sejenak sebelum berkata, “Kalau begitu, saya punya satu permintaan, Nyonya.”
“Permintaan?” Kania mengernyit, penasaran.
Anna mengangguk. “Tolong, sembunyikan identitas saya dari Tuan Enzio. Saya tidak ingin dia tahu siapa saya.”
Kania terkejut, tetapi tidak langsung menjawab.
“Apa Nyonya keberatan?” tanya Anna.
“Kenapa, Anna? Bukankah kamu sangat menyayangi Enzio? Enzio pasti senang melihatmu, Nak.”
Anna tersenyum pahit. “Dulu, mungkin. Tapi sekarang, saya yakin dia sudah melupakan saya. Lagi pula, saya tidak ingin mengganggu kehidupannya.”
Kania terdiam sejenak, memikirkan permintaan Anna. “Kalau begitu, bagaimana dengan suamiku? Apakah aku harus merahasiakannya juga darinya?”
Anna menggeleng. “Tidak apa-apa kalau Tuan Adrian tahu, asal Tuan Enzio tidak mengetahuinya.”
Setelah berpikir cukup lama, Kania akhirnya mengangguk. “Baiklah. Aku akan menghormati keinginanmu, Anna. Tapi aku berharap suatu hari nanti, kamu bisa jujur padanya.”
Anna tersenyum kecil, hatinya merasa lega. “Terima kasih, Nyonya Kania. Saya sangat menghargainya.”
“Bisakah kamu memanggilku mama, Nak?” pinta Kania dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bisa.” Anna bukan lagi putri angkatnya, akan sangat tidak sopan jika Anna memanggil Kania dengans sebutan mama.
**
**
Sore menjelang.
Anna sedang menyiram bunga di halaman depan ketika Hana menghampirinya sambil membawa sebuah seragam untuknya.
“Anna, ini seragam mu. Mulai besok kamu harus memakainya,” kata Hana sambil tersenyum ramah.
Anna menerima seragam itu. “Terima kasih, Mbak Hana. Saya akan memakainya besok.”
Hana menatap Anna dengan serius. “Jangan lupa, ya. Kalau kamu bertemu Tuan Enzio hari ini dengan penampilan seperti ini, dia bisa marah besar. Kamu tidak ingin dipecat, kan?”
Anna mengangguk patuh. “Saya mengerti. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Hana pergi, meninggalkan Anna yang kembali sibuk dengan tugasnya. Sambil menyiram bunga, Anna berpikir tentang Enzio.
“Kenapa dia jadi membenci orang miskin dan berpakaian lusuh?” pikirnya.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan halaman rumah.
Anna masih melanjutkan tugasnya, tidak menyadari bahwa seseorang di dalam mobil itu sedang memperhatikannya.
Dari dalam mobil, Enzio melihat seorang gadis berdiri membelakanginya dengan rambut yang di kuncir dua. Wajahnya tampak penasaran.
“Siapa dia? Aku baru melihatnya,” tanyanya pada Leon.
Leon mengangkat bahu. “Saya juga tidak tahu, Tuan.”
Enzio mengernyit, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Ia keluar dari mobil, berjalan melewati Anna tanpa meliriknya sama sekali.
Enzio terlalu lelah setelah seharian bekerja dan hanya ingin segera beristirahat.
**
**
Di ruang makan, Kania memanggil Enzio, untuk duduk bersama. Adrian, sudah menunggu dengan wajah serius.
“Mau sampai kapan kamu berpacaran dengan Viona? Papa ingin kalian segera menikah,” ucap Adrian.
Enzio menatap ayahnya dengan wajah datar.
“Apa kamu mendengar ucapan Papa, Zio?” Kania mengusap lengan putranya.
“Hmm,” gumam Enzio, tidak ingin berdebat. “Baiklah. Aku akan menikahi Viona secepatnya, seperti yang Papa inginkan.”
Setelah mengatakan itu, Enzio bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa lagi.
Kania tersenyum, sementara Adrian masih terlihat kesal.
“Harusnya kamu lebih tegas padanya, sayang. Usianya sudah 28 tahun. Dia tidak bisa terus menunda-nunda untuk menikah.”
“Dia pasti akan menikah, Mas. Jangan terlalu memaksanya.” kata Kania, mencoba menenangkan suaminya.
“Dia sudah dewasa, Kania. Kalau tidak ingin menikah, kenapa dia memacari Viona? Aku tidak mau membuat ayah Viona kecewa.”
Kania memilih diam, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Dalam hatinya, mungkin Enzio memiliki alasan sendiri, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya.
**
**
Malam sudah larut, dan sebagian besar penghuni rumah telah tertidur.
Anna masih sibuk membereskan dapur ketika Hana mendekatinya dengan secangkir kopi panas di atas nampan.
“Anna, tolong antarkan kopi ini ke kamar Tuan Enzio,” kata Hana, menyerahkan nampan itu kepadanya.
Anna langsung menggeleng. “Tidak, Mbak Hana. Kenapa harus saya? Bukankah masih ada pelayan lain?”
“Mereka semua sudah tidur. Hanya kamu yang belum.”
Anna menggigit bibir bawahnya, merasa ragu. Bayangan bertemu dengan Enzio membuat hatinya tak tenang.
“Tapi, mungkin Tuan Enzio tidak mau dilayani oleh saya.”
“Jangan banyak berpikir, Anna,” balas Hana dengan nada lebih tegas. “Keburu kopinya dingin.”
Anna terdiam, lalu menghela nafas panjang. Akhirnya, ia mengangguk. “Baiklah. Saya antarkan,” gumamnya, meski hati kecilnya berontak.
Dengan langkah berat, Anna membawa nampan berisi secangkir kopi menuju kamar Enzio. Tangannya berkeringat, sementara pikirannya dipenuhi kekhawatiran.
Anna berdiri di depan sebuah pintu.
“Apa ini kamarnya?” gumamnya pelan, memastikan dirinya tidak salah tujuan. Ia mengetuk pintu dengan lembut.
“Tuan, saya membawakan kopi anda,” ucapnya dengan nada sopan.
Hening.
Tidak ada jawaban dari dalam. Anna mengetuk pintu lagi, kali ini sedikit lebih keras. Namun, setelah beberapa detik berlalu, tetap tidak ada jawaban.
“Sebenarnya dia minta kopi atau tidak, sih? Apa dia sengaja mengerjai pelayan malam-malam begini?” gerutu Anna pelan. Ia mulai merasa kesal.
Tiba-tiba, suara berat terdengar dari dalam kamar. “Masuk!”
Anna terkejut, hampir menjatuhkan nampan di tangannya.
Anna mendengus. “Dasar menyebalkan! Dia tetap sama seperti Enzio yang dulu,” gumamnya, mengingat sikap Enzio yang selalu seenaknya sejak mereka kecil.
Dengan hati-hati, Anna membuka pintu dan melangkah masuk. Kamar itu bernuansa gelap dengan pencahayaan yang minim, hanya diterangi oleh lampu meja yang redup.
Anna berjalan perlahan menuju sofa yang ada di sudut ruangan. “Saya letakkan kopinya di sini, Tuan,” katanya sambil meletakkan nampan dengan hati-hati.
Saat Anna berbalik untuk keluar, suara berat Enzio membuat langkahnya terhenti.
“Siapa yang menyuruhmu keluar?”
Suara itu membuat bulu kuduk Anna meremang. Ia berdiri membeku, tidak berani menoleh. Langkah kaki Enzio terdengar mendekat, membuat jantung Anna berdebar semakin kencang.
“Mampus! Kenapa dia malah ke sini?” batin Anna panik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!