Bab 1
POV Author
# Cerita ini hanya imajinasi Author saja. Bila terdapat kesamaan nama tempat atau tokoh atau sama seperti kisah seseorang, tidak ada unsur kesengajaan disana. Harap bijak untuk berkomentar 🙏, terima kasih 😊
***
"Mulai sekarang Arumi akan tinggal disini bersama kalian."
"Loh Bu, kenapa tiba-tiba Bu?!" Tanya Adinata
"Marlina, bawa Arumi ke kamar Rahayu!"
"Tapi Bu, kamar itu tidak cukup untuk mereka tempati berdua." Jawab Marlina dengan kening berkerut dan bingung atas perintah Ibu mertuanya.
Sore itu tiba-tiba saja Warsih, ibu dari Adinata sang suami datang membawa seorang anak gadis yang seumuran dengan Rahayu putri mereka. Tentu kehadirannya menjadi pertanyaan besar bagi Adinata dan Marlina.
Apalagi kehidupan mereka yang tergolong pas-pasan itu akan semakin kesusahan menampung seorang lagi di rumah mereka.
Adinata hanya seorang karyawan di perusahaan swasta. Sedangkan Marlina membantu meringankan kewajiban suaminya dengan membuka toko kecil khusus kue ulang tahun. Mereka memiliki seorang putri yang sangat rajin juga pintar dalam belajar. Rahayu Adinata, adalah seorang putri yang sangat mereka banggakan dan menjadi harapan mereka di masa depan kelak.
Mereka bekerja membanting tulang demi masa depan Rahayu yang lebih cerah dari kehidupan mereka sekarang. Mereka ingin Rahayu berhasil dan dapat meningkatkan taraf kehidupan mereka menjadi lebih baik lagi nantinya.
"Marlina, jangan sampai aku menyuruhmu dua kali!"
Marlina mendesah, ia pun beranjak bangun dan segera menuruti perintah ibu mertuanya. Tidak ada yang berani melawan jika orang yang lebih tua di keluarga itu sudah berkehendak.
"Ini Kamar anakku Rahayu. Dan seperti kamu dengar sendiri, ini juga akan menjadi kamarmu." Kata Marlina dengan sedikit nada penuh penekanan kepada Arumi yang sedari diam saja dan tetap tenang dengan senyum manisnya.
"Iya."
Marlina kemudian meninggalkan Arumi di kamar Rahayu dan kembali duduk di ruang tamu menghadap ibu mertuanya.
Entah apa yang terjadi, suasana di ruangan itu berubah tidak nyaman hanya dalam beberapa menit di tinggalkan oleh Marlina.
Marlina melihat sang suami tampak gelisah sampai menutupi wajahnya, sedangkan sang ibu mertua tetap tenang, duduk di kursinya.
"Mas, ada apa?" Tanya Marlina dengan lembut sambil memegang bahu suaminya.
Terdengar helaan napas berat sebelum Adinata memulai ucapannya.
"Kata Ibu, dia... a... anak kandung kita."
Duduk Marlina langsung menegak mendengar ucapan sang suami.
"Apa Mas?! Apa maksud Mas?" Tanya Marlina terkejut dan tak percaya atas apa yang ia dengar barusan.
"Kalian boleh percaya atau tidak, tapi Arumi memang anak kandung kalian. Aku yang menukar anak kalian waktu di rumah sakit." Sela Warsih.
Marlina menutup mulutnya tak percaya dengan sebuah kenyataan yang baru saja ia dengar. Bahkan ia sempat menggeleng-gelengkan kepala, menolak apa yang di ucapkan oleh ibu mertuanya.
"Bu, kenapa Ibu tega?! Hiks..."
Marlina mulai menangis tidak sanggup menghadapi kenyataan. Bayangan masa lalu dan kenangan bersama Rahayu tiba tiba berputar terus dan terus hingga membuat hatinya terluka. Perasaannya bercampur aduk. Ia merasa kecewa kalau anak yang di sayangi dengan sepenuh hati ternyata bukan anak kandungannya. Ia merasa marah kepada Ibu mertua yang tega menukar anak mereka, namun di sisi lain ia merasa bersyukur anak kandungnya terlihat baik-baik saja.
Perlahan Marlina lalu merasa bersalah telah salah membagi kasih sayangnya kepada Rahayu yang ternyata bukan anak kandung mereka. Semua yang di rasakan Marlina pun sama dengan apa yang Adinata rasakan saat ini.
"Keadaan ekonomi kalian itu dulu miris. Aku tidak yakin kalian bisa membahagiakan cucuku!"
"Tapi Bu, tetap saja apa yang Ibu sudah lakukan itu sangat kejam untuk kami." Bantah Adinata.
"Aku berusaha yang terbaik untuk cucuku! Kalian tidak mungkin bisa memberikan yang terbaik untuknya saat itu! Dan kebetulan yang sangat menguntungkan itu datang. Aku mendengar dari percakapan para suster kalau bayi yang terbaring di samping anak kalian adalah anak orang kaya yang jenis kelaminnya pun sama-sama perempuan. Tanpa setahu mereka, aku menukar bayi itu. Aku yakin cucuku akan hidup nyaman kalau di asuh keluarga yang kaya itu. Dan asal kalian tahu, cucuku sekarang mewarisi semua harta kekayaan keluarga kaya itu." Ucap Warsih menjelaskan dengan santainya sambil tersenyum.
Adinata dan Marlina yang mendengar hal itu pun menengadah wajah mereka melihat wajah sang Ibu untuk mencari kebenaran disana. Tidak lama kemudian Marlina beranjak berdiri dan langsung melangkah menuju kamar Rahayu dimana Arumi berada.
"Arumi...."
Marlina memanggil nama Arumi dengan wajah penuh haru dan perasaan bersalah. Arumi pun dapat mengetahui dari ekspresi itu kalau sang nenek sudah menceritakan semuanya.
"Ibu..." Kata Arumi tenang sambil tersenyum.
Marlina tidak lagi membuang waktu lebih lama. Perasaan membuncah menyadari anak di depannya adalah anak kandung yang sebenarnya.
"Arumi... Maafkan Ibu Nak..."
Marlina memeluk Arumi dengan hangat. Air mata haru pun tak dapat ia tahan dan mulai mengalir di pipinya. Arumi yang tak memiliki kesan menolak pun membalas pelukan hangat ibu kandungnya, seakan-akan ia sudah lama menantikan momen itu.
Rupanya Adinata yang menyaksikan momen itu di depan pintu kamar anaknya. Ia pun ikut memeluk dari belakang sehingga ketiganya saling berpelukan erat, seakan-akan tak ingin berpisah lagi.
Warsih merasa puas usahanya selama ini telah terwujud. Ia pun tersenyum melihat keluarganya kembali utuh.
Warsih selama ini selalu memantau perkembangan sang cucu dari jauh. Warsih bahkan mencari tahu alamat tempat tinggal orang tua angkat sang cucu, pekerjaan yang ia geluti dan juga siapa saja yang dekat dengan keluarga itu. Ia tidak pernah melewatkan momen perkembangan cucu semata wayangnya dari bayi hingga menjelang dewasa tanpa Adinata dan Marlina ketahui.
Diam-diam Warsih selalu menemui Arumi sejak kecil, menemani anak itu bermain di kala orang tua angkatnya sedang sibuk, sebagai pengasuh anak itu.
"Nenek..." Sapa Arumi sambil tersenyum tanpa sengaja melihat sang nenek di depan pintu kamarnya.
Adinata dan Marlina melepaskan pelukan mereka pada sang anak. Warsih pun masuk ke dalam dan duduk di atas tempat tidur di samping cucunya.
"Terima kasih, sudah mempertemukan Arumi kepada Ayah dan Ibu. Untung saja ada nenek yang selama ini selalu berada di samping Arumi. Arumi janji, setelah ini kita semua bisa hidup lebih mewah dari ini."
"Jadi Arumi juga sudah tahu?" Tanya Adinata sambil melihat sang Ibu.
"Arumi tahu sekitar dua tahun yang lalu ketika ia sempat mengalami kecelakaan dan butuh banyak transfusi darah. Tetapi tidak ada golongan darah yang sama dengan salah satu orang tuanya. Arumi sempat hilang arah mengetahui dia bukan anak kandung mereka. Tetapi aku sudah menjelaskan padanya, bahwa aku lah yang menukar dirinya tanpa orang tua angkatnya tahu. Untungnya keluarga itu tidak bisa mencari anak kandung mereka. Ardhana meninggal karena serangan jantung mengetahui Arumi bukan anak kandungnya, dan Lilik menjadi stres kehilangan suaminya juga mengetahui fakta yang ada. Perlu usaha dan waktu untuk menerima semua warisan milik Ardhana. Arumi harus berusia 18 tahun baru bisa menerima semua warisan itu."
"Apakah....?!"
Kalimat Adinata menggantung.
"Ya, tanggal ulang tahunnya sama dengan anak itu, lusa adalah hari ulang tahunya, sekaligus pengesahan harta warisan atas nama Arumi Jelita Ardhana."
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Bab 2
POV Rahayu
Aku pulang ke rumah setelah mendaftarkan kuliah ku di salah satu universitas terbaik di kota ini. Seperti biasa, aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk ke dua orang tuaku yang selama ini telah mendukung dan melimpahkan kasih sayang mereka untukku.
Tapi hari itu terasa sedikit berbeda. Sambutan ke dua orang tuaku sore itu tidak seperti biasanya. Ayah menonton berita dan hanya menjawab salamku sekedarnya. Sedangkan ibu hanya terlihat menyibukkan diri sehingga tidak banyak bertanya seperti biasa apa yang terjadi padaku hari ini.
Aku merasa bingung, apa yang sudah terjadi di rumah ini. Apakah Ayah dan Ibu sedang bertengkar? Tapi sepertinya itu tidak mungkin karena mereka masih menjawab satu sama lain mesti tidak sehangat biasanya. Yang aku tahu, Ayah dan Ibu akan saling diam tidak berbicara sama sekali jika mereka bertengkar. Lalu apa yang terjadi sebenarnya, sampai atmosfer di rumah ini terasa dingin bagiku. Ataukah aku membuat kesalahan tanpa aku ketahui?
Aku melangkahkan kaki ku menuju kamar ku. Begitu membuka pintu kamar, kamar itu sudah berubah dari tadi pagi yang aku lihat. Meski warnanya bukan selera ku, tetapi aku sangat menyukai perubahan itu. Semua serba baru, dari gorden, lemari, tempat tidur beserta satu set bantal dan gulingnya, juga pernak pernik yang ada di meja riasku. Belum lagi meja belajar yang penuh dengan buku-buku baru. Ini benar-benar kejutan, sampai air mata haru ku mengalir begitu saja.
Apakah sikap Ayah dan Ibu yang terasa berbeda tadi hanya kedok untuk menutupi kejutan ini?! Jika benar, mereka telah berhasil. Aku benar-benar surprise dan bahagia menerima kejutan ini.
Aku tergesa-gesa mencari keberadaan Ibu untuk mengucapkan terima kasih ku untuk semua barang-barang baru yang ada di kamarku. Begitu melihat beliau yang sedang membersihkan gudang belakang, tanpa sungkan aku langsung memeluk tubuhnya dari belakang.
"Ibu, terima kasih. Terima kasih Bu, aku suka nuansa kamar baru ku." Ucap ku penuh haru.
Ibu ku menghentikan kegiatannya dan terdiam. Beliau hanya tertegun tanpa membalas dekapan hangat ku.
"Yu..."
Dengan perlahan Ibuku melepaskan tangan ku yang memeluk erat tubuhnya.
"Mulai besok akan ada sepupumu yang akan tinggal di rumah kita. Bukan Ibu atau pun Ayah yang membeli barang-barang baru di kamar itu, tapi Arumi. Dan dia akan tinggal selamanya dengan kita mulai besok. Jadi kamar itu milik Arumi sekarang."
Aku terkejut mendengar ucapan Ibu barusan. Kenapa tiba-tiba akan ada keluarga yang tinggal bersama kami, apalagi ia di tempatkan di kamarku?! Dan selamanya?? Lalu aku akan tidur dimana?!
"Mulai malam ini, kamu tidur disini. Sekarang bantu Ibu membersih gudang ini biar cepat selesai." Kata Ibu lagi seakan-akan menjawab pertanyaan ku yang hanya ku simpan di kepala.
"Apa?!"
Gudang! Jadi aku akan tidur di gudang?!
Aku terdiam. Masih syok mendengar apa yang Ibu sampaikan. Sepupu akan tinggal bersama kami!? Dan aku tidur di gudang?!
"Turuti kata Ibumu. Cepat, bantu dia!"
Ayah tiba-tiba saja ada di belakang kami.
"Tapi Yah, kenapa aku harus tidur di gudang?! Kenapa tidak tamu itu saja!" Protes ku tidak terima keputusan yang begitu mendadak tanpa menanyakan pendapat ku lebih dulu.
"Dia tidak terbiasa hidup susah, dan kamu harus berbuat baik padanya. Ingat kata-kata ku!"
Aku terdiam. Baru kali ini aku mendengar Ayah berbicara membentak kepadaku. Hatiku ku menciut dan tentu saja kesedihan perlahan menyelimuti hati dan diri ini.
Mataku berkaca-kaca, memikirkan hari-hariku selanjutnya di gudang tua ini. Ini tidak adil rasanya. Apalagi dia hanya tamu dan bukan siapa-siapa disini. Meski pun dia tidak terbiasa hidup susah, tetapi kenapa dia harus menerima perlakuan yang lebih special dari pada aku yang merupakan anak Ibu dan ayah?
Dengan berat hati, aku pun melepas tas yang aku gendong sejak tadi dan mulai membantu Ibu membereskan semua tanpa ada yang berbicara di antara kami, meski sesekali air mataku menetes di pipi.
Kenapa rasanya orang tuaku begitu jauh, hanya dalam setengah hari saja ku tinggalkan pergi mendaftar kuliah. Namun begitu, aku tidak berani bertanya. Aku hanya bisa menerima apa yang mereka lakukan kepadaku.
***
Keesokan harinya.
Suara riuh di dapur begitu terdengar jelas di minggu pagi ini. Apalagi gudang bersebelahan dengan dapur dimana Ibu biasanya menyiapkan makanan untuk kami.
Penat dan lelah menyapa tubuhku pagi hari. Badan ini serasa remuk setelah membereskan gudang yang di sulap menjadi kamar hingga menjelang pukul 11 malam tadi. Kamar berbau dinding lembab dan berjamur itu kini dipenuhi barang-barang yang aku gunakan sehari-hari. Aku berharap ini hanya mimpi.
Ya, lemari, tempat tidur juga meja belajar lama yang biasa aku gunakan kini berpindah tempat di gudang ini. Yang tidak ada hanya meja rias karena sepertinya meja itu di gunakan oleh gadis yang bernama Arumi yang katanya merupakan sepupu jauhku yang tidak terbiasa hidup susah.
Seenak apa hidupnya sampai orang tuaku rela menduakan anaknya dan lebih memperhatikan anak dari keluarga jauhnya.
"Rahayu, cepat bangun! Bantu Ibu memasak!"
Teriakan dari balik pintu gudang ini membuat mataku terbuka lebar. Aku cukup terkejut karena baru kali ini Ibu berteriak padaku seumur hidupku.
Aku pun bergegas bangun tanpa sempat lagi merapikan tempat tidur ku. Bahkan rambutku pun acak-acakan tanpa aku peduli penampilan ku saat itu.
"Ya Bu. Maaf, Ayu kesiangan." Kataku takut-takut menghampiri Ibu di dapur karena ini pertama kali aku mendengar suara keras sang Ibu padaku.
"Cepat, cuci piring! Lalu sapu semua ruangan dan jangan lupa di pel! Jangan lupa cuci pakaian kotor dan jemur!"
"I..iya Bu."
Aku kebingungan. Baru kali ini Ibu memerintahkan begitu banyak pekerjaan rumah padaku. Biasanya aku hanya menyapu saja, atau menjemur pakaian. Hampir tidak semua pekerjaan rumah aku kerjakan dalam satu waktu karena Ibu melarangku dan menyuruhku fokus belajar saja.
Namun hari ini sungguh berbeda. Bahkan Ibu memberi perintah dengan nada ketus tanpa menoleh padaku. Padahal hari ini adalah hari ulang tahun ku. Aku kira Ibu akan mengucapkan kata-kata yang selalu menyemangati ku penuh kasih sayang seperti di setiap tahunku ketika aku membuka mata di pagi hari. Tetapi tiada satu pun kata ucapan selamat keluar dari bibirnya. Apakah Ibu lupa?
"Rahayu! Kenapa pakai melamun segala sih?! Cepat! Pokoknya sebelum hari semakin siang, semua kerjaan sudah harus beres!"
"I.. Iya Bu..."
Sekali lagi Ibu membentakku sehingga aku terkejut dan tersadar dari lamunanku. Dan yah, sepertinya Ibu benar-benar lupa hari ulang tahunku.
Aku pun mulai mengambil sapu, lalu perlahan menyapu setiap sudut dan ruangan yang aku lewati dengan mata yang mengembun.
Sungguh, hati ku sedih saat ini. Kenapa tiba-tiba orang tuaku berubah hanya dalam sehari. Apakah aku telah membuat kesalahan yang tidak aku ketahui? Atau mungkin mereka sedang dalam kesulitan yang dan tidak ingin menceritakannya padaku?
Baiklah, aku tidak boleh sedih begini. Aku harus berbuat lebih baik lagi agar Ibu tidak bersikap seperti ini lagi padaku. Pasti aku telah berbuat salah. Aku yakin itu.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Bab 3
POV Author
Rahayu menyelesaikan tugas-tugasnya tanpa memprotes lagi. Sekarang ia tinggal menjemur pakaian bersih yang telah selesai ia cuci.
Aroma masakan Marlina pun tercium di hidungnya. Tubuh Rahayu pun terkontaminasi dan menyebabkan perutnya berbunyi.
"Wangi... Ibu masak apa ya?" Gumam Rahayu.
Ia pun bergegas merapikan ember-ember dan ingin melihat apa yang di masak oleh sang Ibu.
"Wah, ada nasi tumpeng! Aku kira Ibu lupa sama ulang tahun ku." Seru Rahayu kegirangan sambil memeluk Marlina.
"Tahun ini kamu tidak dirayakan. Ini bukan untukmu, tetapi untuk Arumi. Ulang tahunya sama denganmu." Jawab Marlina tanpa merespon pelukan Rahayu sedikit pun.
Lagi-lagi Rahayu terkejut, dan senyumnya pun langsung memudar. Hatinya sakit dan kesedihan pun melanda kembali.
"Bu, apa ini hanya perasaanku saja kalau Ibu dan Ayah sedang marah padaku? Apa aku sudah berbuat salah? Tolong katakan Bu. Sikap Ibu dan Ayah sejak kemarin mulai berbeda, tidak seperti biasanya."
Rahayu mencoba memberanikan diri mengeluarkan isi hatinya. Ia sudah tidak tahan perlakuan tidak adil antara dirinya dan gadis bernama Arumi itu.
Marlina tampak menghela napas dan membaikkan tubuhnya menghadap Rahayu.
"Cobalah untuk mengalah, Rahayu. Kamu itu sangat beruntung memiliki kami. Sedangkan dia, sejak lahir tidak merasakan kasih sayang orang tuanya. Apa kamu tidak bisa untuk merelakan sedikit perhatian kami untuknya?! Bersikaplah dewasa, kamu sebentar lagi sudah kuliah."
Deg...deg... deg...
Bahkan jawaban sang Ibu pun terdengar menyayat hatinya hingga jantungnya berdebar-debar. Bukan salahnya jika gadis yang bernama Arumi itu tidak merasakan kasih sayang orang tuanya, pikirnya.
"Sekarang kamu belajarlah menerima Arumi di rumah ini. Ia akan menjadi anggota keluarga kita mulai sekarang." Lanjut sang Ibu.
Rahayu tidak bisa berkata apa-apa. Mau seberapa banyak pun saat ini ia mencoba untuk protes, namun sepertinya itu akan menambah luka hatinya saja mendengar jawaban dari ke dua orang tuanya.
Rahayu terdiam. Setelah berkata demikian, sang Ibu tidak lagi banyak bicara dan mengabaikan Rahayu seperti tak terlihat disana. Wanita menjelang 45 tahun itu hanya terus sibuk melanjutkan aktifitasnya di dapur. Bahkan perut Rahayu yang terdengar keroncongan pun ia abaikan.
Mata Rahayu mengembun dalam diamnya. Rahayu sangat berkecil hati atas perlakuan orang tuanya yang tidak adil menurutnya. Ia merasa sangat sedih seorang sepupu mengalahkan seorang anak dalam keluarga itu.
Apa aku salah jika iri kepada sepupu yang belum pernah ku lihat itu tetapi dalam sekejap ia telah mengambil dunia orang tua ku dari ku?! Apa aku salah, jika aku tidak bisa menerima kehadirannya yang telah mengambil seluruh perhatian orang tua ku dari ku?! Hiks...
Perlahan Rahayu melangkah kembali menuju gudang yang kini menjadi kamarnya. Di balik pintu gudang yang sudah ia tutup, ia tersandar dan merosot kebawah dengan derai air mata yang tak tertahan lagi.
Ia merasa tidak ada lagi yang peduli padanya di rumah itu. Dan ia pun tidak tahu, bagaimana gadis Arumi itu bisa muncul dan mengubah perhatian orang tuanya hanya dalam sehari saja.
Perut Rahayu terus berbunyi. Sudah menjelang jam 11 siang tapi tak sedikit pun makanan masuk ke mulutnya. Ia lapar, tapi tidak bisa makan mengingat semua masakan yang ibunya masakan untuk merayakan ulang tahun gadis yang bernama Arumi itu.
Rahayu perlahan merapikan tempat tidur yang tadi ia tinggalkan begitu saja. Matanya sembab meski air mata tak lagi berlinang.
Rahayu memutuskan untuk ke perpustakaan kota saja hari itu. Rasanya ia tidak sanggup harus melihat perayaan pesta orang lain yang di rayakan oleh ke dua orang tuanya.
Rahayu kemudian segera mandi. Lalu ia pun berpakaian rapi. Handphone dan dompet ia masukan ke dalam tas slepang kecilnya yang sering ia gunakan. Kemudian ia pun keluar dari kamarnya dan mencari keberadaan orang tuanya untuk pamit ke perpustakaan.
Hati Rahayu kembali berdebar-debar melihat pemandangan yang tak biasa. Ruang tamu di sulap menjadi ruang pesta dengan dekorasi ultah yang di buat Ayah dan Ibunya.
Biasanya hanya ada nasi tumpeng saja, atau hanya kue ulang tahun saat dia merayakan ulang tahunnya bersama kedua orang tuanya. Terkadang mereka sesekali juga hanya makan di luar tanpa melakukan dekorasi apa-apa seperti saat ini.
Hati Rahayu kembali berdenyut melihat perbedaan yang terjadi. Namun ia berusaha untuk tetap tenang dan mencoba tersenyum meski hatinya sakit setengah mati.
"Ayah, Ibu.... ayu ijin pamit mau ke perpustakaan kota." Kata Rahayu.
Sang Ayah tak bergeming dan masih terus melanjutkan dekorasinya. Sedangkan Marlina sang Ibu, sempat menoleh lalu berkata..
"Ya..."
Canggung, suasana di ruangan itu benar-benar canggung seolah-olah Rahayu adalah orang asing yang bertamu di rumah itu dan ijin untuk pergi. Padahal biasanya seorang tamu pun akan di antarkan ke depan pintu dengan ramah tamah, tetapi tidak dengan Rahayu yang kembali di abaikan.
Rahayu menunduk lalu berbalik badan dan melangkah perlahan sambil meremas tali tas slepang yang terletak di depan dadanya. Hatinya lagi-lagi sakit hingga matanya mengembun dan akan meruntuhkan wajah cantik alaminya yang tanpa riasan.
Rahayu tidak bisa berkendara hingga ia pun memesan ojek online untuk sampai di tempat tujuannya. Semasa masih sekolah pun, Rahayu pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki karena tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Untungnya Rahayu anak yang pandai berhemat dan pandai mengatur keuangan di usia mudanya. Uang bulanan yang selalu di berikan Ayahnya tidak pernah habis ia pakai dan masih tersimpan separuhnya sehingga tabungannya pun cukup berisi untuk seorang pelajar pada masanya.
"Ini Bang, terima kasih ya." Ucap Rahayu tulus sambil memberikan ongkos sesuai aplikasi yang tertera.
"Kembali kasih Neng." Jawab kang ojol dan ia pun berlalu pergi meninggalkan Rahayu setelah gadis itu mengembalikan helmnya.
Rahayu menatap mini market yang ada di depannya. Ia hendak membeli 2 buah roti dan sebotol minuman untuk pengganti sarapan sekaligus rapel makan siangnya sembari belajar di perpustakaan nanti.
Rahayu menunggu jalan sedikit lenggang sebelum menyeberang. Namun tiba-tiba saja, seorang kakek-kakek berjalan tertatih-tatih hendak langsung menyeberang saat jalan masih ramai di lalui kendaraan.
"Loh Kek, awas Kek!!"
Rahayu refleks mendekati pria berusia kisaran 70 tahun itu dan segera menahan lengannya agar tidak berjalan lebih maju lagi karena tidak jauh dari mereka ada kendaraan bermotor yang melintas sedikit laju. Nyaris saja si Kakek di senggol jika saja Rahayu tidak cepat menahan tubuh si Kakek.
"Ya Allah, Kek! Kakek mau nyebrang? Hati-hati Kek, biar saya bantu ya? Saya juga mau menyeberang kesana." Ujar Rahayu.
Si Kakek yang tadinya cukup terkejut karena Rahayu menarik tubuhnya, merasa bersyukur telah di tolong oleh gadis itu. Sembari tersenyum ia mengangguk pelan merespon Rahayu.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!