Yudha duduk di kursi kayu yang elegan di ruang tamu rumahnya, wajahnya tampak tegang, rambut dengan potongan textured crop itu terlihat berantakan karena ia yang sibuk meremas kepalanya.
Ruang tamu itu luas, dengan lantai marmer berkilau dan perabotan mewah yang tampak sempurna dan meja yang terbuat dari marmer. Lampu gantung kristal besar di langit-langit memberikan cahaya putih kekuningan yang menyelimuti ruangan.
Ibunya, Sely berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius, tangan terlipat di depan dada dengan rambut panjang yang di biarkan tergerai. Hujan yang deras di luar rumah seolah menambah ketegangan di dalam ruangan.
"Ibu, aku sudah bilang kan, jangan menjelekkan Riana tepat di wajahku lagi," kata Yudha dengan suara yang rendah, namun penuh penekanan, menahan amarah yang hampir meledak.
Sely mendekat, dan matanya penuh dengan kekecewaan yang tampak jelas. "Ibu tidak menjelekkan istrimu, ibu hanya bicara fakta yang ada sekarang, Riana sudah lima tahun jadi istrimu, dan belum ada tanda-tanda dia hamil. Dia juga sudah berusia 25 tahun Yudha ibu takut dia sudah kehilangan masa suburnya, Jika begini terus kapan ibu akan punya seorang cucu, kau lupa kau satu-satunya putra yang ibu punya dan juga usiamu itu sudah menginjak 28 tahun yudha?"
Yudha mengerutkan kening, berusaha menenangkan dirinya meskipun setiap kata ibunya semakin membuat darahnya mendidih. "Ibu, aku tidak bilang tidak akan memberikan ibu seorang cucu, aku hanya minta ibu bersabar sedikit lagi saja" jawabnya dengan nada tenang, tatapan matanya menajam.
"Riana dan aku sudah berusaha sebaik mungkin, Bu. Kami sudah pergi ke dokter, dan hasilnya jelas-tidak ada yang mandul di antara kami. Jadi, tolong hentikan berkata bahwa istriku mandul!" Nada suara Yudha meninggi, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Kami bahkan meminum berbagai macam jamu yang ibu kirim, apa ibu tidak bisa melihat usaha yang kami lakukan selama ini?"
Sely memutar matanya dengan geram, lalu melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Yudha. "Berusaha?" suaranya penuh sindiran. "Itu alasan yang sama yang selalu kamu ucapkan! Kurang sabar apa ibu ini, Yudha?"
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara yang bergetar karena emosi. "Ibu bersabar saat kau memaksa menikahi Riana-wanita dari keluarga biasa-biasa saja, jauh dari harapan ibu. Padahal, ibu sudah mencarikan calon yang lebih pantas untukmu. Tapi apa yang ibu lakukan? Ibu yang membujuk ayahmu agar merestui pernikahan kalian, karena ibumu ini akan melakukan semuanya untuk kebahagiaanmu."
Sely menunjuk dirinya sendiri dengan mata berkaca-kaca, tapi tatapan penuh amarah. "Kurang baik apa ibu ini? Kurang sabar apa ibu, Yudha? Ibu mengalah karena ibu tau kau mencintainya, karena kau anak ibu satu-satunya! Tapi apa balasan yang ibu dapat sekarang? Menunggu bertahun-tahun tanpa hasil, hanya karena egomu untuk mempertahankan istri yang bahkan tak bisa memberi keturunan!"
"Kalau kau tidak mau menceraikan istrimu, setidaknya menikahlah lagi, Yudha. Apa kau tidak kasihan pada ibumu ini?" ujar Bu Siti, kali ini suaranya lebih lembut, berusaha melunakkan hati putranya.
Ia menatap Yudha dengan pandangan memohon, melanjutkan dengan nada yang nyaris berbisik. "Ibu juga lelah, Nak... lelah mendengar teman-teman ibu terus membicarakan keluarga kita. Apa kau ingin ibumu terus jadi bahan pembicaraan orang-orang."
Yudha berdiri dengan tubuh yang bergetar menahan amarah, mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut ibunya membuat kepala nya mendidih.
Tatapannya tajam, namun suaranya pecah saat berbicara. "Riana adalah satu-satunya wanita yang akan menjadi istriku, Dan kumohon... tolonglah tutup mulutmu itu ibu!" katanya dengan nada suara yang meninggi, tak mampu lagi menahan kekesalannya.
Sely melangkah mundur, menatap putranya dengan pandangan yang penuh kekecewaan bercampur luka. Wajahnya mengeras, tetapi matanya berkaca-kaca. "Bagaimana bisa... bagaimana bisa kata-kata seperti itu keluar dari mulutmu, Yudha?" Ujarnya lirih.
Ia menatap Yudha tajam, tangannya gemetar menahan emosi. "Aku ini ibumu! Orang yang melahirkanmu ke dunia ini, orang yang mempertaruhkan nyawanya untukmu! Semua yang kulakukan adalah demi kebaikanmu. Dan sekarang... lihatlah dirimu! Kau berani membentak ibumu... hanya demi seorang wanita!"
Hening sesaat memenuhi ruangan, hanya suara hujan deras di luar yang memecah keheningan. Kata-kata ibunya barusan menusuk hati nurani Yudha.
Setiap ucapan ibunya menusuknya, mengingatkannya pada kenangan pahit saat ia berjuang mati-matian agar pernikahannya dengan Riana diterima oleh orang tuanya.
"Jangan bahas ini lagi. Terutama di depan Riana, ibu" ucap Yudha akhirnya, suaranya lebih rendah namun penuh ketegasan. Ia membuka matanya dan menatap ibunya lurus.
"Kami akan terus berusaha, tapi tolong... beri kami waktu. Aku juga lelah, aku lelah harus terus bertengkar dengan ibu seperti ini."
Sely terdiam sepenuhnya, wajahnya terlihat kecewa.
Akhirnya, ia hanya berbalik, melangkah pergi dengan langkah pelannya, meninggalkan Yudha sendirian di ruangan itu.
Yudha tetap di tempatnya. Ia memijat pelipisnya perlahan, mencoba meredakan amarah yang dirasakannya. Hujan di luar semakin deras, seolah ikut memberikan suasana tegang pada perdebatan mereka.
Pikiran Yudha melayang ke Riana, istrinya. Bagaimana keadaannya sekarang? Riana sedang menginap di tempat sahabatnya, di sebuah apartemen yang jaraknya sekitar 30 menit dari rumah orangtuanya.
Riana memintanya untuk tidak menghubungi dulu sampai dia yang melakukannya. Permintaan itu membuat Yudha tidak bisa berbuat banyak, meskipun saat ini dia sangat ingin memeluk istrinya dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Sayangnya, hubungan Yudha dengan sahabat istrinya itu tidak pernah akrab. Tari jelas tidak menyukai dirinya.
Meskipun wanita itu selalu tersenyum setiap kali bertemu dengannya, Yudha tahu senyum itu palsu.
Mata Tari tidak pernah ikut tersenyum. Bahkan seperti nya orang buta pun bisa menyadarinya.
Namun, Yudha tidak bisa tidak menyukai tari sepenuhnya. Setidaknya, wanita itu adalah sahabat yang baik bagi Riana. Itu sudah cukup membuat Yudha sedikit tenang.
Suatu hari, Yudha pernah mengantarkan pakaian Riana yang tertinggal ke apartemen tari. Ketika dia memencet bel, tak lama pintu terbuka, dan sayangnya tari lah yang muncul membukakan pintu.
Hari itu menjadi momen yang membuat Yudha semakin yakin bahwa Tari benar-benar membencinya.
"Ah, Yudha. Kau mengantarkan pakaian Riana, kan? Kemarikan. Kalau begitu, sampai jumpa," ucap Tari cepat tanpa menunggu jawaban.
Tari langsung menutup pintu, tetapi Yudha buru-buru mencoba menahannya. Sayangnya, tangannya malah terjepit di pintu.
"Auch!" Yudha meringis, sengaja memasang ekspresi kesakitan untuk menarik simpati. Ia berharap Tari akan membiarkannya masuk.
Namun, Tari hanya memandangnya datar. Matanya seperti berkata, "Kau ini bodoh sekali, pakai lah sedikit matamu itu."
Wanita itu tersenyum tipis dan berkata, "Kalau begitu, sampai jumpa."
Pintu besi berwarna abu-abu tertutup di depan wajahnya, meninggalkan Yudha yang mematung tidak percaya.
Bahkan basa-basi untuk bertanya apakah dia baik-baik saja pun tidak keluar dari mulut Tari.
Yudha menyerah. Ia datang ke apartemen itu dengan harapan bisa melihat Riana, tetapi pemikiran itu langsung hangus dikarenakan ada naga betina yang menjaga pintu masuknya.
"Ah, sial sekali hari ini," gumam Yudha sambil memandangi tangannya yang memar.
Tari datang membawa dua gelas teh, satu di masing-masing tangannya.
Dengan langkahnya yang pelan, ia menuju kamarnya sambil bersenandung kecil.
Klek.
Tari mendorong pintu kamar dengan kakinya, masuk sambil membawa senyum ceria di wajahnya.
"Ri, aku buatkan teh untukmu," ucapnya sambil menyodorkan gelas di tangan kirinya kepada Riana.
Riana yang sedang bersandar di tempat tidur, sibuk dengan ponselnya, mendongak sejenak. Rambut panjangnya yang tergerai hingga sepinggang menyentuh kasur, memberikan kesan anggun pada siapapun yang melihatnya.
"Terima kasih, Tar," balas Riana sambil tersenyum tipis, menerima gelas dari tangan Tari.
"Terima kasih, Tar," jawab Riana sambil tersenyum kecil.
Tari balas tersenyum, lalu mengangguk. "Kamu lagi apa sih, serius banget tuh lihat HP?" tanyanya sambil melirik sekilas ke arah layar ponsel Riana yang kini tergeletak di sampingnya.
"Ah, ini..." Riana menunduk sedikit, menghindari tatapan Tari. "Aku lagi buka-buka media sosial, cari info soal pengobatan tradisional, siapa tahu ada yang cocok buat... kondisi aku." Suaranya melemah di akhir kalimat, dan ekspresinya berubah sendu.
Mendengar itu, Tari langsung mengerutkan kening.
"Hati-hati loh Ri. Banyak penipuan di medsos soal pengobatan kayak gitu. Lagian, aku kan udah bilang nggak ada yang salah sama kau. Itu bukan cuma kata aku, tapi kata dokter spesialis langsung, kan? Kau juga yang cerita waktu itu." Tari menatap sahabatnya dengan sorot tajam, lalu melanjutkan, "lalu kenapa sekarang kamu jadi sibuk cari-cari hal nggak jelas kek gini?"
Riana menghela napas panjang sebelum menjawab. "Ibu mertua aku, Tar. Kemarin malam ibu bilang... kalau aku nggak bisa hamil juga, aku harus bujuk Yudha buat cari istri lagi."
Ucapan itu membuat Tari langsung menegang. Gelas teh yang ia pegang hampir terlepas.
"APA?! Apa nenek lampir itu udah nggak waras?!" Wajah Tari memerah karena amarah. "Dimana otaknya pas ngomong kayak gitu ke kamu?!"
Tari memang tidak pernah menyukai Yudha ataupun keluarganya. Sejak awal, saat Riana memutuskan menikah dengan Yudha, Tari sudah merasa ada yang salah. Ia bahkan ingat dengan jelas hari pernikahan sahabat nya, saat orang tua Yudha tersenyum, tapi senyum itu hanya formalitas.
Tari, sebagai seorang penulis yang terbiasa membaca ekspresi orang, tentunya tau bahwa senyum itu tidak tulus.
"Ri, kamu jangan dengerin ibu mertuamu itu. Kalau kamu terus mikirin omongannya, kamu cuma makin stres nanti. Dan stres itu yang malah bikin kondisi kamu tambah buruk," ujar Tari sambil meletakkan gelas teh milik Riana di meja kecil di samping tempat tidur.
Tari menatap Riana dengan mimik wajah serius. "Udah, dari pada kamu scroll medsos nggak jelas, mending kamu istirahat dulu. tidur sekarang, biar pikiran kamu lebih tenang."
Tanpa menunggu persetujuan, Tari mengambil gelas teh dari tangan Riana, meletakkannya di meja, lalu mulai menata selimut sahabatnya. "Udah, tidur ya," katanya sambil sedikit memaksa Riana berbaring.
"Terima kasih, Tar," kata Riana dengan senyum tipis.
Tari hanya mengangkat bahu, menutupi rasa pedulinya dengan nada santai. "Udah lah, santai aja. Kita kan udah sahabatan dari lama. Sekarang kamu tidur, biar aku bisa kerja. Masih ada naskah yang harus aku kelarin malam ini."
Ia mengambil gelas tehnya, berjalan keluar kamar, tapi berhenti sejenak di ambang pintu.
Melihat Riana masih menatapnya, ia tersenyum lebar. "Udah tidur, ntar aku nyusul."
Tari menutup pintu perlahan, meninggalkan Riana sendirian.
Riana menarik napas panjang. Senyumnya perlahan memudar, dan pikirannya kembali melayang ke pembicaraannya dengan ibu Sely semalam.
Kata-kata ibu mertuanya kembali terngiang, memenuhi pikirannya yang sudah penuh akan berbagai prasangkanya.
...----------------...
Riana duduk di ruang tamu rumah ibu mertuanya, Ibu Sely, dengan gugup.
Malam itu, tepat pukul 7, Riana datang memenuhi panggilan mendadak.
Rumah mereka hanya berjarak 15 menit dengan motor, jadi ia datang sendiri. Suaminya itu belum pulang dari kantor, biasanya ia tiba di rumah sekitar jam 8 paling lambat sekitar jam 9 malam.
Ibu Sely duduk berhadapan dengannya, wajahnya serius seperti biasa, tanpa senyum.
"Riana, sampai sekarang kamu masih belum ada tanda-tanda juga, ya?" ucap Ibu Sely dengan nada datar.
Riana tertegun, hatinya langsung terasa sesak. "Maaf, Bu... Ria juga sedang berusaha. Tolong pengertian dari Ibu," jawabnya pelan, menundukkan kepala dengan ekspresi sendu.
Ibu Sely mendesah, seolah sudah memprediksi jawaban itu. "Ibu sudah menduga kamu akan bilang begitu. Itu sebabnya ibu minta kamu datang malam ini. Ada hal penting yang ingin ibu bicarakan."
Kata-kata itu membuat Riana semakin gelisah. Tangannya mulai meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. Ada sesuatu dalam nada suara ibu mertuanya yang membuatnya cemas.
"Kamu harus bujuk Yudha untuk menikah lagi," ucap Ibu Sely tiba-tiba. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa ragu. "Ibu nggak minta kalian bercerai, karena ibu peduli sama kalian. Tapi kalian butuh keturunan. Ibu juga akan bicara sama Yudha, tapi ibu tahu dia pasti menolak. Karena itu, ibu mau kamu yang bicara. Dia lebih mendengar kamu daripada ibunya sendiri."
Nada terakhir itu terdengar seperti tuduhan, penuh dengan emosi terpendam.
Mata Riana membelalak. "Bu... bagaimana mungkin saya meminta Yudha untuk menikah lagi?" katanya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan.
Ibu Sely bangkit, berjalan mendekat, lalu menarik kursi di samping Riana dan duduk di sana. Ia menatap langsung ke mata menantunya.
"Riana, ibu benar-benar minta tolong. Siapa lagi yang bisa ibu andalkan selain kamu? Yudha selalu mendengarkan kamu," katanya, kali ini dengan nada lebih lembut, nyaris memohon.
Riana menggigit bibir bawahnya, perasaannya bercampur aduk. "Ibu... biarkan aku memikirkan ini. Tolong beri aku waktu," ujarnya dengan suara bergetar.
Ibu Sely tersenyum tipis, tapi matanya tetap tajam. "Baiklah, Riana. Ibu beri kamu waktu sampai akhir minggu ini. Kalau kamu tidak memberikan jawaban, ibu akan menganggap kamu setuju."
Lalu Ibu Sely memeluk tubuh Riana dengan pelukan lembut, menepuk punggungnya perlahan.
"Ibu harap kau setuju dan membantu ibu mencari calon istri kedua untuk Yudha, secepatnya," ujarnya dengan senyum menyeringai, tatapan matanya terlihat menyipit.
...----------------...
Riana terbangun dengan napas memburu. Kepalanya terasa berat, dan jantungnya berdetak kencang. Mimpi yang ia alami terlalu nyata.
Di mimpinya Yudha mencium perut seorang wanita berambut pendek. Wanita itu sedang hamil, dan mereka berdua terlihat bahagia. Sementara Riana hanya berdiri dari jendela, menonton suaminya bersama wanita lain.
Ia mengusap wajahnya perlahan, mencoba mengatur napas. Riana terus teringat ucapan ibu mertuanya seperti racun yang menjalar kesegala sudut pikirannya.
"Bujuklah Yudha untuk menikah lagi Riana."
Riana menelan ludah,tenggorokannya terasa kering. Ia mengalihkan pandangan ke samping, melihat Tari yang tertidur pulas..
Wajah sahabatnya itu tampak tenang, bahkan sesekali bibirnya sedikit bergerak, seperti bermimpi sesuatu yang menyenangkan.
Riana menatapnya lama, tapi ia sibuk berkutat dengan pikirannya .
Riana memeluk lututnya, seluruh tubuhnya terasa menggigil sekarang.
"Haruskah aku benar-benar melakukan itu?" pikirnya.
"Bagaimana mungkin aku membiarkan suamiku menikah dengan wanita asing yang bahkan tidak kukenal," pikir Riana, hatinya terasa seperti diremas.
Ia terdiam, membiarkan pikirannya mengulang-ulang kalimat itu.
"Wanita asing..." gumamnya lirih, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Matanya perlahan bergerak ke samping, melihat Tari yang sedang tidur nyenyak. Nafasnya terdengar teratur, wajahnya terlihat damai.
Riana tetap diam di posisinya. Tubuhnya tidak bergerak, tapi matanya terus terpaku pada Tari.
"Tari..." suaranya nyaris seperti bisikan, "kau sahabatku, kan?" Sebuah senyuman miring muncul di wajahnya, tapi senyum itu terlihat kosong dan entah kenapa terlihat mengerikan.
Malam itu, Riana membuat sebuah keputusan. Sesuatu yang ia butuhkan, yang selama ini ia cari, ternyata ada di hadapannya selama ini.
Pagi itu, sekitar jam 9, Tari terbangun karena suara ketukan yang tergesa-gesa di depan pintu kamarnya.
"Tok! Tok! Tok!"
"Tari, bangun. Aku udah siapin sarapan," panggil Riana dengan sedikit berteriak dari luar kamar.
Tari menggeliat malas di tempat tidur, meraih ponselnya untuk mengecek waktu. "Iya, sebentar, lima menit lagi," jawabnya dengan suara serak, menarik selimut ke atas kepalanya.
Beberapa menit kemudian, Tari akhirnya keluar menuju meja makan. Rambut pendeknya yang mengembang terlihat acak-acakan, kaos oversize yang digunakan nya terlihat melengkapi penampilannya.
Di meja makan, Riana sudah menyiapkan sepiring nasi goreng yang aromanya menggoda.
Tari duduk di kursi, matanya masih setengah terpejam, dan meraih secangkir teh hangat yang sudah disiapkan untuknya.
"Selamat pagi, chef. Nasi gorengnya enak banget, ya?" canda Tari sambil tersenyum dengan mata yang masih setengah terbuka.
Riana hanya tersenyum kecil. "Iya, kamu suka kan? Makan yang banyak, biar nggak lesu."
Mereka mulai sarapan dalam keheningan. Sesekali Riana melirik Tari, pikirannya saat ini tidak karuan.
Setelah beberapa suapan nasi, Riana akhirnya memulai pembicaraan.
"Tar, aku mau minta tolong sesuatu sama kamu," ujar Riana, suaranya terdengar sangat pelan.
Tari menoleh ke arah Riana, sedikit bingung. "Ya, apa? Pagi-pagi begini, kau mau nginap sehari lagi."
Riana menggeleng kepalanya pelan,menarik napas panjang. "Aku... aku mau kamu jadi istri kedua Yudha."
"Byurrr!"Tari yang sedang meminum tehnya, sontak terkejut ia menyemburkan air yang baru saja diminumnya, hampir mengenai nasi goreng di depan Riana.
"Apa?!" Tari terbelalak, matanya berkedip beberapa kali memastikan pendengaran telinganya.
Apa dia masih belum bangun daru tidurnya, tapi nasi goreng ini rasanya enak sekali, pikirnya.
"Aku tahu ini gila, tapi aku nggak punya pilihan lain," kata Riana dengan wajah yang tampak penuh harap.
"Ibu bilang aku harus membujuk Yudha untuk menikah lagi, dan aku nggak mau ngeliat dia sama wanita yang aku nggak kenal. Aku... aku butuh seseorang yang aku percayai. Aku butuh kamu, Tar."
Tari memandang Riana dengan tatapan bingung dan marah. "Kamu... sudah gila Ri, apa kamu dengar apa yang keluar dari mulut mu sekarang?"
Riana menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku cuma nggak ingin kehilangan dia."
Tari meletakkan gelas teh dengan kasar, wajahnya berubah merah karena marah. "Riana, aku nggak tau dari mana kamu dapat ide gila seperti ini,jadi istri kedua suami kamu! Itu gila!"
"Aku tahu, aku tahu. Tapi tolong bantu aku Tar, sekarang aku nggak punya pilihan lain selain kamu.."
Tari menghela napas panjang, tampak frustasi. "Kamu punya pilihan ri, hentikan pembicaraan nggak masuk akal ini, yang kamu perlu adalah berpikir jernih sekarang ."
Riana hanya diam, menatap nasi goreng yang sudah tak lagi terasa enak baginya. "Aku... nggak tahu lagi harus gimana, tolong aku tari."
Tari memandangnya sejenak dengan tatapan kasihan dan marah bercampur. "Aku nggak bisa bantu kamu Ri, aku minta maaf ."
Tari berdiri dari kursinya, rambut pendeknya yang mengembang terlihat semakin acak-acakan. "Aku mau mandi dulu.kita bicara lagi nanti, kalau pikiran itu sudah hilang dari kepala mu."
Dengan langkah cepat, Tari meninggalkan ruang makan. Riana hanya bisa menunduk, merasa semakin terjebak dalam keputusan yang telah ia buat.
Setelah pintu tertutup pelan, ia menatap nasi goreng yang masih ada di piring, namun tak bisa merasakan apapun selain kegelisahan yang terus menghantui pikirannya.
...----------------...
Tari baru saja selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut pendeknya dengan handuk kecil.
Pintu kamar mandi ditutup perlahan, tetapi langkahnya terhenti begitu melihat Riana yang berlutut di depan pintu.
"Akh!Astaga, Ria! Apa-apaan ini?! Kau ingin membuatku mati muda?!" teriak Tari, refleks memegang dadanya, kaget setengah mati.
Riana tidak menjawab, hanya terdengar suara isakan tertahan. Beberapa butir air mata jatuh dari pipinya, tangan Riana mengepal erat di atas pahanya.
Melihat itu, Tari langsung merasa ada yang tidak beres. Ia segera ikut berlutut di lantai, berhadapan dengan Riana. "Ria... apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?" tanyanya, suaranya pelan meskipun wajahnya penuh kekhawatiran.
Namun, tangis Riana malah semakin keras. Bahunya terguncang-guncang, dan napasnya tersengal.
"Hiks... huh... huhhh..."
Tari hanya bisa menatap sahabatnya itu dengan bingung. Ia mengerutkan kening, rahangnya mengeras, dan tangannya sedikit gemetar karena menahan emosi campur aduk.
"Aku mohon, Tari..." Riana akhirnya bersuara, tapi suaranya terputus-putus. "Aku nggak bisa melihat Yudha dengan wanita lain. Aku nggak bisa... aku akan lakukan apa saja, Tari... tolonglah aku..."
Riana kembali menangis terisak-isak, membuat Tari harus menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sendiri. Rasa kasihan dan marah bercampur di benaknya.
"Sudah... ayo berdiri dulu," kata Tari tegas. Ia memegang bahu Riana, membantu sahabatnya berdiri. "Kita duduk di tempat tidur. Kau bicarakan apa yang kau inginkan ."
Riana menurut, berjalan pelan sambil sesekali mengusap air matanya. Mereka berdua duduk di tepi tempat tidur.
Tari menatap Riana dengan serius. "Sekarang, katakan. Apa yang sebenarnya kau mau, Ria?"
Riana menarik napas dalam-dalam, meskipun suaranya masih bergetar. Ia mulai menceritakan kekhawatirannya tentang kondisinya, tentang mimpi buruknya semalam, dan tentang permintaannya kepada tari tadi pagi.
Tari mendengarkan tanpa menyela, tapi tatapannya semakin tajam. Setelah Riana selesai, Tari mengangguk pelan. Ia berpikir sejenak, lalu berkata dengan nada serius.
"Baik, Ria. Aku akan coba membantu. Tapi dengarkan aku baik-baik."
Tari menjelaskan idenya-sebuah rencana di mana ia akan menikah secara formal dengan Yudha, tetapi pernikahan itu hanya akan menjadi status di mata keluarga Yudha. Tidak akan ada hubungan nyata di antara mereka, dan semuanya hanya sandiwara untuk menghentikan tekanan dari ibu mertua Riana.
"Ini solusi terakhir yang bisa kupikirkan," kata Tari tegas. "Tapi, kau yang harus menjelaskan rencana ini pada Yudha. Kau yang harus membuatnya mengerti bahwa ini adalah idemu, dan aku hanya sedikit memberikan solusi untukmu."
Riana mengangguk cepat. "Aku mengerti, Tari. Aku akan menjelaskannya pada Yudha."
Tari menatap Riana dalam-dalam, memastikan sahabatnya itu benar-benar paham. "Dan satu hal lagi. Jangan pernah kau lakukan itu lagi, berlutut di depanku seperti tadi. Bagaimana mungkin aku sanggup melihatmu seperti tadi Ria....Kau tau kan, aku hanya punya kau, Ria. Kau sahabatku satu-satunya."
Riana tersenyum kecil, meskipun matanya masih sembap. Ia mengangguk pelan. "Terima kasih, Tari. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan tanpamu."
Tari mendesah, menatap sahabatnya dengan campuran rasa kasihan dan tekad. Dalam hati, ia tahu rencana ini adalah sesuatu yang gila, tapi ia juga merasa bisa memanfaatkan situasi ini untuk sesuatu yang lebih besar. Inspirasi mulai berputar di kepalanya, seperti potongan-potongan cerita yang siap ia tulis.
"Aku akan menemanimu, Ria. Kita hadapi ini sama-sama. Tapi ingat, setelah ini selesai, aku mau imbalan berupa cerita yang bisa kutulis. Siapa tahu, uang dari sana bisa bikin aku jadi kaya," ujar Tari sambil menyeringai kecil, mencoba mencairkan suasana.
Riana tersenyum lemah, lalu terkikik kecil. "Dasar, selalu ada maunya," ucapnya pelan. Tapi di dalam hatinya, ia merasa sangat bersyukur memiliki Tari di sisinya. Setidaknya, ada seseorang yang selalu mendukungnya di saat-saat sulit seperti ini.
...----------------...
Hari sudah siang, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 1 siang, Yudha tiba di depan pintu apartemen Tari.
Riana, yang sudah menginap semalam di apartemen sahabatnya, sudah menghubunginya dan meminta Yudha untuk menjemputnya.
Yudha menekan bel dan menunggu sejenak. Setelah beberapa detik, pintu terbuka, dan Riana muncul dengan senyum tipis.
"Sayang, kamu datang lebih cepat dari yang aku kira," kata Riana, sedikit terkejut melihat Yudha sudah tiba.
Yudha tersenyum lebar,. "Aku sengaja pulang lebih awal" ujarnya tersenyum merekah.
Namun, Riana terlihat sedikit serius. "Masuk dulu, Yudha. Ada yang perlu kita bicarakan," katanya, suaranya terdengar lebih tegas daripada biasanya.
Yudha sedikit terkejut mendengar itu. "Ada apa, Ri?" tanyanya, kebingungan.
Riana melangkah mundur dan membuka jalan untuk Yudha masuk. Setelah Yudha melangkah masuk, pintu ditutup perlahan di belakangnya.
Begitu masuk, Yudha langsung melihat Tari yang sedang duduk di sofa, dengan ekspresi serius menyilangkan tangan di dada.
"Aku permisi ya tari?" Ujar Yudha, sambil sedikit membungkuk dengan sopan, karena ia masuk ke dalam belum di persilahkan masuk oleh yang punya.
Tari hanya mengangguk pelan, tidak berkata apa-apa. Riana menuntun Yudha untuk duduk di kursi yang ada di seberang Tari. "Duduk dulu, Yudha. Ada hal yang perlu kita bicarakan," kata Riana, suaranya kali ini lebih berat.
Yudha duduk dengan ekspresi wajah bingung nya. "Oke, ada apa, Ri? Kamu serius banget," katanya, semakin merasa ada yang tidak beres.
Riana menarik napas panjang, menatap Yudha dengan tatapan gelisah nya. "Yudha, ini tentang permintaan ibu," kata Riana, suaranya bergetar.
Yudha mengernyitkan dahi. "Ada apa lagi dengan ibu? tunggu.... Jangan-jangan ini soal idenya ibu " ujar nya dengan menatap Riana memastikan.
Riana menggenggam tangan Yudha, memulai cerita. "Yudha, dengarkan aku sebentar. Ibu memang memintaku untuk membujukmu untuk menikah lagi...aku sudah memikirkan solusinya seharian ini, dan tari juga ikut membantuku" ujar Riana sambil melirik kearah tari yang masih diam membiarkan pasangan suami istri didepannya bicara.
Tari yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. "Yudha, kami sudah berpikir tentang hal ini. Riana pikir, kalau kita menikah, itu bisa menghentikan tekanan dari ibumu.tentu saja awalnya aku nggak setuju, tapi aku akan membantu kalian, untuk satu tahun ini , dan hubungan ini pun hanya status di depan keluarga kamu."
Yudha menatap Tari dengan kaget, mendengar penjelasannya."Tunggu, kamu mau aku menikah dengan Tari?" tanyanya, merasa kebingungan.
Riana menatap Yudha dengan serius. "Iya, Yudha. Kami tahu ini terdengar gila, tapi ini satu-satunya cara untuk menghentikan ibu. Kalian akan berpura-pura menikah, setidaknya perlihatkan itu di depan ibu , sampai dia menyadari dan berhenti menekan kita."
Tari menatap Yudha dengan tenang.
"Dan tenang saja, aku sudah memikirkannya, walaupun kita sudah menikah, aku tidak akan tinggal dirumah kalian,aku akan tetap tinggal disini."
Yudha terdiam, merasa sangat tertekan dengan pilihan yang ada di hadapannya. "Tapi... bagaimana kalau ada yang curiga? Apa yang harus kita lakukan kalau ini malah memperburuk keadaan?"
Riana menggenggam tangan Yudha dengan lembut, memberikan dukungan.
"Aku tahu ini bukan keputusan mudah, Yudha. Tapi aku nggak punya pilihan lain, aku lelah Yudha....aku lelah terus ditekan oleh ibumu, setidaknya lakukanlah hal ini demi aku."
Air mata pun mulai menggenang di mata Riana.
Tari menambahkan dengan serius, "Ini hanya untuk sementara, Yudha.setelah ibumu tau aku tidak mengandung juga, aku yakin ibumu akan segera menyerah dan semuanya akan kembali seperti semula."
Yudha memejamkan matanya, mencoba mencerna semuanya. "Aku nggak tahu...tapi kalau ini jalan satu-satunya.....mari kita coba lakukan ."katanya sambil mengangguk.
Riana tersenyum tipis, meskipun masih ada kecemasan di wajahnya. "Terima kasih, Yudha, tapi aku percaya kita bisa melewati ini bersama."
Riana pun mulai memeluk erat tubuh suaminya yang balas memeluknya dengan lebih erat.
Tari langsung berdiri dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan minuman. Tari tidak mau mengganggu momen sahabatnya.
Yudha dan Riana saling berpandangan, menyadari bahwa mereka akan menjalani hal besar ini bersama-sama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!