Hai namaku Davina Ane Birawan, berat 80kg dan tinggi 150cm.
Gendut itu kesan pertama orang kepadaku. Terus kenapa?.....
Aku tinggal bersama ayah (Indra
Birawan), ibu (Suci Birawan) dan adik laki-laki (Fajar Birawan) di kota S. Kami
tinggal dirumah yang kecil minimalis jika dilihat orang,namun cukup luas bagi
keluarga kami. Ayah dan ibu lebih suka memiliki halaman yang luas dari pada
bangunan rumah yang luas, kalau ada acara dirumah kita tidak perlu menyewa
gedung atau lapangan. Ayahku bekerja sebagai kontraktor dikota S ini, Ibuku ibu
rumah tangga pada umumnya, sedangkan adikku dia masih sekolah menengah akhir
kelas 2.
Aku memiliki sahabat bernama Eri,
Adena dan Indira. Kami sudah berteman sejak sd sampai sekarang, Eri menjadi
sekretaris di salah satu perusahaan terkenal di kota S, Adena sudah menikah
dengan anak orang kaya di kota S, Indira adalah seorang dokter spesialis anak
dan aku sendiri hanya membuka butik kecil – kecilan di kota S ini. Walaupun
kami sibuk, tapi masih bisa menyempatkan waktu untuk berkumpul. Contohnya malam
ini, kami sedang mengobrol dan bercanda di salah satu cafe yang terkenal di
kota S.
“Ane, aku bikinin gaun dong untuk
pesta besok minggu?” pinta Adena. “Soal harga aku ikut dech” tambahnya.
“Iya, ukuran masih samakan kayak
dulu” tanya ku.
“Masihlah” jawab Adena.
“Sip dech” ucap ku. “Kapan kamu
ambil gaunmu” tanya ku lagi.
“Emm... kalau minggu pagi bisa
tidak” jawab Adena.
“Baiklah” jawab ku.
“Ane kamu mintalah bayaran yang
mahal sama menantu orang kaya ini” sindir Eri.
“Tenanglah aku akan minta sebuah
mobil untuk harga gaunnya nanti” canda ku.
“Kalian pikir aku punya uang banyak, walaupun
aku menantu orang kaya ” ucap Adena membela dirinya. “Aku menikah dengan Bagas
karena kami saling mencintai dan tidak mau menimbulkan fitnah karena pacaran
terlalu lama, kalian tahu sendiri aku dan Bagas sudah pacaran sejak SMP” tambah
Adena menyakinkan sahabat-sahabatnya.
Aku, Indira
dan Eri saling menatap dan kemudian tawa kami pecah mendengar penjelasan Adena
yang menggebu - gebu, seolah-olah aku akan meminta bayaran yang mahal
kepadanya.
“Hai kenapa kalian malah
menertawakan aku, apanya yang lucu” geram Adena sambil berkacak pinggang.
Namun kami malah menambah volume
tertawa kami ketika melihat ekspresi marah Adena yang semakin lucu. “Sudah-sudah,
nanti kita dilaporkan sama suaminya yang kaya itu, kalau kita sudah membuat
istri cantiknya ini marah-marah” ucap Indira.
Aku dan Eri makin terbahak – bahak mendengar pembelaan
Indira.
“Kalian jahat ya” ucap Adena.
Aku pikir Adena marah betulan dan
mau pergi, ketika dia berdiri dari duduknya. Ternyata dia malah duduk di antara
aku dan Eri, tanganya menggelitik pinggangku dan Eri. Kami berempat akhirnya
saling menggelitik satu sama lain dan tertawa bersama.
Kami setiap berkumpul selalu
menbicarakan semua hal kami lewatkan selama tidak bertemu, kejadian apapun dari
yang menyedihkan atau yang menyenangkan.
“Ne kamu tidak mau membikin
fashion show” tanya Indira.
“Mau Ndi, tapi masih perlu banyak
belajar aku, PR ku masih banyak sekali” jawab ku.
“PR apa, kamu itu sudah S1
Fashion Design, baju buatanmu sudah terjual banyak sejak sekolah” jelas Eri.
“Rasanya belum yakin kalau
membuat fashion show sendiri, aku masih designer amatiran. Baju – baju yang aku
buat masih biasa – biasa saja” jelasku. “Mungkin yang beli – beli kemarin
kasihan sama aku” tambahku.
“Ane” teriak Eri, Adena dan
Indira serentak.
“Kita sudah bilang, jangan pernah
merendahkan dirimu” ucap Indira tegas.
“Kita memiliki kekurangan
masing-masing jadi jangan selalu menganggap kami ini lebih baik darimu” celoteh
Adena.
“Siapa bilang orang beli bajumu
karena kasihan dengan keadaan tubuhnya, sini biar aku hajar orangnya” ucap Eri.
Aku yang tadinya sedikit muram,
akhirnya tidak bisa menahan untuk tidak tertawa lagi melihat tingkah Eri yang
mengebu – gebu mau memukul orang.
HAHAHAHAHAHAHAHA
Yang lainnya akhirnya ikut
tertawa bersama ku.
.
.
.
Jam sepuluh malam kami memutuskan
untuk pulang. Aku malam ini memilih pulang dengan berjalan kaki, karena cafe
dari rumahku tidaklah jauh. Dan malam ini jalanan masih sangatlah ramai, banyak
pasangan yang duduk berdua di kursi tepi jalan saling bermesraan.
IRI
Tentu saja, sejak SMP aku selalu
ditolak sama anak cowok karena tubuh gendutku. Aku pernah diet sekali namun
terus sakit, ibu yang melihatku sakit karena diet terus melarangku sampai sekarang.
Orang tuaku tidak pernah mempermasalahkan tubuh gendutku, sama dengan sahabat –
sahabat ku mereka sama sekali tidak menyinggung soal berat badan kita berkumpul,
karena mereka selalu menghargaiku dan menyayangiku dengan sepenuh hatinya. Semenjak
itu tidak ada kata diet dalam kamus hidupku, aku menjadi diriku apa adanya.
Soal suka sama cowok aku sudah melupakan apa itu namanya jatuh cinta, karena
aku takut terluka untuk berkali – kali lagi. Lebih baik seperti ini, aku masih
mempunyai orang tua yang menyayangiku dan juga sahabat-sahabat yang selalu ada
buat aku. Kurang apa lagi coba. Soal cowok, biar Tuhan yang menemukannya untuk
ku suatu saat nanti.
“Hai gendut cepat pergi sana,
mengganggu pemandangan saja” oceh seseorang tiba – tiba membuyarkan lamunanku.
Tanpa banyak bicara aku langsung
pergi meninggalkan sekelompok orang yang sedang berkumpul di bangku sebuah
taman. Samar – samar aku mendengar mereka mengolok-olokku, tak terasa air
mataku menetes “sepertinya ada debu yang masuk ke mataku” bantah ku yang
menolak bahwa aku sedang menangis
setelah mendengar olok-olokan tadi.
Langkahku berhenti disebuah
minimarket dekat taman, aku kemudian masuk dan mengambil beberapa snack kesukaanku
dan juga es cream. Setelah membayar snack dan es cream aku mencari duduk untuk
menikmatinya. Satu bungkus, dua bungkus, tiga bungkus dan dua potong es cream
lenyap dalam sekejap aku makan. Sudah hilang kesalku aku memutuskan untuk
pulang, takut orang tua ku mencariku.
Jam sebelas malam aku sampai
dirumah.
“Aku pulang” sapa ku setelah
masuk rumah.
“Malam sekali pulang mu nak?”
tanya ibuku.
“Maaf Bu, Ane tadi jalan kaki
pulangnya” jawab ku.
“Oh... ya sudah cepat bersih –
bersih dan tidur” ucap Ibu ku.
Ibu kembali masuk ke dalam kamar
untuk beristirahat. Ibu selalu menunggu ayah, aku dan adikku pulang, baru ibu beristirahat.
Ibu tidak tenang kalau anggota keluarga yang dia sayangi belum pulang ke rumah,
kecuali sebelum berangkat sudah berpesan kepada ibu untuk tidak menunggu.
Aku kemudian masuk ke dalam
kamarku, cuci muka, tangan, kaki dan mengganti baju dengan baju tidur. Kemudian
aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Tak butuh waktu lama aku akhirnya
terlelap dalam mimpiku.
.
.
.
Bersambung
Di tempat lain
“Maaf Tuan, saya tidak sengaja” ucap seseorang pelayan.
“Pergi dari sini sebelum kau merusak acara kami” ucap
seseorang.
“Kau tidak apa-apa Dipa?” tanya yang lain.
“Aku tidak apa-apa, aku pergi ke toilet dulu” jawab sesorang
yang bernama Dipa.
Dipa Madaharsa seorang pemuda
dengan kepintaran yang luar biasa, memiliki bisnis sendiri sejak kuliah.
Termasuk pebisnis sukses di kota S, disegani banyak pebisnis lain walaupun
sikapnya sedikit urakan, namun dalam bekerja dia selalu berhasil. Dipa adalah
pengusaha di bidang perhotelan dan restauran – restauran mewah di kota S dan
diluar kota S, bahkan diluar negara. Jangan ditanyakan lagi berapa pundi –
pundi yang dia dapat tiap harinya. Dipa anak dari Aji Madaharsa dan Indah
Madaharsa seorang milyader dikota S, ayah Dipa adalah raja supermarket, sudah
ribuan supermarket atas ayah Dipa didalam kota maupun diluar kota. Dipa
memiliki kakak bernama Bagas Madaharsa pengusaha jual beli mobil mewah.
Dipa memiliki sahabat yaitu Ben
Bhagawanta pengusaha sukses namun belum mandiri, apa-apa masih minta bantuan
ayahnya untuk melancarkan proyeknya, bergerak dibidang properti. Galih Haribawa petani dan peternak sukses di
kota S, semua hasil pertanian dan peternakannya di export ke luar kota, bahkan
keluar negara, dia juga mensuplai hotel dan restauran milik Dipa dan ayah Dipa.
Malam ini Dipa dan dua sahabatnya
sedang mengadakan pesta keberhasilan Ben mendapatkan proyek besar tanpa bantuan
ayahnya. Dipa yang sudah kembali dari toilet kemudian mendudukan tubuhnya
disalah satu sofa, dia mengambil minuman dan meneguknya sampai habis. Malam ini
suana hatinya sedikit buruk, namun dia tetap bisa menahannya demi pesta
sahabatnya, walapun pesta seperti ini sering diadakan oleh Ben. Setiap Ben
mendapatkan proyek dia selalu mengadakan pesta, entah atas keberhasilan dirinya
sendiri atau bantuan ayahnya.
“Ben sudah malam, aku pulang dulu”
ucap Dipa.
“Hai Bro, baru jam sebelas kamu
sudah mau cabut” tanya Ben.
“Besok pagi buta aku mau ke luar
negara, ada sedikit masalah di hotel ku” jawab Dipa.
“Okelah, besok kabari kalau kau
sudah kembali dari luar negara” ucap Ben.
Dipa merangkul Ben dan juga
Galih, setelah itu dia meninggalkan kedua sahabatnya. Dia menaiki mobilnya dan
melajukan mobilnya meninggalkan clup malam. Dipa memasukki keramain jalan dikota
malam ini, lampu merah menghentikan laju
kendaraannya. Dia yang masih konsentrasi melihat ke ke arah depan, tiba-tiba
ada yang yang membuatnya tertarik, seorang wanita gendut yang begitu rakus,
namun lucu ketika sedang memakan snack di depan minimarket sambil mulutnya
mengoceh entah itu apa. Tanpa di sadari senyum Dipa mengembang, suasana hatinya
yang buruk berubah tenang tiba-tiba.
TIN TIN
TIN TIN
Suara klakson membuyarkan
senyumanan Dipa “Sialan” batinnya.
Ternyata lampu merah sudah hijau tanpa disadarinya, sebab itu banyak mobil yang
membunyikan klakson untuk memperingatkan Dipa segera menjalankan kendaraannya.
Dipa sampai ke apartemen, malam
ini dia memilih menginap di apartemen dari pada pulang kerumah, supaya besok
pagi dia berangkat ke bandara tidak terlambat. Jarak apartemen lebih dekat dari
pada jarak rumah dengan bandara. Dipa masuk ke dalam apartemen dan merebahkan
tubuhnya di atas kasur. Tak butuh waktu lama dia akhirnya tertidur.
.
.
.
Jam empat pagi Dipa terbangun
setelah mendengar alarm, “Cepat banget sih” omelnya. Tanpa malas – malasan, dia
segera menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Cukup lama Dipa berada
di kamar mandi, karena dia harus fress dulu baru bisa memulai aktifitasnya.
Kamar mandi yang di miliki Dipa bukanlah kamar mandi pada umumnya, dari ukuran
dari fungsi sangatlah jauh.
Sekitar sejaman Dipa baru keluar
dari kamar mandi, dia terlihat tampan dan gagah hari ini. Tak banyak persiapan
yang dilakukan Dipa setelah selesai bersiap – siap dengan dirinya, tak perlu
kemas baju atau apapun. Setiap keluar negara dia hanya membawa dirinya saja,
tak pernah membawa apa itu koper dan kawan-kawannya, karena semuanya sudah
dipersiapkan oleh anak buahnya.
Dirasa sudah saatnya dia pergi ke
bandara, Dipa keluar dari apartemennya menuju parkiran. Setelah masuk ke dalam
mobil Dipa melajukan mobilnya ke bandara. Tepat jam enam pagi Dipa sampai di
Bandara, dia turun dari mobilnya disambut oleh anak buahnya.
“Pagi Tuan” sapa anak buahnya.
“Pagi, apakah semuanya sudah siap”
tanya Dipa.
“Sudah Tuan, sekarang kita bisa
berangkat” jawab anak buahnya.
“Oke” jawab Dipa.
Dipa berjalan diikuti dengan anak
buahnya. Dipa memilih penerbangan pagi karena dia menaiki pesawat pribadi milik
ayahnya. Jadwal penerbangan menggunakan pesawat pribadi harus mengikuti peraturan
dari maskapai penerbangan, tidak boleh sembarangan.
.
.
.
.
Ditempat lain...
“Ane sayang ayo bangung” teriak ibuku.
“Iya Ibu” jawab ku, yang masih malas – malasan di atas
kasur.
“Kakak ku yang gendut ayo bangun?” teriak adik laki-laki ku.
“Aku sudah lapar nih, masa tiap hari mau sarapan harus menunggumu sih”
tambahnya.
“Kau bocah tengil jangan panggil aku gendut, sopan sedikit
sama kakakmu” celotehku dari kamar.
“Anak ini” omel ibu ku sambil memukul kepala adikku.
Bukannya ibuku tidak sayang sama adik ku, cuma usilnya itu yang membuat ibu
geleng – geleng kepala, apalagi jika sudah mengusiliku.
“Ibu, ayah sarapan saja dulu, Ane masih mengantuk” jawab ku.
“Baiklah sayang, tapi kamu nanti sarapan ya. Jangan sampai
tidak sarapan” jawab ayah ku.
“Iya ayah, nanti Ane sarapan” jawab ku, dan tak butuh waktu
lama aku tertidur lagi.
Kamarku terletak didepan ruang makan, jadi kami bisa
mengobrol walaupun sedikit berteriak. Aku memutuskan untuk tidur lebih lama
sebelum berangkat ke butik,untungnya tidak ada yang penting yang harus aku
lakukan kecuali membuatkan gaun Adena untuk hari minggu. Tak butuh waktu lama
aku sudah terlelap masuk kedunia mimpi.
.
.
.
.
Bersambung.
Hai pembaca semoga kalian senang dengan novel karyaku. Aku
disini sedang belajar menulis, jadi mohon bantuannya ya dari para pembaca, dari
isi cerita, kata-kata atau lainnya.
Aku juga mempunyai novel yang berjudul “BUNGA GADIS PENARI
PENJUAL KUE” semoga menyempatkan diri untuk membacanya.
Sekali lagi terima kasih ya.
Salam kenal dari aku.
Jika kalian suka, jangan lupa untuk dukung, like, vote dan
coment ya. Aku akan belajar lebih baik lagi, Terima kasih...........
Maaf para pembaca di eposide 3
ini, kata “aku” saya ganti Ane ya. Hehehehe... dipikir-pikir kok aneh ya.. maaf
kalau mengganggu kalian membacanya. Terima kasih... Silahkan lanjutkan bacanya.
Jam sepuluh pagi Ane terbangun,
cacing-cacing dalam perutnya meronta-ronta meminta jatah makan. Ane masih berguling-guling diatas kasur,
sebenarnya malas sekali untuk bangun, namun cacing-cacing sudah tidak bisa
diajak berkompromi. Dengan malasnya Ane menuju kamar mandi untuk mandi dan
bersiap-siap ke butik. Hari ini dia harus membuatkan gaun untuk Adena, karena
waktunya mepet sekali.
“Ibu, masak apa pagi ini” tanya Ane
setelah keluar dari kamar, dan tentunya sudah mandi plus berdandan ala
kadarnya, karena Ane tidak suka terlalu
mencolok.
“Itu sayang, ibu hari ini masak
nasi pecel sama tempe mendoan setengah matang kesukaanmu” jawab ibu.
“Yah, tempenya sudah dingin dong,
tidak enak dong” omel Ane.
“Itu yang mentah masih, kamu
goreng aja sendiri. Ibu mau pergi ke pasar dulu” ucap ibu.
“Baiklah Bu” kata Ane. “Hati-hati
ke pasarnya, jangan lupa beli buah ya Bu, stok sudah habis tuh” tambahnya.
“Iya pasti sayang, ibu berangkat
dulu ya” pamit ibu kepada Ane. “Kalau berangkat ke butik jangan lupa kunci
pintu dan gerbang rumah” pesan ibu.
“Oke Bu” jawab Ane, sambil
berlalu menuju dapur untuk menggoreng tempe setengah matang.
Tak butuh waktu lama Ane sudah
selesai menggoreng tempe kesukaannya, segera dia menuju meja makan dan
menyiapkan makanan. “Enaknya nasi pecel buatan ibu” puji Ane tanpa berhenti mengunyah,
sepuluh menit Ane sudah memakan makanannya sampai ludes tidak tersisa.
“Wah kenyang sekali” ucap Ane,
sambil berdiri untuk mencuci piring dan gelas miliknya.
Selesai mencuci Ane kemudian
mengambil tas di dalam kamar dan segera berangkat ke butik. Tak lupa Ane
mengunci rumah dan pagar. Hari ini Ane memilih naik sepeda montor ke Butik,
karena Ane sudah kesiangan sekali jika harus jalan kaki ke halte dan naik bis
ke butik.
Ane memasuki keramain kota siang
ini. Satu lampu merah, dua lampu merah, belok kanan, lampu merah lagi, belok
kanan lagi dan akhirnya Ane sampai di butik miliknya. Ane memakir sepeda
montornya, kemudian dia membuka gembok pintu butiknya.
Ane datang yang pertama kali, dua
orang pegawainya belum datang. Ya tadi malam Ane mengirimi pesan kepada kedua pegawainya
untuk datang setelah jam makan siang. Itu sudah biasa Ane lakukan, gaji mereka
bukan harian tapi tergantung Ane mendapatkan job berapa banyak. Sebelum
menerima mereka Ane sudah menjelaskan terlebih dulu, mereka dibayar bukan
harian/bulanan pada umumnya, jam kerja pun terserah Ane. Yang penting disaat
butuh lembur mereka siap, dan tidak protes dibelakangnya.
Ane duduk di meja kerjanya, dia
mulai membuat skesta gaun untuk Adena. Yang ada dikepalanya dia tumpahkan
begitu saja, dia sebelumnya sudah mengirim pesan ke Adena untuk menanyakan tema
pesta Adena apa, dan Adena sudah memberikan gambaran kepada Ane. Jadi Ane tak
butuh waktu lama untuk membuat sketsa gaun yang cocok untuk dikenakan Adena
saat pesta nanti.
Pegawai Ane yang bernama Sita
sudah datang.
“Siang mbak?” sapa nya.
“Siang Sita” jawab Ane tanpa
menoleh, karena dia masih sibuk dengan sketsanya.
Sita yang melihat bosnya sibuk,
memilih untuk tidak mengganggunya. Dia memilih membersihkan butik sebelum
melanjutkan pekerjaannya.
“Sita apa Lukman jadi belanja
hari ini” tanya Ane tanpa menoleh.
“Iya mbak jadi, ada apa” tanya
Sita.
“Enggak, aku butuh bahan yang dia
beli hari ini” jawab Ane.
“Semoga dapat semua bahan-bahannya
mbak” ucap Sita.
“Semoga saja” kata Ane.
"Mbak Ane lagi buat sketsa apaan sih kok serius amat saya lihat" tanya Sita.
"Ini lagi buat sketsa gaunnya Adena, nanti kamu jahit ya" ucap Ane.
"Mbak Adena lagi mbak? kok sering sekali ya mbak Adena itu bikin gaun, belum dua Minggu sudah pesan lagi" celoteh Sita.
"Kamu kan tahu sendiri Adena itu mantunya siapa, kan wajar kalau sering pesta" jelas Ane.
"Apa orang kaya kerjaannya pesta melulu ya mbak?" tanya Sita.
"Gak tahulah Ta, aku bukan orang kaya" ucap Ane yang masih fokus dengan sketsanya.
Hening sejenak.. karena Ane kembali meneruskan sketsa gaunnya.
"Mbak Ane, Lukman kayaknya sudah datang saya tinggal cek dulu ya mbak" ucap Sita.
"Oh iya sana kamu tolong" ucap Ane.
Sita keluar butik untuk melihat siapa yang datang. Semenit kemudian...
"Mbak, mbak Ane" panggil Sita dari luar butik sambil sedikit berteriak.
Ane yang mendengar teriakan Sita kemudian mengakhiri aktivitas, dia segera menemui sumber suara yang memanggilnya.
"Ada apa Sita, kok teriak-teriak sih"? tanya Ane sedikit kesal.
"Oh ini bos mu ya" ucap seorang ibu.
"Maaf Bu, Ibu ini siapa. Dan ada apa ini?" tanya Ane yang dibuat kaget.
"Minggu lalu saya beli gaun di sini, coba lihat belum dipakai kok sudah robek kayak gini. Saya tidak mau kembalikan uang saya, sudah beli mahal-mahal ternyata kualitasnya kayak gini, MENGECEWAKAN ucap Ibu itu dengan marah-marahnya.
"Maaf ibu sini saya periksa gaunnya" ucap Ane.
Ibu itu kemudian memberikan gaun yang ia beli di butik Ane. Dengan teliti Ane mengecek gaun tersebut. Tak butuh waktu lama Ane sudah tahu kenapa gaun itu rusak.
"Maaf ibu, gaun ini ada sisa jahitan kan, terus ibu potong sendiri namun ternyata ibu salah memotongnya. Kalau benar gaun itu robek saat ibu mau membelinya, kenapa ibu lanjut membelinya. Saya memberikan garansi kepada setiap membeli, kalau ada apa-apa gaun bisa dibawa kemari dan akan kami perbaiki sebisa kami. Kalau robeknya seperti ini, ini bukan kesalahan dari kami. Seharusnya ketika ibu melihat ada sisa benang atau apapun itu segera bawa kesini atau ibu hubungi kami, kami akan memperbaikinya dengan gratis. Dan ingat gaun tidak boleh dicuci sembarang di mesin cuci" jelas Ane panjang lebar.
Ibu itu akhirnya malu sendiri dengan apa yang telah iya lakukan.
"Maafkan aku Nak" ucap Ibu itu lirih.
"Iya ibu tidak apa-apa, sini biar saya perbaiki" ucap Ane.
"Apa masih bisa? kan sudah robek kaya gini" ucap Ibu itu.
"Masih kok Bu" ucap Ane. "Mari silahkan duduk" tambahnya.
Tak butuh waktu lama Ane bisa memperbaiki gaun itu, kini gaun itu terlihat tambah cantik dari sebelumnya. Karena Ane memberikan pita-pita tambahan pada bagian gaun yang rusak, Ane juga menyesuaikan pita-pita tersebut dengan umur ibu itu.
"Ini ibu gaunnya. Silahkan dicoba" ucap Ane.
"Baik Nak" ucap ibu itu.
Sita kemudian mengantar ibu itu untuk mencoba gaun yang sudah diperbaiki oleh Ane.
"Pintar sekali bos mu itu" ucap ibu itu setelah puas dengan gaun yang diperbaiki Ane.
Sita hanya tersenyum mendengar ibu itu memuji bosnya, padahal tadi datang-datang sudah marah-marah.
.
.
.
.
Beberapa menit kemudian setelah kepergian ibu ibu tadi Ane akhirnya menyelesaikan sketsa gaun untuk Adena. Dia meregangkan seluruh tubuhnya.
"Sita kenapa Lukman lama sekali ya, coba kamu hubungi dia" pinta Ane.
Sita pun mengeluarkan hp nya dari dalam saku celananya. Tak butuh waktu lama Sita memencet nomor kontak Lukman.
"Mbak tidak ada jawaban" ucap Sita yang sudah beberapa kali mencoba menghubungi Lukman.
"Ya sudah, mungkin dia lagi dijalan" ucap Ane.
.
.
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!