بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
..."Dunia maya diibaratkan seperti dua mata pisau, bisa menguntungkan dan bisa juga merugikan. Maka berhati-hatilah dalam bermedia sosial."...
...—🖤—...
ZAYYAN Zainul Muttaqin, sebut saja begitu. Pemuda berusia 25 tahun yang berprofesi sebagai juru masak di sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan. Berperawakan tinggi dengan tubuh sedikit berisi, mata hitam bulat yang dihiasi bulu mata lentik, serta hidung bangir.
Chef Zayyan itulah sapaan akrabnya. Tangan ajaibnya mampu menciptakan beragam jenis makanan sehat, lezat, nan nikmat. Tidak ada satu pun lidah yang mampu menolak, bahkan pesona pria itu berhasil menjerat banyak akhwat. Namun, sayang hatinya sudah dimiliki bahkan pernikahan sudah di depan mata. Sebentar lagi akan dihelat.
"Hp lo dari tadi bunyi terus."
Perkataan sang rekan kerja berhasil menghentikan kegiatan Zayyan yang kini tengah asik bercengkrama dengan kompor dan wajan.
Ia pun melihat gawainya, tanpa ada sedikit pun niat untuk mengangkat panggilan tersebut. Padahal, di sana tertera nama sang calon istri, Zalfa Hasna.
"Berisik, Yan, angkat dulu napa."
Tangan Zayyan yang hendak menaburkan bumbu ke dalam wajan kembali dihentikan. Tanpa kata ia pun menurut, tapi sebelumnya mengecilkan kompor terlebih dahulu.
"Mati."
"Siapa yang mati?" serobot Fauzan yang tak lain merupakan rekan kerjanya.
"Panggilannya," jawab Zayyan singkat.
Fauzan mendengkus kasar, lalu ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Zayyan berusaha untuk menghubungi sang calon istri, panggilan pertama tersambung tapi tak kunjung diangkat. Panggilan kedua malah tidak aktif.
"Gini amat ngambeknya. Sampai matiin hp segala," monolognya masih mencoba untuk menghubungi nomor sang calon istri.
"Gak biasanya kamu kayak gini, Fa," bisiknya mulai merasa cemas.
"Masakan lo gosong, Yan!" pekik Fauzan berhasil menarik Zayyan dari kegundahan.
Ia pun bergegas untuk mematikan kompor dan terdiam beberapa saat. Perasaannya mendadak tidak enak, seperti ada sesuatu yang mengganggu, tapi ia tak tahu apa itu.
"Lo kenapa, Yan?" tanya Fauzan bingung sekaligus penasaran saat mendapati air muka Zayyan yang seperti orang linglung, dengan pandangan kosong menerawang.
Zayyan hanya menggeleng sebagai respons. Ia pun mengalihkan pikirannya dengan cara membereskan kekacauan yang tak sengaja diperbuat. Segera membuang makanan gosong ke tempat sampah, dan kembali memasaknya ulang.
...—🖤—...
Matanya mengerjap pelan dan pada saat terbuka mendapati dirinya tengah terbaring di ranjang pesakitan dengan selang infus di tangan. Melirik ke samping, senyum sang ayah langsung menyambutnya.
"Perempuan yang tadi ketabrak gak papa, kan, Pa?" tanyanya saat kesadaran perempuan itu mulai terkumpul.
Bayangan akan kecelakaan beberapa waktu lalu berputar begitu saja, bahkan ia merasa kepalanya sedikit berdenyut sakit karena terpental dasboard mobil.
"Korban siapa? Angga baik-baik saja, hanya kamu yang gak sadarkan diri," sahutnya.
"Bukan Angga, tapi perempuan, Pa," sangkal Nayya.
Kening sang ayah mengkerut, tak mengerti dengan penuturan sang putri. Jelas-jelas sang calon menantu mengatakan bahwa hanya ada satu korban, yakni Nayya, putrinya. Tidak ada korban lain, apalagi perempuan.
"Syukurlah kamu sudah sadar."
Perkataan Angga yang baru muncul dengan jas putihnya menghentikan perbincangan di antara sepasang ayah dan anak itu.
"Aku periksa dulu yah," imbuh Angga lantas melakukan pemeriksaan pada kekasihnya.
Nayya memalingkan wajah, enggan menatap pria di hadapannya. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap baik-baik saja, padahal hubungan di antara mereka sedang berada di ujung tanduk.
Pria yang sangat dicintai dengan sepenuh hati, malah mengkhianati dan parahnya kini sedang merencanakan pernikahan dengan perempuan lain. Angga tak bisa menolak perjodohan yang dilayangkan oleh orang tuanya, karena masalah ini pulalah keduanya terlibat percekcokan dan berakhir dengan sebuah kecelakaan.
Masih teringat dengan jelas bagaimana kalimat yang Angga ucapkan, "Aku gak bisa menolak permintaan Mama, tapi aku janji akan meninggalkan perempuan itu demi kamu. Hanya formalitas di atas kertas."
"Aku mau kita PUTUS!"
"Aku janji gak akan lama, setelah menikah aku akan menceraikan perempuan itu dan menikahi kamu."
Pernikahan belum digelar, tapi Angga sudah merencanakan perceraian. Nayya tak habis pikir dengan tindakan yang hendak dilakukan oleh mantan kekasihnya itu. Yap, mantan. Di mata Nayya hubungan di antara keduanya sudah usai.
Secinta apa pun Nayya pada Angga, ia takkan pernah sudi dijadikan sebagai ban serep. Terlebih, jika harus mempermainkan pernikahan, sebagai perempuan ia tentu tidak ingin melukai hati sesamanya. Meskipun faktanya ialah yang menjadi korban dan harus menanggung rasa sakit itu.
"Makan dulu yah, aku sudah siapkan makanan sehat untuk kamu," tutur Angga lembut.
Hal itu berhasil menarik kesadaran Nayya. Ia meliriknya dengan malas. "Makanan rumah sakit gak enak."
"Kata siapa gak enak? Ini enak banget lho, Chef andalan rumah sakit yang buat. Cobain dulu," bujuk Angga.
"Dari rupanya juga menggoda selera, Papa cobain nih," imbuh Hartawan seraya mencicipi kuah sup ayamnya.
"Gak mau. Gak enak pasti!" keukeuh Nayya.
"Ini beneran enak, Sayang," tutur Hartawan jujur.
Nayya tak merespons, ia malah mengambil gawainya dan melakukan siaran langsung via YouTube. Tak usah heran, ia memang seorang Food Vlogger ternama. Subscribers-nya bahkan sudah jutaan. Siapa yang tidak mengenal seorang Nayya Shafa Yuanita, hampir seluruh jagat maya mengenalnya.
"Hallo guys, seperti biasa aku mau review makanan. Dilihat dari sekilas mata aja makanannya kayak gak enak, tapi makanan di rumah sakit memang begitu, kan? Enggak banget deh!" tuturnya seraya mengarahkan kamera ke beberapa jenis makanan yang terhidang di meja.
Tanpa mencicipi terlebih dahulu, Nayya langsung mengatakan tidak enak. Padahal sang ayah sudah memvalidasi bahwa makanan tersebut sangat layak dan nikmat. Rasa kesal dan dongkol pada Angga membuat Nayya melakukan kecerobohan yang mungkin berakibat fatal bagi orang lain.
Ia terus mencemooh makanan tersebut, bahkan ribuan komentar membanjiri akunnya. Banyak di antara mereka yang langsung menelan bulat-bulat informasi yang Nayya sampaikan, bahkan ada pula yang menjelek-jelekkan rumah sakit tersebut, dan mengatakan tidak becus dalam merekrut juru masak.
Hartawan merampas gawai sang putri dan mematikannya begitu saja. "Kamu gak bisa sembarangan menilai, hanya karena melihatnya dari luar. Rasakan dulu, baru kamu bisa bebas berkoar-koar."
Nayya mencebik kesal. Tak terima dengan teguran sang ayah.
"Sebagai seseorang yang memiliki pengaruh besar dalam bermedia sosial, seharusnya kamu bisa bersikap bijak. Pikirkan dahulu kalau mau bertindak. Jejak digital tidak mudah hilang, sekalipun kamu menghapusnya. Kalau sampai ada pihak yang dirugikan kamu bisa dituntut, Nayya!"
Perempuan berusia 23 tahun itu seolah menutup mata dan telinga. Mengacuhkan omelan sang ayah yang terus bersuara ini dan itu. Hati dan pikirannya benar-benar sedang kacau balau, dan ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Melampiaskan emosi pada apa pun, yang penting bisa tersalurkan. Itulah sisi buruknya Nayya Shafa Yuanita.
...🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤...
...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...
..."Bersyukur itu harus, agar kita tidak merasa kurang terus-menerus."...
...—🖤—...
NAYYA mengaduh kesakitan saat tubuhnya terpental, akibat ada seseorang yang menghadang jalannya. Ia tersungkur di lantai dengan kondisi yang memprihatinkan.
"Saya bantu."
Sontak kepala Nayya pun mendongak dan mendapati seorang pria tengah berdiri seraya mengulurkan tangannya, hendak membantu ia berdiri. Namun, dengan angkuh perempuan itu menganggurkan uluran tersebut. Memilih berdiri sendiri, lantas menatap sengit penuh permusuhan pada sang lawan bicara yang seperti tengah menelisik lebih detail wajahnya.
"Lo kalau jalan lihat-lihat. Jangan cuma pake kaki, tapi juga pake mata!" sembur Nayya tanpa ampun.
"Lo kan—"
"Gak usah sok kaget gitu, semua orang juga tahu gue siapa. Mau foto? Tanda tangan?" potong Nayya dengan nada angkuh.
Pria itu menggeram, tangan satunya terkepal sedangkan tangan lainnya menunjuk tepat ke wajah Nayya. "Dasar Food Vlogger gak beretika. Gara-gara review lo, gue jadi dipecat dari rumah sakit. Food Vlogger Abal-abal!"
Nayya sama sekali tak gentar, ia malah tertawa meremehkan. "Oh ini Chef yang katanya andalan, ternyata kualitas masakannya biasa saja, bahkan sangat buruk."
Rahang Zayyan mengencang hebat. Segala sumpah serapah sudah sangat siap diluncurkan. "Dasar perempuan tak berhati nurani. Seenak jidat bertindak, tanpa pernah memikirkan dampak apa yang akan diterima orang lain, atas tindakan bodoh yang telah Anda lakukan. Anda menilai makanan saya, tanpa mencobanya terlebih dahulu, kebiasaan orang-orang zaman sekarang memang selalu menilai sesuatu dari tampilan luar!"
Amarah Zayyan benar-benar tidak bisa dikendalikan. Ia begitu kesal karena dipecat secara tidak terhormat, dan parahnya hanya karena sang atasan menonton live Nayya yang tengah menghina-hina masakannya. Postingan tersebut viral di jejaring maya. Padahal selama bekerja di rumah sakit, tak pernah sekalipun ia mendapatkan komplain. Tapi, lihatlah sekarang.
Perempuan bernama Nayya Shafa Yuanita itu menghancurkan segala citra baik yang sudah susah payah ia bangun. Rasanya Zayyan tidak bisa sabar jika menghadapi spesies angkuh nan keras kepala yang kini tengah berdiri pongah di hadapannya. Ia benar-benar muak dan ingin menguliti Nayya hidup-hidup.
"Chef ada yang menunggu di lobi rumah sakit."
Penuturan seorang suster menghentikan perdebatan sengit di antara keduanya.
Zayyan mengangguk dan tersenyum ramah.
Sebelum kakinya melangkah pergi, ia menyempatkan diri untuk berseru, "Urusan kita belum selesai!"
Nayya hanya memutar bola mata malas dan tak mengindahkan peringatan tersebut. Ia sama sekali tidak peduli. "Terserah, lo!"
Setelahnya Nayya pun mengayunkan langkah dan mendahului Zayyan. Berjalan cepat untuk meninggalkan rumah sakit ini, ia harus segera pergi sebelum sang ayah menyadari.
Sesampainya di tepi jalan, sebuah mobil sudah menunggu dirinya. Tanpa banyak bersuara ia pun masuk ke dalam, dan duduk manis di samping kemudi.
"Lo buat masalah apalagi, hah?" sembur sang sahabat yang kali ini alih profesi menjadi sopir.
"Anterin gue ke Resort Bokap, yang ada di Bogor," cetus Nayya tak berniat sedikit pun untuk menjawab kalimat sarkas yang dilayangkan Syaki.
Spontan, Syaki pun menginjak pedal rem. "Gila lo. Ogah!"
"Gak usah belagak nolak. Nolongin orang yang lagi kesusahan itu berpahala, Ki," sahut Nayya.
"Gue gak mau berurusan sama Bokap lo."
Nayya berdecih pelan. "Bokap gak akan marah kalau tahu gue ke sana. Udahlah gak usah banyak ngomong, tinggal anterin doang apa susahnya."
Syaki pun akhirnya menuruti pinta Nayya. Kalau tidak ingat status persahabatan mereka yang sudah terjalin selama belasan tahun, pasti ia akan langsung menolaknya mentah-mentah. Apalagi jika berurusan dengan Hartawan Yudhistira. Bisa tamat riwayatnya.
"Lo kenapa bisa nongkrong di rumah sakit?" tanya Syaki setelah kembali menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan beroda empat tersebut.
Nayya melirik sekilas lalu berucap, "Kecelakaan gue."
Syaki menatap penuh rasa tidak percaya. Orang paska mengalami kecelakaan tapi masih sehat bugar, dan sifat menyebalkannya makin menjadi-jadi. Rasanya tidak masuk akal.
"Gue ribut sama Angga, gara-gara itu kita nabrak pohon besar dan gue berujung pingsan. Tapi lo gak usah khawatir, gue baik-baik aja. Hanya sedikit pusing dan cedera ringan."
Syaki berdecak dibuatnya. Percaya diri sekali sahabatnya ini. Ia sama sekali tak merasa khawatir, sebab kini Nayya dalam keadaan sehat wal afiat.
...—🖤—...
"Permisi, Bapak mencari saya?" tanya Zayyan saat mendapati seorang pria yang sudah mulai berumur, tapi tetap gagah di usianya yang tidak lagi muda.
Hartawan yang saat itu tengah memainkan ponsel langsung menatap sang lawan bicara dan mengulurkan tangannya. "Saya Hartawan Yudhistira, dengan Chef Zayyan?"
Zayyan mengangguk dan tersenyum, ia pun menyambut hangat uluran tersebut. "Iya, dengan saya sendiri."
Saat jabatan tangan mereka terlepas, Hartawan menyerahkan sebuah kartu nama. "Jika Chef berminat, saya ingin menjadikan Chef sebagai juru masak di Resort saya."
Kesadaran Zayyan belum terkumpul sempurna. Ia masih sangat shock. Apa semudah itu ia mendapat pekerjaan, padahal dirinya baru saja dipecat dengan cara tidak terhormat.
"Saya akan berikan gaji dua kali lipat dari yang Chef terima di rumah sakit," imbuh Hartawan karena Zayyan tak kunjung buka suara.
"Bapak serius?"
Hartawan tersenyum tipis dan mengangguk mantap. "Saya tidak pernah bermain-main dengan apa yang sudah saya katakan."
"Saya bersedia, Pak," seru Zayyan antusias. Ia memang sangat memerlukan pekerjaan.
"Besok kamu bisa langsung datang ke alamat yang tertera di kartu nama. Kita bicarakan terkait kontrak kerja di sana," tutur Hartawan.
Zayyan mengangguk dengan sangat antusias.
"Sebentar," ungkapnya saat ada sebuah panggilan masuk.
"Putri saya kabur. Bagaimana bisa? Saya ke sana sekarang." Hartawan langsung memutus sambungan telepon dan bergegas pergi, tapi sebelumnya ia menyempatkan diri untuk sejenak berpamitan.
"Alhamdulillah," tutur Zayyan mengucap syukur.
Doa orang yang terdzolimi memang begitu mudah didengar Sang Illahi. Ia merasa sangat beruntung bisa dipertemukan dengan seseorang yang begitu baik hati, sudi untuk memberikan dirinya pekerjaan.
"Sebentar lagi tabungan aku cukup untuk kita nikah di Baitullah, Fa," gumamnya seraya tersenyum lebar.
Wajah yang semula muram dan suram, mendadak cerah berseri-seri. Apalagi jika mengingat dirinya bisa merealisasikan keinginan sang calon istri. Makin tidak sabar rasanya bertemu dengan Zalfa, ia ingin bercerita banyak hal, terlebih tentang kabar bahagia ini.
Zalfa tak menuntut banyak hal dari Zayyan, jika pria itu mampu mewujudkan mimpinya alhamdulilah, jika pun tidak, tak jadi masalah. Hanya sekadar menikah di KUA pun tak apa, ia cukup tahu diri akan statusnya. Hanya seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara. Begitu beruntungnya ia bisa bertemu dengan Zayyan.
Namun, ternyata Zayyan menyambut antusias keinginannya dan pria itu meminta jangka waktu untuk mengumpulkan uang, agar mereka bisa terbang ke Baitullah. Beribadah di sana, sekaligus mengikat janji suci di tempat yang penuh berkah dan banyak dikagumi umat Islam.
"Masih gak aktif hpnya," monolog Zayyan saat kembali mencoba menghubungi nomor sang calon istri.
"Kamu baik-baik aja, kan, Fa? Jangan buat aku khawatir," imbuh Zayyan. Kecemasan kembali menyelimuti, tapi ia harap Zalfa baik-baik saja.
...🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤...
...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...
..."Kebetulan itu hanya asumsi, sebab pada nyatanya itu terjadi karena kehendak Sang Ilahi."...
...—🖤—...
SEPERTINYA definisi dari dunia itu sempit memang benar adanya, sebab kini Zayyan kembali dipertemukan dengan Nayya. Rasa hati ingin memaki dan memarahi, tapi apa daya semua itu hanya sampai di kerongkongan saja.
"Papa gak bisa sembarangan rekrut pegawai, apalagi untuk posisi sebagai juru masak. Bisa apa dia? Di rumah sakit aja dipecat!"
"Perlu Papa perjelas kalau dalang dari pemecatan Chef Zayyan adalah kamu, Nay!" sahut Hartawan tegas.
Nayya memutar bola mata malas, bahkan ia menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Jelas-jelas karena dianya aja yang gak bisa masak."
"Maafkan putri saya, Chef," tutur Hartawan tak enak hati. Ia lebih memilih untuk mengabaikan Nayya yang masih sibuk berkoar-koar.
Zayyan hanya mengangguk sebagai respons. Ia merasa serba salah, jika melampiaskan emosi bisa-bisa dirinya tak jadi mendapat pekerjaan. Namun, jika terus memendam rasa kesal, tak baik juga untuk kesehatan hatinya. Ia tak ingin menyimpan rasa dendam, tapi wanita di hadapannya ini benar-benar menguji kesabaran.
"Mari saya antar ke dapur sekaligus melihat-lihat resort," ujar Hartawan begitu ramah dan antusias.
Sebuah senyum dengan dibarengi anggukan Zayyan berikan.
"Papa gak bisa gitu dong. Pokoknya aku gak mau dia kerja di sini!" putus Nayya sengaja menjegal jalan sang ayah.
Hartawan menghela napas berat, ia pun geleng-geleng melihat tingkah sang putri yang sangat kekanak-kanakan. "Resort sedang membutuhkan chef khusus untuk memasak makanan sehat, dan Papa sangat cocok dengan hidangan Chef Zayyan. Kamu paham, Sayang?"
Nayya menggeleng keras. "Masih banyak Chef di luaran sana. Gak harus dia!"
"Ya sudah sekarang kamu ikut pulang Papa ke Jakarta, gak usah tinggal dan kelola resort Papa. Masalah clear, kamu gak akan bertemu dan berurusan dengan Chef Zayyan."
Nayya jelas langsung menolak mentah-mentah keputusan Hartawan. Ia sengaja pindah ke Bogor untuk menghindari Angga, dan hidup tenang di resort sang ayah. Dirinya sudah sangat muak dan tidak lagi ingin bertemu dengan mantan kekasihnya tersebut.
"Ok, aku setuju dia kerja di sini. Tapi aku harus pastikan dulu apakah makanan yang dia buat layak konsumsi atau nggak," tukas Nayya memilih untuk mengalah.
"Baik, saya akan buatkan hidangan untuk Mbak Nayya cicipi," sahut Zayyan.
Setelahnya ia pun bergegas ke dapur dengan arahan salah satu pegawai resort, sebab Hartawan dan Nayya masih terlibat perdebatan yang cukup sengit.
Hanya memerlukan waktu sekitar setengah jam untuk Zayyan bisa menghidangkan beberapa jenis makanan sehat, yang memang menjadi menu andalannya kala bekerja di rumah sakit dulu. Ia hanya mampu berdiam diri dan menyaksikan bagaimana pongahnya Nayya dalam mencicipi masakannya.
"Penyajiannya gak banget," komentar Nayya terdengar meremehkan.
Zayyan hanya bisa mengelus dada dan bersabar, bahkan ia pun lebih memilih untuk beristigfar. Menenangkan gemuruh hati yang kini mulai berapi-api.
Nayya mulai mencicipi hidangan yang tersaji, dan ia tak percaya dengan indra perasanya. Makanan itu lezat, sangat, bahkan ia merasa ini tidak seperti makanan sehat yang beredar di luaran sana.
Rasa yang ditawarkan sangat kompleks. Dari mulai asin, gurih, manis, dan pedasnya sangat pas. Tidak terasa MSG sedikit pun, bahkan untuk jenis makanan yang digoreng pun enak. Tidak meninggalkan rasa minyak yang mengganggu tenggorakan.
"Lumayan," cetus Nayya memilih untuk tidak berkata apa adanya. Ia tidak mungkin menyanjung Zayyan yang sedari tadi ia rendahkan. Bisa hancur harga diri dan martabatnya.
"Lumayan? Sampai habis satu piring?" sindir sang ayah. Hartawan benar-benar tak habis pikir dengan putrinya yang begitu gengsi dan keras kepala. Sangat tidak bisa menghargai usaha orang lain, padahal dirinya terlihat sangat menikmati.
"Haus akan validasi banget!" ujar Nayya lalu bangkit dari duduknya.
"Bukan haus validasi, tapi memang sudah seharusnya kamu akui. Masakan Chef Zayyan memang lezat, bukan?"
Nayya memutar bola mata malas. "Ya, ya, ya, terserah Papa. Aku mau ke kamar dulu, bye."
"Maafkan putri saya, Chef Zayyan," ungkap Hartawan merasa sangat tak enak hati.
Zayyan tersenyum dan mengangguk.
"Oh, ya untuk masalah kontrak kerja Chef Zayyan bisa langsung datang ke bagian HRD yah. Tinggal tanda tangan saja," jelas Hartawan.
"Baik, Pak terima kasih banyak," sahutnya begitu tulus. Ia benar-benar merasa bersyukur karena dipertemukan dengan Hartawan, tapi merasa sangat tidak beruntung saat harus kembali bertemu dengan Nayya, bahkan mungkin mereka akan terlibat hubungan kerja.
Membayangkannya saja membuat Zayyan malas setengah mati, apalagi jika benar-benar terjadi. Tapi ia tak punya pilihan lain, sebab dirinya harus segera mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk menghalalkan sang calon istri.
"Untuk hari ini kamu bisa berkeliling resort ataupun istirahat, tidak usah langsung bekerja. Perjalanan Jakarta-Bogor pasti melelahkan," imbuh Hartawan.
"Baik, Pak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak."
Hartawan menepuk pundak Zayyan pelan. "Gak usah berterima kasih, anggap saja ini sebagai bentuk tanggung jawab saya terhadap kelakuan Nayya yang sudah membuat kamu kehilangan pekerjaan. Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya."
Zayyan benar-benar tak habis pikir, kenapa bisa sifat dan sikap Hartawan sangat bertolak belakang dengan Nayya. Ayahnya begitu baik, ramah, serta rendah hati tapi sang putri justru sebaliknya.
"Iya, Pak gak papa," sahutnya seraya tersenyum tulus.
"Kalau perlu apa-apa bisa langsung hubungi saya, dan kalau Nayya berulah silakan hukum saja," tukasnya diakhiri kekehan ringan.
Zayyan tertawa kecil dan mengangguk singkat.
"Resort Bapak sangat luas yah, fasilitasnya pun lengkap," cetus Zayyan saat mereka tengah berjalan-jalan santai mengitari resort.
"Alhamdulillah, sebisa mungkin saya memberikan pelayanan terbaik bagi para pengunjung. Baik dari segi penginapan, hiburan, ataupun hal-hal lainnya."
Resort milik Hartawan sengaja dibangun di sekitaran tempat wisata, karena memang target market-nya orang-orang yang tengah berlibur.
Resort ini pun terdiri dari deretan vila dalam sebuah komplek. Terdapat lapangan golf, kolam renang umum, privat pool, playground, salon/spa, tempat olahraga, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya untuk berekreasi saja, tapi resort ini pun bisa digunakan sebagai tempat meeting, gathering, dan juga wedding. Semuanya sudah sangat tertata rapi, membuat nyaman siapa pun yang datang.
Zayyan manggut-manggut mendengar segala penjelasan yang Hartawan berikan.
"Saya sudah tua, putri saya tidak mau meneruskan usaha saya. Calon menantu saya pun dokter, lebih sibuk di rumah sakit. Entah ada angin apa hingga Nayya tiba-tiba mau belajar mengelola resort, tapi saya merasa bersyukur atas itu," katanya tanpa sadar sudah terlalu banyak bercerita, bahkan hingga ke ranah pribadi.
"Semoga saja Mbak Nayya bisa meneruskan usaha Bapak, atau mungkin calon menantu Bapak pun nantinya bisa membantu," sahut Zayyan mencoba untuk membesarkan hati Hartawan.
Hartawan tersenyum tipis. "Saya harap begitu."
...🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!