Kepulan asap terlihat jelas berhembus dari mulut seorang cowok, lalu mengudara. Mata tajamnya menatap lekat kepulan asap yang perlahan menghilang.
"Gue cari in, ternyata lo di sini," ucap seorang dari arah belakang, tepatnya dari pintu rooftop sekolah.
"Yang lain pada mau balik. Lo masih pengen disini?"
Lagi, tak ada jawaban. Membuat cowok yang tengah mengajaknya bicara itu menarik nafas dan menghembuskannya.
Lo kemana sih, Atlana? Regan jadi gila sekarang gara-gara lo pergi. Batin Jovan.
Ya, yang tengah duduk sambil menikmati batang nikotin itu adalah Regan. Regantara Putra Alderald. Dan yang tengah mengajak Regan berbincang itu adalah Jovan, salah satu sahabatnya.
Keduanya tengah berada di rooftop sekolah. Salah satu tempat yang satu tahun terakhir ini sering Regan kunjungi. Bukan tanpa alasan dia mendatangi tempat itu. Rooftop sekolah menjadi salah satu saksi kebersamaannya bersama Atlana, gadisnya.
Jovan menarik nafasnya setelah menunggu tanggapan Regan. Jika tahu begini, dia tidak perlu menghabiskan tenaga menghampiri Regan di rooftop. Apalagi suasana sekolah yang sunyi dan langit yang semakin gelap membuat ia merinding. Tapi, salah Regan juga yang tidak mengaktifkan handphonenya. Seandainya bisa dihubungi, dia tidak akan repot-repot memanggil.
Selama perjalanan menuju rooftop tadi, dia mengumpati Yudha, Erteza, dan Leo. Bisa-bisanya mereka kompak menang saat bermain batu, gunting, kertas untuk menentukan siapa yang memanggil Regan.
Untung lo bos kita, Gan. Kalau gak udah gue tinggalin lo—
"Balik. Gue gak nyuruh lo berempat ngikut."
Jovan meneguk ludahnya. Ia melirik Regan yang masih terus menghisap rokoknya. Padahal dia hanya membatin dan belum sempat selesai. Tapi, Regan menyahut seolah tahu apa yang sempat ia katakan dalam hati.
"Bareng aja, Gan. Lo gak takut sendirian di sekolah segede ini. Mana disini minim cahaya lagi."
"Lagian, ngapain sih nyelinap ke sekolah malam-malam begini? Kalau ketahuan security kan bahaya urusannya."
"Bacot!" Suaranya rendah dan tak membentak. Namun, Jovan langsung terdiam saat merasakan dingin menjalar di tubuhnya. Dia sadar dia terlalu benyak omong sekarang.
Dengan cepat Jovan meraih ponselnya yang ada dalam saku celana. Dia mendial nomor Yudha. Dan tak butuh waktu lama panggilannya dijawab.
"Halo, Van? Gimana? Udah mau turun lo berdua?"
"Turun pala lo! Regan suruh lo semua naik. Gak boleh ada yang balik sebelum dia balik," ucap Jovan setengah berbisik. Sebenarnya dia sedikit ragu untuk turun sendirian. Jadi, dia berbohong biar saat di usir Regan nanti, dia ada teman untuk turun.
"Serius lo?"
"Serius."
"Kok gue gak yakin ya? Lo bohong kan?"
"Serah deh lo percaya atau gak. Gue males debat sama lo," balas Jovan lalu mematikan handphonenya. Dia melirik Regan sejenak, lantas ikut duduk menunggu Regan.
***
"Lana!"
Panggilan dengan suara ceria itu membuat gadis yang tengah berjalan santai menuju parkiran tersenyum. Dia melangkah cepat menghampiri.
"Kak Rena." Dengan senyum mengembang gadis itu langsung memeluk orang yang disapa "Kak Rena".
"Aku kangen banget sama Kakak."
"Kakak juga kangen banget sama Lana," ucapnya. "Ayo pulang."
Ia mengangguk, lalu memasuki mobil bersama sang Kakak. Tak lama, mobil melaju meninggalkan area kampus.
Selama perjalanan, gadis itu terus tersenyum. Sesekali dia menatap sang Kakak yang tengah menyetir. Dia bersyukur, Tuhan mengirimkan orang baik seperti Renata dan kedua orang tuanya di hidupnya yang rumit.
Senyumnya tiba-tiba lenyap saat kembali teringat akan masa lalunya. Masa lalu yang membuatnya kehilangan orang yang paling dia sayang di hidupnya.
Regan.
"Lana?"
"Lana?"
"Atlana?"
Gadis itu terkesiap saat sang Kakak menepuk bahunya. Ya, dia Atlana Nayanika, gadis dengan kehidupan yang sulit, yang memaksanya melepas seorang Regantara, orang yang paling berarti dalam hidupnya.
"Kenapa bengong, sih? Lagi mikirin apa?" tanya perempuan disampingnya sambil tetap fokus berkendara.
Dia Renata, seorang dokter dan juga Kakak bagi Atlana. Orang tua Renata yang menyelamatkan dirinya dari orang-orang jahat yang berusaha melenyapkannya. Bahkan Papa Renata sendiri mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya.
"Maaf, Kak. Aku tiba-tiba keinget Papa. Papa lama banget pulangnya," ucap Atlana berbohong.
Renata terkekeh pelan, lalu membelokkan mobilnya memasuki pekarangan rumah. Ia menghentikan mobilnya, kemudian memiringkan tubuhnya menatap Atlana.
"Kayaknya gak lama Papa bakal balik. Ayo turun. Mama udah tungguin. Udah masak banyak juga."
Atlana mengangguk semangat, lalu turun dari mobil bersamaan dengan Renata. Sungguh, dia tidak menyangka akan menemukan kembali kehangatan keluarga seperti ini, apalagi di negara asing.
Saat pertama kali tahu dia berada di negara asing, Atlana hanya bisa berpikir bagaimana cara bertahan hidup. Namun, Tuhan berbaik hati mempertemukan dirinya dengan kedua orang tua Renata, yang pada akhirnya membawanya masuk dalam kehidupan keluarga mereka.
Ketika masuk, Atlana dan Renata langsung disambut senyuman hangat Hilda, sang Mama. Atlana memeluknya, lalu bergantian dengan Renata. Tidak ada kecemburuan yang terlihat. Renata menyayangi Atlana sebagai adik dengan perasaan tulus.
"Sudah pulang?"
Suara familiar dan rangkulan lembut di pundaknya membuat Atlana menoleh. Dia tersenyum lebar dan langsung memeluk sang Papa. Dia merindukan pria paruh baya yang sudah meninggalkannya dan sang Mama hampir tiga minggu itu.
Renata dan Hilda yang melihat reaksi Atlana terkekeh pelan. Gadis itu terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Mereka bekerja sama untuk tidak memberitahu jika sang Papa, Indra, sudah kembali.
"Papa kapan balik? Kok aku gak tau?"
Lelaki itu mengusap pelan rambut Atlana. Dia tersenyum, lalu melepas pelukannya. "Tanyakan pada Mama dan Kakak. Mereka yang merencanakan semuanya."
Atlana langsung menoleh pada kedua perempuan berbeda usia itu. Matanya menatap sang Mama, lalu beralih pada sang Kakak. Dan selang beberapa detik kemudian, dia mengejar Renata yang sudah terlebih dahulu lari menghindarinya. Membuat kedua orang tua mereka terkekeh.
"Awas kamu, Kak!"
"Ayo, kejar kalau kamu bisa."
"Sudah-sudah. Ayo, langsung ke ruang makan. Mama udah siapin makanan kesukaan kalian."
Namun sayang, Atlana dan Renata tak mendengarnya. Membuatnya menggeleng pelan lalu terkekeh. Indra pun ikut terkekeh sambil mencuri satu kecupan di pipi istrinya. Dia sangat merindukan wanita itu.
***
Usai makan malam, Atlana bersama kedua orang tua angkatnya dan juga Renata menikmati kebersamaan mereka di ruang keluarga sambil menonton. Selain itu, Renata juga ingin mengatakan sesuatu yang cukup serius. Membuat semua yang berada di ruangan tersebut memperhatikannya.
"Jadi gini. Aku mau ngomong serius sama Mama, Papa sama Lana. Aku mau balik ke Indonesia."
Semua diam. Tak ada satupun diantara ketiganya yang merespon ucapan Renata. Hilda dan Indra terlihat tenang menatap putri mereka. Sementara Atlana, dia terdiam dengan raut terkejut. Indonesia? Kakaknya ingin pindah ke Indonesia?
"Gimana? Papa sama Mama setuju kan? Aku mau balik ke sana. Dua teman ku juga bakal pindah ke sana. Mereka yang bukan asli Indo aja mau pindah ke sana. Masa aku yang asli Indo enggak?"
Hilda menarik nafasnya. "Kamu ini lagi minta persetujuan Mama sama Papa buat balik ke Indonesia?" Renata mengangguk dengan cepat. "Terus maksud kamu ngomong kayak gitu biar apa?"
"Biar Mama sama Papa izinin."
Indra terkekeh mendengar jawaban putrinya. "Rena... Rena. Kenapa harus bawa-bawa teman kamu sih kalau minta izin? Kamu pikir Papa sama Mama gak bakal izinin kamu pindah?"
"Jadi, Papa sama Mama izinin?"
Pasangan suami istri itu mengangguk bersamaan. Membuat Renata langsung berhambur memeluk keduanya.
"Aku gak rela Kak Rena pindah," celetuk Atlana membuat Renata dan kedua orang tuanya terdiam. Mereka yang sedang berpelukan langsung melepas pelukan dan menatap Atlana.
"Kalau Kak Rena pindah, aku gimana? Aku gak punya banyak teman disini."
Renata tersenyum. Dia mendekat pada Atlana dan memeluk penuh sayang adiknya itu. "Kan ada Andreas sama Sherly."
"Andreas itu cowok, Kak. Gak bisa aku ajak shopping. Kalau sama Ely juga pasti ngerasa ada yang kurang." Renata terkekeh mendengarnya. Sejujurnya dia kasian pada Atlana. Tapi, dia tidak bisa membatalkan rencananya untuk pindah ke Indonesia.
"Ya udah. Sebelum Kakak ke Indonesia, kita shopping sepuasnya. Semua Kakak yang bayar."
Atlana tersenyum antusias seperti biasanya saat diajak shopping oleh Renata. Sejak hidup bersama keluarga itu, virus shopping Hilda dan Renata sudah menular pada Atlana. Tapi, dibalik itu semua, Atlana menyimpan rasa sedih yang sebisa mungkin ia sembunyikan.
"Pakai uang Kak Rena?" tanyanya.
"Uang Papa, dong," jawab Renata membuat semua terkekeh.
.......
.......
.......
Hollaaaa... kita ketemu lagi. Maaf season 2 nya lama banget aku up. Semoga kalian semua yang baca suka sama novel REGANTARA ini. Selamat bertemu kembali dengan Regan, Atlana, Ghea, Erteza, Leo, Yudha, juga Jovan, dan selamat membacaaa....
Regan menatap jengah makanan yang terhidang di meja. Bukan karena makanan yang tak enak. Tapi, suara ketiga orang yang tengah mengobrol begitu membuatnya muak. Jika bukan karena ingin tujuannya tercapai, sudah pasti dia meninggalkan acara makan malam itu.
"Kamu gak makan, Regan?" tanya Yuni, ibu tiri Atlana, yang sekarang menjadi kekasih Kakek Adri.
Regan menatap dingin dan tajam wanita itu. Dia tidak tahu, sejak kapan Kakeknya menjalin hubungan dengan wanita ular itu. Yang jelas, setelah dua minggu dia kehilangan gadisnya, sang Kakek memperkenalkan wanita itu sebagai kekasih.
"Regan! Tatapan seperti apa itu? Tidak sopan!" ucap Kakek Adri menegur.
"Gak baik menatap orang tua seperti itu. Bagaimana pun, Tante Yuni itu pacar Kakek, dan dia lebih tua. Kita harus menghormati yang lebih—"
"Bacot!" ucap Regan pelan, namun cukup membuat yang sedang bicara berhenti.
Satu lagi wanita ular yang membuat Regan muak. Nita. Perempuan yang tiba-tiba dijodohkan sang Kakek dengannya.
"Regan! Jaga omongan kamu!" Kakek Adri semakin tersulut. Di matanya, Regan sangat tidak sopan.
Regan tersenyum miring. Nita yang melihatnya menggigit bibir dalamnya. Regan terlihat semakin tampan ketika tersenyum jahat seperti itu.
"Okey." balasnya. Dia kemudian berdiri, lalu beranjak meninggalkan ruang makan tersebut.
Jelas hal itu membuat Kakek Adri merasa kesal. Pria tua itu berdiri sambil menggebrak meja.
"Regan!"
"Regan! Balik kamu!"
Namun sayang, teriakannya tak berefek apapun. Regan mengabaikannya dan terus berjalan.
"Sudah, Sayang. Regan mungkin sedang banyak pikiran," ucap Yuni menenangkan.
"Biar Nita aja yang kejar Regan, Kek."
"Iya, kamu aja. Bujuk regan balik, ya?" sahut Yuni yang langsung diangguki Nita.
Gadis itu berlari kecil menghampiri Regan. Berharap Regan belum meninggalkan kediaman Kakek Adri.
"Regan! Kamu mau kemana?"
Nita dengan cepat memposisikan tubuhnya di depan mobil Regan. Dia yakin, dengan begini Regan akan berhenti dan kembali ke dalam untuk menghabiskan makan malam mereka.
Tapi Nita salah. Regan jelas tidak peduli apakah dia berada disana atau tidak. Dengan santainya Regan menghidupkan mobilnya, melajukannya hingga Nita reflek melompat ke samping untuk menghindar. Dia masih ingin hidup. Dia tidak ingin ditabrak Regan.
"Regan!!"
Percuma. Teriakan Nita hanya angin lalu. Regan tatap melajukan mobilnya keluar dari lingkungan rumah Kakek Adri.
***
Regan memarkirkan mobilnya saat tiba di depan bangunan dua tingkat yang dijadikan markas olehnya. Markas yang dulunya berlantai satu kini berubah menjadi bangunan dua tingkat yang diberi fasilitas layaknya rumah.
Semuanya yang sedang duduk santai di depan markas menyapa Regan yang tengah berjalan memasuki bangunan tersebut. Sampai di dalam, Regan langsung disambut oleh sahabat-sahabatnya dan juga sebagaian anak buahnya.
Regan tak peduli. Wajah dinginnya tak berekspresi, dan langsung menempatkan dirinya di sofa.
"Kenapa lagi lo? Masalah sama Kakek lo lagi?" tanya Leo. Cowok itu meraih sebatang rokok, menyelipkannya di bibirnya lalu menyalakan rokok tersebut.
"Gue heran sama Kakek lo, Gan. Bisa-bisanya lo dijodoh-jodohin. Dulu sama si Fenny, sekarang si Nita," celetuk Jovan.
"Parahnya juga malah pacaran sama si mak tirinya Atla—"
"Kayaknya harus diperiksa otak Kakek lo," celetuk Jovan memotong ucapan Yudha. Matanya melotot tajam pada Yudha, seolah memberi peringatan pada cowok itu untuk tidak berbicara sembarangan.
Menyebut nama Atlana akan membuat situasi semakin buruk. Dia yakin, masalah Regan yang paling berat saat ini adalah belum juga menemukan Atlana.
"Ada info?" tanya Regan yang sudah pasti ditujukan pada Erteza yang hanya diam sejak tadi.
"Belum ada," jawab Erteza.
Regan tak mengatakan apapun. Dia beranjak meninggalkan keempat sahabatnya, dan berjalan menaiki tangga menuju lantai atas, dimana ada kamar miliknya.
Ada dua kamar di lantai atas. Diantara keduanya, kamar yang berada di bagian kanan adalah kamar milik Regan. Tidak boleh ada satupun yang masuk tanpa izinnya. Sementara satunya adalah kamar milik bersama. Siapapun yang ingin menggunakannya silakan. Hanya saja, tidak boleh ada yang melewati batas toleransi Regan dalam menggunakan kamar tersebut.
"Lo beneran belum nemu dimana Atlana, Za?" tanya Yudha, seolah tak percaya pada apa yang Erteza katakan pada Regan.
"Belum."
"Gimana bisa belum sih?"
Plak...
"Sakit bangsat!" Yudha mengumpat saat merasakan geplak kan dari Jovan dan Leo secara bersamaan.
"Lo pikir gampang nyari orang?" cetus Jovan. Kesal juga dengar Yudha asal ceplos.
"Tapi, gue rasa ini juga udah terlalu lama," sahut Leo tiba-tiba. Raut wajahnya berubah serius menatap ketiga sahabatnya yang kini semuanya fokus padanya.
"Lo semua pikirin aja. Udah setahun kita semua usaha buat nyari Atlana, tapi gak ketemu-ketemu. Orang-orang Regan yang ikut nyari juga semuanya profesional dan udah sering tangani kasus kayak gini. Bang Marvin juga kewalahan, bingung juga. Ini tandanya, ada sesuatu dibalik hilangnya Atlana. Pasti ada yang menutup akses kita buat dapetin celah untuk tau dimana Atlana."
"Gue juga mikir gitu." Setelah sejak tadi terdiam, Erteza pun bersuara. Dia juga memikirkan hal yang sama seperti Leo.
"Kalau gitu, orang yang ada dibalik hilangnya Atlana bukan orang sembarangan. Dia pasti orang yang punya kuasa," ujar Jovan.
"Orang yang punya kuasa... Jangan-jangan Kakek tua, kakeknya Regan."
Semua langsung menatap Yudha. Sepertinya, mereka berempat memikirkan hal yang sama. Tapi, mereka tidak bisa menuduh. Karena belum ada bukti apapun yang mengarah pada Kakek Adri.
***
Atlana menarik nafasnya pelan lalu menghembuskannya. Dua temannya yang sedang memakan makanan mereka menatap heran ke arah gadis itu. Sejak tadi, sudah terhitung beberapa kali Atlana menarik nafasnya.
"Lo kenapa?" tanya salah satu temannya, Sherly. Atlana menggeleng pelan.
"Ada masalah?" Kali ini Andreas yang bertanya. Dia mengenal Atlana. Gadis itu jarang seperti ini.
"Kak Rena pindah ke Indonesia," ucap Atlana memberitahu. Dia benar-benar sangat kesepian ditinggal kakaknya itu. Walaupun Renata jarang dirumah, tapi hubungan mereka sangat baik. Mereka saling menyayangi satu sama lain.
"Ke Indo? Sejak kapan?" Andreas menatap lekat Atlana.
"Udah seminggu lebih."
"Pantesan lo gak semangat akhir-akhir ini. Tapi, kayaknya gue setuju sama kakak lo. Pindah ke tanah kelahiran itu menyenangkan. Gue juga kalau libur nanti balik ke Indo. Udah kangen sama oma opa gue," sahut Sherly semangat.
Sherly dan Andreas adalah sahabat Atlana sejak gadis itu menginjak kampus tersebut. Keduanya juga berasal dari negara yang sama dengan Atlana. Hanya saja, keduanya memiliki darah campuran.
Lo gak tau aja Ely, gue takut Kakak gue kenapa-kenapa. Gak ada yang bisa jamin kakak gue aman kalau tiba-tiba hubungan gue sama dia kebongkar. Walaupun kemungkinan ada orang yang tau itu kecil.
"Oh ya, dari pada lo terus-terus kepikiran kakak lo, bentar malam ikut yuk, ke party nya sepupu gue."
Atlana menggeleng pelan menolak ajakan Sherly. "Gue ikut Mama Papa. Ada undangan makan malam bareng kolega Papa."
"Itu undangan dari Mama Papa gue," celetuk Andreas, membuat Atlana dan Sherly memutar bola mata mereka.
Regan melangkah pelan memasuki rumah sakit. Sementara keempat sahabatnya sudah berlari di depannya dengan raut khawatir. Erteza yang biasanya tenang juga menampilkan wajah khawatir yang begitu kentara. Apalagi Leo. Cowok itu sudah sedikit pucat karena terlalu khawatir.
Saat mendapat telpon tentang Ghea yang mengalami kecelakaan, Leo terburu-buru pergi usai memberitahu teman-temannya. Semuanya tentu saja terkejut, lalu terburu-buru ke rumah sakit.
Bagaimana pun, Ghea adalah satu-satunya cewek yang memiliki hubungan dekat dengan mereka setelah Atlana. Selain itu, Ghea adalah sahabat Leo yang sudah cowok itu anggap seperti adik sendiri, juga sahabat satu-satunya milik Atlana.
"Sus, ruangan atas nama Ghea Rasila?"
Suster yang berada di meja resepsionis langsung mencari ruangan yang ditempati Ghea. "Pasien masih ditangani di ruang IGD."
Leo mengangguk dan berterima kasih. Kemudian sama-sama mereka menuju IGD dengan langkah lebar yang dipercepat.
"Kalau gue tau siapa yang buat lo kecelakaan kayak gini, abis dia sama gue, Ghe," gumam Leo sambil mengepalkan tangannya.
Disana, Ghea sudah di tangani oleh dokter. Setelah beberapa lama melakukan pemeriksaan, Ghea dipindahkan ke ruang rawat dan ditangani langsung oleh dokter ortopedi, mengingat kondisi tangan gadis itu yang patah dan kakinya yang cidera cukup serius.
Ting.
Semua langsung mengecek handphone saat notifikasi terdengar bersamaan di handphone masing-masing. Kecuali Regan. Dia hanya terdiam dengan raut dinginnya.
"Anjing!" Leo mengumpat setelah membaca pesan tersebut. Pesan yang dikirim Marvin di grup chat yang dibuat khusus untuk mereka berlima. Tidak. Berenam ditambah Marvin yang sengaja dimasukan Jovan. Katanya, dengan adanya Marvin dalam grup, mereka lebih mudah mendapat informasi secara bersamaan.
"Gercep juga Bang Marvin dapat infonya," ujar Yudha.
Erteza tak mengeluarkan sepatah kata. Hanya saja, dia meninggalkan teman-temannya begitu saja dan keluar dari ruang rawat Ghea.
"Eh, Erteza mau kemana?" seru Yudha.
"Ketemu parasit, mungkin?" ucap Leo santai. Karena sudah tahu informasi mengenai penyebab kecelakaan Ghea, lelaki itu memilih ikut duduk bersama Regan di sofa. Waktu ia beraksi malam hari. Akan ia pastikan orang yang membuat Ghea terluka membayarnya malam nanti.
"Gue mau nyamperin Erteza. Diam-diam begitu, kadang bisa khilaf juga," ujar Jovan langsung berjalan keluar dari ruangan tersebut.
"Gue juga ikut," ucap Yudha membuntuti Jovan.
Sekarang dalam ruangan itu hanya tersisa Regan, Leo, dan Ghea yang masih terbaring tak sadarkan diri.
"Thanks udah siapin semua ini buat Ghea." Leo menatap Regan yang masih terus terdiam. Benar, semua biaya rumah sakit Regan yang membayarnya, termasuk fasilitas ruangan rawat VIP yang sekarang Ghea tempati.
"Dia baik sama cewek gue."
Mulut Leo gatal mendengar jawaban Regan. Ingin sekali dia mengatai Regan untuk sadar diri. Atlana sudah memutuskan hubungan mereka sebelum pergi. Seharusnya bukan "cewek gue" tapi "mantan cewek gue".
Tapi apa daya, Leo tidak berani. Apalagi tidak ada teman-temannya. Dia bis mati diamuk Regan.
Larut dalam pikirannya, Leo dikejutkan oleh Regan yang tiba-tiba berdiri. Dia mendongak, menatap tubuh Regan yang menjulang.
"Mau kemana lo?"
"Gue ada urusan." Hanya itu jawaban Regan. Tanpa repot-repot menjelaskan panjang lebar, dia keluar dari ruangan itu.
Langkah kakinya membawanya ke taman rumah sakit. Dia duduk di salah satu kursi kayu panjang yang saling membelakangi.
Sebenarnya, saat berada di ruangan tadi, dia teringat akan pertama kali dia membawa Atlana ke rumah sakit. Saat itu, jantungnya berdetak dengan hebat. Entah karena takut kehilangan Atlana atau karena amarah yang mulai mengusai dirinya.
"Maafin Kakak ya, gak sempat angkat telpon kamu tadi. Tadi kakak lagi ada pasien. Kasian banget Lana, pasiennya."
Deg!
Lana?
Regan merasakan jantungnya berdebar tak normal. Lana? Itu seperti nama gadisnya. Ia sedikit menoleh kan kepalanya hingga melihat seorang perempuan berpenampilan layaknya seorang dokter duduk membelakanginya, sefang melakukan panggilan video. Sepertinya dokter itu baru saja duduk.
Regan mencoba untuk mengintip ke arah layar handphone, berusaha melihat wajah seorang yang dipanggil "Lana" itu. Tapi, dia tidak mendapatkan kesempatan.
"Dia cewek, cantik lagi. Korban tabrak lari. Untung masih bisa diselamatin. Hanya saja tangannya patah, sama cidera kakinya cukup serius." Dokter itu kembali berbicara.
"Aku kok tiba-tiba sedih ya, Kak, dengernya. Kasian banget."
Detak jantung Regan semakin menggila mendengar suara itu. Benar-benar suara milik gadisnya. Kembali ia coba mengintip, tapi masih belum bisa. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak terpancing dan duduk tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Iya, kasian banget. Kayaknya gak ada orang tua. Keluarganya dihubungi tapi lagi di luar kota. Untungnya teman-temannya datang. Jadi, dia gak sendiri."
"Aku jadi ingat teman aku yang ada di situ, Kak. Titipin salam buat pasien Kakak, ya. Bilangin semangat. Jangan menyerah. Hidup pasti ada aja masalahnya. Tapi, semuanya pasti akan ada akhirnya. Aku doa in dia cepat sembuh."
"Amiin. Kakak jadi tersentuh dengar omongan kamu. Nanti pasti Kakak sampai in kalau udah sadar."
"Oh ya, Kak. Hati-hati ya, di situ."
"Iya, Atlana. Udah beberapa kali kamu ngomong gitu."
Jantung Regan semakin tak terkendali. Atlana, itu nama gadisnya.
"Sering-sering telpon aku sama mama."
"Iya, Atlana Nayanika. Kamu jadi makin cerewet ya sejak Kakak tinggal."
Regan meneguk ludahnya. Darahnya berdesir hebat. Jantungnya, jangan ditanya lagi bagaimana cepatnya ia berdetak. Atlana Nayanika, itu gadisnya. Sudah pasti gadisnya.
Regan mencoba menenangkan dirinya dan tetap berusaha tenang. Dia beranjak dari duduknya, berjalan memutar hingga melewati depan dokter tersebut. Mata tajamnya mengarah pada dokter tersebut, tepatnya pada id yang dikenakan dokter yang ia ingat sebagai dokter ortopedi yang menangani Ghea.
Renata Harasta.
Nama yang Regan dapat, dan akan ia ingat. Regan melangkah ke parkiran, memasuki mobilnya lalu mengirimkan pesan singkat pada Leo.
Regan
Gue balik.
Setelah itu, dia mematikan ponselnya, lalu melajukan mobil meninggalkan rumah sakit.
***
Regan menatap beberapa informasi yang dibawakan Marvin padanya. Lelaki itu bergerak cepat mencari informasi mengenai dokter Renata Harasta.
"Atlana diangkat menjadi anak," gumam Regan. Dia bisa melihat dengan jelas foto gadisnya bersama dokter itu.
"Gue kesana," putus Regan. Dia akan menjemput gadisnya sendiri.
"Oke. Besok saya siapkan penerbangannya."
"Hm."
Marvin berpamitan pergi usai semua urusannya bersama Regan selesai. Regan memilih kembali ke rumah sakit. Tadi, Leo memberi kabar jika Ghea sudah sadar.
Regan tiba disana tepat ketika dokter Renata keluar dari ruangan Ghea bersama seorang suster. Dokter cantik itu tersenyum tipis ke arah Regan, yang hanya dibalas anggukkan kecil Regan.
"Kapan gue punya cewek secantik dokter Renata. Udah cantik, baik lagi." Kalimat itu memenuhi indra pendengaran Regan ketika masuk ke ruangan tersebut. Namun seperti biasa, Regan tak peduli. Cowok itu mendudukkan tubuhnya di samping Erteza yang tengah menatap serius ke arah Leo dan Ghea di depan sana.
"Eleh, sok sok an lo mau punya cewek kaya dokter Renata. Ngaca! Duit aja masih suka minta ke Regan," celetuk Jovan menanggapi Yudha. Sontak cowok itu langsung mendapat tatapan sinis dari Yudha.
"Mulut lo pengen gue lakban!"
"Gue yang lakban mulut lo berdua." Leo menatap kedua sahabatnya dengan tatapan tajam membunuh. Jovan dan Yudha seketika terdiam. Leo juga berbahaya jika sudah mengamuk.
"Oh ya, Gan. Lo— buseeet, tatapan lo, Za."
Erteza mengalihkan tatapannya ke arah Yudha. Membuat Yudha bersama Jovan terkekeh sambil menaikkan turunkan alisnya.
"Ciee... Cemburu lo ya?" ujar Yudha.
"Yo, kasi kursi buat Erteza, Yo. Kayaknya dia juga mau deket Ghea. Lo kan udah dari tadi," seru Jovan.
Erteza tetap diam melihat kelakuan dua sahabatnya. Hingga deritan kursi yang terdengar membuatnya berpaling. Ia menatap Leo yang berjalan mendekat.
"Sana gih! Gue mau balik bentar."
"Lho? Kok balik? Lo marah?" Jovan tak menyangka ucapannya membuat Leo ingin pulang.
"Apa sih lo anjing! Lo pikir gue cowok sensian dikit-dikit marah? Gue ada urusan penting." Leo meraih kunci motor berikut dengan jaket miliknya.
"Kirain lo marah. Tapi, lo mau kemana sih?"
"Bersih-bersih!"
Sontak jawaban Leo membuat Jovan dan Yudha sedikit terkejut. Erteza tak begitu memperhatikan Leo. Fokusnya hanya pada Ghea yang terbaring lemah. Dan Regan, dia hanya menatap kepergian Leo dengan segaris senyum samar di bibirnya. Dia paham "bersih-bersih" yang Leo maksud.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!