"Senang melihatmu telah kembali."
Eros hanya mengangguk singkat sambil memasuki lamborghini hitam dan duduk angkuh di bangku penumpang.
Steve tersenyum simpul. Pria berambut hitam yang telah dikenalnya sejak memasuki sekolah dasar adalah pria yang tidak pernah berubah. Ia duduk di bangku kemudi tanpa berkata apapun lagi. Mengantarkan Eros pada pemandangan tempat kelahirannya yang justru banyak berubah meski hanya lima tahun ditinggalkan.
"Kebetulan sekali, dua hari lagi akan diadakan reuni. Kau sudah menerima undangannya?"
"Hn. Mereka menerbangkannya langsung ke Oxford."
Sebelah alis Steve terangkat. "Kupikir hanya lewat email saja."
Eros mengibas. Melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil. "Meskipun tidak pernah datang, mereka tetap mengirimkan benda tak berguna seperti itu."
Steve terkekeh. "Kalau begitu lusa kau harus datang." Ada sesuatu yang tersirat dalam ucapannya, "barangkali kau ingin mendengar mantan kekasihmu mengumumkan pesta pernikahannya..."
Steve sebenarnya hanya bergurau ketika mengatakan itu. Tapi Eros dengan tenang dan tanpa emosi menjawab, "kalau begitu persiapkan sebuah tuksedo dari rumah mode Valentino untuk acara reuni nanti."
"Kau serius?"
"Apa aku perlu mengatakannya dua kali?"
Steve bungkam. Rasa-rasanya ia menyesal telah bergurau perihal mantan kekasihnya tadi.
Eros kembali memalingkan wajahnya ke luar jendela dan bertopang dagu. Persis ketika mobil melewati sebuah billboard besar yang menampilkan potret seorang pria dan wanita yang berpose dengan cukup intim. Wanita bergaun merah itu duduk dipangkuan seorang pria berambut kuning keemasan. Eros kenal pria itu—Leorge Smith—atau lebih sering disapa Leo. Seorang putra tunggal dari Keluarga Smith yang terkenal karena perkebunan anggur dan peternakan kudanya. Teman masa kecilnya dan juga rivalnya dalam bermain basket sewaktu sekolah menengah atas.
Lalu wanita yang duduk dipangkuan Leo adalah...Eros tidak yakin, tapi ia merasa tidak asing dengan sosok tersebut.
***
"Seriusan. Aku tidak tahu kalau kita sekolah di SMA yang sama."
Selena hanya mengangkat bahu sambil bersiap untuk menutup pintu mobil. "Well. Lupakan saja." Senyumnya hambar. "Terimakasih karena sudah mau repot-repot mengantarku pulang."
"Nah, aku tidak merasa direpotkan." Leo tersenyum ramah. "Mau menjadi pasanganku untuk acara reuni nanti?"
Selena tak terkejut dengan sikap blak-blakan Leo yang tidak pernah berubah sejak jaman sekolah. Pria itu memang terkenal ramah pada siapapun. Sayangnya Selena tak tertarik meski Leo termasuk dalam salah satu daftar pria yang paling ingin dikencani oleh wanita diseantero negeri.
Ia cukup tahu diri.
"Tidak, terima kasih. Aku tidak pernah mendapatkan undangan secara resmi."
Leo tampak terkejut. "Benarkah?"
"Begitulah." Selena mengedikkan kepala. "Aku harus masuk. Selamat malam."
Leo mengangguk cepat dan tersenyum tipis. Sedikit melambaikan tangannya ketika Selena menutup pintu. "Selamat malam." Ia melihat wanita itu buru-buru menaiki tangga apartemen tanpa menoleh lagi. Jelas sekali kalau Selena terlihat tidak nyaman. Padahal ia berharap dapat mengenal wanita itu lebih jauh setelah terlibat pemotretan untuk produk parfum keluaran terbaru dari perusahaannya sendiri.
Dan siapa sangka kalau Selena ternyata pernah satu sekolah dengannya, bahkan satu kelas.
Mungkinkah wanita itu sakit hati karena Leo tidak mengenalinya sama sekali?
Semoga saja dugaannya salah.
Drrt!
Drrt!
Getar ponsel dalam saku celananya mengalihkan perhatian Leo. Layar ponselnya berkedip-kedip menampilkan sebuah nomor tanpa nama.
Trek.
"Halo?"
Hanya terdengar sebuah suara bising untuk beberapa detik, sebelum suara berat itu sampai di telinganya. "Ini aku."
***
Ketiga gelas kristal itu beradu. Menimbulkan dentingan yang cukup nyaring di dalam ruangan kedap suara sebuah kelab malam. Ruangan VVIP. Eros tak pernah mau minum langsung dari tangan bartender atau menari di lantai dansa. Pria itu lebih memilih untuk memesan sebuah ruangan khusus dan dilayani langsung oleh pemilik kelab itu sendiri.
"Cukup mengejutkan," Leo berkomentar setelah menyesap anggur merahnya. "Seharusnya kita membuat pesta untuk kedatanganmu."
Steve tersenyum, mengejek. "Jangan samakan dia dengan dirimu, Smith."
"Berhentilah memanggil nama belakangku." Leo memutar mata bosan.
Steve terkekeh. Menepuk sebelah pundak Eros yang terlihat khidmat menyesap anggurnya. "Eros yang akan membuat kejutan. Dia akan hadir untuk acara reuni tahun ini."
Leo nyaris tersedak. Tak percaya. "Kenapa? Tiba-tiba sekali..." Matanya menyipit ke arah Eros yang bergeming. "Kau tidak merencanakan sesuatu, kan?"
Eros meletakkan gelasnya dengan tenang. Ekspresinya tak terbaca. Dan lagi-lagi pria itu memilih bungkam.
"Oh man..." Leo mendesah gusar. "Kurasa aku tahu isi kepalamu."
Steve menggeleng. "Jangan coba-coba untuk menebak."
Eros mengeluarkan sepuntung rokok dari dalam sakunya dan membakarnya dengan pemantik. "Omong-omong, wanita yang duduk di pangkuanmu itu cukup menarik."
Leo dan Steve saling berpandangan. Tidak mengerti.
Eros menghembuskan asap dari mulutnya ke udara dengan gerakan santai. Lalu melirik Leo dengan mata berkilat penuh arti. "Wanita bergaun merah...bisakah kau mengenalkannya padaku?"
Leo mengerjap. Dalam kepalanya hanya ada satu nama, Selena. Pria itu menggeleng pelan, "aku harap kau tidak akan melibatkannya dalam masalah apapun."
Untuk pertama kalinya, Steve dan Leo melihat Eros tersenyum—menyeringai.
***
"Kau belum bertemu dengan adikmu?"
Alex mengangkat kepala sambil mengiris panekuk yang sebelumnya telah disiram saus maple. Tatapannya bersirobok dengan ibunya, Nyonya William. Sebelum kembali menundukkan kepala dan menjawab, "aku tidak tahu kalau dia sudah kembali."
Nyonya William menghela napas, meski tak sampai menimbulkan suara. "Dia sudah berhenti menghubungimu?"
Alex mengusap sudut bibirnya dengan serbet. "Aku selesai." Pria itu bangkit dari kursi dan menunduk pelan sebelum meninggalkan meja makan. Menolak untuk berbincang lebih jauh dengan ibunya.
"Alex."
Yang dipanggil tampak menghentikan langkah, namun tak berniat untuk membalikan tubuh. "Apakah aku terlihat seperti orang jahat?" kata Alex kemudian.
Nyonya William tampak menggeleng pelan, meski mustahil bahwa Alex akan melihatnya.
"Aku tidak pernah merebut apapun darinya. Ibu tahu itu, kan?" Alex menelan ludah. "Meskipun dia membenciku, Ibu tahu bahwa aku tidak pernah membencinya. Jadi..." ia menahan ucapannya, "...biarkan kami yang menyelesaikan masalah ini."
"Tuan Alex?" Seorang pria berjas hitam tampak berjalan tergesa ke arahnya dan menunduk sebentar. "Nona Emilia sudah menunggu Anda di depan."
Alex mengangguk pelan. Sempat melirik ibunya sebentar dan bergumam, "tolong jangan hancurkan pernikahan kami."
***
Selena menggeram pelan sambil menenggelamkan kepalanya di bantal. Suara bel apartemennya berbunyi di pagi buta. Dan ia bersumpah, akan mengutuk siapapun yang telah membangunkannya dengan terus menekan bel seperti orang kesetanan.
Sedikit tertatih, Selena dengan gaun tidurnya berjalan menuju pintu. Sudah siap melancarkan segala serapah saat tangannya menyentuh kenop pintu.
Klek.
Namun yang terjadi, mulut Selena hanya terbuka tanpa suara. Matanya tak berkedip menatap sesosok pria tinggi dengan rambut hitam dan mata setajam elang. Berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada dan secara terang-terangan menatap tubuhnya yang hanya berbalut gaun tidur hitam tipis.
"Apa kau Selena?"
Wanita itu berkedip. Masih berusaha mencerna siapa sosok berwajah datar yang berbicara dengan nada angkuh itu.
Seperti...tidak asing.
Ya. Seperti suara...
"Aku Eros."
Selena terbelalak. Lututnya melemas seketika dan pria itu dengan cepat menangkap tubuhnya. Aroma ini...
Tidak salah lagi.
Christoper William Eros.
Cinta pertamanya saat SMA!
Berulang kali, Selena menghembuskan napas. Matanya terpejam erat, lalu terbuka lagi, berharap bahwa semua itu hanya mimpi.
Sosok arogan itu duduk tegak di salah satu sofa kesayangannya dan sesekali melirik keadaan di sekelilingnya.
Sampai saat ini Selena masih tak mengerti. Lima tahun bukan waktu yang lama untuk melupakan Eros yang begitu bersinar pada masa sekolahnya dulu. Perubahan yang kentara dari pria itu adalah tubuhnya yang tinggi, potongan rambutnya yang lebih rapih dan garis wajahnya yang semakin tegas.
Eros tumbuh dengan baik. Tentu saja, pria itu terlahir di keluarga yang kaya raya. Bukan seperti Selena yang hanya mengandalkan tangannya sendiri untuk dapat bertahan hidup. Selena harus menelan pahitnya cemoohan orang tentang profesinya sebagai model majalah dewasa. SMA-nya terputus di tengah jalan ketika ibunya yang sakit-sakitan meninggal dunia.
Keberuntungan selalu ada di pihak Eros. Padahal seingatnya, pria itu hanya seorang manusia angkuh dan sombong. Bahkan terkadang...terlihat tak punya hati.
"Kenapa kau hanya berdiri di sana?"
Suara Eros kembali bergema di telinganya. Menyadarkan Selena dari kilas masa lalu tentang pria yang kini tengah menatap penuh tanya ke arahnya.
"Akan ku ambilkan teh." Selena hendak pergi ke dapur sebelum Eros kembali menginterupsi, "tidak usah."
Selena menghela napas. Ini buruk. Ia tidak bisa menghentikan debaran jantungnya yang menggila. Bahkan untuk sekadar membalikkan tubuh, ia tidak bisa.
Dan Selena tidak tahu bahwa Eros diam-diam memperhatikan setiap gerak-geriknya. Termasuk ketika wanita itu memainkan kedua tangannya di depan tubuh dan berkeringat meski AC berada ditemperatur yang cukup rendah.
"Kau terlihat tegang," bisik Eros tiba-tiba.
Selena terperanjat. Entah bagaimana Eros sudah berdiri belakang tubuhnya. Sangat dekat. Ia bisa merasakan bahwa punggungnya bersinggungan dengan dada bidang pria itu.
"Hei." Eros mencekal tangan Selena yang hendak menjauh dan tetap menahannya di tempat. "Stay still. Kau tak akan kemana-mana sebelum aku selesai berbicara."
"Lepaskan!" Selena berontak. Tak menyukai kontak fisik yang terjalin di antara mereka. "Kita tidak saling mengenal, jadi jangan—"
"Tidak saling mengenal?" Eros mengangkat sebelah alisnya dan terkekeh. "Sombong sekali." Ia melepaskan genggaman itu dengan cukup kasar sehingga membuat Selena sedikit terhuyung ke depan.
Wanita itu dengan cepat berbalik dan menatap Eros penuh waspada.
"Hermia Selena. Perlukah aku mengingatkanmu pada kejadian memalukan beberapa tahun lalu?" Eros tersenyum licik. Pria itu mengambil langkah lambat saat kembali mendekati Selena yang melangkah mundur. "Hanya karena penampilanmu berubah, bukan berarti aku tidak mengingatmu. Si gadis cupu yang gagap."
Selena panik. Tubuhnya menabrak dinding ketika Eros semakin mendekatkan tubuh dengan senyum penuh kemenangan.
"Apa pernyataan cintamu masih berlaku sampai sekarang?" Ada nada remeh di sana. Selena mengepalkan kedua tangannya hingga jemarinya memutih. Pria itu memang tak pernah berubah!
"Apa yang kau inginkan?" sahut Selena geram.
Eros berkedip, lalu memajukan tubuhnya ke depan. Menempelkan hidung mereka hingga Selena harus menahan napas. "Dulu kau bilang, demi cintamu itu kau akan melakukan segalanya untukku, kan?"
Selena bergeming.
Eros mengelus sisi wajah Selena dengan ibu jemarinya. "Jadilah kekasihku. Kita datang ke acara reuni nanti sebagai pasangan."
"Tidak," tolak Selena tegas. "Aku tidak akan pernah melakukan itu." Bahkan setelah bertahun-tahun tak bertemu, pria itu masih mencari celah untuk memanfaatkannya. Dasar b*jingan!
Eros menegakkan tubuhnya. Senyum kepuasan di wajahnya menghilang dan berganti menjadi ekspresi datar yang sering ditampilkan sejak rumor hubungan cintanya dengan sang primadona sekolah kandas.
Selena tidak pernah menyukai ekspresi itu. Atau apapun yang berhubungan dengan Eros sekarang.
"Aku tidak pernah meminta pendapatmu. Apapun yang kukatakan adalah perintah." Eros melirik dengan ekor matanya. "Suka atau tidak kau akan tetap menjadi kekasihku dan pergi ke acara reuni bersamaku."
Selena terengah. Dadanya sesak oleh amarah. "Dengar, kita tidak memiliki hubungan apapun dan kau tidak berhak memerintahku!"
"Kau yakin?" Eros tersenyum miring lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Kau lupa, aku bisa melakukan apapun untuk membuatmu hancur..."
"Dasar b*jingan! Kau pikir siapa dirimu, ha?!"
Sebelah tangan Eros dengan cepat menangkap tangan Selena yang melayang tepat ke arahnya. Matanya berkilat seolah siap mengoyak tubuh Selena kapanpun.
"Aku adalah Eros. Si b*jingan yang pernah mati-matian kau cintai."
***
"Kau yakin akan datang ke acara reuni nanti?"
Emilia meliriknya dan tersenyum tipis. "Kenapa? Kau terlihat khawatir." Wanita itu berjalan di antara deretan gaun milik rumah mode Valentino dan Alex mengekor di belakangnya dengan setia. "Aku akan menjadi wanita baik dan tak akan menyentuh alkohol sedikitpun."
Tentu bukan itu yang Alex khawatirkan. "Sayang sekali aku tidak bisa mendampingimu."
"Well. Meluangkan waktu untuk menemaniku memilih gaun saja sudah cukup." Mengingat bahwa Alex begitu sibuk. Untung saja untuk persiapan pesta pernikahan, Emilia dibantu oleh ibunya.
"Emilia."
Alex dan Emilia sontak mengangkat kepala. Menoleh ke arah pria berbaju kasual dengan rambut kecokelatan yang sedikit ikal. Steve.
"Oh, Alex juga ada di sini?" Steve tersenyum ramah sambil mengangkat sebelah tangannya. Sementara Alex hanya mengangguk singkat sebagai balasan.
"Senang melihatmu berada di sini, Steve." Emilia menyambutnya dengan hangat. Wanita itu tahu bahwa Steve bukan orang yang akan memilih pakaian di rumah mode seperti ini. Pria itu tak terlalu peduli dengan penampilan, tipe yang sangat cuek.
Steve mengangkat bahu. "Aku sedang memilih beberapa tuksedo."
"Untukmu?" tanya Emilia setengah tak percaya.
Alis Steve terangkat. Matanya melirik Alex yang tampak tenang sambil melemparkan pandangannya ke arah lain. Sungguh pria itu pandai menyembunyikan kegelisahannya. Sambil sedikit menyeringai, Steve menjawab, "sayang sekali bukan untukku."
Emilia mengerjap. Daripada melontarkan pertanyaan lebih lanjut, wanita itu hanya mengangguk pelan. Sadar bahwa berbincang lebih lanjut hanya akan membuang waktu Alex.
Seakan mengerti, Steve dengan suka rela undur diri dari hadapan dua pasangan itu. Sempat melambai sebentar ketika pelayan memberikan dua buah bingkisan dengan warna berbeda. Namun, kembali memanggil Emilia sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. "Kau tahu, di antara kita berempat, hanya ada dua orang yang sering berkunjung kemari."
Emilia menatapnya dengan kening mengernyit. Apa yang sedang dibicarakan oleh Steve?
Pria itu tersenyum hambar sambil mengibas. "Jangan dipikirkan. Karena melihat Alex, aku jadi teringat seseorang."
***
Setiap lampu blitz menyala, Selena mengubah posenya berulang kali. Background hitam begitu kontras dengan kulit putihnya yang terekspos begitu banyak ketika ia hanya memakai sebuah mini dress tanpa lengan. Rambut putih keperakannya dibuat terurai dan bergelombang. Yang paling mencolok adalah lipstik berwarna hitam keunguan yang menghiasi bibir mungilnya.
"Kerja bagus, Selena." Kevin mengacungkan jempolnya di balik kamera.
Selena hanya tersenyum singkat, sementara Sam—asisten pribadinya—tampak buru-buru membungkus tubuhnya dengan jaket. "Aku tahu hari ini mood-mu tidak begitu baik. Tapi kuakui bahwa kau sangat profesional." Pria itu menuntunnya menuju ruang ganti dan memberikan sebotol air dingin.
Selena langsung meneguknya tanpa pikir panjang. Sam adalah sosok yang sangat berjasa dalam karir modelnya. Sahabatnya. Teman masa kecil yang begitu berharga. Seseorang yang selalu siap siaga di segala situasi. Selain ibunya, pria itu adalah orang yang mampu memahaminya dengan baik.
Namun, karena itulah Selena tidak ingin selalu bergantung pada Sam.
"Apa ini tidak ada hubungannya dengan Leo?"
Selena menaruh botol minumnya di meja terdekat dan menggeleng pasti. "Dia hanya mengantarku pulang. Itu saja."
"Dia teman SMA-mu."
"Ya. Tapi dia tidak mengenalku."
Sam mengangguk. Logikanya, sesuatu yang tak terlalu menarik perhatian memang kadang tersisihkan. Seperti itulah Selena di masa lalu.
"Baguslah," kata Sam berjalan ke arah meja rias dan meraih sesuatu. "Kalau begitu kau tahu siapa yang mengirimkan ini?"
Selena menatap kotak hitam dengan pita berwarna putih itu dengan tatapan bingung.
"Kurir itu menyebutkan namamu," tambah Sam.
Selena meraih kotak itu dengan cepat. Dan ia terperangah ketika sebuah gaun hitam dari brand ternama berada dalam genggamannya saat ini. Berbahan sutera. Begitu indah dan berkilauan. Bahkan Sam sampai maju beberapa langkah untuk memastikan.
"Kau yakin tidak terlibat hubungan dengan seorang konglomerat?" Sam menelan ludah. "Ini dari rumah mode Valentino. Gila. Aku bahkan tidak ingin menebak harganya."
Meski Sam berkata demikian, tapi Selena malah mencengkram gaun itu seolah ia adalah barang yang tidak berharga sama sekali.
"Eros." Hanya ada nama itu dalam benak Selena. "Bagaimanapun caranya, aku harus mengembalikkan gaun ini." Cepat-cepat ia menutup kotak itu, meraih tas dan kunci mobil.
"Hei, Selena! Kau mau kemana?"
Teriakan Sam ia abaikan.
***
Selena memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tepat saat itu, ponselnya berdering.
"Halo?"
"Kau sudah menerima gaunnya?"
Si b*jingan itu!
"Kau dimana?!"
"Kedengarannya kau tidak senang."
"Katakan dimana kau sekarang!"
Selena mendengar Eros terkekeh, membuatnya semakin memegang kemudi dengan erat.
"Kelab malam. Kau pikir kau berani datang kesini?"
"Aku akan kesana," sahut Selena tanpa ragu. Dan Eros nampaknya tak berbohong karena ia bisa mendengar suara bising dari seberang telepon.
"Well, see. Akan ku kirim lokasinya."
Tut.
Selena menelan ludah. Ini seperti misi bunuh diri.
Satu dari seribu, mengapa harus selalu dirinya?
"Sepertinya kelinci sudah masuk ke dalam perangkap."
Eros menutup teleponnya dan menghabiskan birnya dalam sekali tegukan. Ia mengusir para wanita berbaju ketat dari dalam ruangan itu. Hingga tak lama berselang, pintu kembali terbuka dengan bunyi mengerikan.
Wanita itu cepat juga rupanya.
Saat mengangkat kepala, Eros dapat melihat Selena terengah dan berjalan ke arahnya sambil melemparkan sesuatu. Hanya perlu memiringkan kepala, Eros melirik gaun pemberiannya teronggok tak berdaya setelah menabrak kursi di belakangnya.
"Jangan pernah mengirimkan apapun lagi kepadaku. Aku bukan seseorang yang bisa disogok dengan gaun seperti itu," kata Selena tajam. Hendak cepat-cepat pergi dari tempat terkutuk itu namun Eros lebih dulu menahan pintu di hadapannya.
BRAK!
"Beraninya kau."
Tubuh Selena terhimpit di antara tubuh tinggi Eros dan pintu kayu itu. Nada sang pria terdengar begitu murka. Dan Selena bisa merasakan hawa panas di sekitar tengkuknya.
"Kau pikir siapa dirimu?"
Selena muak. Sambil menelan rasa takutnya wanita itu berbalik. Menantang Eros dengan tatapan tajamnya. "Kau benar. Siapa diriku?! Mengapa aku harus berurusan dengan orang sepertimu?! Bukankah sejak dulu kita tidak pernah saling menyapa?! Mengapa sekarang kau melakukan ini padaku?!" Selena tersenyum pahit. "Seolah-olah kita begitu...akrab."
Alih-alih marah, Eros nyatanya malah terkekeh. Lagi dan lagi. Seperti seorang psikopat gila.
"Bukankah ini yang kau inginkan sejak dulu? Berdekatan denganku? Berkencan denganku atau mungkin tidur dengan—"
PLAK!
Air mata Selena jatuh tanpa diminta. Tangan yang ia gunakan untuk menampar wajah Eros bergetar dalam kepalan. Harga dirinya terkoyak.
"Berhentilah berbicara seolah-olah kau sangat mengenal diriku."
Eros cukup terkejut. Ini adalah kali pertama seorang wanita menampar wajahnya. Tidak begitu perih tapi mampu membuat sudut hatinya sedikit tercubit.
Menarik. Menarik sekali.
Tapi harus selalu ada imbalan untuk orang yang telah memperlakukan Eros seenaknya. Secepat kilat ia mendorong Selena ke dinding. Menahan kedua tangannya di atas kepala dan menciumnya dengan kasar. Selena berontak dalam dekapannya, namun menyadari bahwa kekuatan mereka tak akan pernah seimbang.
"Umhh!" Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Sementara air mata terus berjatuhan membasahi pipinya dan mengenai wajah pria itu.
Setelah Selena berhenti memberontak karena pasokan udara yang semakin menipis, Eros melepaskan cengkeramannya. Memeluk tubuh Selena yang hampir merosot ke lantai.
Ia mencium pelipis wanita itu dan berbisik, "inilah akibatnya jika kau melawanku."
Selena menangis tanpa suara. "Kenapa...kau kembali?" tanyanya serak. "Kenapa...harus aku?"
Eros menatap dinding di hadapannya dengan tatapan yang tak terbaca. "Karena kau...adalah Selena."
Bukan Emilia yang selalu tersenyum kepadanya namun diam-diam tersenyum untuk orang lain. Bukan Emilia yang cantik dan memesona namun diam-diam memikat orang lain. Bukan Emilia yang dicintainya namun diam-diam mencintai orang lain.
Selena hanya wanita biasa. Tidak kaya dan tidak begitu populer. Tipe wanita yang tahu diri. Tipe yang tahu pahit getirnya dunia. Eros merasa bahwa wanita itu akan sangat cocok bersanding dengannya. Eros akan memperlihatkan kepada dunia, bahwa ia bisa mengubah wanita biasa seperti Selena menjadi seorang ratu!
Dan membuat Emilia menyesal setengah mati.
***
Selena berjalan terhuyung ke kamar mandi sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Setelah berbincang dengan Sam dan dicecoki berbagai pertanyaan di telepon, Selena memutuskan untuk berendam dengan air hangat.
Tubuhnya perlahan masuk ke dalam bathtub, lalu kepalanya menyusul tenggelam ke dalam air.
"Aku...menyukaimu."
"Menyukaiku? Daripada menyatakan cinta, lebih baik buatlah tampilanmu sedikit lebih menarik."
Blup.
"Tidakkah kau pikir mereka adalah pasangan yang sangat serasi? Eros dan Emilia benar-benar membuatku iri."
"Tampan dan cantik. Sama-sama terlahir dari keluarga konglomerat lagi. Bukankah itu terlalu sempurna?"
Blup.
"Kau lagi. Tidakkah kau merasa lelah? Atau kau buta untuk melihat Emilia yang selalu berdiri di sampingku..."
"...kau bahkan tidak bisa dibandingkan dengannya dari segi manapun."
Blup.
"HAH!"
Selena menghirup udara dengan rakus. Kilas masa lalu yang pahit berputar seperti kaset kusut di kepalanya.
Penolakan cinta. Gadis yang cupu. Eros yang tampan. Semuanya adalah kenangan buruk yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Namun kembali muncul ketika pria itu datang ke apartemennya setelah sekian lama. Eros berlagak seolah mereka begitu akrab, padahal pria itu telah menolaknya mentah-mentah dan menyuruhnya menjauh sampai pria itu tak bisa melihatnya lagi.
"Aku...mencintaimu, Eros."
"Sayang sekali aku hanya mencintai Emilia."
Selena menutup kedua telinganya dan mendesah frustasi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini..."
"Hanya perlu satu jentikkan jari untuk menghancurkan karir modelmu. Kau cukup menuruti semua perintahku dan aku akan memberikan segalanya untukmu."
Pria itu benar-benar tak memberikan ia pilihan!
***
Meski desas-desus tentang pernikahannya masih menjadi perbincangan utama di seantero negeri, Emilia melangkah dengan percaya diri ke dalam gedung yang menjadi tempat reuni.
Gaun merah muda mencapai lutut membungkus tubuh idealnya dengan sempurna. Tak salah jika semua orang menjulukinya sebagai wanita yang melambangkan musim semi. Namun, reputasinya sedikit cacat ketika hubungannya dengan Eros berakhir dan ia malah mengencani kakak mantan kekasihnya itu. Tak sedikit yang mencibir bahwa Emilia telah menjalin hubungan gelap dengan Alex sebelumnya.
"Hei, kau datang sendiri?" Leo dan Steve adalah dua orang yang pertama kali menyambutnya. Mereka kompak mengenakan tuksedo hitam dan menyisir rambut mereka ke belakang.
"Yeah. Kau bisa lihat sendiri." Emilia memberikan perhatian lebih kepada Leo. "Long time no see. Akhir-akhir ini kita jarang sekali bertemu, Leo."
Pria itu mengangguk cepat. "Sebagai pewaris tunggal memang apa yang bisa kulakukan?" Ia melirik Steve dengan kedua alis terangkat. "Terkadang aku merindukan masa-masa sekolah."
Emilia memutar matanya malas. "Lalu berdoalah agar kau tidak pernah tumbuh dewasa."
"Sayang sekali aku sudah cukup dewasa sekarang."
"Kalau begitu nikmatilah, menyesal pun tiada guna."
"Ya. Kuharap kau tidak merasakan sebuah penyesalan dalam hidupmu."
Kegiatan berbincang mereka kemudian terganggu oleh suara bising dari orang-orang yang tiba-tiba berkerumun di pintu masuk.
Emilia mengernyit, sementara Steve dan Leo diam-diam menyeringai.
Show time!
"Apakah itu Eros?"
"Dia membawa pasangan!"
Emilia melirik dua wanita yang terbirit melewatinya, menuju kerumunan sambil mengucapkan sesuatu yang membuatnya membatu di tempat.
Eros? Tidak mungkin. Selama ini pria itu sedang menyelesaikan studi S2-nya di Oxford dan tak pernah tertarik dengan acara reuni.
Emilia melirik Leo dan Steve yang tampak tak terpengaruh dengan keributan itu. Gestur mereka justru terlihat sangat santai, seperti sudah mengetahui sesuatu.
"Aa. Tamu spesial kita sudah datang."
Setelah ucapan Leo, Emilia buru-buru berbalik. Waktu seakan berjalan lambat. Pria yang pernah mengisi hari-harinya tampak menggandeng lengan seorang wanita yang tak dikenal. Setelah sekian lama...pria itu semakin terlihat menawan dan tinggi.
Mantan terindahnya, William Eros. Pria yang sebentar lagi akan menjadi adik iparnya.
Pemandangan langka itu disaksikan oleh semua orang. Eros yang tiba-tiba datang di acara reuni dan menggandeng seorang wanita selain Emilia. Dan Emilia yang tampak tenang meski perutnya terasa melilit karena bertemu dengan Eros di situasi yang tak terduga.
Benar-benar sebuah reuni yang tak akan pernah terlupakan.
"Hai, Eros."
Steve dan Leo yang paling merasa terkesan saat Emilia menampilkan senyum cerah tanpa merasa terintimidasi sedikit pun. Semua orang tahu bagaimana Eros menampilkan ekspresi tak bersahabat kepada Emilia.
Namun yang lebih mengejutkan adalah ketika Eros mengulurkan tangannya ke arah wanita itu. "Lama tak bertemu, Emilia."
Emilia mengerjap pelan. Disambutnya tangan itu meski hatinya penuh dengan keraguan—setengah tak yakin bahwa Eros menyambutnya dengan baik. Atau mungkin saja pria itu tengah mempersiapkan sesuatu dibalik keramahannya malam ini. Sebab sejak berakhirnya hubungan mereka, Eros selalu menatapnya dengan kebencian yang begitu besar.
Disisi lain, Selena hanya mampu mengalihkan pandangannya ke lantai. Seingatnya, Eros, Leo, Steve dan Emilia adalah teman dekat. Mereka selalu bersama, kadang terlihat sudah seperti saudara. Dan Selena, hanyalah manusia yang dimanfaatkan oleh Eros. Seseorang yang selalu bersembunyi dibalik bayangan. Orang asing.
"Kebetulan sekali, aku ingin memperkenalkan seseorang." Eros tersenyum congkak sambil melingkarkan tangannya di sekeliling bahu Selena yang terbuka. Secara otomatis semua mata tertuju pada wanita itu. "Kekasihku, Hermia Selena."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!