NovelToon NovelToon

Korban Virtual Check!

Gila, Ganteng Banget!

Tangan Acha asyik menggulir layar ke atas untuk melihat video-video lucu di aplikasi TikTok. Zaman sekarang, hampir semua orang—dari anak SD hingga orang dewasa—mempunyai akun TikTok untuk menghibur mereka. Kalau kata beberapa remaja sih, mereka lebih memilih untuk menonton video TikTok ketimbang melihat postingan Instagram. Ya, itu karena TikTok memiliki banyak hiburan yang bisa mencerahkan pikiran dari sibuknya dunia nyata.

Seperti yang dilakukan Acha, ia sedang mencari hiburan di tengah pembelajaran yang cukup membosankan. Tidak peduli penjelasan guru, yang terpenting ia bisa melihat jajaran cowok-cowok ganteng di TikTok itu.

Tiba saatnya, ia melihat sebuah video dengan dua laki-laki berwajah tampan. Yang satu duduk di belakang sambil memainkan ponselnya, yang satunya lagi sedang lipsync lagu dari TikTok. Tetapi yang menarik perhatian Acha justru laki-laki di belakang.

"Gila, ganteng banget!" bisiknya pada diri sendiri.

Maya—teman sebangku sekaligus sahabat Acha—langsung berbisik pelan. "Cha, kamu ngapain?"

"Cuci mata," jawabnya enteng.

Maya menatap Acha dengan lelah. Sahabatnya itu tidak takut ditegur guru. "Awas ditegur Bu Lena, galaknya nggak main-main, loh."

Untuk kalimat yang satu ini, Maya melontarkannya dengan cukup serius. Memang guru yang berada di depan papan tulis itu adalah guru paling galak di SMA Harapan Bangsa. Tetapi sifat yang galak dan disiplin tetap tidak membuat Acha mematikan ponselnya. Seakan Acha tidak memiliki rasa takut.

Gadis itu justru sedang mencari username Instagram milik laki-laki yang tadi menarik perhatiannya. Hanya bermodalkan satu ponsel dan lima menit, Acha berhasil menemukan Instagram-nya. Inilah alasan Acha mendapat julukan konyol dari teman-temannya, yaitu the Girl with Magic Hand. Kemampuan stalking-nya tidak main-main.

Acha melihat nama panjang yang tertera pada profil Instagram. Alister Edward Ardonio. 'Gue tandain lo!' batinnya.

"Khansa Aria Medina!"

Acha langsung terdiam di tempat. Ditutupnya ponselnya pelan-pelan lalu dimasukkan ke dalam saku. Matanya langsung fokus menatap buku pelajaran, sesekali ia membolak-balik kertasnya.

"Cha, udah aku bilangin, kan?" kata Maya sambil mendengus.

"Khansa?" panggil Bu Lena sekali lagi.

Acha langsung menatap ke depan. Tidak baik jika dipanggil Bu Lena tetapi matanya masih tertuju ke arah buku. Acha tahu betul karakter Bu Lena. Selain galak, beliau juga sangat sensitif. Apa saja yang dilakukan murid, jika menurutnya tidak cocok, beliau akan memarahinya.

"Kamu dengar penjelasan saya tadi?" tanya Bu Lena.

Jelas jawaban Acha adalah tidak. Bu Lena sudah mengajar selama empat puluh menit dan selama itu pula, Acha tidak mendengarkan penjelasannya sama sekali.

"Ti-tidak, Bu," jawab Acha sambil merutuki kebodohannya. Biasanya ia tidak pernah kena tegur ketika bermain ponsel, tetapi kali ini ... sepertinya Acha sedang kena sial.

Bu Lena menghela napas lalu menunjuk ke arah pintu. "Tahu konsekuensi ketika main hape di jam saya, kan?"

Acha mengangguk pelan lalu berjalan keluar kelas. Ia tahu betul apa yang diminta Bu Lena. Kalau ada siswa yang ketahuan tidur atau bermain ponsel di jam mengajar, maka siswa itu wajib membuat resensi buku di perpustakaan. Itu sebabnya kini Acha berada di perpustakaan dengan satu buku di tangannya.

'Masa bodoh soal resensi, gue bakal stalking itu cowok,' batin Acha.

"What the f—astaga, Acha, tobat ngomong kasar. Aaaa, tapi dia ganteng banget!" oceh Acha sambil memberikan hati pada postingan Al. "Gimana, nih? Kayaknya gue beneran suka, deh."

Wajah mulus nan tampan ditambah proporsi tubuh yang ideal membuat Acha klepek-klepek dibuatnya. Ingin sekali Acha memeluk cowok itu sekarang juga. Lalu, Acha membuka tombol pesan dan memikirkan sesuatu yang hendak ia kirim melalui DM kepada Al.

[khansa.achaa]

[Hai!]

"Perfect!"

***

Bruk!

Al melempar tas sekolahnya ke jok motor besarnya. Pulang sekolah ini, harusnya ia memiliki mood bagus karena usainya aktivitas sekolah yang sangat melelahkan. Tetapi banjiran DM Instagram yang tidak berhenti sejak kemarin membuat kesal sendiri. Wajahnya menahan amarah dengan ponsel di tangannya. Bisa saja ia menyalakan tombol mute dan tidak perlu membaca seluruh isi DM, tetapi ada satu hal yang membuat Al tidak bisa melakukannya.

"Woi, lo mau pulang atau nyari rusuh?" tanya Bagas—sahabat Al. Motornya berada di samping Al sehingga tiap pulang sekolah, ia ikut bersama menuju tempat parkir.

"Gara-gara lo!" hardik Al.

Bagas mengerutkan kening—merasa heran. "Maksud lo?"

"Gue udah bilang kalau gue nggak mau ikutan bikin TikTok. Termasuk nggak mau nyempil di TikTok lo." Al memberikan tekanan pada setiap kata yang dilontarkan.

"Nyempil?" Bagas segera membuka ponsel dan aplikasi TikTok. Lalu, dicarinya video yang dimaksud Al. Rupanya ia pernah membuat video dan tidak menyadari ada Al di belakangnya. Dan, berakhir dengan viralnya video itu. "Anjir, TikTok gue dapet jutaan views!"

"Asal lo tahu, DM gue rame banget. Gue jadi nggak bisa bedain mana yang mau beli kue dan mana yang mau modus," jelas Al kesal.

Bunda Al memang berjualan berbagai macam kue kering dan Al mempromosikan jualan Bundanya pada Instagram-nya. Biasanya, pembeli memesan kue kering melalui DM Instagram Al atau WhatsApp Bunda Al.

Bagas terkekeh. Melihat wajah orang marah menjadi hiburan tersendiri bagi Bagas. Mungkin itu sebabnya Bagas memiliki sifat yang usil. Tetapi di lubuk hatinya terdapat sedikit rasa heran karena netizen berhasil menemukan akun Instagram sahabatnya. "Coba gue lihat Instagram lo. Gini-gini, gue bisa bedain mana yang beneran beli dan mana yang modus. Entar yang modus, biar gue hapus."

"Dih, nggak usah alasan lo! Gue tahu, lo pasti ngincer cewek cantik, kan? Nggak cukup ribuan cewek di Instagram lo?" Al menyindir Bagas dengan sinis.

Bagas hanya menyengir. Pada akhirnya, Al memberikan ponselnya pada Bagas. Sembari menunggu Bagas menghapus beberapa DM yang mengganggu, Al memundurkan motornya lalu naik ke atas jok.

"Gila, gila, gila! Banyak banget yang nggak lo balesin. Sumpah, gue greget pengen balesin."

Sontak, Al melotot. Diambilnya kembali ponselnya itu. Jangan sampai Bagas melakukan hal-hal kurang ajar yang menggunakan akunnya.

Bagas menyengir geli. "Bercanda, Al. Itu baru lima yang gue hapus. Pinjem lagi, dong."

Al menghela napas. Ia turun dari motornya lalu menurunkan standar. Al kembali memberikan ponselnya pada Bagas. Tetapi kali ini, ia ikut mengawasi agar sahabatnya tidak macam-macam. Ia paham karakteristik Bagas yang genit terhadap perempuan.

Bagas kembali melihat isi DM lalu membuka sebuah profil seorang perempuan. "Cantik banget ... Khansa Aria Medina?" gumamnya.

"Ngapain lo buka profil?" tanya Al heran. Matanya langsung melotot saat melihat Bagas menekan tombol accept. "Ehhh, ngapain lo accept request DM-nya?!"

"Kayaknya dia mau beli tuh," jawab Bagas setelah ponsel di tangannya direbut Al lagi.

Al mendengus kesal. "Kalau mau beli mah nggak usah say hi. Kalau beneran niat, pasti langsung ke intinya."

"Iyain. Pinjem lagi, gue belum hapal username-nya dia, mau gue follow." Bagas menyengir geli.

Al tidak mendengarkan ucapan Bagas. Ia kembali naik motor dan menyalakan mesin. Lalu, ia menyimpan ponselnya ke dalam saku dan mulai menjalankan motornya.

"AL! BALES CHAT-NYA, WOI! AWAS KALAU LO BACA DOANG!"

Ia bisa mendengar suara Bagas yang berteriak memanggilnya. Biarkan saja Bagas berteriak, Al sudah cukup lelah menghadapinya.

***

Ritual mandi Acha selalu dimulai pukul enam malam dan diakhiri pukul enam lebih lima belas menit. Karena hari ini rumahnya kedatangan Serra dan Maya, maka Acha buru-buru menyelesaikan ritual mandinya dan segera keluar dari kamar. Beruntung kamar tidurnya memiliki fasilitas kamar mandi pribadi, sehingga Acha tidak perlu menggunakan kamar mandi di lantai satu.

"Hape lo masih belum penuh? Hape gue lowbatt nih, nggak bawa charger," kata Serra. Ia juga salah satu sahabat Acha.

Acha yang sedang mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk lantas menyuruh Maya untuk mengecek baterai ponselnya. "May, tolong cek baterai gue, dong. Gue mau sisiran, nih."

Maya segera menyalakan ponsel Acha. Setelah dinyalakan, rupanya ponsel Acha banjir notifikasi dari berbagai aplikasi. Tetapi ada satu notifikasi yang membuat Maya agak penasaran.

"Alister Edward Ardonio? Hayooo ... kamu lagi deket sama cowok lagi, ya? Yang Febrian itu mau ditaruh di mana?" goda Maya cekikikan.

"Lo pikir Febrian barang apa? Lagian, lo kayak nggak tahu Acha aja, May. Dia kan playgirl cap kakap," kata Serra menyindir. Memang Serra terkenal dengan kalimatnya yang jujur dan blak-blakan.

"Gue anggep itu pujian," ujar Acha yang berusaha sabar menghadapi Serra. "Tunggu ... lo bilang apa tadi, May? Alister Edward Ardonio?" Otak Acha berusaha mencerna kalimat Maya tadi.

Maya mengangguk pelan. Sedetik kemudian, Acha berlari mendekatinya dan segera merebut ponsel yang masih tertancap kabel charger. Agak terkejut tetapi Maya masih maklum karena Acha memang sangat heboh.

"AAAAAA!" teriak Acha kesenangan. "Woi, DM gue dibales! Aduh, bentar lagi jadian kali ya? Entar gue ngadain anniversary di mana, ya? Terus gue enaknya pakai dress selutut atau panjang?"

Serra dan Maya yang tidak mengerti keadaan hanya bisa saling menatap. Kemudian karena penasaran, mereka pun melihat layar ponsel Acha.

"Nih, Guys, gue nemu cowok yang ganteng banget. Terus gue iseng kirim DM ke dia, eh dibales dong!" pekik Acha. "Kayaknya dia ngerasa gue cantik banget, makanya dia bales."

"Modal cantik doang bisa bangga, ya?" sindir Serra.

Acha mendengus kesal. "Ye, sialan lo!"

"Lihatin postingannya dong, Cha," pinta Maya.

Lalu, Acha membuka profil Instagram Al dan menekan postingan satu-satunya itu. Kemudian, terdengar tawa terbahak-bahak yang berhasil membuat Acha kebingungan.

"Lo bilang cowok modelan begini bales chat lo?" tanya Serra yang masih tertawa. "Yang bales temennya pasti, seratus persen gue yakin."

Acha memutar bola matanya dengan malas—berusaha untuk tidak termakan kalimat Serra. "Julid tanda iri."

"Cowok kayak gitu biasanya tipe-tipe yang dingin, Cha. Dia nggak mungkin bales DM apalagi ke orang yang nggak dikenal. Mungkin itu temennya kali?" Maya memberikan pendapat.

Serra membenarkan pendapat Maya sambil melirik ke arah Acha yang tampak masa bodoh. "Bener, palingan temennya yang bales, terus sengaja pendek-pendek biar kelihatan cool. Mau taruhan?"

Acha tetap pada pendiriannya. Ia yakin yang membalas DM-nya ini adalah Al sendiri. Lagi pula, kalau memang Al adalah tipe yang dingin, bukannya biasanya tidak mengizinkan orang lain menyentuh barang pribadi—terutama ponsel yang menyangkut hal privasi?

"Oke, gue bakal buktiin kalau memang itu dia sendiri yang ngetik," kata Acha dengan mantap.

Serra menyengir. "Yang kalah, hukumannya wajib beliin gue sama Maya baju di Zara atau Bershka."

Balasan DM

Acha bolak-balik membuka akun Instagram di bagian kotak pesan, tetapi hasilnya sama. Kemarin, ia membalas DM dari Al tetapi belum kunjung dibalas hingga saat ini. Sehingga hari ini, mood-nya sedikit buruk. Padahal ia kira, pagi tadi, ia bisa mendapat notifikasi dari Al.

[al_ardonio]

[Apa?]

[khansa.achaa]

[Boleh minta follback?]

Pesan terakhir dari Acha yang belum kunjung dibaca itu membuatnya menghela napas panjang.

'Masa belum mulai udah dicuekin gini, sih?' batinnya.

"Makin yakin gue kalau yang bales temennya." Tiba-tiba, Serra berdiri di belakang kursi Acha—membuat Acha terlonjak kaget. Rupanya ia sudah berdiri di belakang Acha dan mengintip layar ponsel temannya itu.

"Cha, udah istirahat nih. Ke kantin, yuk?" ajak Maya.

Acha mengangguk pelan. Wajahnya terlihat lesu. Disimpannya ponselnya ke dalam saku lalu menyusul Serra yang sudah berada di depan pintu kelas.

Mereka bertiga berjalan menuju kantin. Seperti biasa, karena jam istirahat, kantin sangat ramai. Mereka pun memilih tempat duduk di paling pojok dan terhindar dari keramaian. Lalu, Serra dan Maya beralih menuju stand kantin untuk memesan makanan. Sementara Acha asyik duduk di kursi—ia menitipkan pesanannya pada Maya.

Tiba-tiba, Acha mendapat notifikasi baru dari Instagram. Matanya melotot begitu melihat username yang tertera di sana. "AAAAAA!" Sekali lagi, Acha berteriak kencang. "DM gue dibales lagi, yessss!"

Acha berusaha berpikir balasan apa yang ia berikan untuk Al. Ia tidak memedulikan tatapan semua siswa yang tertuju padanya—termasuk Serra dan Maya yang sedang menahan malu.

[al_ardonio]

[Sudah gue follback, cantik.]

[khansa.achaa]

[Aaa, makasih.]

Acha cengar-cengir, tidak lupa ia menambah emot senyum agar tidak terkesan judes.

[al_ardonio]

[Asal mana?]

[khansa.achaa]

[Jakarta Selatan. Elo?]

[al_ardonio]

[Sama.]

[khansa.achaa]

[Wih, serius? Sabi dong kalau meet up?]

[al_ardonio]

[Wkwk, sabi dong. Atur waktu aja.]

[khansa.achaa]

[Btw, mau pindah Line nggak?]

"Hmm, gue terlalu agresif nggak sih?" gumam Acha. "Masa bodoh, ketimbang dia direbut cewek lain."

[al_ardonio]

[Gercep juga lo.]

[khansa.achaa]

[Eh, kalau nggak mau, nggak papa kok:)]

"Ini cringe nggak, sih?!" Acha jadi menyesal karena ingin pindah platform di saat baru pertama kali bertukar pesan. Ingin rasanya ia membatalkan pesan sebelum terbaca, tetapi diurungkan karena ingat apabila membatalkan pesan akan muncul notifikasi pada Instagram Al. Ia tak ingin menahan malu lebih banyak lagi.

Kemudian, Serra dan Maya datang bersamaan dengan mangkuk berisi mi ayam di tangannya. Mereka duduk di depan Acha.

"Lo itu kerjaannya teriak-teriak mulu. Bisa nyantai nggak, sih?" tanya Serra sambil mengunyah mi ayam.

Acha tidak menjawab pertanyaan Serra langsung. Ia menunjukkan layar ponselnya yang berisi DM Instagram-nya dengan Al tadi. Ia akan membuktikan Al bukan laki-laki dingin seperti yang dikatakan Serra dan Maya. "Dia bales chat gue setelah sekian lama, gimana gue nggak seneng coba?"

"Sekian lama ...? Perasaan baru kemarin deh," kata Maya terheran.

"Biasalah, orang alay," ledek Serra.

Serra dan Maya pun mulai membaca deretan pesan antara Acha dengan Al. Lalu, tawa terbahak-bahak kembali terdengar dari mereka. Acha yang merasa heran pun segera mengambil ponselnya dan berusaha mencari titik lucu dari deretan pesan tersebut. Sayangnya, ia tidak menemukan titik lucu yang dimaksud sahabatnya.

"Wait, wait. Lo masih yakin kalau Al yang beneran nge-chat lo? Bukan temennya?" tanya Serra sambil terkekeh geli.

"Kalau di novel, cowok kayak Al itu cuek banget, Acha. Nggak mungkin dia nge-chat sepanjang itu. Apalagi bilang kamu cantik." Kali ini, Maya berkomentar.

"Setuju, palingan dibajak temennya.Toh, ini masih jam sekolah." Serra menimpali.

Acha memutar bola matanya malas. Teman-temannya itu terlalu mengikuti alur seperti novel. Padahal belum tentu kenyataan sama dengan kejadian di novel. Memangnya ini dunia novel?

***

Biasanya ketika jam istirahat, hampir semua siswa berbondong-bondong menuju kantin. Tetapi rutinitas seperti itu tidak berlaku untuk hari ini di kelas XI IPA-1. Entah kenapa, sebagian besar siswanya memilih di dalam kelas—termasuk Al dan Bagas. Mungkin karena sebagian kebetulan membawa bekal sendiri hari ini.

Mereka berdua berada di bangku paling belakang. Al sedang tertidur sementara Bagas asyik memainkan ponsel milik Al. Sebuah rutinitas baru bagi Bagas dengan membuka Instagram Al, tentu saja karena banyak perempuan cantik yang mengirim pesan pada sahabatnya itu.

"Al," panggil Bagas.

Al masih menutup mata.

"Al! Bangun, woi!" panggilnya sekali lagi.

Tidak ada jawaban. Bagas mulai membangunkan Al dengan gerakan fisik, seperti menggoyangkan bahunya. Al yang mulai merasa terganggu pun segera membuka mata.

"Gue lagi tidur! Buta mata lo?!" hardik Al. Ia mengucek matanya pelan.

Bagas menyengir tanpa dosa. "Penting nih, Al. Lo inget cewek yang gue bilang cantik, nggak?"

"Semua cewek lo bilang cantik."

"Iya juga, ya." Bagas membenarkan ucapan Al. Lalu, ditunjukkannya sebuah postingan milik Acha kepada Al.

"Yang namanya Khansa, nih. Cantik, kan? Lo mau ngebet, nggak?" tanya Bagas sembari menunjukkan profil Instagram Acha.

Al melotot dan meraih ponselnya. "Lo follback dia?!" Ia segera menekan tombol unfollow.

"Anjrit, ngapain lo unfoll, geblek?!" Bagas ingin meraih ponsel Al tetapi diurungkan ketika melihat Al yang sedang dalam mode serius.

Al merasa kesal karena sahabatnya itu sedikit lancang. "Bisa nggak, lo jangan follow orang yang nggak gue kenal?"

"Makanya kenalan!"

Al mendengus. Kalimat Bagas terasa mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan. Lagi pula, Al sedang tidak ingin berkenalan dengan perempuan. Sebentar lagi ia akan memasuki kelas akhir lalu menentukan jurusan dan universitas. Tidak ada waktu untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis.

"Bilang aja belum move on dari dia, kan?"

Merasa Bagas menyindirnya dan membawa seseorang yang jelas-jelas harus dilupakan membuat Al menjadi geram. Ia pun membawa ponselnya dan beranjak dari kursi. Sekarang, pikirannya tertuju pada kantin. Setelah tertidur selama lima menit tadi membuat perutnya keroncongan.

"Lo yakin nggak mau kenalan sama Khansa?" tanya Bagas tiba-tiba.

Al berhenti melangkah. Tanpa berputar balik, ia mengatakan, "Nggak."

"Yakin?"

"Yakin."

Setelah mereka Bagas tidak memberikan pertanyaan lagi, Al kembali melanjutkan langkahnya. Di tengah lorong, ponsel Al berbunyi. Sebenarnya ia ingin mengabaikannya, tetapi ada rasa penasaran dengan siapa yang mengirim pesan padanya.

Mata Al melotot begitu melihat pop up notifikasi Line dari Bagas. Secepatnya ia membukanya.

[Bagas]

[Hehe, Al. Tapi gue sempet ngechat Khansa pakai akun lo tuh.]

Al melotot. Ia hendak membuka aplikasi Instagram tetapi pesan dari Bagas kembali muncul.

[Bagas]

[Nggak usah dicari, udah gue hapus.]

[Alister]

[Sial, Gas. Gue nggak mau minjemin hape gue ke elo lagi.]

[Lo ngechat apa aja ke dia?]

[Bagas]

[Hehe, cuman kenalan biasa kok. Nggak terlalu penting juga. Nggak usah dipikirin deh.]

[Alister]

[Kurang ajar lo.]

[Nggak aneh-aneh, kan?]

[Ngajak tidur, misalnya.]

[Bagas]

[Geblek, gue nggak sebejat itu.]

Al menghela napas. Antara lega dan kesal yang ia rasakan. Al jadi semakin yakin untuk tidak akan meminjami ponselnya kepada siapa pun lagi, termasuk Bagas.

Sebenarnya Al tidak begitu ingin meminjami ponselnya kepada sahabatnya itu. Tetapi terkadang Bagas yang keras kepala selalu memaksanya. Karena ia bukan tipe orang yang suka mendengarkan celotehan Bagas, maka lebih baik ia meminjami ponselnya agar Bagas tidak berceloteh lagi.

Sebenarnya Al tidak begitu peduli dengan apa yang Bagas lakukan pada ponselnya. Tetapi terkadang sikap Bagas cukup keterlaluan. Misalnya, ia menggoda seorang perempuan menggunakan akun Instagram-nya. Perempuan itu mulai baper dan ujung-ujungnya meneror Al terus-menerus. Membuat laki-laki itu cukup risi.

***

Makan malam kali ini terasa menyenangkan bagi Acha. Kepulangan ayahnya dari pekerjaannya di luar negeri menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu selama ini. Suasana makan malam diisi dengan celotehan Acha, omelan Rika, dan tawa Syarief khas bapak-bapak pada umumnya. Kini, mereka bertiga sedang menyantap makan malam yang hampir habis.

"Kamu dari tadi senyum-senyum mulu," celetuk Syarief dengan kekehan kecil. Rupanya, ia telah memperhatikan putrinya dari tadi.

"Iya dong, biar cantiknya nggak luntur," ucap Acha dengan kepercayaan dirinya yang tinggi. Padahal dalam hatinya, bukan itu alasan ia tersenyum. Siapa lagi kalau bukan Al yang menjadi faktor Acha murah senyum.

Syarief dan Rika hanya terkekeh kecil melihat putri mereka. Setelah mereka bertiga menghabiskan makan malam dengan lahap, ketiganya masuk ke kamar masing-masing.

Acha mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas meja. Tampak berbagai notifikasi muncul dari berbagai aplikasi yang terpasang pada ponselnya. Beberapa notifikasi ia hapus. Alasannya klise—tidak penting. Karena penasaran dengan balasan Al, Acha membuka aplikasi Instagram lagi. Sayangnya belum membalas, sehingga Acha beralih pada profilnya.

'Gue kudu ngecek following dia, semoga aja dia nggak nge-follow cewek-cewek,' batin Acha.

Acha mengerutkan keningnya begitu melihat tak ada username-nya yang muncul pada bagian following Al. Lalu karena penasaran, ia mencari username Al pada bagian followers-nya. Tidak ada juga.

"Sial, gue di-unfoll?!" Mata Acha melotot tak percaya. Baru saja ia seperti dinaikkan ke atas, lalu dijatuhkan secara tiba-tiba.

Sungguh tidak menyangka Al memberinya harapan palsu seperti ini. Tetapi Acha tidak ada niatan untuk meng-unfollow Al. Bisa saja laki-laki itu kebetulan menekan tombol 'berhenti ikuti' pada profil Acha.

Di saat yang bersamaan, muncul notifikasi request DM. Biasanya Acha membiarkan request DM alias tidak membacanya. Tetapi karena sedang tidak ada kerjaan, Acha iseng membukanya.

[bagass.radit]

[Hai, gue Bagas Raditya.]

[Gue temennya Alister. Lo tahu?]

Alister. Nama yang terlihat familier untuk Acha. Ia pun membuka profil Instagram Bagas. Rupanya Instagram Al mengikuti Instagram Bagas. Pantas nama Alister tidak terlihat asing. Lalu, Acha melihat-lihat berbagai postingan Bagas.

Dibanding Al, Bagas lebih aktif di media sosial. Bisa dilihat dari ratusan postingan bahkan highlight stories yang tertera di sana. Acha langsung ingat wajah Bagas yang ia lihat pada TikTok yang menampilkan wajah Al waktu itu. Beruntung Bagas membuat video tersebut sehingga Acha bisa mengenal Al.

'Gue kudu baik-baik sama dia nih,' batin Acha.

[khansa.achaa]

[Hai. Tahu dong.]

[Salken ya, gue Acha.]

Setelah membalas pesan tersebut, Acha membuka Instagram Al lagi untuk memastikan bahwa penglihatannya tadi salah. Rupanya, setelah beberapa kali mengecek dan memperbarui laman, hasilnya tetap sama. Instagram Al memang sudah tidak mengikuti Instagram-nya lagi. Bahkan, tidak ada tanda-tanda notifikasi bahwa Instagram Al kembali mengikuti Instagram Acha. Acha mendesah kecewa. Ingin sekali menanyakan melalui pesan, tetapi Acha masih tahu malu.

Kemudian, ia menerima pesan lagi dari Bagas. Segera ia membukanya karena penasaran. Mungkin saja Bagas bisa membantunya untuk melakukan pendekatan pada Al.

[bagass.radit]

[Haha, salken juga.]

[Lo anak Jaksel, kan?]

[Meet up?]

Acha mengerutkan alisnya. Setahunya, ia tidak pernah memasang lokasinya di Instagram. Jadi, bagaimana Bagas tahu bahwa ia dari Jakarta Selatan? Mungkinkah...

'Al bahas gue di depan Bagas?! Anjir, ini pede abis. Tapi, bisa jadi, kan?' batin Acha sembari cekikikan memikirkannya. Kalau memang seperti itu, ia jadi sedikit terharu karena Al membicarakannya. Meski ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

[khansa.achaa]

[Tahu dari mana gue anak Jaksel?]

[bagass.radit]

[Al.]

"AAAAAAA!" Acha menjerit kesenangan. Pemikirannya memang selalu tepat.

[bagass.radit]

[Jadi, mau meet up?]

Acha tampak berpikir sejenak. Bagas memang teman Al, tetapi mereka berdua masih berstatus sebagai pria asing. Acha jadi sedikit ragu untuk menemuinya. Entahlah, lebih baik besok ia pikirkan.

***

"Tangannya kurang diangkat, Mila! Terus, Dina dan Sarah geser ke samping dikit! Yes, that's perfect, Khansa!"

Beberapa anggota Cheers tampak latihan dengan sungguh-sungguh bersama ketua Cheers mereka—Angel. Termasuk Acha yang sedang memasang pose akhir dalam cheerleading. Selanjutnya, kegiatan Cheers dihentikan sementara karena para anggota akan beristirahat.

Acha mendekati botol minumnya yang berada di pinggir lapangan. Ia meneguk hampir setengah isi botol tersebut. Maklum, Acha menguras banyak tenaga untuk latihan yang satu ini.

"Cha, ajarin gue scorpion pose, dong." Salah satu anggota Cheers bernama Sarah menghampiri Acha. "Asli, kaki gue sulit banget buat diangkat. Jadi gerakan gue belum maksimal."

"Lo udah serius waktu perenggangan otot belum?" tanya Acha.

Sarah mengangguk.

Kemudian, Acha mengajak Sarah menuju lapangan. Beberapa anggota Cheers yang melihatnya ikut mendekat ke arah Acha dan Sarah.

Ketua Cheers mereka—Angel—seringkali menyuruh anggota Cheers untuk saling membantu dan mengajari. Tujuannya agar jiwa kepemimpinan tidak hanya ada di Angel saja. Kebetulan karena Acha yang paling terbaik, maka banyak di antara mereka yang memintanya untuk mengajarinya. Sementara yang lain bisa memperhatikan, barangkali untuk menambah ilmu.

"Lo rileks aja ya, gue bantu arahin." Acha menyentuh kaki Sarah lalu mulai mengarahkan sesuai gerakan yang diminta. Tidak lupa, ia memberikan sedikit tips agar kaki Sarah tidak mudah kram. "Nah, ini udah bener."

Sarah menurunkan kakinya. "Thank you, Cha."

"Anj*y, udah jago aja lo, Sar," puji Kamila terkekeh geli.

"Ya iyalah, diajarin Acha bakal bikin makin jago," tutur Dina yang ikut bangga.

Acha tertawa. "Sarah mah dasarnya udah jago. Gue asah dikit juga langsung nge-top."

Keempat anggota Cheers itu tertawa sembari memuji satu sama lain. Sementara anggota lainnya membuat kelompok sendiri-sendiri. Hanya ada satu anggota yang duduk sendirian. Dari awal, gadis itu memang tidak bergaul dengan anggota Cheers lainnya.

Sebetulnya Acha tidak begitu peduli. Hanya saja, ketika tadi ia perhatikan, gadis itu membuat sedikit kesalahan. Tidak begitu fatal, tetapi jelas membuatnya sedikit resah. Acha tidak ingin ada kesalahan-kesalahan kecil ketika mereka tampil nanti.

"Aya!" Begitulah Acha memanggil nama gadis itu.

Gadis yang bernama Aya langsung menoleh.

Acha menghampiri Aya yang sedang duduk sendirian. Sementara anggota Cheers lainnya memperhatikan mereka berdua. Jarang sekali mereka berinteraksi. Apalagi Aya tidak pernah meminta Acha untuk mengajarinya apabila ada kesulitan. Aya benar-benar menyendiri di klub Cheers ini.

"Tadi lo kurang senyum. Next time, jangan lupa senyum ya," kata Acha yang langsung diangguki Aya.

Acha kembali ke tempat duduknya. Saat ia melihat ponselnya tergeletak di samping botol minum, ia langsung mengingat kejadian kemarin malam. Segera Acha membuka aplikasi Instagram dan mencari username Bagas.

[khansa.achaa]

[Ayok deh.]

Jawaban Acha adalah iya. Memang sekilas ia terlihat ragu, tetapi Acha masih penasaran dengan Al. Mungkin melalui Bagas nanti, ia bisa semakin dekat dengan laki-laki itu.

Yakin?

Acha sedang menunggu supirnya untuk menjemputnya pulang. Itu sebabnya ia sedang duduk di lobi bersama Serra dan Maya. Serra biasanya membawa motornya sendiri dan Maya menggunakan angkutan umum, tetapi mereka sengaja belum pulang untuk menunggu Acha dijemput terlebih dahulu.

"Eh, gue belum cerita ini ke kalian." Acha menarik lalu menghembuskan napasnya berulang kali. Ia merasa gugup. "GUE BAKAL KETEMU SAMA BAGAS!"

Serra dan Maya saling pandang. Tidak mengerti apa yang sahabatnya itu bahas. Tapi yang pasti, mereka tahu Acha akan membahas laki-laki, apalagi yang menurutnya tampan. Hanya saja, entah kenapa sampai sekarang gadis itu belum kunjung pacaran. Bahkan, pacaran saja tidak pernah.

"Sorry, lupa jelasin," kata Acha terkekeh. "Bagas itu sahabatnya Al. Inget Al, kan?"

Maya mulai mengangguk pelan. "Yang waktu itu dari TikTok, kan? Kalian ... mau ketemu?"

Acha mengangguk cepat. Lalu, ia menunjukkan sederet pesannya dengan Bagas kepada dua temannya itu. "Iya! Menurut kalian gimana?"

"Yakin lo? Inget, dia itu orang asing. Kalian baru kenal lewat media sosial," papar Serra. "Gue tanya, kalian kenal sejak kapan?"

"Baru kemarin," jawab Acha sambil memelankan suaranya.

Serra langsung melotot. Ia mencubit lengan Acha pelan. "GOBLOK!"

Acha menghela napas sambil meringis kesakitan akibat cubitan Serra. Ia tahu seharusnya ia tidak boleh pergi bersama orang asing yang baru berkenalan. Tetapi ia ada ide bagus untuk mengatasinya. "Tapi, gue ada ide! Gimana kalau kalian ikutan ketemu sama dia juga? Cuman kalian diem-diem ngikutin di belakang aja."

Serra menggeleng tanda tidak setuju. Meski jumlah mereka ada tiga, tetap saja bahaya jika bertemu dengan orang asing—apalagi seorang laki-laki. Bisa saja Bagas membawa teman laki-lakinya juga lalu membuat rencana jahat. Toh, di dunia ini, kita tidak bisa percaya pada orang lain.

Maya ikut menggeleng. Matanya memperlihatkan rasa khawatir. "Terlalu bahaya, Cha. Mending kamu tolak aja deh. Kalau mau ketemu, tunggu bener-bener deket."

Tetapi Acha keras kepala. Menurutnya, idenya sudah bagus. Lagi pula, Serra lumayan jago bela diri. Barangkali ada sesuatu yang tidak terduga, Acha bisa meminta pertolongan dari Serra. "Ayolah, Guys! Gue kan perginya sama kalian! Coba gue tanya, kalian mau lihat cogan nggak?!"

"MAU!"

"NGGAK!"

Jawaban Maya dan Serra saling bertolak belakang. Mereka pun saling menoleh karena tidak menyangka jawaban mereka berbeda. Padahal tadinya satu pemikiran ketika Acha hendak menemui pria asing. Tentu saja Maya menjawab mau, gadis itu kurang lebih sama seperti Acha—sama-sama menyukai cogan alias cowok ganteng. Hanya saja Acha lebih terobsesi dibanding dirinya.

"Kalau gitu, Maya wajib ikut gue," sahut Acha agak memaksa. "Serra juga harus ikut, tapi berdiri di belakang."

Maya melotot. "Kamu kok nggak ada takut-takutnya, sih?!"

Acha mengangkat bahunya tak acuh. Lalu, tangannya menunjuk Serra yang mulai memasang ekspresi tidak peduli. "Kan, ada Serra!"

"Lah, kok gue?!" protes Serra. Ia merasa tidak paham dengan jalan pemikiran Acha.

Lagi-lagi, Acha mengangkat bahunya tak acuh. "Ya, pokoknya ada elo!" Kebetulan supirnya sudah datang, sehingga gadis itu cepat-cepat meraih tasnya lalu berpamitan. Kemudian, ia berjalan memasuki mobil dan meninggalkan Serra dan Maya yang masih termenung.

"Kamu ikut Acha pergi, kan?" tanya Maya.

Serra mendengus kesal. "Memangnya ada opsi tolak?"

Maya tersenyum geli. Acha tidak menerima penolakan. Ya, semoga saja tidak ada bahaya yang menghampiri mereka.

***

Hari ini, Al merasa terbantu dengan kedatangan Bagas di rumahnya. Kebetulan, ia sedang menyiapkan dan membungkus kotak-kotak berisi kue kering yang akan dijual. Karena angka pesanan sedang tinggi, maka Al meminta Bagas ikut berpartisipasi dalam pekerjaannya ini.

"Ye, lo itu temen apa bukan, sih? Gue dateng bukannya disambut malah dikasih kerjaan," sungut Bagas. Meski begitu, ia tetap senantiasa membantu sahabatnya.

Al terkekeh pelan. "Entar gue kasih kue buat bawa pulang, deh!"

Bagas tidak protes lagi. Kue buatan ibu Al memang sangat enak. Tidak mungkin ia menolak camilan seenak itu. Lalu, laki-laki yang memiliki lesung pipi itu teringat sesuatu yang menjadi salah satu alasan dirinya datang ke rumah Al.

"Gue mau ketemuan sama Khansa."

Al tidak merespons. Ia masih sibuk memasang isolasi pada kotak kue. Bagas sudah menduga bahwa sahabatnya itu tidak akan peduli atau mungkin ... pura-pura tidak peduli?

"Lo mau ikut nggak?" tawar Bagas. "Kayaknya dia suka sama lo tuh."

"Nggak," tolak Al cepat.

Bagas tidak akan menawarnya dua kali. Ia cukup senang Al menolaknya. Dengan begitu, ia bisa leluasa mendekati Acha tanpa perlu memikirkan saingan. Yang ia perlu pikirkan adalah cara agar Acha meliriknya.

Tidak lama kemudian, seorang ibu paruh baya dengan tubuh yang masih proporsional berjalan dari arah dapur menuju ruang makan. Ia terkejut melihat ada tamu yang datang ke rumahnya.

"Eh, ada Bagas? Ya ampun! Maaf ya, kamu harus bantuin bungkus kue," ujar Marlina sembari menarik kotak kue dari tangan Bagas. "Al juga nggak bilang Bunda. Kalian masuk kamar aja, ya."

Bagas menyengir. "Santai aja, Bun. Maaf juga nggak sapa Bunda dulu. Tadi waktu datang, tiba-tiba ditodong suruh bantu bungkus kue."

Marlina melirik tajam ke arah Al. Yang dilirik justru tidak peduli dan sibuk membungkus kue yang sebentar lagi akan selesai.

"Oh iya, Bun, ada yang suka sama Al nih," ucap Bagas tiba-tiba untuk memecah keheningan. "Tapi nggak tahu Al-nya suka balik atau nggak."

Al langsung menatap Bagas dengan kesal. Memang selama ini banyak perempuan mendekatinya tetapi ia sengaja tidak menceritakannya pada Marlina. Toh, tidak ada untungnya karena perempuan itu tidak menarik di mata Al.

Marlina langsung menatap Al sambil tersenyum geli. "Emangnya Al udah move on?"

Sudah bukan rahasia lagi bagi Marlina dan Bagas perihal Al yang pernah berpacaran sewaktu SMP selama tiga tahun. Tetapi akhirnya putus karena suatu hal yang membuat putra Marlina itu berujung kegalauan selama beberapa bulan. Marlina sengaja tidak membicarakan hal itu lagi, tetapi Bagas malah memancingnya.

"YA BELUM DONG! HAHAHA." Bagas tertawa terbahak-bahak.

"Udah! Udah dari lama! Lo sok tahu!" jawab Al judes. Ia menyingkirkan kotak kue yang sudah dibungkus rapi itu dari hadapannya lalu berjalan masuk ke kamar. Telinganya panas mendengar Bagas yang meledeknya.

"Ngambek tuh, Bun," ledek Bagas.

Marlina terkikik geli. Lalu, matanya fokus menatap kotak-kotak kue yang sudah terbungkus rapi. "Bagus deh kalau udah."

Bagas paham karakter Marlina yang sangat menyayangi Al. Waktu Al sedang galau, laki-laki itu mogok makan dan membuat Marlina khawatir setengah mati. "Bunda masih khawatir?"

"Bunda cuman nggak mau anak Bunda dekat sama perempuan nggak benar," jelas Marlina. Kemudian, matanya mengerjap dan tersadar sesuatu. "Eh, maaf, Bunda nggak bermaksud menge-cap dia sebagai anak nggak benar."

"Iya, Bagas paham kok, Bun." Bagas tersenyum tipis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!