Ava Grace adalah wanita yang lahir di kota pinggiran yang kumuh, kotor dan tidak layak. Dia hidup selama itu sudah lebih dari cukup dengan datang ke sekolah, belajar, dan bekerja paruh waktu demi sesuap nasi. Kuliah tidak pernah terlintas di pikirannya saat itu, makan sesuap saja sudah sangat bersyukur baginya.
Kehidupannya selama belasan tahun lalu masih terbilang bisa Ava syukuri walau pun dirinya hidup dalam lingkungan miskin nan tidak mampu, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan pria iblis itu. Pria yang merebut segala-galanya, merebut kehidupan, kesucian dan juga masa depannya.
Ava pernah di culik dan di jadikan tawanan oleh seorang boss mafia besar bernama Evan Valachi. Hanya karena kesalahan ibunya, Ava harus menanggung kehidupan buruk itu. Menjadi tawanan dan tinggal di mansion yang tidak lebih seperti neraka. Empat tahun dirinya terkurung di rumah Evan hanya untuk menjadi sebuah pajangan dan juga di jadikan sebagai boneka pemuas untuk pria itu di kala bosan melanda sang boss mafia tersebut.
Ava bukanlah wanita kuat, ia sangat lemah dan tidak mampu melakukan apapun selain diam, menjadi seperti patung dan mengikuti semua kemauan Evan. Beberapa kali dia pernah menolak dan berusaha melarikan diri, tetapi Evan selalu berhasil menangkapnya semudah mencabut sejumput rumput di bawah kakinya.
Selama 4 tahun itu mental Ava hancur dan berantakan. Tak ayal terkadang dirinya pernah beberapa kali berusaha untuk menghilangkan nyawanya sendiri demi bisa bebas dari neraka yang Evan buat untuk dirinya, tetapi selalu gagal dikarenakan Evan selalu gesit untuk mencegahnya.
Dua tahun kemudian wanita itu mengandung anak dari pria itu. Banyak bisikan jahat yang terlintas di pikirannya, yaitu menggugurkan janinnya, tidak membiarkan anak itu lahir ke dunia jahat ini.
Tetapi Evan selalu berhasil mencegahnya, pria itu tidak membiarkan dirinya untuk melukai anak yang berada di dalam kandungannya.
Selama masa kandungannya, Ava tidak pernah benar-benar baik, dia seperti patung yang bisa berjalan. Sampai akhirnya peristiwa besar itu terjadi, salah satu musuh Evan memiliki dendam dengan pria itu dan menyandera serta melukai Ava, menembakkan peluru pada bahu wanita hamil itu dan juga menembak area yang dekat dengan perutnya.
Ava di larikan kerumah sakit dan menjalani operasi sekaligus melahirkan bayi prematurnya.
Ava terbangun dari operasi itu tiga hari kemudian, dengan Evan yang mengatakan bahwa dirinya bisa pergi sejauh mungkin dan tidak akan memaksa Ava untuk tinggal di sisinya lagi. Tentu saja itu adalah kesempatan bagus untuknya, Ava pikir anaknya telah mati karena keteledorannya dan Evan membenci dirinya lalu membiarkan dirinya pergi sejauh mungkin.
Itu pemikiran yang terlintas dari kepala mungil Ava sampai akhirnya ia kembali bertemu dengan pria iblis itu 5 tahun kemudian.
Ava melotot melihat Evan berdiri di hadapannya dengan seorang anak laki-laki yang memanggil dirinya Mama.
Anak laki-laki itu terlihat tampan, rambutnya berwarna sama dengan Ava, tetapi seluruh wajahnya benar-benar cetakan Evan.
Apa itu benar-benar putranya? Anak yang Ava anggap sudah mati beberapa tahun lalu.
...***...
...Ini prolog dulu ya. Jika kalian suka, jangan lupa untuk simpan, like dan vote. Kalau mau juga boleh kirim hadiah untuk aku🥰🤭...
...Plagiat dilarang ke sini, atau kalian akan dapat konsekuensinya!...
Ava menatap tidak percaya pada seorang anak laki-laki di hadapannya yang tingginya masih sebatas pahanya.
“Ap-apa?” wanita itu berucap dengan suara bergetar.
Sekuat tenaga Ava berusaha untuk tidak menangis, walaupun sungguh dirinya saat ini ingin sekali menangis melihat anaknya masih hidup dan sedang berdiri di hadapannya dengan tatapan polos layaknya bocah kecil.
“Mama?” anak laki-laki itu mendongak tinggi, matanya yang berwarna hitam terlihat mengerjap bingung menatap ibunya yang terdiam.
Ava mendongak, mengalihkan tatapannya ke Evan yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya. “Apa dia benar-benar?”
Evan mengangguk, wajahnya masih sama seperti bertahun-tahun sebelumnya, masih terlihat tampan dan sekarang sudah memiliki beberapa bulu halus di dagunya.
“Seperti yang kamu lihat.” jawab Evan.
“Bagaimana bisa … ” wanita itu masih menatap tidak percaya pada putranya.
“Tentu saja bisa.” jawab Evan sekenanya.
Mata pria itu menatap bergantian pada putranya dan wanita di hadapannya yang masih berada di status sebagai istrinya. Mereka memang berpisah selama lima tahun ini, tetapi hubungan mereka masih suami dan istri. Evan membiarkan Ava pergi sejauh mungkin dari dirinya, tetapi dia tidak akan mencopot status pernikahan mereka. Bahkan sampai kiamat mendatanginya, Ava akan selalu menjadi istrinya.
Ava mendongak, menatap langit di atas kepalanya. Matanya mengerjap berkali-kali, menahan supaya air matanya tidak turun. Pertemuan tidak sengaja ini terjadi di depan kantornya saat Ava sedang istirahat dan pergi menuju restoran di depan sana.
Tiba-tiba saja seorang anak kecil berlari dan memeluk kakinya sambil memanggil dirinya Mama. Tentu saja hal itu membuat Ava kaget dan panik, semakin panik lagi saat melihat pria yang sudah menghancurkan kehidupannya selama ini.
“Aku ingin mendengar semua hal yang sudah kamu senbunyikan dariku, Evan.” pinta Ava, menatap tajam pada pria itu.
Evan melirik mobil hitam yang terparkir di belakang tubuhnya, mobil miliknya. Telunjuknya berputar mengudara, mengisyaratkan pada supirnya untuk pergi mencari tempat parkiran yang tersembunyi.
“Kita bisa berbicara sekarang.” ucap Evan sambil membalas tatapan Ava.
Ava menggeleng. “Tidak, bukan sekarang. Aku masih harus bekerja. Bisakah kita mengobrol nanti sore?” mata wanita itu turun menatap putranya yang memainkan rok kerjanya menggunakan jari-jarinya yang masih berukuran kecil.
Evan mengikuti arah tatapan Ava, lalu mengangguk sambil menghela napas panjang. “Baiklah, kami akan pergi dan menunggumu di kafe seberang sana.” tunjuk Evan pada kafe di luar kantor penerbitan buku di mana Ava bekerja selama ini.
Ava mengangguk dan membalik tubuhnya untuk pergi memasuki gedung kantornya, tetapi bocah kecil itu menarik roknya.
“Mama ingin meninggalkan kami lagi?” bocah lelaki itu terlihat ingin menangis, tangannya yang kecil semakin kuat menggenggam rok ibunya ketika melihat Ava ingin pergi menjauh.
Ava menggigit bibirnya menahan tangis, dia ingin menjawab perkataan putranya, tetapi Evan lebih dulu menggendong bocah itu dan menariknya mundur. “Kita akan bertemu dengan ibumu lagi, Noel. Jangan cengeng seperti ini.” Evan membawa anak bernama Noel itu pergi menjauh.
Ava hanya dapat terdiam melihat keduanya semakin berjalan menjauhi dirinya, dia menelan saliva susah payah mendapati hal ini. Ava memang membenci Evan, tetapi dia tidak benar-benar membenci putranya, darah dagingnya sendiri.
Memang saat itu Ava berusaha menggugurkan kandungannya untuk niat baik. Dia tidak bisa membiarkan anak yang tidak tahu apa-apa itu harus lahir di dunia dan kehidupan yang jahat ini. Ava tidak bisa membiarkan putranya lahir dan memiliki seorang ayah yang menjadi seorang boss mafia kejam seperti Evan.
•
•
Ava baru saja selesai bekerja, kakinya melangkah keluar dari gedung kantornya sambil mengeratkan ransel di punggungnya yang berisi sebuah laptop. Matanya langsung tertuju pada kafe yang berada di seberang gedung tempatnya bekerja. Di kafe itu ada putra dan suaminya. Ava sendiri masih tidak bisa menganggap Evan sebagai suaminya.
Pernikahan mereka beberapa tahun lalu adalah pernikahan paksaan. Pernikahaan tanpa berlandaskan cinta dan hanya ada hubungan yang sakit, seperti menelan kawat besi yang tajam.
Anak bernama Noel itu lahir di antara ibu dan ayahnya yang tidak saling mencintai. Atau mungkin sekarang Evan memiliki perasaan lebih untuk istrinya?
Wanita itu mendorong pintu di hadapannya, matanya segera terpusat pada seorang pria tinggi dan kekar sekaligus seorang anak laki-laki yang sedang tertidur di pelukan Evan. Ava meringis melihat putranya yang tertidur karena menunggu dirinya bekerja.
“Evan.” Ava memanggil pria itu dengan pelan supaya putra mereka tidak terbangun.
Pria itu menoleh, tangannya mengelus lembut punggung Noel yang tertidur nyaman dalam dekapannya. Ava merasa aneh melihat itu, melihat bagaimana sikap kebapakaan seorang boss mafia kejam seperti Evan Valachi.
“Maaf aku membuat kalian menunggu.” ucap Ava sembari mendudukan dirinya pada kursi di hadapan Evan.
Lima tahun sudah berlalu, banyak psikolog yang sudah membantu mental Ava selama ini. Walaupun terkadang Ava masih selalu bermimpi buruk dengan wajah Evan yang selalu membayangi mimpi-mimpinya. Tetapi sekarang dia mencoba sekuat tenaga untuk tidak takut lagi pada mimpi buruk itu.
Evan menatap lekat wajah lelah Ava. Selama bertahun-tahun ini dia berusaha melupakan istrinya, tetapi tidak pernah berhasil. Lima tahun ini Evan tidak pernah absen untuk terus memantau Ava dari jarak jauh, memastikan wanita itu tetap baik-baik saja untuk tidak menghilangkan nyawanya sendiri seperti beberapa tahun lalu.
“Bagaimana kabarmu?” Evan bertanya pelan.
Ava menaruh ranselnya di bawah kakinya, dia duduk dengan canggung. Evan berbeda jauh dari beberapa tahun lalu, ini benar-benar membuat Ava menjadi takut dengan pria itu.
“Aku….baik-baik saja.” Ava berusaha tegar dan tidak takut, mencoba mengatakan bahwa dirinya selama ini baik-baik saja hidup tanpa pria itu.
Evan mengangguk singkat.
“Katakan semuanya tentang dia.” Ava menunjuk Noel yang masih nyaman tertidur di gendongan Evan.
“Dia lahir prematur saat itu. Aku membiarkan kamu pergi dari kehidupanku dan tidak mengatakan kepadamu bahwa putra kita masih hidup. Selama lima tahun ini aku mengurus Noel bersama dengan babysitter yang juga sudah menjadi pengasuhku sejak aku masih kecil,” Evan menjeda dan menarik napas panjang. Ava masih setia mendengarkannya.
“Lima tahun itu sangat sulit bagiku. Aku tidak mengetahui cara mengurus anak. Kehidupanku yang sudah kotor dan buruk sejak kecil membuatku sedikit takut untuk mengurus Noel. Tapi para anak buahku mengatakan bahwa aku bisa mengurus Noel, perkataan mereka membuatku mencoba untuk berusaha sebaik mungkin membesarkan putraku.” Evan melanjutkan.
“Itu putraku juga.” selak Ava, matanya menatap tajam, tidak terima jika pengorbanan selama mengandung Noel di anggap sebagai putra pria itu saja.
Evan terdiam, sebentuk senyum sinis terpatri di wajahnya. “Dulu kamu tidak menginginkan anakku, Ava. Kamu berusaha untuk membunuh anak kita.”
Ava menggigit bibirnya, menahan air matanya. “Aku….aku tidak bisa membiarkan anak itu lahir di kehidupan seperti ini. Aku adalah gadis miskin yang lahir di pinggiran kota kumuh, dan kamu seorang boss mafia yang memiliki banyak musuh di luaran sana. Itu adalah kehidupan yang buruk bagi dia.” wanita itu menatap putranya yang mendekur halus selama tertidur.
Evan mengetatkan rahangnya, entah kenapa ia tidak suka melihat nada lirih dari Ava.
“Aku tahu, kita sama-sama memiliki kehidupan yang tidak layak. Tapi kita bisa mencoba untuk memiliki keluarga kecil yang bahagia.” kata Evan.
Ava membuang muka, takut jika dia berlama-lama menatap Evan akan membuatnya benar-benar bisa menangis.
Evan menghela napas melihat sikap wanita itu, ia beranjak berdiri untuk pergi. Pertemuan ini sepertinya tidak bisa membuat Ava kembali tinggal bersamanya.
“Tunggu, kamu ingin kemana?” Ava ikut berdiri, tangannya menarik belakang kemeja Evan.
“Pulang. Kamu tidak mungkin mau untuk kembali tinggal bersama denganku, atau putra kita. Kita tidak perlu bertemu lagi, aku masih sanggup mengurus Noel sendirian.” jawab Evan tanpa mau menatap wajah Ava yang kini kedua mata wanita itu memerah menangis.
“Aku belum menjawab untuk tidak ingin tinggal bersamamu dan Noel. Aku…aku perlu memikirkannya dulu. Bisakah kita bertemu lagi, besok?” pinta Ava.
Evan jelas mendengar wanita itu menangis. Bertemu lagi? Tentu saja Evan tidak akan menyia-nyiakan hal ini.
...***...
...Jika kalian suka, jangan lupa untuk simpan, like dan vote🥰...
Evan menidurkan Noel di kasur dengan perlahan, tangannya merapihkan rambut putranya yang berantakan. Kemudian pria itu bergerak mundur keluar dari kamar anaknya.
Helaan napas panjang keluar dari mulut Evan sambil berjalan menuju ruang kerja yang berada di mansionnya. Evan mendorong pintu dan masuk ke dalam, matanya langsung mendapati sosok temannya yang sedang duduk santai di sofa yang berada di seberang meja kerjanya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Evan bertanya dengan nada tajam, dia ikut duduk di sofa di sana.
Morres menyesap minuman alkoholnya, kedua kakinya naik keatas meja kopi di hadapannya.
“Aku dengar kamu bertemu dengan wanita itu.” jawab Morres dengan nada mengejek.
Evan menghela napas panjang, punggungnya bersandar pada sandaran sofa.
“Seperti biasa, aku selalu mengajak Noel untuk melihat ibunya dari jarak jauh, supaya anak itu tahu bagaimana sosok ibunya. Tapi aku tidak menyangka bahwa Noel sama keras kepalanya seperti Ava.”
Morres mengerutkan dahinya mendengar penjelasan Evan yang terasa menggantung dan tidak lengkap.
“Lalu apa yang terjadi?” Morres bertanya penasaran.
“Noel keras kepala, dia meronta dan tanpa di sadari anak itu sudah turun dari mobil, berlari secepat kilat mendekati ibunya yang sedang berada di luar kantornya.” lanjut Evan, pria itu memejamkan matanya karena merasa pusing dengan kejadian barusan.
Morres mendengkus, kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Aku tidak menyangka pria kejam dan dingin sepertimu tidak bisa melakukan apapun terhadap putramu itu.” sahut Morres.
Evan masih nyaman untuk memejamkan erat kedua matanya, mendengar tawa mengejek dari temannya malah semakin membuatnya pusing.
“Hentikanlah, lebih baik kamu pergi dari rumahku.” usir Evan secara terang-terangan.
“Kenapa kamu terlihat depresi sekali hanya karena sehabis bertemu dengan istrimu itu?”
Evan tidak segera menjawab, dia membuka kedua matanya, tangannya meraih gelas yang berada di tangan Morres, lalu meminumnya dengan sekali teguk.
“Hei, aku baru meminumnya sedikit.” Morres menatap tidak percaya pada kelakuan temannya.
“Dia mengajak untuk bertemu lagi.” celetukan Evan membuat kedua mata Morres membulat terkejut.
“Dia siapa?”
“Ava.”
Ini sungguh di luar dugaan. Selama bertahun-tahun itu, Morres tentu tahu bagaimana hubungan sakit antara Ava dan Evan. Morres selalu menjadi penonton di saat Evan selalu melukai mental wanita itu, dia selalu menjadi penonton di kala Ava selalu berusaha untuk kabur dan menyakiti dirinya sendiri. Walaupun Evan tidak pernah melukai fisik Ava, tetapi jika mental yang di lukai, itu akan membekas seumur hidup.
Seharusnya Ava masih membenci Evan, seharusnya wanita itu tidak perlu peduli dengan anak yang tidak pernah wanita itu inginkan.
Tetapi sekarang? Ava ingin bertemu lagi dengan Evan dan putra mereka?
Apa ini bisa di sebut hal baik? Atau hal buruk?
Morres mendengkus sinis. “Lalu kenapa kamu terlihat seperti anak remaja yang sehabis putus cinta seperti ini?”
Evan menarik napas gusar, matanya membalas tatapan Morres yang terlihat mengejeknya.
“Aku sudah membiarkan dia untuk pergi sejauh mungkin dari kehidupanku. Aku membiarkan dia bebas. Tapi di saat dia tahu bahwa putranya masih hidup, dia berlagak sebagai ibu yang butuh anak dan ingin bertemu dengan ku lagi.”
“Bukan kamu lebih tepatnya, Ava ingin bertemu dengan putranya.” Morres meralat.
Evan berdecak lidah, ia membuang muka dan menatap jengah pada seisi ruang kerjanya.
“Beberapa tahun lalu dia berusaha membunuh anaknya sendiri.” celetuk Evan.
Morres ikut berdecak, hubungan temannya itu benar-benar rumit dan menyebalkan. Sejujurnya ini bukan sepenuhnya salah wanita itu, sudah bertahun-tahun lamanya hidup Ava harus membiarkan dan menerima semua keegoisan seorang Evan. Logika wanita itu masih berjalan di saat mentalnya semakin hancur karena Evan, yaitu dengan tidak membiarkan anak yang tidak tahu apapun harus lahir di dunia jahat ini, di antara ibu dan ayah yang tidak pernah akur.
“Lalu apa yang kamu jawab saat wanita itu berkata ingin bertemu dengan kalian lagi?” tanya Morres penasaran.
“Tentu saja kita bisa bertemu lagi, besok.” jawab Evan.
Morres menepuk kedua pahanya, lalu bangkit berdiri. “Baiklah, besok kalian akan bertemu lagi. Kamu perlu tidur yang nyaman, Evan. Bawah matamu sudah semakin gelap.” pria itu menyarankan.
“Sejak kapan aku bisa tertidur dengan nyaman?” Evan mendengkus dengan pertanyaannya sendiri.
Setelah di tinggal selama lima tahun oleh Ava, tidak pernah dirinya tidur dengan nyaman. Bahkan ada hari di mana terkadang dia merasa rindu dengan wanita itu, dan ada hari di mana Evan harus begadang untuk mengurus anaknya yang masih bayi.
Morres mengedikkan bahunya tak acuh dan tidak tahu dengan pertanyaan Evan.
“Kamu harus tidur. Usahakan saat bertemu besok, jangan bertengkar dengan wanita itu di depan putra kalian.” Morres menyarankan lagi sebelum benar-benar melangkah keluar dari ruang kerja Evan.
Meninggalkan Evan sendirian di dalam ruang kerja dengan mata terpejam erat dan kepala yang terus berisik.
•
•
Ava duduk di ruang tamu apartemennya dengan perasaan gelisah. Ini sudah siang, hari di mana dia akan bertemu lagi dengan pria itu dan juga putranya. Wanita itu menggigit kuku jarinya gugup, tidak sabar menanti kedatangan anaknya.
Tanpa perlu memberitahukan alamat apartemennya, sudah pasti Evan akan tahu karena pastinya pria itu tahu di mana Ava kerja dan tinggal. Pria itu tidak lebih dari seperti seorang penguntit yang memantau istrinya yang kabur.
Bunyi bel di depan pintu yang berada di hadapannya membuat Ava mendongak cepat. Wanita itu segera berdiri dan melangkah guna membuka pintu apartemennya.
“Mama!” Noel merentangkan kedua tangannya kehadapan Ava saat pintu sudah terbuka.
Ava mengulas senyum tipis melihat putranya, dia masih merasa canggung melihat anaknya sendiri. Tangan wanita itu berada di puncak kepala Noel dan mengelusnya dengan lembut. Pandangan Ava naik dan membalas tatapan Evan.
“Hai,” Evan menyapa dengan pelan, Ava hanya dapat mengangguk.
“Kalian bisa masuk.” Ava menggeser tubuhnya, mempersilahkan Evan dan Noel masuk ke dalam apartemennya yang kecil.
Noel masuk dengan wajah berseri senang, sedangkan Evan masuk dengan canggung.
Ava menutup pintu dan berjalan menuju dapur, mengambil minuman untuk keduanya.
“Mama.” Noel memanggil ibunya dan berdiri di belakang Ava.
“Apa kamu suka ini?” Ava menunjukkan kotak minuman rasa vanilla kearah Noel.
Noel mengangguk semangat dengan senyum lebar. “Aku suka apapun yang Mama berikan padaku!”
Ava menarik senyum mendengarnya, pandangannya naik dan tidak sengaja bertatapan dengan Evan yang sudah memperhatikannya.
“Apa dia boleh?” Ava bertanya pada Evan, takut jika saja Noel mempunyai alergi terhadap susu.
Evan melirik sekilas pada kotak susu itu. “Tidak apa-apa jika susu vanilla. Noel punya alergi dengan susu cokelat.”
Ava mengulum bibir dan mengangguk. Untung saja dia punya susu vanilla dan bukan cokelat. Wanita itu menyerahkan susu kotak tersebut kepada Noel yang menerimanya dengan senang.
“Terima kasih, Mama!”
...***...
...Ini papa Evan🥰...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!