Hallooowwww... Author datang lagi dengan story baru ... masih belum tahu ini bakal jadi Short Story atau Long Story.. Jadi Author mau tes ombak dulu..
Happy Reading...
.
.
.
Aurora menatap langit malam dari balkon kamarnya seorang diri. Ia masih tetap setia mendongakkan kepalanya meskipun dirinya tak bisa melihat dengan jelas betapa indahnya langit yang bertabur bintang malam ini. Bahkan ini sudah hampir dua jam sejak seluruh keluarganya pergi.
Lagi- lagi dia di tinggal seorang diri di saat seluruh keluarganya sedang melakukan perjalanan bisnis menemani papanya. Ia mengusap kedua lengannya menggunakan kedua tangannya saat dinginnya angin malam yang mulai berhembus menerpa tubuhnya.
FLASH BACK ON
"Rora.." Panggil Laura.
"Iya ma." Saut Aurora sambil menuruni tangga.
"Mama ada tamu.. Jaga Clarista sebentar.." Titah mamanya sambil berjalan menuju ke arah ruang tamu tanpa menunggu jawaban dari Aurora.
Baru beberapa menit setelah kepergian Laura, Clarista merengek ingin meminum susu.
"Kakak Rista mau susu." Ucap Rista sambil menarik- narik ujung baju kakaknya.
"Sebentar ya.. Kita tunggu mama dulu.. " Jawab Rora.
"Kakak.. Mau susu.." Ucap Clarista lagi. Kali ini di sertai rengekkan.
"Iya.. Sebentar ya.. Mama masih ada tamu." Bujuk Rora sambil mengusap kepala adiknya.
Clarista yang sudah tidak sabar pun akhirnya memilih untuk pergi ke dapur untuk membuat susu sendiri. Aurora bergegas menyusul adiknya saat menyadari adiknya sudah tidak ada lagi di sisinya yang sudah bisa di pastikan saat ini sedang berada di dapur.
"Aakkkkhhhhh." Teriak Clarista sambil menangis kesakitan.
Laura dan Evan bergegas berlari menuju dimana suara anaknya itu berasal.
"Tangan Rista kenapa?" Tanya Laura saat melihat anak bungsunya menangis sambil memegang tangannya. "Apa yang sudah kamu lakukan?" Bentak Laura pada Aurora yang membuat Aurora langsung mematung. Pasalnya ini untuk pertama kalinya mamanya membentak dirinya.
"Panas mama.. Tangan Rista panas." Rengek Clarista sambil menangis.
"Lebih baik kita obati Rista dulu." Saut Evan sambil menggendong anak bungsunya. "Kita bawa Rista ke rumah sakit." Lanjut Evan.
"Tangan Rora juga sakit." Ucap Rora lirih setelah kepergian mama dan papanya. Ia menatap punggung tangannya yang terlihat mulai memerah.
.
.
"Papa dan mama dari mana semalam?" Tanya Ezra saat melihat Evan dan Laura berjalan mendekat ke arah dirinya sambil menggendong Clarista.
"Rumah sakit." Jawab Laura singkat.
"Rumah sakit? Rista kenapa?"
"Adek kamu tidak apa- apa. Tadi dia hanya terkena cipratan air panas sedikit... "
"Hanya kamu bilang pa.." Saut Laura. " Ini semua karena Rora.. Kalau saja Rora.."
"Cukup ma." Potong Evan. "Cukup.. Lagi pula ini juga tidak akan berbekas."
"Lalu Rora?" Tanya Ezra tiba- tiba.
Melihat papa dan papanya yang terdiam membuatnya bergegas pergi menuju kamar adik perempuan satunya. Pemandangan pertama yang ia lihat saat membuka pintu kamar Rora adalah tubuh kecil yang masih meringkuk di atas tempat tidur sambil mengigau kesakitan. Ia berjalan mendekat lalu membalikkan tubuh Aurora untuk menghadap dirinya. Pandangan mata Ezra langsung teralihkan menatap punggung tangan adiknya yang sudah terlihat melepuh.
"Adek.." Panggil Ezra.
"Sakit.." Saut Rora lirih. Ezra bergegas mengangkat tubuh Rora saat menyadari bahwa suhu tubuh adiknya itu memanas.
"Papa.. papa.. " Teriak Ezra menuruni tangga sambil menggendong Rora. "Papa.. Antar Ezra ke rumah sakit." Pintanya.
"Kenapa Rora?" Tanya Evan.
"Tangan Rora melepuh.. Badannya juga panas." Jawab Ezra kalut sedangkan Laura hanya menatap tidak memberikan reaksi apapun. "Ayo pa.. Kita harus membawa Rora.. Ezra takut tangan Rora Infeksi..."
"Jangan berlebihan kamu.. Itu hanya luka karena terkena air panas saja." Potong Laura.
"Ayo pa kita ke rumah sakit.. " Pinta Ezra lagi mengabaikan ucapan mamanya.
"Bawa ke klinik saja." Potong Laura lagi.
"Ayo cepat." Jawab Evan sambil mengambil alih tubuh Rora dari gendongan Ezra.
Hampir tiga jam Laura menunggu suami dan anaknya dengan sedikit kesal.
Ia melihat suami dan anaknya memasuki rumah sambil menggendong Rora yang tertidur. "Dari mana saja kalian?" Tanya Laura sambil bersedekap dada.
Ezra mengerutkan keningnya. "Tentu saja dari memeriksakan Rora." Jawab Ezra.
"Kami membawa Rora ke rumah sakit.."
"Bukankah aku bilang bawa ke klinik saja." Potong Laura sambil menatap tajam Evan suaminya.
"Luka Rora sudah melepuh ma. Kita takut kalau lukanya infeksi." Jawab Ezra.
"Lalu apa kata dokter?"
"Adek butuh waktu untuk pulih. Kita terlambat membawa Rora ke rumah sakit.. "
"Ck. Semakin besar anak itu semakin merepotkan saja." Ucap Laura.
"Kenapa mama berkata seperti itu." Protes Ezra saat mendengar perkataan mamanya. "Rora seperti ini karena berusaha melindungi Rista ma. Tapi percuma menjelaskannya pada mama. Mama pasti akan tetap menyalahkan Rora seperti yang sudah- sudah."
Ezra mengambil alih tubuh Rora. " Biar adek tidur di kamar aku saja pa. Aku takut kalau nanti panas adek semakin tinggi." Ucap Ezra pada papanya lalu berjalan pergi meninggalkan kedua orang tuanya.
Setelah sampai di kamarnya, Ezra langsung membaringkan tubuh Rora di atas tempat tidurnya. "Kakak tahu kamu tidak benar- benar tertidur." Ucap Ezra yang membuat Rora membuka kedua matanya perlahan. Rora menatap Ezra dengan mata yang berkaca- kaca. "Kenapa? Apa sakit sekali?" Tanya Ezra sambil meraih tangan Rora lalu meniup punggung tangannya yang masih di penuhi salep dari dokter.
Rora menangis sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Ezra pun menghentikan tiupannya pada punggung tangan sang adik lalu beralih mengusap surai hitam Rora. 'Lalu kenapa? Kenapa kamu menangis?" Tanya Ezra.
"Mama tidak suka aku.. "
"Kenapa kamu berbicara seperti itu? Tentu saja mama suka.. Mama hanya.. "
"Mama tidak peduli aku terluka.. Mama.." Potong Rora.
"Mama peduli.. Itu hanya perasaan kamu dek. Sudah jangan menangis." Ucap Ezra sambil mengusap air mata Rora. "Sekarang lebih baik kamu istirahat supaya kamu cepat sembuh."
FLASH BACK OFF
Rora menghela nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. Jika dulu dia selalu beranggapan bahwa kedua orang tuanya itu sangat menyayangi dirinya karena mereka yang tidak pernah memarahi dan menuntut dirinya untuk melakukan apapun. Tapi setelah kejadian itu Aurora menyadari bahwa ia salah.. Meskipun saat itu usianya baru menginjak delapan tahun, tapi Rora tahu.. Sangat tahu ternyata mamanya tidak suka dengan dirinya bahkan mungkin membencinya. Sampai sekarang ia sudah beranjak dewasapun Rora masih belum mengerti apa yang membuat mamanya itu membenci dirinya.
.
.
.
Hari ini hari ke lima dimana seluruh keluarganya pergi meninggalkannya di rumah. Bibi yang biasanya selalu datang untuk memasak dan membersihkan rumah untuk sementara di larang untuk datang ke rumah mereka. Bik Inah hanya akan datang mengirimkan makanan untuk Rora setelah itu langsung kembali pulang.
Gedoran keras di pintu rumahnya membuat Rora tersentak. Ia berjalan dengan meraba- raba dinding rumahnya untuk berjalan ke arah pintu.
"Siapa?" Tanya Rora setelah membuka pintu rumahnya.
Dorongan sedikit keras pada bahunya membuat Rora langsung terjatuh.
.
.
.
Tetap yaa... Jangan lupa tinggalkan jejak...
Happy Reading...
.
.
.
"Siapa kalian? Kenapa kalian mendorongku?" Tanya Rora sambil berusaha untuk berdiri.
"Dimana Evan?"
"Siapa kalian? Dan kenapa kalian mencari papaku?" Tanya Rora lagi mengabaikan pertanyaan dari orang yang baru saja mendorongnya.
Lelaki yang tadi mendorong Rora berjalan mendekat lalu mencengkeram kuat pipi Rora. "Katakan dimana Evan sekarang?" Ucapnya tajam.
Rora meraih tangan lelaki itu dengan kedua tangannya. "Lepaskan." Ucap Rora sambil menahan rasa sakit karena pipinya yang di tekan kuat.
"Kenapa kalian lama sekali?" Tanya Seorang lelaki yang baru saja datang.
"Maaf tuan. Sepertinya Evan sedang tidak ada di rumah." Ucap Lelaki yang mencengkeram Rora.
"Lepaskan dia." Titah lelaki yang di panggil tuan. Lelaki itu berjalan mendekat lalu mengusap pipi Rora yang terlihat memerah. "Ck.. Kamu menyakitinya." Ucap lelaki itu.
"Siapa kalian? Kenapa kalian mencari papaku?" Tanya Rora pada lelaki itu.
"Aku? Aku adalah orang yang di rugikan akibat keputusan yang sudah papamu ambil." Jawab lelaki itu sambil mendekatkan wajahnya ke arah Rora. "Dan aku kesini karena ingin meminta ganti rugi kepadanya."
"Papa tidak ada.. Papa pergi... "
"Apa maksudmu tidak ada." Potong lelaki itu sambil memberikan jarak pada Rora. "Cepat kalian cari.. Dia pasti sedang bersembunyi di dalam sekarang." Titah lelaki itu pada anak buahnya yang lain.
"Berhenti." Teriak Rora. Ia berjalan sambil meraba untuk menghentikan mereka saat mendengar beberapa barang yang sengaja di rusak. "Aku sudah bilang tidak ada." Ucapnya. "Aku akan melaporkan kalian ke kantor polisi." Ancam Rora yang membuat beberapa dari mereka tertawa.
"Bos.. kenapa kita tidak membawa gadis buta ini saja untuk jaminan." Usul dari salah satu mereka.
Setelah berfikir lelaki yang di panggil bos itupun menyetujuinya. dua anak buah lelaki itu berjalan mendekat ke arah Rora lalu meraih tangannya.
"Kalian akan membawaku kemana?" Tanya Rora sambil berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman anak buah lelaki itu.
"Kalian mau bawa kemana adikku?" Teriak Ezra. Ia berjalan memasuki rumah diikuti Evan, Laura, Clarista dan dua orang lagi.
"Lepaskan." Titah lelaki itu lalu beralih menatap tajam Evan.
Ezra berjalan mendekat lalu menarik tubuh sang adik untuk berada dekat dengan dirinya. "Kamu tidak apa- apa dek?" Tanya Ezra pada Rora.
Rora menggelengkan kepalanya sambil mengusap pergelangan tangannya.
"Apa yang kamu lakukan di rumahku Alex?" Tanya Evan.
Alex menjulurkan tangannya pada Evan. "Tentu saja untuk meminta uangku. Sekarang mana uangku?"
"Bukankah aku masih mempunyai waktu setengah hari lagi." Protes Evan. "Jadi aku minta sekarang kamu segera angkat kaki dari rumahku."
Alex tertawa sinis. "Kamu berani mengusirku?" Tanya Alex sambil menaikkan satu alisnya. " Tapi baiklah.. Aku akan pergi tapi aku akan datang lagi nanti.. Aku akan memberikan kamu waktu sampai nanti malam.. Dan ingat jika kamu tidak bisa mengembalikan uangku maka salah satu anakmu harus ikut denganku." Alex mengingatkan.
.
.
.
"Sekarang kita harus bagaimana pa?" Tanya Laura sambil meremat jari- jari tangannya.
Evan menghela nafasnya lelah sambil memijit pelipisnya. "Aku sendiri tidak tahu ma. Aku harus mencari pertolongan kemana lagi. Mama dengar sendiri semua yang kita mintai tolong menolak untuk menolong kita.. Mereka tidak mau berurusan dengan Alex."
"Apa om Vano masih belum bisa di hubungi pa?" Tanya Ezra. Evan menggelengkan kepalanya.
"Cobalah untuk menghubunginya lagi. Waktu kita hanya tinggal beberapa jam lagi pa." Laura mengingatkan. Ia semakin merasa kalut. Bagaimana jika Alex mengambil Clarista darinya? Bagaimana jika nanti Alex membuat hidup anaknya itu menderita? Laura memikirkan kemungkinan- kemungkinan yang akan terjadi lainnya. "Aku tidak mau sampai Rista diambil Alex pa."
"Mama tenang dulu.. Papa tidak akan membiarkan Rista diambil Alex."
"Apa papa akan menyerahkan Rora?" Saut Laura sinis. "Tapi apa mungkin Alex mau menerima anak setengah buta itu? Bahkan di berikan secara cuma- cuma pun aku yakin Alex tidak akan mau.."
"Stop ma." Ucap Ezra. "Tidak akan ada yang di bawa pergi dari rumah ini. Aku akan berusaha membantu papa untuk melunasi semuanya."
"Seratus milyar lebih. Dari mana kita akan mendapatkan uang sebanyak itu?" Tanya Laura sambil menatap anak sulungnya. "Sedangkan waktu kita hanya tersisa tiga jam saja. Jika pun terpaksa maka biarkan saja Rora yang di ambil. Biarkan Rora menjadi jaminan untuk..."
"Aku bilang stop ma." Potong Ezra dengan emosi. "Tidak akan ada yang keluar dari rumah ini.. Aku tidak akan membiarkannya.'
Aurora meremat bajunya. "Sebenci itukah mama kepadaku." Ucap Rora lirih. Ia pun memutuskan untuk menjauh. Ia tidak akan sanggup lagi untuk mendengar perdebatan yang pasti akan membuatnya sakit hati.
Aurora mendudukkan dirinya di kursi yang berada di taman rumahnya. Ia tidak ingin kakaknya sampai melihat dirinya menangis. Berulangkali Rora menghapus air matanya yang mengalir di kedua pipinya. Ia harus bagaimana sekerang? Ia harus bagaimana untuk mendapatkan uang dengan waktu yang hanya tersisah tidak lebih dari tiga jam?
Aurora kembali menangis saat teringat kembali ucapan mamanya yang akan membiarkan dirinya untuk menjadi jaminan pada lelaki tadi. Ia menangis sambil menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangannya. Sungguh ia takut sekarang. Andai ada yang bisa ia lakukan untuk membantu keluarganya pasti ia akan lakukan apapun itu tapi tidak dengan menjadikan dirinya jaminan.
.
.
.
"Bersiap- siaplah. Ganti bajumu dengan yang lebih baik." Titah Laura pada Rora.
"Untuk apa ma?" Tanya Rora sambil mengerutkan keningnya.
"Untuk sementara kamu akan ikut dengan Alex sampai kami bisa mengembalikan seluruh uangnya." Jawab Laura tanpa beban.
"Pa.." Panggil Rora lirih dengan kedua mata yang berkaca- kaca.
"Turuti ucapan mama kamu. Lagi pula ini hanya sementara." Ucap Evan.
Rora menggelengkan kepalanya. "Kenapa harus Rora?" Tanyanya dengan air mata yang menetes di kedua pipinya. "Rora tidak mau pa.. Rora tidak mau.." Tolaknya.
"Tentu harus kamu." Jawab Laura sambil menatap tajam pada Rora. "Jika bukan kamu harus siapa lagi? aku tidak mungkin membiarkan anakku yang pergi."
"Tapi ma.. Bukan kah Rora juga anak mama? Rora akan melakukan apapun asal papa dan mama tidak menjadikanku jaminan.." Mohon Rora sambil bersimpuh.
"Apa yang bisa di lakukan gadis buta seperti kamu. jika bekerjapun kamu akan menjadi beban. Lebih baik kamu segera pergi ke kamar kamu dan ganti bajumu.."
"Maa.." Bentak Ezra. "Ezra sudah bilang tidak akan ada yang pergi dari rumah ini." Lanjut Ezra sambil membantu Rora untuk berdiri.
"Mbak." Panggil Elina mengalihkan perhatian Evan dan Laura.
"Elina." Ucap Laura. Sungguh kedatangan Devano dan Elina membuat Evan dan laura bisa bernafas lega.
"Maaf karena datang terlambat." Ucap Elina lalu berjalan menghampiri Rora yang masih tertunduk disisi Ezra.
Elina mengusap pipi Rora. "Jangan menangis lagi.. Tante akan membantu keluarga kamu.. Tante tidak akan membiarkan gadis secantik kamu menjadi jaminan."
"Terima kasih tante." Balas Rora.
"Ezra lebih baik kamu bawa adik kamu ke kamarnya. Biarkan dia beristirahat." Titah Devano. Ezra pun menuntun sang adik untuk pergi ke kamarnya.
"Jadi apa lagi sekarang mas?" Tanya Devano sambil menatap tajam Evan dan Laura bergantian.
Jangan lupa tinggalkan jejak...
Happy Reading..
.
.
.
Pagi ini Rora memilih untuk tidak keluar dari kamarnya, ia merasa hidupnya semakin menyedihkan. Rora melipat kedua kakinya lalu memeluknya erat. Ia menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Air matanya kembali menetes saat mengingat kembali percakapan antara papa, mama, kakak dan sepasang suami istri yang kemarin malam datang ke rumahnya.
Aurora semakin terisak. Ia takut. Sangat takut.
FLASH BACK ON
Setelah kepergian Ezra, Rora masih setia berdiri di tempatnya. Sayup- sayup Rora mendengar suara perdebatan yang sedang terjadi karena Ezra yang tanpa sengaja tidak menutup rapat pintu. Ia berjalan mendekat ke arah pintu lalu melangkahkan kakinya menuju tangga yang berada tidak jauh dari kamarnya.
"Aku sudah mengingatkan mas dan mbak berulang kali. Aku sudah mengingatkan kepada kalian untuk tidak berhubungan lagi dengan Alex. Tapi apa? Lagi- lagi kalian mengabaikan ucapan ku." Ucap Elina.
Laura menatap tajam ke arah Elina. "Jadi Apa ini berarti kalian sudah tidak mau membantu kami lagi?" Tanya Laura. "Lalu untuk apa kalian kesini? Atau kalian kesini hanya untuk menghina kami?"
Elina menghela nafasnya.
"Jadi berapa?" Tanya Devano. "Berapa uang yang kalian butuhkan?"
"Seratus empat puluh tujuh itu sudah dengan bunganya." Jawab Evan.
"Juta?"
Evan menatap Elina lalu menggelengkan kepalanya. "Milyar." Jawabnya lirih.
Elina dan Devano membulatkan kedua matanya. "Uang sebanyak itu kamu gunakan untuk apa?"
"Proyek yang sedang aku dan papa lakukan mendapatkan musibah om, tante. Kami ditipu.. Ternyata bahan- bahan yang di gunakan tidak sesuai. Mereka menggunakan material- material yang kualitanya di bawah standart."
"Jika kalian tidak bisa membantu kami tidak apa- apa. Terpaksa kami akan menyerahkan Rora untuk menjadi jaminan pada Alex." Ucap Laura saat melihat Devano dan Elina yang terdiam.
"Mbak."
"Hanya itu satu- satu jalan yang tersisa." Ucap Laura.
"Kenapa Rora?"
Laura menatap Elina. "Riska masih sekolah. Dia masih anak- anak."
"Anak- anak? Mereka hanya berbeda tiga tahun mbak." Tegur Elina yang tentu saja di abaikan oleh Laura. Elina menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. "Ini terakhir kali kami akan membantu kalian. Tapi aku ingin kalian memberikan kami jaminan.."
Rora yang tidak tahan lagi mendengar perdebatan itu akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tahu pasti lagi- lagi dirinya yang akan di jadikan jaminan.
FLASH BACK OFF
Pintu kamarnya terbuka secara perlahan. Kasur yang bergerak menandakan bahwa baru saja ada yang mendudukkinya. Rora merasakan usapan lembut pada rambutnya, ia pun mendongakkan kepalanya dan langsung berhadapan dengan wajah sang kakak.
Ezra menghapus air mata sang adik. "Kamu kenapa?" Tanya Ezra. Rora menggelengkan kepalanya. "Lalu kenapa tidak turun?" Lagi- lagi gelengan kepala yang Rora berikan.
"Mau ikut kakak pergi jalan- jalan tidak."Tanya Ezra lagi, tapi untuk kali ini Rora menganggukkan kepalanya. "Jangan menangis lagi. Berhenti menangis.. Oke.." Ia menatap kedua mata Rora yang terlihat membengkak. "Sekarang kamu mandi lalu kita turun, sarapan baru kakak akan mengajak kamu jalan- jalan." Ucap Ezra sambil menyisihkan anak rambut Rora.
Ezra menghela nafasnya saambil menatap punggung sang adik sampai menghilang dari balik pintu kamar mandi. Ia tahu.. Sangat tahu alasan di balik mata bengkak sang adik. Perdebatan yang terjadi semalam tidak mungkin sampai tidak terdengar dari kamar Rora.
"Jangan terlalu memanjakannya. Ingat kita sekarang harus bisa berhemat." Ucap Laura sebelum Ezra dan Rora pergi.
Ezra meraih tangan Rora untuk ia genggam. Sepanjang perjalanan Ezra benar- benar tidak melepaskan genggaman tangannya pada Rora. "Jangan dengarkan ucapan mama."
.
.
.
Aurora menghela nafasnya lega. Apa yang menjadi ketakutannya selama beberapa hari ini tidak terjadi bahkan ini sudah lewat satu minggu dari perdebatan yang terjadi dirumahnya malam itu.
Senyuman manis tak pernah luntur dari bibir mungilnya selama sarapan pagi ini yang membuat seluruh keluarganya menatap dirinya heran.
"Kakak kenapa?" Tanya Riska sambil menautkan kedua alisnya.
Rora menggelengkan kepalanya. "Kakak tidak apa- apa. Memangnya kakak kenapa?" Rora balik bertanya.
"Kakak perhatikan dari tadi kamu tersenyum terus." Saut Ezra. Sejujurnya Ezra senang melihat adiknya yang beberapa hari ini terlihat murung kini tersenyum.
Suara ketukan mengalihkan atensi mereka semua. Laura segera bangun dari duduknya lalu berjalan ke arah pintu. Setelah membuka pintu ia di kejutkan dengan keberadaan Devano dan Elina.
"Apa mbak tidak akan menyuruh kami untuk masuk?" Tanya Elina yang melihat keterdiaman Laura. Laura pun menyingkir memberikan jalan untuk Elina dan Devano.
"Bagaimana kabar mbak dan mas Evan?"
"Kami baik.. sangat baik.. dan sekali lagi aku ingin mengucapkan terima kasih untuk bantuan kalian. Jika tidak ada kalian aku tidak tahu lagi keluargaku akan seperti apa." Ucap Laura.
"Sama- sama mbak.. Mbak tahu kan bahwa kami tidak akan mungkin membiarkan keluarga dari Lilyana sampai kesusahan." Jawab Elina.
Laura mendengus saat Elina menyebut nama Lilyana.
"Jadi langsung saja, tujuanku dan mas Devan kesini untuk mengambil jaminan.. "
"Bukan kah aku sudah mengatakan Riska masih kecil. Dia masih sekolah." Potong Laura.
Elina tersenyum. "Mungkin mbak sudah salah paham. Jaminan yang kami maksud adalah Rora bukan Riska." Ucap Elina.
"Rora?" Tanya Laura sambil mengerutkan keningnya.
Elina menganggukkan kepalanya. "Hmm.. Rora." Ulang Elina.
"Kenapa?" Tanya Laura lagi. "Dia buta. Dia nanti hanya akan merepotkan kalian saja."
"Mungkin menurut mbak Rora anak yang merepotkan tapi tidak denganku." Ucap Elina. "Kenapa? Apa mbak keberatan?" Tanya Elina saat melihat Laura yang terdiam. "Bukankah seharusnya mbak bersyukur karena aku akan mengambil anak yang menurut mbak merepotkan?"
"Tante jadi ucapan tante yang ingin meminta jaminan itu serius." Ucap Ezra.
"Tentu saja tante serius."
Runtuh sudah air mata Rora saat mendengar bahwa dirinya benar- benar akan menjadi jaminan hutang kedua orang tuanya. Ia harus bagaimana sekarang?
Rora berusaha mencari dimana keberadaan mamanya dengan meraba- raba. "Ma.." Panggil Rora. "Mama." Panggilnya lagi sambil bersimpuh.
"Riska, antar kakak kamu untuk mengemasi barang- barangnya." Titah Laura pada anak bungsunya.
Rora menggelengkan kepalanya berulang. "Ma.. Rora mohon.. Tidak bisakah untuk kali ini saja pertahankan Rora.. Jangan biarkan Rora pergi ma.. Rora masih ingin tinggal disini dengan mama, papa, kakak dan Riska.. Rora berjanji.. Rora akan berusaha menjadi anak yang baik.. Rora janji rora akan berusaha menjadi anak yang mandiri.. Rora berjanji Rora akan berusaha untuk tidak merepotkan kalian." Mohon Rora sambil menangis.
"Riska kemasi barang- barang kakakmu dan bawa kesini. Ezra bantu adikmu." Ucap Laura mengabaikan Rora.
Rora semakin tertunduk dan menangis sambil meremat kedua lututnya.
Elina berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekat ke arah Rora yang masih bersimpuh. "Jangan menangis." Ucap Elina sambil mengusap air mata yang mengalir di kedua pipi Rora.
"Tante.. Rora tidak tahu siapa tante.. Tapi Rora yakin tante orang yang baik." Ucap Rora. "Rora mohon.. Jangan bawa Rora.. Jangan pisahkan Rora dengan keluarga Rora tante... Rora mohon." Ucapnya lagi sambil menyatukan kedua tangannya sambil memohon.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!