...Ariefna...
... ────୨ৎ────...
“Jadi Ukhti, Hindarilah Pacaran. Karena hanya mendekatkan diri kepada kemaksiatan”, ujar seorang Ustadzah bercadar yang saat ini sedang mengisi kajian yang kuhadiri.
Aku yang begitu antusias mendengarkan ceramah dari Ustadzah Jihan begitu khusyuk mendengarkan setiap kata demi kata yang diucapkannya. Ustadzah Jihan adalah panutanku, setiap perkataannya selalu kujadikan pondasi dalam melewati keseharianku.
Walau ia bercadar, aku tahu betapa cantiknya wajah dibalik cadarnya. Sinar matanya amatlah meneduhkan, membuat siapa yang memandangnya akan terbuai dengan keindahan yang ada padanya.
“Lalu solusinya apa ustadzah?”, tanya seorang akhwat berkacamata tak kalah antusias.
“Solusi terbaik adalah dengan jalan proses ta’aruf. Proses ini akan menjaga martabat anti sebagai seorang akhwat. Tapi inget pacaran beda ya dengan ta’aruf,” kata Ustadzah Jihan dengan serius.
“Bedanya apa Ustadzah?”, kali ini seorang akhwat berkerudung ungu yang duduk beberapa jarak di sebelah kananku bertanya.
“Banyak sekali, yang pertama tujuan ta’aruf jelas. Mereka yang berta’aruf jelas serius menuju proses pernikahan. Berbeda dengan pacaran yang sebagian besar jalanin aja dulu, syukur-syukur kalau cocok. Lalu, ta’aruf juga alangkah baiknya tidak lama-lama prosesnya. Berbeda dengan pacaran yang tidak jelas kapan akan menikahi. Kemudian yang terpenting, di taaruf jelas kita tidak diperbolehkan berdua-duaan dengan lawan jenis, dan yang pasti itulah mengapa taaruf akan menjaga kita dari maksiat,” jelas Ustadzah Jihan panjang lebar.
Kembali aku menganggukkan kepala mencerna tiap perkataan Ustadzah Jihan. Lalu dalam hati aku sedikit menyesali diriku yang dulu. Saat aku belum berhijrah dan aktif mengikuti kajian-kajian seperti saat ini.
Beberapa kali aku berpacaran dan itu kulakukan sejak masih SMA, dan terakhir aku berpacaran adalah saat aku kuliah semester dua, aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang seangkatan denganku namun beda fakultas. Karena beberapa hal yang aku dan dia tidak cocok lalu kami pun memutuskan hubungan kami beberapa bulan kemudian.
Dari kandasnya hubungan kami itulah, aku memutuskan untuk rehat sejenak dari urusan percintaan. Aku memutuskan untuk memperbaiki diriku lebih dahulu. Mungkin ada yang salah dengan apa yang telah kuperbuat selama ini, pikirku kala itu.
Dengan jalan hijrah, aku perlahan mulai merubah sikap maupun cara berpakaianku. Aku yang dulu begitu dekat dan memiliki beberapa teman cowok, perlahan-lahan mulai jaga jarak dengan mereka.
Dulu yang aku berhijab namun masih memakai celana jeans ketat, perlahan kugantikan dengan sebuah gamis panjang yang tidak membentuk lekuk tubuhku. Bahkan saat ini aku pun telah mantab memutuskan bercadar untuk menjaga pandangan ikhwan yang terkadang suka curi-curi pandang ke wajahku.
Awalnya, jelas orang tuaku menentang perubahan yang cukup drastis ini. Wajar saja, mereka takut aku ikut aliran macam-macam saat memutuskan bercadar. Tetapi setelah kujelaskan, barulah mereka memahami dan akhirnya mendukungku untuk berhijrah.
Lagi pula basic kedua orang tuaku juga dari golongan keluarga religius, pasti mereka bisa mengerti dengan keputusanku mengenakan cadar.
Hingga di usiaku yang sudah menginjak 21 tahun ini, aku terus sibuk memperdalam ilmu agama dan istiqomah dalam menjaga diri, sampai-sampai aku tidak sempat memikirkan ikhwan yang akan menjadi suamiku kelak.
Walau banyak yang mengajukan Curriculum Vitae atau biodata kepadaku untuk mengajak taaruf, tetapi selalu aku tolak dengan halus. Bukannya sombong, aku hanya belum berniat menikah dulu hingga aku menuntaskan kuliahku.
Namun di antara ikhwan-ikhwan yang mengajukan CV kepadaku. Ada satu ikhwan yang menarik perhatianku.
Namanya Arman. Dia ikhwan yang cukup tampan menurutku. Beberapa kali aku juga melihatnya menghadiri beberapa kajian yang diselenggarakan di kotaku. Tetapi aku masih mencoba teguh pada pendirianku untuk tidak bertaaruf terlebih dahulu saat ini hingga aku menyelesaikan kuliah.
Aku hanya berdoa, jika memang ia jodohku, maka pasti kami akan disatukan diwaktu yang tepat.
“Ada pertanyaan lagi? Jika tidak ada akan ana akhiri pertemuan kali ini...” tambah Ustadzah Jihan mengejutkan lamunanku.
“Ustadzah.. Afwan.. Ana beberapa kali menolak CV dari ikhwan yang mengajak taaruf dengan alasan ingin menyelesaikan kuliah terlebih dahulu. Namun sebenarnya kalau boleh jujur, ada 1 ikhwan yang menarik perhatian ana. Bagaimana ana harus bersikap Ust?” tanyaku sekaligus curhat.
“Anti terima dulu CV ikhwan yang anti sreg dan yakin dia akan menjadi imam yang terbaik bagi anti. Berproses ta'aruf lah jika anti ingin menikah dengannya. Anti bisa jajaki dulu ikhwan tersebut bagaimana. Saat taaruf itulah anti bisa tahu apakah anti merasa cocok atau tidak dengannya. Kalau menurut ana tidak ada masalah menikah walau masih kuliah. Itu kalau menurut ana loh anti. Hehehe.... Tapi kalau anti ada pertimbangan lain ya silakan dipikirkan baik-baik”
“Begitu ya ustadzah.. Syukron atas jawabannya Ustadzah....” jawabku sambil menganggukkan kepala.
Beberapa poin memang aku setuju dengan pendapat Ustadzah Jihan. Tetapi tetap saja ada yang mengganjal dalam benakku. Aku takut akan susah fokus jika menikah dalam kondisi belum tamat kuliah.
Apalagi jika tiba saatnya aku diberikan buah hati hasil dari pernikahanku dengan Mas Arman, tentu kuliahku akan semakin terbengkalai. Jadi mungkin aku akan membuka sedikit kesempatan kepada Mas Arman sekaligus menceritakan kepadanya aku akan fokus kuliah dulu sebelum menikah.
Jadi keputusan nanti ada ditangannya. Mau menungguku selesai kuliah, atau mencari calon istri yang lain.
“Sudah ya? Ana akhiri kajian kali ini karena hari sudah malam... Jadi demikian kajian kali ini ana akhiri... Wassalamu’alaikum wr wb....” Ustadzah Jihan mengakhiri kajian malam ini.
Kulihat jam di tanganku, tanpa terasa sudah pukul 21.20. Sungguh mengikuti kajian Ustadzah Jihan benar-benar tidak terasa waktu cepat berlalu.
Pembahasan kajiannya selalu tentang generasi muda yang selalu mengena. Tidak salah setiap kajian yang diisi Ustadzah Jihan selalu ramai.
Setelah membereskan semua barang-barangku, Aku pun berjalan perlahan menuju tempat parkiran motor sambil mengingat di sisi mana motorku parkirkan. Suasana gelap parkiran motor sedikit menyulitkanku untuk menemukan posisi motorku berada saat ini.
Aku menoleh ke kiri dan kekanan, mencari-cari sepeda motor matic berwarna hitam yang biasa kupakai menemani di segala aktivitasku sehari-hari.
“Ukhti Ariefna!!!”
Tiba-tiba kudengar suara seseorang memanggilku.
Aku pun menoleh ke belakang, memastikan siapa yang memanggil namaku. Terlihat seorang teman mengaji yang berwajah cantik bernama Ukhti Farida berjalan terburu-buru ke arahku.
Aku pun dengan sabar menunggunya dan penasaran ada keperluan apa ia memanggilku.
“Afwan Ukhti.. Ana boleh nebeng pulang?” tanya Ukhti Farida sambil menyeka keringat di wajahnya.
“Memangnya suami anti kemana? Biasanya kan dijemput Ukh..” tanyaku.
“Kebetulan tadi setelah antar ana, suami ana ada panggilan tugas mendadak ukh.. Tadi ana sudah nyoba minta tolong ke beberapa teman tetapi mereka bilang tidak bisa antar ana. Ukhti Ariefna harapan ana terakhir satu-satunya,” kata Ukhti Farida dengan wajah memelas.
“Tapi...” Aku berpikir sejenak.
Terlihat wajah Ukhti Farida kebingungan, karena satu persatu peserta kajian telah meninggalkan lokasi dan suasana semakin sepi.
Hanya beberapa yang masih ada di tempat kajian, itu pun aku tidak mengenal mereka. Aku pun menimang-nimang permintaan tolong ukhti Farida. Bagaimana pun dia saat ini sedang butuh bantuan, apalagi hari semakin malam tidak mungkin aku meninggalkannya sendiri.
“Rumah anti jauh dari sini?” tanyaku memastikan.
“Jarak pastinya ana tidak tau Ukhti… Kurang lebihnya 30 sampai 40 menitan ke arah Timur. Ana minta tolong ya ukh,” ujar Ukhti Farida.
“Ke arah Timur ya? Berlawanan arah dari rumahku dong...,” kataku dalam hati.
“Gimana Ukhti....?” tanya Ukhti Farida kembali.
“Hmm.. Tidak terlalu jauh sih Ukh.. Ukhti Aida boleh bareng ana,” jawabku.
Terlihat raut muka Ukhti Farida berubah yang tadinya terlihat kebingungan, sekarang wajahnya menjadi penuh kelegaan.
“Alhamdulillah.. Syukron Ya Ukhti Ariefna.. Anti benar-benar baik,” ujar Ukhti Farida.
“Ahh.. Anti berlebihan. Bukannya kalau ada teman yang butuh pertolongan lebih baik dibantu. Hihihi.. Yasudah yuk pulang Ukhti,” kataku.
Ukhti Farida pun mengikuti berjalan menyusuri area parkir yang mulai sepi. Akhirnya kutemukan sepeda motorku yang rupanya posisinya sedikit bergeser dari posisi semula. Suasana di parkiran yang sudah sepi memudahkanku menemukan dimana letak sepeda motorku itu.
“Afwan Ukhti. Ana Cuma bawa helm satu,” kataku.
“Tidak apa-apa Ukhti. Jam segini rasanya tidak akan ada polisi yang nilang Ukh. Hihihi.. Kalau pun ketilang ana yang nanti tanggung jawab,” kata Ukhti Farida
“Iya semoga aman Ukhti.. Ayo Ukhti,” kataku, dan Ukhti Farida segera duduk berboncengan denganku.
Aku pun mulai memutar gas sepeda motor meninggalkan tempat kajian Ustadzah Jihan itu.
Jalanan kota kecil terlihat lengang malam ini, yang biasanya ramai saat jam pulang kerja, kali ini terlihat sepi. Awan hitam pun turut menemani perjalanan kami malam itu. Sesekali gemuruh menyambar sejenak memberikan kilatan yang mengejutkan mataku, tanda sepertinya akan turun hujan.
Aku mengemudikan motor pelan-pelan karena Ukhti Aida banyak bercerita tentang keluarganya selama kami di jalan. Tentang pekerjaan suaminya yang seorang teknisi listrik panggilan yang sewaktu-waktu harus kerja tanpa mengenal waktu.
Aku yang mendengar ceritanya hanya mengangguk-angguk karena aku juga tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan Ukhti Farida dengan jelas. Suara angin memang cukup kencang malam ini. Kupandang lagi ke arah langit, suasana kurasakan semakin mendung dan dingin.
“Sepertinya mau hujan Ukhti.. Anti ga pakai mantel dulu?” tanya Ukhti Farida yang turut menyadari gemuruh petir yang menyambar di angkasa.
“Mantel ana sobek Ukhti belum beli penggantinya. Semoga saja tidak hujan Ukhti,” jawabku.
“Iya Ukhti.. Semoga…” jawab Ukhti Farida dan ia pun terdiam.
Ukhti Farida akhirnya memilih tidak bercerita lagi. Sepertinya ia memberikan kesempatan kepadaku agar bisa menambah kecepatan laju sepeda motorku. Kutarik gas sepeda motor dalam-dalam agar tidak kehujanan malam ini.
30 menit sudah aku berkendara, tetapi belum ada tanda-tanda Ukhti Farida memberiku aba-aba untuk belok ke arah rumahnya.
“Masih Jauh ya Ukhti?” tanyaku.
“Lumayan Ukhti. Masih separuh perjalanan,” katanya.
“Ohhh iya Ukhti... Ini jalan lurus terus betul ya?”
“Iya betul Ukhti lurus terus. Nanti kalau mau belok ke perkampungan ana, ana kasih tau,”
“Oh iya Ukhti...”
Aku kembali berkonsentrasi mengemudikan sepeda motorku. “Hujan jangan turun dulu ya…” doaku dalam hati.
Hampir 1 jam aku mengemudikan sepeda motorku. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 22.23.
Suasana semakin gelap, tidak kulihat orang sama sekali di perkampungan tempat tinggal Ukhti Farida. Hanya terdengar suara deru knalpot sepeda motorku saja saat ini saking sepinya.
Suasana perkampungan ini sedikit jauh dari kota. Kami melewati jalanan kecil yang belum diaspal, sehingga laju motorku berjalan perlahan. Kami pun melewati hamparan sawah yang gelap gulita karena minimnya penerangan di jalanan perkampungan.
Aku mencoba mengingat jalanan ini agar tidak tersesat ketika pulang. Tetapi sepertinya sulit karena jalanan menuju rumah Ukhti Farida begitu banyak belokan dan juga gelap.
“Belok kiri Ukh. Iya itu yang gapura hijau,” kata Ukhti Farida sambil menunjuk ke arah gang hijau yang dimaksud.
Aku pun membelokkan sepeda motorku dan masuk melewati gang hijau seperti yang ditunjuk olehnya. Kulajukan sepeda motorku perlahan sambil menunggu Ukhti Farida menunjukkan di mana rumahnya.
“Stop stop.. Ini Ukhti rumah ana yang pagar putih,” katanya sambil menunjuk ke arah rumah. “Ukhti Ariefna ngga mampir dulu? Kayaknya bakalan hujan nih Ukh... Tidur di rumah ana aja, besok pagi-pagi baru pulang. Toh suami ana kayaknya malam ini belum pulang.”
“Ana langsung pulang saja Ukh.. Khawatir dicari orang rumah,” jawabku menolak tawarannya.
“Ohh gitu.. Syukron ya Ukh.. Anti hati-hati ya pulangnya,”
“Iya Ukhti.. Ana pulang ya Ukh.. Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam...”
Setelah berpamitan, aku kembali melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Tak terasa 1 jam lebih waktu yang ditempuh dari tempat kajian menuju rumah Ukhti Farida.
Aku bergegas membawa sepeda motor sedikit terburu-buru, karena langit yang semakin gelap dan malam yang semakin larut.
Aku terus mengemudikan sepeda motor dan melaju semakin jauh. Aku mencoba menerka-nerka arah jalan yang kulalui karena memang aku pelupa.
Rupanya benar sepertinya aku salah memilih jalan karena jalanan yang kulalui kali ini berbeda dengan yang tadi kulalui bersama Ukhti Farida. Aku terus mengemudikan motor berdasarkan feeling saja sambil berharap bisa segera kembali ke jalan utama.
5 menit kemudian…
“Eh tadi beneran lewat sini ngga ya? Duh. Kayaknya aku nyasar nih...” gumamku saat menyadari aku semakin tersasar. “Aduh kayaknya salah jalan beneran deh,” mulai waswas.
Aku kembali menjalankan sepeda motor pelan-pelan dan berharap ada seseorang yang bisa kutanyai. Pelan tapi pasti gerimis mulai turun membasahi jalanan yang kulalui.
Aku bingung memutuskan untuk melanjutkan perjalanan atau berteduh terlebih dahulu di daerah ini. Hujan pun turun semakin deras hingga memaksaku untuk menghentikan perjalananku.
Kurasakan seluruh pakaianku sudah basah terkena hujan deras yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba.
...“blarrrr blarrrrr,” ...
petir pun menyambar-nyambar dengan kencang.
Kulihat ada sebuah warung yang sudah tutup dan aku pun memutuskan berteduh di sana. Kuparkirkan motorku dan kubiarkannya kehujanan karena memang tidak ada parkiran yang teduh ditempat ini.
Sedangkan aku memilih masuk ke dalam warung yang tidak terkunci tersebut. Untungnya warung tersebut tanpa pintu sehingga aku bisa duduk-duduk di dalam.
Kukibarkan gamisku yang sudah basah total akibat hujan yang mendadak ini. Kurasakan kerudungku juga basah parah hingga beberapa helai rambutku sedikit keluar dari sela kerudung.
Kucoba merapikan rambutku agar tidak terlihat, dan kulepas kain cadarku yang basah dan terasa tidak nyaman digunakan.
Kubuka layar ponselku, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 23.16, kulihat beberapa teman-teman kajianku sudah membuat status WA sampai rumah dengan selamat.
Begitu pula dengan Ukhti Farida yang juga sudah membuat status WA tentang beberapa poin yang disampaikan di kajian Ustadzah Jihan tadi.
Aku pun terus menantikan redanya hujan kali ini, namun sayangnya bukannya reda, hujan malah semakin deras saja.
Kurasakan tubuhku mulai sedikit menggigil karena seluruh pakaianku yang basah kuyup terkena hujan. Kucoba mengisi waktu dengan membuka aplikasi instagram pada handphoneku.
Langsung terlihat beberapa postingan akhwat-akhwat bercadar yang terlihat anggun dengan gamis lebar bercadarnya. Jujur saja cara berpakaian mereka yang terlihat anggun mempesona itulah yang membuatku terinspirasi dan mencoba untuk memakai cadar.
Hasilnya sungguh di luar dugaan, aku terlihat lebih anggun dan dewasa saat mengenakan cadar. Bahkan beberapa teman yang melihatku mulai mengenakan cadar memuji pesonaku yang kata mereka punya auranya sendiri.
Tetapi tak sedikit pula yang terkejut dan tidak setuju dengan perubahan cara berpakaianku, terutama dari lingkup keluarga besar kedua orangtuaku. Wajar saja dan aku tidak begitu memikirkannya.
Penolakan itu justru menjadi penyemangatku untuk berhijrah, bukan hanya caraku berpakaian, namun juga sikapku.
...“Bruuuumm bruummmm brummmmm”...
Dari kejauhan terdengar suara knalpot racing yang berisik memekakkan telinga.
Sepertinya bukan hanya satu motor saja, tetapi ada beberapa suara knalpot yang terdengar bergemuruh menjadi satu membuat suasana yang tadinya hening menjadi berisik.
Aku pun buru-buru memakai kain cadarku kembali untuk berjaga-jaga dan kurapikan kembali kerudungku. Walau masih basah, aku tidak peduli karena cadar dan kerudung sudah menjadi pakaian wajib yang harus digunakan saat ada orang lain di dekatku.
Daripada aku harus mengekspos wajahku ke seseorang yang bukan mahramku, lebih baik aku bertahan sejenak menutup wajahku dengan kain cadar basahku ini.
Suara knalpot sepeda motor semakin mendekati tempatku berteduh. Sesekali kudengar mereka menggeber-geber motornya dengan berisik. Aku hanya berdoa dalam hati agar mereka tidak berhenti di tempat aku berteduh saat ini.
Bagaimanapun, aku sendirian di tempat yang tidak kukenal, tentu saja sebagai gadis normal, aku merasa was-was dengan kehadiran sekelompok orang-orang yang berisik itu.
...“Bruuuuuummmmm bruummmmmm”...
Suara riuh knalpot itu melewati warung kosong tempat aku berteduh.
Benar saja, Jumlah mereka ternyata banyak. Terhitung kurang lebih ada 10 motor lebih yang tadi melintas di warung tempatku berteduh sambil menggeber-geber motornya.
Untungnya mereka melanjutkan perjalanan tanpa melihat ke arahku sama sekali.
Kembali kulihat jam tanganku, malam pun semakin larut tepatnya pukul 23.42. Hujan masih turun dengan derasnya di malam yang semakin sunyi ini. Aku buka aplikasi maps dan kucoba pelajari arah pulang yang benar, walau jujur saja aku adalah seseorang yang tidak pandai membaca aplikasi peta itu.
Kulihat jarak yang tersisa menuju rumahku masih 37 km lagi.
...“Brummmmm bruuummmm”...
“Ehhhh kok mereka kembali?” gumamku ketakutan dan bersembunyi kembali di dalam warung.
Ketakutanku semakin menjadi saat melihat mereka satu persatu berdatangan dan berhenti di samping sepeda motorku yang kubiarkan terparkir di pinggir jalan.
Kulihat mereka mendekati sepeda motorku dan menggerakkan stang motor sepeda motorku.
Rasanya, jantungku berhenti berdetak saat mereka menangkap mataku yang sedang mengintip dari dalam warung. Aku kembali bersembunyi semakin dalam, namun sayang 3 orang lelaki telah berjalan menuju ke arahku sambil membawa golok dan celurit
“Hahahah... Ada ukhti-ukhti cadaran malam-malam gini habis ngapain, ya?” goda salah satu dari mereka.
Tidak bisa kulihat wajah mereka dengan jelas, yang kutahu ketiga lelaki itu berbadan besar dan postur mereka menyeramkan. Aku merapat ke arah tembok warung dengan ketakutan dan berdoa semoga rombongan yang kelihatannya gang motor itu segera pergi.
“Kalau ditanya itu dijawab, dong, cantik... Heheheh...” ujar lelaki lainnya yang posturnya sama besarnya.
“Sa—saya habis pengajian.…” jawabku terbata-bata.
“Ho? Pengajian? Ga bohong lu? Bukan lagi jual diri lu?”
“Astaghfirullah hal adzim....”
“hehehe... Yuk ikut kita aja, yuk!” ujar salah satu di antara mereka sambil cengengesan dan berusaha menarik tanganku.
Aku yang tidak biasa bersentuhan dengan lelaki bukan mahram, secara reflek langsung menangkis tangannya yang menarik tanganku dengan paksa. Kulihat lelaki itu terlihat begitu marah dan menamparku dengan keras setelah kutepis tangannya.
“Sombong lu ya?” kata lelaki tadi, kesal.
Mereka menatap tajam ke arahku, aku semakin ketakutan saat ketiga orang itu semakin memepetku ke dinding kayu warung ini.
Mereka tersenyum sinis sambil memainkan golok seperti berusaha menakutiku. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas wajah mereka yang jauh dari kata tampan.
Aku begitu ketakutan hingga lebih banyak memilih memejamkan mataku sambil menunduk total karena wajah mengerikan mereka dan juga aroma tak sedap yang berasal dari mulut mereka
“Hehehe jangan lu kira mentang-mentang lu cadaran, kita ga berani macam2 ke lu,” kata salah satu di antara mereka sambil menggerakkan ujung goloknya tepat di depan dad4ku.
“Sekali tebas pakaian lu, lu udah bisa kita bug1l1n. Ngerti lu?” imbuh lelaki itu.
Kali ini ia gerakkan ujung goloknya tepat di area payud4r4ku.
Mendadak mulutku terkunci rapat mendengar perkataannya. Aku tidak berani menggerakkan tubuhku sedikitpun.
Ujung tajam golok itu benar-benar tepat menempel pada ujung payud4r4ku yang masih tertutup kerudung dan juga gamis.
Kulihat ia mulai menggerakkan goloknya kebagian belahan dad4ku dan digeser perlahan ke bawah. Membuat lekuk dad4ku sedikit membentuk karena tekanan dari ujung golok.
“Jawab, lu lagi jual diri, kan? Berapa harga tubuh, lu?” tanya seorang lelaki kekar berambut berantakan.
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Sebuah pertanyaan yang aneh menurutku. Setahuku, pelacur tidak ada yang pakaiannya serba tertutup sepertiku saat ini.
Sungguh itu sebuah tuduhan yang amat kejam bagiku. Dan parahnya lagi pertanyaannya seperti memaksaku menjawab jika memang benar aku adalah seorang gadis yang sedang jual diri.
“Saya tidak jual diri!” Aku memberanikan menjawab pertanyaan kurang ajarnya.
...“Plak plak plak,” ...
pipiku kembali dihajar dengan sebuah tamparan bertubi-tubi.
Aku mencoba tetap tegar walau pipiku rasanya perih menyakitkan. Tanpa terasa air mataku jatuh karena tidak pernah selama hidupku diperlakukan kasar seperti ini
“Jangan bohong lu.. Ga usah jaim-jaim lu lont3!” ujar lelaki kekar itu semakin menghunuskan ujung golok ke dad4ku.
“Udah kita bawa aja ke markas dulu,” kata lelaki yang tadi menarik tanganku, tiba-tiba mencoba menahan rekannya yang hendak melukaiku.
Lalu lelaki yang menggerakkan goloknya ke dad4ku tadi merampas tasku dan mencari sesuatu dari dalam tasku.
Setelah mereka mendapatkan kunci motorku, mereka menarik paksa tubuhku keluar, hujan-hujanan hingga pakaianku kembali basah kuyup.
“Lu bawa motornya. Nih lont3 kita angkut sekalian,” kata pria kekar memberi perintah ke temannya.
Tubuhku kembali ditarik dan dipaksa naik ke salah satu motor mereka, mataku ditutup rapat oleh sebuah kain hingga aku tidak bisa melihat sama sekali keadaan sekelilingku.
Kurasakan salah seorang turut duduk dibelakangku, sepertinya saat ini aku dalam posisi boncengan bertiga dan aku diapit oleh 2 orang lelaki.
Satu persatu mulai menyalakan mesin sepeda motornya. Suara knalpot brong mulai kembali bising terdengar beriringan. Aku tidak tahu akan dibawa ke mana.
Dalam hati aku berdoa semoga aku baik-baik saja. Tetapi sayang, dalam beberapa menit saja doaku sudah tidak dikabulkan.
Lelaki yang duduk di belakangku dengan sangat kurang ajar sengaja merem4s-rem4s payvd4r4ku.
Aku mencoba berontak menghindari sentuhan tangannya yang kurang ajar, namun lelaki itu kembali membisikiku, “Diam! atau gua bunuh lu!”
Tubuhku mendadak melemah, perlawananku perlahan musnah. Aku semakin ketakutan saat ini. Tidak kusangka pada akhirnya aku mengalami kejadian seperti ini.
Mendadak, aku menyesal. Andai saja aku menerima tawaran Ukhti Farida untuk bermalam di rumahnya, tentu kejadian ini tidak akan terjadi.
Atau andai saja aku tidak menghadiri kajian Ustadzah Jihan malam ini, pasti aku tidak akan mengalami semua ini.
Pikiranku kalut, jantungku terasa sakit, hingga pada akhirnya aku menangis sesenggukan di balik kain hitam yang menutupi kedua mataku.
Sementara itu, tangan kasar lelaki yang duduk di belakangku seakan tak peduli dengan tangisanku. Ia terus merem4s dan melec3hkan tubuhku dengan kurang ajar sepanjang perjalanan malam ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!