NovelToon NovelToon

Istri Rahasia Jaksa

Ketidakadilan

Semua terasa menyesakan bagi dirinya. Bagaimana semua impianmu direnggut, menanggung semua hinaan dan tatapan rendah dari sekitar

“Akh, sabar ya sayang kita bikin susu dulu ya,”

Nara bangun dari dipan kasur kayu itu berbunyi saat dirinya berdiri, dirinya memegang sekitar sebagai tumpuan agar tetap bisa berdiri dengan baik, kepalanya sedikit pusing.

Berjalan dengan pelan, memegang tembok serta meja sebagai tumpuannya maju berjalan dan untung saja dapur dekat sekali dari kamarnya, jadi dirinya tidak perlu bersusah payah berjalan jauh.

“Non Nara kenapa, Non?”

Bahkan panggilan itu terlalu tinggi buat dirinya.

Wanita yang dipanggil Nara itu sontak langsung mendongakkan kepalanya, dirinya melihat seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan kompor melihat ke arah dirinya dengan panik.

Nara menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, Bi. Nara cuman sedikit pusing saja,” ujar Nara dengan senyum tipisnya.

Ia berjalan mendekat ke arah kompor dekat Bi Rena dan mengambil kotak susu di atas rak dengan berjinjit agar bisa mencapai tempat letak susu tersebut.

“Non Nara, biar Bibi saja yang buatkan, Non Nara duduk saja di kursi meja makan ya,” ujar Bi Rena kepada Nara.

Nara menggelengkan kepalanya, dirinya tetap melanjutkan membuat susu miliknya. “Gapapa Bi, aku bisa sendiri kok. Bibi lanjut kerja aja,” ujar Nara.

Nara termenung melihat sisa susu yang sudah hampir habis, hanya sisa satu gelas lagi saja dirinya bisa menyeduh.

Bagaimana Ia bisa membeli susu baru? Nara mengelus perutnya dengan pelan berusaha menguatkan diri merasa tendangan pelan dari bayi di dalam perutnya.

“Non Nara kenapa?”

Nara tersentak pelan, dirinya dengan cepat langsung menyedokan susu yang masih sisa di gelas kemudian meletakan kotak susu yang kosong di atas rak.

“Ah, e-um tidak apa-apa,Bi. Nara minta air panasnya ya Bi,” ujar Nara dengan pelan seolah tidak terjadi apa-apa.

Bi Rena tersenyum tipis kemudian menuangkan air panas ke dalam gelas susu Nara. Ia mengaduknya dengan pelan dan meletakkan tanganya di perut buncit Nara mengusapnya dengan pelan dan mengatakan, “Hello adek, tumbuh yang sehat ya di dalam perut”

Nara tersenyum tipis mendengar ucapan Bi Rena. Diantara lelah dan tidak semangat dirinya, Ia bersyukur memiliki Bi Rena di dalam rumah ini. Diantara banyaknya orang yang tidak menginginkan baby namun Bi Rena yang selalu menantikan kehadiranya.

“Makasih Bi,” ujar Nara dengan pelan.

Nara tersentak pelan dari duduknya, Ia baru saja duduk meminum susu hamilnya namun ada suara Mama mertua memanggil namanya.

Nara berdiri dari tempat duduknya dengan pelan, Ia berjalan menuju ke ruangan keluarga depan. Nara terdiam, dirinya melihat bagaimana Mama mertuanya menyambut wanita di depannya dengan riang dan penuh perhatian- berbeda sekali kepada dirinya.

“Aaa Mama senang banget Senja datang ke sini, Mama juga baru balik kemarin dari London dan ini hadiah buat Senja. Ini tas baru yang Senja lama banget incer terus juga mama nemu parfum yang sangat cocok banget sama Senja, nah ini. Ini parfum keluaran terbaru dan hanya dua orang yang bisa memilikinya sayang.”

“Makasih Tante, Senja senang bisa menerima hadiah dari Tante. Tapi Tante, Senja ga enak sama Nara, bagaimanapun sekarang Nara menantu Tante,” ujar Senja kepada wanita di depanya.

Nara menghentikan langkahnya dan berdiri dibelakang dua wanita di depannya. Sikap Mama mertuanya sangat berbanding terbalik kepada dirinya.

“Gapapa, dimata Mama kamu tetap menjadi menantu Mama. Panggil Mama sayang jangan Tante, bagaimanapun kamu adalah kesayangan Mama,” ujar Dwi

Dwi Sri Sanjaya adalah Mama mertua Nara, setelah ia menikah dengan Alan Ravindra Sanjaya. Sanjaya adalah marga kebangsaan yang keluarga ini pegang, keluarga darah biru dengan kekayaan yang berlimpah. Keluarga terpandang dan memiliki status yang tinggi dengan pekerjaan disegani oleh orang.

Nara sadar, dirinya sangat berbeda dengan mereka. Jika bukan karena bayi di dalam perutnya ini, belum tentu dirinya bisa berada di rumah sebesar ini.

“Nara?”

Nara tersentak pelan dari lamunanya ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Ia tersenyum tipis saat Senja sadar akan kehadirannya dan jalan ke arahnya dan memeluknya dengan pelan.

“Nara, kakak kangen,” ujar Senja memeluk Nara dengan erat.

Nara tersenyum tipis, dirinya ingin membalas pelukan Senja namun tangannya seketika turun saat teringat semuanya.

“Nara, gimana kabar kamu?” tanya Senja kepada Nara.

“Nara, kamu tolong bikin minuman sana di dapur untuk Senja. “

Nara ingin menjawab namun seketika Ia kembali menutup mulutnya dan menganggukan kepala atas perintah yang diberikan oleh Mama mertuanya.

“Jangan, aku ga minum kok,” ujar Senja berusaha menahan Nara agar tidak pergi ke belakang dapur.

“Gapapa Senja, masa kamu datang ga minum disini. Nara tolong buatkan ya,” ujar Dwi

Nara menganggukan kepalanya kembali dan melepaskan rangkulan tangan Senja dengan pelan seolah mengatakan bahwa tidak apa-apa.

Nara sadar, dirinya di sini hanya bayangan saja. Jika bukan karena kejadian malam itu dan permohonan Senja, belum tentu dirinya ada di sini. Ia sadar, Dwi, Mama mertuanya lebih menyukai Kakak dibandingkan dirinya. Ia hanya perusak di keluarga ini, seharusnya Senja-lah yang menjadi menantu Mama bukan dirinya.

“Eh Non, biar Bibi aja,” ujar Bi Rena kepada Nara yang sedang mengaduk teh hangat dengan melamun.

Nara menoleh ke samping, melihat Bi Rena tampak cemas saat dirinya terkejut mendengar suara Bi Rena hingga membuat tanganya terkena air panas.

“Non, maaf. Ayo kita obati tanganya dulu, pasti panas,” ujar Bi Rena dengan panik menarik tangan Nara menuju wastafel menyiram dengan air dingin.

Sejak saat itu Nara sadar, bahwa hidupnya tidak akan pernah ada kebahagiaan. Semua caci maki dirinya dengar dan terima, bagaimana posisi dirinya yang sangat rendah berada di keluarga kasta tinggi ini.

“Gapapa Bi, Nara antar minuman dulu ya, “ ujar Nara kepada Bi Nara.

Nara mengabaikan rasa panas di tanganya, pedih tanganya tidak sebanding dengan perih di dalam hatinya. Ia berjalan seolah tidak terjadi apa-apa membawa teh hangat menuju ruang depan tempat Mama dan Senja duduk.

“Ini tehnya Kak,” ujar Nara dengan pelan meletakkan teh di meja hadapan Senja.

Senja menahan tangan Nara yang mana sontak membuat Nara meringis pelan.

“Nara, bagaimana kabar kamu? Maaf karena aku Mama-”

Nara menggeleng pelan. “Tidak, jangan minta maaf. Aku baik kak, seharusnya aku meminta maaf karena sudah merebut milik Kakak, “ ujar Nara lirih.

Ia menarik tangannya dengan pelan berusaha bersikap biasa saja mengabaikan rasa perih di tanganya. Ia tersenyum tipis melihat sang Kakak sama sekali tidak berubah dan masih peduli kepada dirinya. Di ruangan ini hanya mereka berdua yang ada, Mama pergi ke atas mengambil sesuatu dan meninggalkan Senja di ruang depan sendirian.

“Kaka sabar sebentar ya, Nara janji akan mengembalikan semuanya kepada Kakak, “ ujar Nara dengan lirih

“Nar-”

“Senja”

Nara dan Senja sontak mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara, melihat seorang pria yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan pakaian formalnya.

“ Iya, aku janji akan mengembalikan semuanya ke Kakak,” ujar Nara dengan pelan yang hanya dapat di dengar oleh Senja.

Nara mendongakkan kepalanya, matanya seketika bertemu dengan mata elang milik seorang pria yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia adalah Alan, suaminya. Pria yang selalu menatapnya dengan datar, menikahinya dengan terpaksa.

Pria yang telah dirinya rebut dari Senja, Ia adalah pria kekasih dari kakaknya sendiri.

Nara terkesiap, dirinya menunduk dengan pelan dan menarik diri dari segala lamunanan. Ia membalikan diri dengan cepat seolah tidak melihat bagaimana Alan menatap Senja dengan dalam.

Nara memilih berjalan menuju ke arah dapur tanpa permisi, dirinya dengan cepat berjalan meninggalkan dua sepasang manusia di ruangan tersebut.

Ia tidak Berhak marah, bagaimanapun ialah yang menjadi perusak di sini. Jika bukan karena dirinya, sudah pasti Mas Alan dan Kak Senja sudah bahagia dari awal.

Perintah Papa

Nara bangun dari tidurnya, perutnya terasa perih dan itu membuat dirinya tidak nyaman. Ia berjalan dengan pelan keluar dari kamar berjalan menuju dapur.

Walau sudah menikah, dirinya dan Alan sama sekali tidak pernah sekamar. Ia sendiri di kamar ini, kamar yangi dekat dengan tangga dapur, yang luasnya cukup untuk dirinya sendiri dengan adanya kamar mandi di dalam. Dari semua ketidak nyamanan di hidup ini, Ia bersyukur memiliki baby di dalam perut ibu yang menjadi alasan ia hidup.

Nara mengelus perutnya dengan pelan, dirinya dapat merasa pergerakan dari baby di dalam perutnya. “Sabar ya sayang, ayo kita buat susu dulu buat baby,” ujar Nara mengajak interaksi dengan baby di dalam perutnya.

Semua orang sudah tidur di rumah ini, lampu bahkan sudah dimatikan. Jam juga sudah menunjukan pukul satu malam, Ia terbangun dari tidurnya.

Nara menjijitkan kakinya, mengambil susu yang berada di atas rak tinggi. Nara terdiam, bagaimana dirinya bisa lupa bahwa susu sudah habis dari tadi siang. Bagaimana dirinya bisa mendapatkan susu kembali? Apa dia harus meminta kepada Alan? .

“Sayang, maaf ibu belum bisa kasih kamu susu. Susunya sudah habis sayang dan Ibu belum beli, kita minum air putih dulu aja ya biar kenyang nanti kalo Ibu sudah ada uang kita langsung beli susunya,”ujar Nara dengan pelan kepada janin hidup di dalam perutnya.

Nara menunduk pelan, bagaimana dirinya bisa mendapatkan uang. Ia yakin Alan tidak akan mengizinkan untuk kerja namun dirinya juga ragu meminta uang kepada Alan.

“Bagaimana aku bisa mempunyai uang? vitamin baby juga udah habis,” lirih Nara memikirkan bagaimana nasibnya

Nara berjalan menuju arah kulkas dan membukanya, menemukan kue brownies yang manis sangat menggugah selera. Ia hendak mengambil namun seketika sadar dan menarik kembali tanganya kembali.

“Baby, sekarang lihat-lihat dulu aja ya, Ibu belum mampu beli nanti kalo Ibu ada uang Ibu janji akan membeli kue yang adek mau,” ucap Nara dengan lembut sembari mengusap perutnya dengan lembut.

Ia tidak bisa mengambil sembarang makanan yang ada di kulkas, karena dirinya sadar Ia tidak memiliki hak di sini. Nara tau kue itu milik Alan sendiri, namun dirinya tidak berani mengambil milik suaminya itu.

Ia pernah sekali mengambil makanan milik Alan tanpa izin dan ternyata kue itu akan dibawa oleh Alan untuk Kakanya, Senja dan dirinya sudah me

makanya pada saat itu. Nara ingat sekali bagaimana Alan sangat marah kepada dirinya dan bahkan tanpa sadar membentak karena kue yang sudah Ia makan itu sengaja suaminya simpan khusus untuk Senja sebagai kue ulang tahun.

“Anak ibu, kita tidur aja lagi ya. Semoga besok Ibu menemukan cara buat beli susu baby,” ujar Nara dengan senyum tipisnya kepada baby di dalam perutnya. Ini semua sudah menjadi kebiasaanya, selalu mengajak interaksi dengan baby agar dirinya tidak merasa sendiri.

Nara masuk kembali ke dalam kamarnya dan tidak lupa mematikan lampu dapur.

Dibalik punggung rapuh Nara ada sepasang mata tajam yang memperhatikan wanita itu secara diam. Alan menyaksikan semuanya, mulai dari Nara mengatakan susu hamilnya sudah habis dan juga kue yang ada di kulkas.

Alan sadar selama ini Nara sama sekali tidak pernah meminta sesuatu kepadanya bahkan Ia jarang mendengar suara Nara secara langsung karena wanita itu akan memilih untuk menghindarinya, menjawabnya dengan singkat dan lebih banyak menggunakan bahasa tubuh.

Alan berjalan menuju rak tempat dimana susu Nara letakkan tadi dan membukanya. “Benar, susunya sudah habis,” ujar Alan datar yang kemudian membuang kotak susu tersebut ke dalam sampah.

Dirinya berjalan menuju kulkas dan membukanya dengan kasar, Ia melihat kue yang dipegang oleh Nara tadi dengan datar. Ia memisahkan kue yang ada di kulkas tadi ke dalam kulkas kecil tempat para pembantu dan berjalan kembali menuju lantai atas, kamar tidurnya.

Semuanya Nara lakukan seperti biasanya, bahkan setelat apapun dirinya tidur Nara akan tetap bangun pagi membantu Bi Rena untuk memasak sarapan pagi keluarga Sanjaya.

Nara membantu menyusun dengan rapi, semua anggota satu persatu mulai turun ke bawah, tempat ruang makan bersama termasuk dengan Alan yang sudah turun dengan tas kantor dan baju formal bersama IPad di tanganya.

Nara mendongakkan kepala melihat Alan yang turun dari tangga yang juga melihat menuju arahnya. Mata mereka saling bertemu satu sama lain, Nara terdiam, melihat mata hitam kelam itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain berusaha fokus kepada tatanan makanan yang Ia susun di meja.

“Buatkan saya teh buat Papa kopi dan juga Alan,” ujar Dwi kepada Nara.

Nara menganggukan kepalanya, dirinya hendak berjalan namun langkahnya seketika berhenti mendengar seseorang menghalanginya.

“Mama apa-apaan si Ma, Nara itu lagi hamil malah kamu suruh-suruh. Bi Rena aja yang bikin.”

Nara mendongakkan kepalanya, jika kalian berpikir bahwa itu adalah suara Alan maka kalian salah. Pria itu asik dengan IPadnya sedangkan pria yang membelanya adalah Baskara Putro Sanjaya, kepala keluarga Sanjaya yang memegang tahta terbesar di dalam rumah ini.

Dwi melihat ke arah Baskara, suaminya,dengan pandangan tidak suka. Baskara memanggil Bi Rena untuk membuat makanan dan menyuruh Nara duduk di samping Alan agar makan bersama.

Nara menganggukan kepalanya dengan kamu dan canggung, dirinya tidak bisa menolak termasuk juga Mama mertuanya maupun juga Alan karena dirumah ini Baskaralah penguasanya.

Nara menoleh ke samping melihat Alan yang masih sibuk dengan IPadnya, merasa diperhatikan Alan menoleh ke arah samping melihat Nara yang memperhatikanya.

Nara memperhatikan bagaimana porsi makanan yang di ambil oleh Alan agar dirinya bisa tahu kapasitas dirinya untuk tidak mengambil makanan dengan porsi yang lebih dari suaminya.

Alan memperhatikan bagaimana Nara memperhatikan tanganya yang mengambil makananya. Ia berkerut bingung dan bertanya-tanya di dalam hati.

“Nara, kenapa kamu makannya sedikit sekali. Ambil yang banyak Nak, ada ayam dan juga ikan. Kamu harus makan banyak agar baby sehat di dalam perut kamu,” ujar Baskara melihat nasi di piring Nara terbilang sangat kecil.

Nara mendongakkan kepalanya, matanya berlinang menghadap ke arah Baskara dan mengatakan, “Apa boleh?” dengan suara getirnya.

Alan terdiam menoleh melihat Nara termasuk Dwi yang tersentak pelan mendengar suara getir Nara. Baskara mengerut bingung melihat respon menantunya yang tampak lirih. “Boleh apa Nak?” tanya Baskara kepada Nara dengan lembut.

Nara semakin jatuh, dirinya tidak bisa bahkan tanpa sadar menjatuhkan air matanya dan mengusapnya dengan cepat seolah berusaha agar Baskara tidak tahu bahwa air matanya sudah jatuh membasahi pipi. “Aku makan ayam dan ikan sekaligus? langsung dua?” tanya Nara

Baskara terbelalak, dirinya tidak pernah menyangka pertanyaan itu yang keluar dari mulut menantunya, apa selama ini dirinya tidak pernah memperhatikan menantunya? apa orang rumah ini tidak ada yang peduli dengan menantunya? Ia terlalu sibuk di luar dengan persidangan yang melelahkan sebagai perkejaanya.

“Tentu sayang, kamu bisa makan dengan banyak dan juga sayurnya. Makanlah Nak, tidak ada yang melarangmu,” ujar Baskara dengan senyum lirihnya.

Ia tidak menyangka melihat bagaimana menantunya tampak bahagia dengan makan ayam dan ikan sekaligus. Apa dirumah ini Ia tidak diberikan makan sepenuhnya? Batin Baskara.

Ia melihat ke arah Alan yang tampak masih memperhatikan Nara dalam lamunanya. Ia sadar ada yang tidak baik di dalam kehidupan anak dan menantunya termasuk dengan istrinya sendiri.

“Nara”

Nara mendongakkan kepalanya melihat ke arah Papa mertuanya.

“Kapan kamu check up hamil, Nak?” tanya Baskara dengan pelan.

Nara terdiam, dia berpikir sejenak kemudian terbelalak mengingat bahwa hari ini adalah waktu check up baby. Bagaimana dirinya bisa lupa?

“Oh iya hari ini,” ujar Nara sembari menepuk jidatnya terkejut mengingat bahwa sekarang jadwal cek kehamilanya.

Baskara terkekeh pelan melihat kelucuan Nara, dirinya kemudian melihat Alan yang masih sibuk melihat ke arah Nara.

“Alan kamu ambil libur hari ini, biar Papa handle. Kamu temani Nara check up bayi kalian, jangan tinggalkan Nara,” ujar Baskara dengan nada penuh perintahnya

Alan mengerutkan keningnya dan menatap Baskara tidak suka. “Tapi pa, dua hari persidangan aku,” ujar Alan dengan nada tidak terimanya.

“Papa yang handle sama asisten kamu,” ujar Baskara dengan penuh mutlak

Alan tidak bisa berkilah lagi mendengar nada perintah mutlak dari Papanya

Kemarahan Alan

Nara duduk di samping Alan yang menyetir mobil dengan fokus. Ia sedikit gusar dan merasa bersalah karena dirinya Alan tidak jadi pergi kerja.

“Ka, aku gapapa kok sendiri nanti aku bilang sama Papa kalo kamu udah beneran nganterin aku,” ujar Nara kepada Alan di sampingnya yang fokus ke depan melihat arah jalan.

“Kamu mau saya dihukum lagi oleh Papa?” potong Alan dengan nada dingin. Tatapannya menyipit ke arah jalan. “Duduk saja diam, jangan banyak bicara.”

Nara terdiam. Kepalanya menunduk, bibirnya terkatup rapat. Ia tahu, Alan tak ingin berbicara dengannya lebih dari yang diperlukan.

“Tapi Ka aku serius,” ujar Nara sekali lagi berusaha meyakinkan Alan

“Duduklah dengan tenang atau saya maupun kamu tidak akan pergi rumah sakit sama sekali,” ancam Alan kepada Nara

“Kamu kira saya mau seperti ini? Harusnya saya menyiapkan berkas saya dalam persidangan. Karena kamu saya jadi membatalkanya, merepotkan,” decak Alan

Nara termenung, dirinya bahkan sama skelai tidak meminta untuk ditemani dan ia juga sudah mengatakan bahwa Alan bisa untuk meninggalkanya dan ia akan pergi sendiri seperti biasa.

Namun, ada hal yang tak bisa Nara tahan lagi. “Ka, aku tahu kamu enggak suka aku. Tapi aku enggak pernah minta untuk ini semua,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku cuma mau hidup tenang... untuk aku dan baby.”

Alan menginjak rem mendadak, membuat mobil berhenti di pinggir jalan. Nara tersentak, menoleh ke arahnya dengan kaget.

Alan menatapnya, kali ini matanya tak lagi dingin, melainkan penuh dengan sesuatu yang sulit dibaca. Marah? Frustrasi? Kesal? Entah Nara sama sekali tidak bisa membaca Alan.

“Kamu pikir saya minta ini semua?” suaranya rendah, tapi penuh emosi. “Hidup saya hancur gara-gara kamu, Nara. Tapi kamu mau saya memberikan kamu ketenangan? Egois sekali?”

Air mata menggenang di mata Nara. Ia menggigit bibirnya, menahan tangis. “Aku enggak mau jadi beban, Kak. Aku cuma mau kamu tahu, aku enggak pernah mau merebut apa pun dari Kak Senja... atau dari hidup kamu.”

“Kamu kira aku juga mau? berapa banyak yang terenggut semuanya dari aku?”

Alan mengalihkan pandangannya, menghela napas panjang berusaha meredam emosinya. Beberapa detik berlalu dalam diam, sebelum akhirnya ia kembali melajukan mobil tanpa berkata apa-apa.

Di sudut matanya, Nara menghapus air mata dengan pelan, memastikan Alan tak melihat. Ia tahu, permintaannya untuk “hidup tenang” hanya mimpi kosong

Alan memakirkan mobilnya di tempat khusus kemudian menoleh ke arah samping melihat Nara yang juga menoleh melihat ke arah dirinya.

“Turun,” ujar Alan dengan singkat yang langsung turun dari mobil dengan santai.

Nara turun dari mobil dengan pelan akibat bawaan dari perutnya yang sudah mulai memberat. Ia berjalan di belakang Alan yang sudah berjalan terlebih dahulu. Ia menunduk pelan, Ia tidak pernah berada di situasi ini sebelumnya.

Ia biasanya pergi check up sendirian dengan menaiki angkutan umum kereta yang tidak jauh dari rumah dan rumah sakit. Ia senang berpergian dengan angkutan umum bertemu banyak orang dan berinteraksi berbicara berbagi pengalaman maupun cerita satu sama lain.

“Aduh” keluh Nara saat kepalanya terbentur dengan dada Alan yang berhenti tiba-tiba.

“Perhatikan jalan kamu,” ujar Alan dengan singkat.

Nara menganggukan kepalanya dan melanjutkan langkahnya mendahului Alan yang tertinggal dibelakang, Ia dapat melihat beberapa orang menunduk pelan kepada Alan. Bagaimana tidak, rumah sakit ini milik Alan dan juga Alan adalah keluarga kaya yang disegani oleh sekitar.

“Dengan apa kamu pergi ke sini biasanya?”

Nara menoleh ke samping, tersentak melihat Alan yang berjalan di sampingnya dan mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Alan mulai berjalan menuju ruangan dokter obgyn.

“Kereta” ujar Nara dengan pelan.

Ia memberikan formulir jadwal rutin dan juga buku KIA (kesehatan ibu dan anak) kepada penjaga di depan ruangan dokter obgyn.

Alan mengerutkan keningnya melihat Nara memberikan formulir tersebut dan duduk mengantri bersama ibu-ibu yang menunggu antriannya.

Apa dia selalu menunggu seperti ini? Bukankah seharusnya anggota VVIP langsung saja membuat jadwal dan masuk ke dalam ruangan dokter tanpa mengantri dan memberikan buku maupun formulir yang dibawa oleh Nara?

Ayolah ini rumah sakitnya, kenapa Ia harus dibuat menunggu seperti ini?

Alan menoleh ke arah Nara yang melihat sekitar dan mengusap perutnya yang sudah membulat. Dirinya baru saja menyadari bahwa perut Nara memang sudah besar bahkan dirinya tidak tahu sudah berapa bulan umur bayi di perut Nara.

Jika kejadian lalu sudah tujuh bulan, bisa saja baby di dalam perut Nala sekitar enam atau masuk tujuh bulan? Batin Alan di dalam hati.

Kejadian dimana dirinya bertemu dengan Nara dan membawa Ia ke dalam rumahnya dan hidupnya.

“Wah, apakah ini anak pertama, Mbak?”

Nara dan Alan menoleh ke samping melihat sepasang suami istri yang juga tampak mengantri seperti mereka.

Nara tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya, “Iya Mbak, bagaimana dengan, Mbak? apakah ini anak pertama juga?” tanya Nara kepada wanita di samping mereka.

Alan terdiam memperhatikan bagaimana senyuman Nara berikan kepada Ibu hamil di samping mereka, hingga senyuman itu menjadi tatapan lirih saat melihat bagaimana suami istri tersebut saling merangkul, berpegangan satu sama lain.

“Iya Mbak, kami sudah menantikan kehadiran dedek dari lama. Saat mendengar saya hamil seluruh keluarga sangat bahagia bahkan sampai mengadakan syukuran,” ujar Ibu itu dengan senyum lebarnya yang dirangkul oleh suaminya di samping mengusap perut besar milik Ibu tersebut.

Nara menunduk pelan melihat ke arah perutnya, tidak ada yang menantikan kehadiran baby di dalam perutnya kecuali dirinya dan juga Bi Rena. Tidak ada suaminya yang mengusap perutnya layaknya suami Ibu di sampingnya ini yang nampak menyayangi Ibu tersebut.

Nara berusaha tersenyum lebar dan mengucapkan, “Senang mendengarnya, semoga lancar selalu ya Mbak sampai lahiranya,” ujar Nara kepada Ibu di sampingnya.

Ibu tersebut tersenyum lebar dan menganggukan kepalanya, “Terimakasih, Mbak, begitu juga dengan Mbak pasti anaknya cantik atau ganteng karena orang tuanya sangat tampan dan cantik,” ujar Ibu tersebut dengan tulus

Nara tersenyum tipis mendengar perkataan Ibu tersebut.

“Saya duluan ya Mbak, nama saya sudah dipanggil,” ujar Ibu tersebut pamit bersama suaminya kepada Nara masuk ke dalam ruangan.

“Iya Mbak, silahkan,” ujar Nara dengan ramah.

Nara terdiam sejenak, suasana hening di antara dirinya dan Alan. Nara menoleh ke samping melihat Alan yang sibuk memutar pandangannya ke sekitar.

Alan baru sadar bahwa rumah sakit ini pelayanan yang kurang ramah, bagaimana dirinya melihat pegawai kesehatan di depan sana yang tampak tidak ramah dan ketus kepada ibu lansia di depannya.

Ia juga terkejut melihat ke belakang bagaimana adanya pertengkaran yang terjadi antara pegawai rumah sakit dengan bapak-bapak yang menarik perhatian sekitar.

“~Tidak bisa bapak, kami akan memproses kelahiran juga bayaran rumah sakit sudah lunas~”

“~Tapi istri saya sudah kesakitan di dalam sana buk. Tidak bisakah tindak lanjuti dulu, saya janji saya akan membayarnya~”

“~Saya mohon selamatkan istri saya terlebih dahulu~”

Nara mengikuti arah pandangan Alan dan membelalakan matanya saat melihat bapak tersebut bersimpuh bahkan bersujud di depan pegawai kesehatan administrasi tersebut. Ibu tersebut menghindar membuat kepala bapak yang sujud tersebut mengenai lantai.

Pertengkaran mereka menarik perhatian sekitar termasuk dengan Nara.

Nara tidak bisa, Ia tidak bisa seperti ini. Ia rapuh melihat bagaimana seorang suami berusaha menyelamatkan istrinya, Ia berdiri dari tempat duduknya yang membuat Alan terkejut tiba-tiba akan pergerakan Nara.

Nara berjalan mendekat ke arah bapak tersebut yang sudah banyak orang berusaha membantu bapak itu berdiri. Ia tidak bisa berjongkok jujur saja dengan keadaan hamil seperti ini, namun Ia berusaha memaksakanya membantu bapak itu untuk berdiri atau duduk yang juga banyak dibantu oleh orang sekitar.

“Bapak, jangan seperti ini. Ayo bangun, istri bapak akan ditangani kok,” ujar Nara dengan lembut kepada pria yang masih bersujud memohon agar diselamatkan istrinya.

Nara berusaha berdiri dengan susah payah yang langsung dibantu oleh Alan dengan cepat. Entah, dirinya spontan begitu saja mengulurkan tanganya agar Nara bisa berdiri dengan mudah.

“Apakah tidak bisa Anda menyelamatkan istri bapak ini melahirkan dulu baru mengenai uang? apakah nyawa seseorang sebanding dengan uang tidak seberapa itu?” tanya Nara dengan marah kepada wanita di depannya ini.

“Tidak bisa buk, kecuali pembayaran administrasinya sudah lunas atau setidaknya setengah,” ujar pegawai kesehatan tersebut.

Nara ingin membantu namun Ia juga tidak memiliki uang bahkan untuk beli susu saja Ia juga susah. Ia melihat seseorang yang juga sudah menawarkan uangnya terlebih dahulu kepada pegawai tersebut agar istri bapak di depanya dirawat namun ternyata biaya tidak sedikit dan masih kurang.

Nara tidak ada pilihan lain, Ia menoleh ke samping melihat ke arah Alan yang juga melihat dirinya. Nara mendekat ke arah Alan dan menangkupkan tanganya memohon.

Air matanya jatuh berlomba membasahi pipinya. “Ka, aku mohon sekali ini aja. Sekali ini saja, kamu tolong bapak ini agar istrinya bisa melahirkan. Ini rumah sakit keluarga kamu, pasti kamu memiliki kekuasaan di sini, tolong Mas,” ujar Nara kepada Alan dengan penuh air mata.

Alan terdiam, Ia tidak pernah melihat Nara memohon seperti ini. Hatinya yang mati seketika berdenyut perih. Ini juga kali pertamanya Nara memanggil Mas setelah kejadian pada hari pernikahan itu.

Nara memang tidak memanggil dirinya Mas sama seperti saat dirinya kenal dengan Nara berpacaran dengan Senja, ia dikenalkan oleh Senja kepada Nara yang merupakan adiknya Senja dan menyuruh Nara memanggil Mas namun setelah pernikahan Nara tampak menjauhkan diri dan memanggil dirinya dengan Kak seolah memberikan tembok dan jarak bahwa mereka tidak sedekat itu

Alan jalan menuju pegawai rumah sakit tersebut, mengambil telepon kantor untuk pelayanan kyang ada di dekat pegawai tersebut.

“Bapak, jaga sopan santun anda,” ucap pegawai wanita tersebut.

Alan mengabaikanya namun pegawai tersebut berusaha menarik telepon ditangan Alan namun tidak semudah itu. Ia mengambil sesuatu dari sakunya dan mengeluarkan kartu namanya memberikan kepada wanita tersebut. Alan yakin pasti pegawai ini baru dan tidak mengenali dirinya.

“Alan Ravindra Sanjaya?” ujar wanita tersebut dengan nada penuh terkejutnya.

Alan menekan beberapa angka yang tidak Nara ketahui, telepon operator tersebut terhubung. “Saya Alan Ravindra Sanjaya anak dari Bapak Baskara Putro Sanjaya. Saya kecewa dan kita perlu mengadakan rapat besar, -”

“Siapa nama istri anda dan juga anda?” tanya Alan

“Rani Tuan dan nama saya Randi” ujar pria tersebut

“Ada pasien dengan nama Ibu Rani istri dari bapak Randi. Saya tidak mau tahu datangkan dokter ahli kalian, selamatkan istrinya atau tidak kalian akan tahu apa yang bisa saya lakukan, lantai dua” ujar Alan dengan ringkas yang langsung menutup teleponya.

Seketika banyak petugas yang datang ke tempatnya yang masuk ke dalam ruangan istri Pak Randi dan juga beberapa dokter yang masuk. Bahkan manager dari rumah sakit pun sudah turun tangan menghadapi Alan.

“Bapak, maaf saya-”

“Jangan bahas di sini, kita adakan rapat besar. Selamatkan Ibu Rani tersebut dan juga bayi di dalam perutnya, saya tidak mau tahu,” ujar Alan meninggalkan manager tersebut di tempat.

Alan kembali di tempat mengantri dan memanggil Nara karena namanya sudah dipanggil sedari tadi. Nara terkesiap, Ia berjalan menuju Alan yang sudah membuka pintu masuk dokter obgyn langganannya. Kejadianya begitu cepat, ia melihat bagaimana Alan tadi

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!