NovelToon NovelToon

Cinta Terlarang

Sosok Makhluk Lain

Hujan menyisakan tetesan kecil, namun suasana semakin sunyi karena sebentar lagi malam. "Lala, La, Emak kehujanan nih!" Sosok dari alam lain itu terkejut, bola matanya melotot, sorot matanya merah membara seakan ingin membakar ruangan kamar Lala.

Lala tersentak. Sosok di depannya itu benar-benar menakutkan.  Rambutnya acak-acakan, kulitnya pucat, dan matanya... matanya seperti bara api yang siap membakar seisi ruangan.  Lala merasakan hawa dingin menusuk tulang punggungnya, meskipun tubuhnya basah kuyup karena hujan.

"S-siapa kau?" tanya Lala, suaranya gemetar.

Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Lala dengan tatapan tajam, seolah ingin menembus jiwanya.  Tangannya terangkat perlahan, menunjuk ke arah jendela yang masih terbuka lebar.  Hujan semakin deras, angin bertiup kencang, membuat tirai jendela bergoyang-goyang.

Di luar, petir menyambar. Cahaya kilat menerangi wajah sosok misterius itu sejenak, memperlihatkan detail wajahnya yang mengerikan.  Ada luka di pipinya, bekas luka yang terlihat sangat dalam dan mengerikan.

Lala menutup mata, ketakutan. Ia berteriak memanggil Emaknya, namun suaranya seakan tenggelam oleh suara hujan dan angin.  Sosok itu semakin mendekat, bayangannya jatuh di dinding, semakin besar dan menakutkan.

Tiba-tiba, lampu padam.  Ruangan menjadi gelap gulita, hanya suara hujan dan angin yang terdengar. Lala meringkuk ketakutan di sudut kamar,  menunggu sesuatu yang tidak ia ketahui.  Dalam kegelapan, ia mendengar suara bisikan samar, suara yang dingin dan menyeramkan.

"Kau... akan menjadi milikku..."

Lala memejamkan mata erat-erat, jantungnya berdebar kencang seperti drum perang.  Bisikan itu kembali terdengar, lebih dekat dan lebih jelas kali ini.  Ia merasakan hembusan nafas dingin membelai pipinya, bulu kuduknya berdiri.  Bau anyir darah samar-samar tercium, menambah rasa takutnya berkali lipat.

Tiba-tiba, sebuah tangan dingin menyentuh lengannya.  Lala berteriak histeris, berusaha melepaskan diri.  Namun, kekuatan sosok itu jauh melebihi kekuatannya.  Ia merasa tertahan, tak berdaya.

"Lepaskan aku!" jerit Lala, suaranya teredam oleh gemuruh hujan.

Sosok itu tertawa, tawa yang serak dan mengerikan.  Cahaya kilat sesekali menerangi ruangan, memperlihatkan wajah sosok itu dengan lebih jelas.  Matanya merah menyala, seperti dua bara api yang siap membakar segalanya.  Luka di pipinya tampak mengeluarkan darah segar.

Lala menyadari bahwa sosok itu bukan manusia biasa.  Ia seperti makhluk dari dunia lain, makhluk yang penuh dengan amarah dan dendam.  Ia merasa terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung.

"Kau tidak bisa lari," bisik sosok itu, suaranya dingin menusuk tulang.  "Kau adalah milikku sekarang."

Tangan dingin itu semakin erat mencengkeram lengan Lala.  Ia merasakan sakit yang menusuk, namun lebih dari itu, ia merasakan ketakutan yang amat sangat.  Ketakutan akan nasibnya yang tidak diketahui.  Kegelapan dan hujan semakin menjadi-jadi, seolah alam pun ikut berduka atas nasib malang yang akan menimpa Lala.

"Lepaskan aku!" Lala kembali berteriak, suaranya tertahan oleh cengkeraman kuat di lengannya.  Air mata bercampur air hujan membasahi pipinya.  Ia merasa sangat ketakutan, sendirian dalam kegelapan yang mencekam.

Sosok itu tertawa lagi, tawa yang lebih panjang dan lebih mengerikan kali ini.  "Mengapa aku harus melepaskanmu?  Kau adalah milikku, Lala.  Kau telah ku tunggu selama bertahun-tahun."

"Aku tidak mengerti," lirih Lala, suaranya hampir tak terdengar.  "Siapa kau sebenarnya?"

"Aku adalah bayangan masa lalumu," bisik sosok itu, suaranya dingin dan misterius.  "Aku adalah dendam yang tak pernah padam.  Aku adalah...  kesalahan yang tak pernah kau akui."

Lala terdiam, otaknya berusaha mencerna kata-kata itu.  Kesalahan?  Dendam?  Ia tidak ingat pernah melakukan kesalahan yang sebesar itu.  Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kau telah melupakan aku, Lala," lanjut sosok itu, suaranya penuh dengan kesedihan dan amarah.  "Kau telah melupakan penderitaan yang kau timpakan padaku."

"Aku... aku tidak ingat," jawab Lala, suaranya gemetar.  "Tolong... ceritakan padaku."

Sosok itu terdiam sejenak, seakan mengingat kembali kenangan pahit di masa lalu.  Kemudian, ia mulai bercerita, suaranya pelan namun penuh dengan emosi yang terpendam selama bertahun-tahun.  Cerita tentang sebuah persahabatan yang hancur, tentang pengkhianatan, dan tentang dendam yang tak pernah padam.  Cerita tentang Lala di masa lalu, yang tak pernah ia ingat.

Larangan Tidur Di Sore Hari

Hening. Hanya suara detak jantung Lala yang bergemuruh di telinganya, bercampur dengan sisa-sisa gema "Wuzzzzz!" Amarah pria bertanduk itu, yang baru saja menerobos ruang keluarganya, masih terasa nyata. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menetralisir rasa takut yang tiba-tiba menyergap. Bayangan sosok mengerikan itu masih terbayang jelas di benaknya.

Mak Dira, setelah masuk ke dalam rumah, langsung mengunci pintu dengan rapat. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Untungnya, ia tidak masuk," gumamnya, masih terdengar gemetar. Ia kemudian berjalan ke arah jendela, mengintip ke luar. Tidak ada tanda-tanda pria bertanduk itu masih berkeliaran.

Lala, yang masih terduduk di lantai, perlahan bangkit. Ia mendekati Mak Dira, matanya masih berkaca-kaca. "Mak... apa itu tadi?" tanyanya dengan suara lirih.

Mak Dira menoleh, menatap Lala dengan penuh kasih sayang. "Itu... hantu jahat, Lala," jawabnya, mencoba memilih kata-kata yang tepat agar tidak terlalu menakutkan cucunya. "Tapi jangan takut, ia sudah pergi."

Lala mengangguk pelan, namun rasa takut masih melekat erat. Mak Dira memeluknya erat, memberikan rasa aman dan ketenangan. Ia berjanji untuk selalu menjaga Lala, dan mereka berdua menghabiskan sisa sore itu dengan bercerita dan berpelukan, hingga rasa takut Lala perlahan sirna. Namun, kejadian sore itu akan selalu terukir dalam ingatan mereka berdua, sebagai pengingat akan kekuatan misteri yang tersembunyi di balik dunia nyata

Mak Dira menahan diri untuk tidak marah-marah terhadap cucu semata wayangnya itu. Selesai mandi Lala dan Mak Dira makan malam. "Jangan tidur sore La. Gak baik! Emak musti gimana lagi sih ngasih tahu kamu!? Heran deh! Udah sejuta kali di bilang gak ngerti! Masih aja tidur sore-sore!" "Lala takut Mak. Hujan angin gede banget. Tadi Riris sama Tika langsung pulang gitu hujan turun. Emang Mak gak ngerasa apa, tadi tuhh hujan deres banget!" jawab Lala

Mak Dira menghela napas panjang. Ia mengerti ketakutan Lala. Hujan deras disertai angin kencang memang menakutkan, apalagi bagi anak seusia Lala. Ia meletakkan sendoknya, menatap Lala dengan lembut.

"Begini, La," kata Mak Dira, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. "Emak mengerti kamu takut. Hujan dan angin memang bisa menakutkan. Tapi, tidur siang itu penting untuk kesehatan, asalkan tidak terlalu lama dan tidak terlalu dekat dengan waktu tidur malam. Tidur terlalu lama di sore hari, apalagi menjelang Maghrib, bisa membuatmu sulit tidur malam nanti dan kurang bertenaga di pagi hari. Besok kalau kamu sekolah, kamu pasti butuh tenaga yang cukup, kan?"

Lala mengangguk kecil, masih sedikit takut. Ia tahu Mak Dira benar, tapi rasa takutnya masih belum hilang sepenuhnya.

"Bagaimana kalau besok kita cari tahu bersama kenapa hujan dan anginnya begitu kencang?" usul Mak Dira. "Kita bisa baca buku tentang cuaca, atau mungkin nonton video di internet. Setelah itu, kita bisa melakukan kegiatan yang menyenangkan sebelum waktu Maghrib tiba, sehingga kamu tidak mengantuk dan bisa tidur nyenyak di malam hari. Gimana?"

Mata Lala berbinar. Ide Mak Dira membuatnya sedikit lebih tenang. Ia menyukai kegiatan belajar bersama Mak Dira.

"Iya, Mak!" jawab Lala, senyumnya mulai merekah. "Besok kita cari tahu, ya!"

Mereka melanjutkan makan malam dengan suasana yang lebih hangat. Mak Dira berusaha untuk tidak terlalu keras dalam menegur Lala, dan Lala pun berusaha untuk lebih mendengarkan nasihat Mak Dira. Kejadian hujan deras tadi sore seakan menjadi pelajaran berharga bagi mereka berdua, tentang pentingnya saling pengertian dan memahami ketakutan satu sama lain, serta pentingnya menjaga pola tidur yang sehat. Setelah makan malam, mereka merencanakan kegiatan yang menyenangkan sebelum Maghrib, sehingga Lala tidak akan mengantuk dan bisa tidur nyenyak di malam hari.

Mimpi Yang Sama

Lala pun tidur. Tapi tidak dengan Mak Dira. Ia menyempatkan membaca beberapa lembar kitab suci Al Quran

Sosok makhluk di alam sana begitu gelisah. Dia ingin menemui Lala. Dengan satu gerakan, dia yang berwujud pria itu mendekati kamar Lala.

Dewi malam tersenyum bersama bintang. Gemricik suara air kali yang mengalir di belakang rumah Mak Dira menemani henignya malam.

Belum sampai di rumah Lala, telinga sosok itu berdenging nyeri. Demi gadis cantik yang menawan hatinya, makhluk dari alam lain itu pantang menyerah.

Menahan rasa sakit di telinganya, dia melesat dengan kecepatan cahaya. Tiba di kediaman Lala. Telinga makin sakit bahkan rasanya nyaris pecah, saat mendengar lantunan ayat suci dari bibir wanita tua itu.

Dia tak sanggup menyusup ke kamar dan memilih menyelamatkan diri kembali ke alamnya. Tangannya mengepal diiringi dengan tatapan dendam ke arah Mak Dira yang terus membaca Al Qur'an.

Debur suara air dari dalam kamar mandi menandakan kalau Lala sedang mandi. Gegas ia mengenakan seragam dan selanjutnya menuju meja makan.

Mak Dira dan Lala keluar bersamaan. Lala menunggu mikroleet, sedangkan Mak Dira berjalan kaki.

"Hati-hati ya, Mak!" pesan Lala sambil mencium punggung tangan sang Nenek

Menjelang sore ketiga gadis remaja itu duduk di atas dahan pohon nangka.

"Ehh tau gak!"

"Enggak! Kan lo belum cerita!"

"Yeyyy! Makanya dengerin dulu napa! Waktu kemarin yang habis pulang dari sini 'kan gue boci tuh...gilee! Gue tadi kaya mimpi serem!"

Sejenak Riris menatap kedua sahabatnya itu bergantian.

"Kayak ada makhluk apaaa gitu ya. Cowok tapi matanya merah," lanjutnya.

"Terus-terus?" Tika antusias mendengarkannya.

"Ya gue takutlah! Meski dia gak ngomong apa-apa!" cetus Riris sambil mengenang mimpinya kemarin.

"Kok sama ya Ris, gue juga mimpi gitu ada cowok ngeliatin gue pas tidur. Gue mau buka mata takut! Akhirnya gue diemin. Gue baca istighfar. Dia pergi gue tidur lagi.

Sementara Lala menikmati cerita dari kedua sahabatnya itu. "Kok Riris sama Tika mimpinya sama kaya gue ya"batin Lala merasa heran, karena ia dan dua sahabatnya bermimpi nyaris sama.

"Woyyy!"

"Eeeeh! Iya!"

Riris menepuk paha Lala membuat gadis kaget setengah mati. "Gilee lo! Gue hampir jatuh tahu!"

"Lagian bengong! Kita cerita lo pikiran kemana?"

"Sialan lo, gue ampe gemeter lo tepuk! Dikira gue nyamuk apa?" omel Lala menahan kesal.

"Iye maaf!"

Riris merasa bersalah, ia menangkupkan kedua telapak tangannya.

Sementara Tika menutup mulutnya rapat-rapat dengan telapak tangannya. Ia menahan tawa melihat dua tingkah sahabatnya itu. Tika mengikik, tertawa geli.

"Apa lo!" sembur Lala tak suka.

"Ya udah-udah! Jangan bengong lagi!" cetus Tika Mengusap-usap pundak Lala.

"Gue tuh gak bengong, cuma lagi mikirin, kok mimpinya kalian hampir sama kaya gue"ucap Lala

"Tapi, bukankah mimpi setiap orang memang berbeda-beda?" batinnya lagi.

Sejenak ketiganya diam. Hanya gemericik air kali yang terdengar.

"Udah ahh cerita mimpinya!" ujar Tika sambil membetulkan posisi duduknya agar tidak jatuh.

"Eh La, di sekolah lo, sering ulangan dadakan gak sih?" Tika penasaran. Karena di sekolahnya terutama di kelasnya sudah tak terhitung ulangan dadakan.

Lala diam, ia berpikir sesaat. Mengingat-ingat ulangan di kelasnya.

"Kayaknya enggak deh Tik! Emang tahu bulat digoreng dadakan. Hahahahahaha…!" canda Lala seraya tertawa

"Nyebeliin tahu La, kita gak ada persiapan tau-tau ulangan! Panik gak sih? Kalau lo jadi gue," gerutu Lilis. Ia juga tak suka dengan ulangan dadakan

"Sebel-lah pastinya. Auto kalang kabut!" sahut Lala.

"Kita nge-mall lagi yuk, atau beli buku! Ngilangin suntuk gegara ulangan dadakan!" usul Tika sambil menatap Riris dan Lala.

"Gak dulu deh! Gue gak punya duit!" tolak Lala apa adanya.

"Jiaaaah, emang biasanya punya duit? Gak 'kan? Biasa juga minta sama Emak lo!" cibir Tika sambil melebarkan kedua matanya.

"Itu dia, gue takut minta sama Mak gue. Lagi diomelin mulu soalnya. Lo berdua aja dah sono pergi nge-mall!" balas Lala.

Kali ini ia rela tak ikut.

"Diomelin kenapa? Nilai lo jelek?" Riris kali ini bertanya.

"Gue tidur sore mulu, sering ketahuan Mak pulang kerja!" jawab Lala lirih.

"Hemmn ...! Pantas aja diomelin, mana lo jarang ngaji, gara-gara tidur?" ungkap Riris. Ia tak menyalahkan Mak Dira.

"Gimana ya, Ris, Tik, tiap habis Ashar tuh mata ngajakin ke pulau mimpi tahu?!"

"Ya, jangan dibiasain. Gak baik 'kan tidur sore bikin kita mikir jadi lemot, linglung juga!" saran Tika.

"Kemarin pas hujan lo pasti pulas ya?" tebak Riris yang diiya-kan oleh Lala.

"Ngaji dong, La. Bara nanyain mulu tuh. Gue capek jawabnya!" gerutu Riris.

"Asal ketemu gue nih ya! Lala mana?"

"Gue jawab aja ngasal. Dihh emang gue baby sitter-nya Lala ...!" Habis gue kesel.

"Jangan gitu dong! Jawab aja, di rumah, nungguin lo bawa martabak! Gitu!" usul Lala.

"Ogahlah! Enak di lo, gak enak di gue!"

"Ehh sebenarnya dari hati lo, suka sama Bara apa Ardi sih, La?" imbuh Riris bertanya.

"Tau! Bingung juga gue! Habis dilarang sama Mak gue!" sahut Lala.

"Dari pada bingung, udah aja terima dua-duanya. Paling ujung-ujungnya adu jotos," Tika memberi saran ngawur.

"Hemmm, selingkuh? Gak-lah! Takut gue!" tolak Lala.

"Ya sudah, terserah Lo , La. Tapi ingat, jangan sampai Lo menyakiti hati salah satu dari mereka," kata Riris bijak. Lala hanya mengangguk, hatinya masih bercampur aduk. Dia bingung harus bagaimana.

Keesokan harinya, di sekolah, Lala bertemu Bara dan Ardi. Bara menghampirinya duluan, wajahnya terlihat sedikit cemberut. "La, kamu kenapa kemarin nggak bales chat aku?" tanyanya. Lala gugup, "Maaf, Bar, aku lagi banyak pikiran," jawabnya singkat.

Ardi yang melihat itu ikut menghampiri. "Ada apa ini?" tanyanya. Lala semakin merasa bersalah. Dia tidak bisa berbohong kepada keduanya. Dengan hati yang berat, Lala menceritakan kebingungannya kepada Bara dan Ardi.

Bara dan Ardi awalnya terkejut, namun mereka mendengarkan dengan sabar. Setelah Lala selesai bercerita, Bara berkata, "Aku mengerti, La. Aku juga nggak mau kamu terpaksa memilih salah satu dari kita." Ardi menambahkan, "Kita bertiga berteman baik, kan? Lebih baik kita tetap berteman daripada harus bermusuhan karena hal ini."

Lala merasa lega mendengar ucapan Bara dan Ardi. Mereka bertiga sepakat untuk tetap berteman, dan Lala memutuskan untuk fokus pada pelajarannya. Dia menyadari bahwa perasaannya yang campur aduk hanya akan membuatnya stres dan mengganggu konsentrasinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!