"Terima kasih yang semalam, Itu pengalaman yang tak terlupakan.."
Aku seketika terhenyak. pikiranku sudah mengembara kemana-mana.
Apakah mas Alfan ada main di belakangku?
AKu amati ponsel di tangan, ku baca sekali lagi dan isinya tetap sama. sayangnya kontak itu tidak ada namanya.
Aku teringat ucapannya barusan saat baru pulang.. "Badanku lemas sekali. Rasanya ingin di pijat di tukang pijat."
Dia memang terlihat lelah, apalagi matanya juga sayu seperti orang banyak bergadang.
Apakah lelahnya itu karena...?
Aish... Pikiranku tambah ngelantur.
Saat yang sama mas Alfan keluar dari kamar mandi, Dia mengibas- ngibaskan rambutnya yang masih basah. aku berusaha bersikap biasa di depannya walaupun mata ini terasa panas dan hendak muntah.
Sembilan tahun kami menjalani bahtera rumah tangga, tidak sekalipun dia bersikap kasar padaku. bahkan dia selalu menentang ibunya Deni aku. Semuanya sempurna di mataku. Sebagai suami ayah dan anak di rumah ini dia pandai memposisikan diri.
"Mas, apa pekerjaannya begitu banyak dan penting hingga kau harus turun tangan sendiri, serahkan saja pada Yono. Jadi kau bisa istirahat." ucapku sambil menyiapkan baju bersih untuk nya.
"Tidak bisa, sayang. Yono memang pintar, tapi dia masih terlalu muda, dia juga butuh waktu untuk hangout bareng teman ya. lagipula aku tidak apa-apa, kok. Kau tidak usah khawatir." dia mengusap kepalaku dengan lembut.
Aku sedikit terhibur.
Mungkin aku saja yang terlalu perasa. Bisa saja itu pesan dari temannya tentang sesuatu yang mungkin mereka bahas semalam.
"Besok aku harus keluar kota selama dua hari. Persiapan buka cabang disana. Tolong kau siapkan semua keperluan ku." ucapnya masih dengan tersenyum. Semua biasa saja. tak ada yang berubah sarinya.
"Besok? Berarti aku hanya dengan ibu saja di rumah. Soalnya Raya juga mau ada study tour selama dua hari." ucapku kecewa.
"Oh, ya?" jawabnya datar. Seolah dia sudah tau sebelumnya.
"Iya, Mas. bahkan aku ku pikir dia sudah minta ijin padamu."
Mas Alfan menggeleng.
"Mungkin dia merasa sudah cukup dengan minta ijin darimu. Tidak apa-apa. Jangan terlalu mengekangnya dengan aturan monoton. Dia sudah besar."
Aku hanya terdiam. Raya memang sudah besar sekarang.
Jadi kembali teringat sembilan tahun lalu saat Raya datang kerumah ini. Dia masih kecil dan menggemaskan.
Sekarang sudah berubah menjadi seorang gadis cantik dengan postur tubuh yang tinggi. Bahkan dia sudah lebih tinggi dari aku.
Saat itu Raya masuk ke kamar kami. Itu sudah menjadi kebiasaan baginya saat hendak berangkat sekolah
"Ayah, ibu. Aku berangkat. Ada ulangan soalnya." ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya.
"Lo, kenapa tidak sarapan dulu? Ibu sudah siapkan." tanyaku khawatir.
"Tidak keburu, Bu." jawabnya sambil menyalami mas Alfan.
Pandanganku fokus pada roknya yang terlalu mini.
"Ray, kan sudah ibu belikan seragam sekolah yang lebih panjang. Ini terlalu mini, nak." tegurku lembut. Raya terdiam. Tapi mas Alfan yang menjawab.
Raya hanya terdiam.
"Eem, karena Raya buru-buru, biarkan kali ini dia memakai yang itu. Tapi besok harus dengar kata ibu." mas Alfan pandai menengahi keadaan.
"Oke, aku akan jaga diri. Ibu tidak usah khawatir." ucapnya sambil berlari kedepan. Karena disana sudah ada Nizam teman sekelasnya.
Tiba-tiba saja mas Alfan menyusulnya.
"Raya, biar Ayah yang antar...!"
"Tapi, Yah?" Raya masih berusaha protes. Tapi tatapan mas Alfan begitu tajam hingga dia tertunduk.
Raya terlihat ragu sambil menatapku.
Aku mengangguk pelan.
Dengan kasar Alfan menyuruh Nizam pergi dan memperingatkan kalau dia tidak boleh datang menjemput Raya lagi.
Aku agak heran melihat reaksinya yang berlebihan.
"Mas, tidak usah berlebihan begitu, Nizam hanya berniat baik menjemput Raya." ucapku hati - hati.
" Nizam itu berandalan, kau mau Raya terjerumus pergaulan yang tidak baik?" sergahnya agak gusar.
Aku menggeleng cepat.
Mana ibu yang mau anaknya kenapa-napa.
"Dan aku yang paling tau apa yang baik dan buruk buat Raya..!" nadanya sangat kesal.
Sayang sih sayang pada anak. Tapi apa perlu berlebihan begitu? Yang aku lihat sorot mata mas Alfan kepada Nizam tidak seperti seorang ayah yang mengkhawatir kan anaknya. Tapi lebih pada rasa cemburu antara seorang pria terhadap pria lain yang mendekati ceweknya.
Astagfirullah .. ! Aku mengusap. Wajahku. Kenapa aku berpikir terlalu jauh, tentu saja mas Alfan sangat menyayangi Raya seperti aku menyayanginya.
"Selama motormu masih belum keluar dari bengkel, biar ayah yang antar jemput kamu.,. Ayah tidak percaya pada orang lain." desis mas Alfan. Hal itu membuat aku semakin heran. Bulannya dia bilang pekerjaannya sedang menumpuk, apa bisa dia mengantar jemput Raya.
"Terima kasih, Ayah." ucap Raya spontan memeluk pinggang mas Alfan.
Itu bukan hal aneh bagiku, karena Raya sering melakukan itu pada kami sebagai ungkapan terima kasihnya.
Mas Alfan mengecup keningku begitu juga Raya, dia mencium pipiku.
"Aku pergi antar Raya, dulu sayang." ucap mas Alfan.
kejadian aneh lainnya, Raya menghampiri ibu yang merupakan mertuaku yang sedang sarapan. Semua orang tau, hubungan mereka tidak pernah harmonis. Tapi kali ini ibu menyambutnya dengan hangat. Seolah tidak ada lagi jarak di antara mereka.
Setelah kepergian mereka aku kembali melanjutkan aktivitas seperti biasanya.
Walaupun hatiku tidak tenang memikirkan pesan di ponsel suamiku.
"Tari..Cepat kesini sebentar.." suara ibu menyadarkan ku.
"Ada apa, Bu?" tanyaku sopan. Kulihat dia sedang bersiap.
" Ibu mau kemana? Dan apakah mas Alfan sudah tau?"
"Bu de Darmi mau mengadakan syukuran cucu pertamanya. Dia mengundang ibu untuk datang menginap. Ibu pikir kenapa tidak, siapa tau dengan begitu bisa ketularan punya cucu juga." ucapnya ketus.
Aku hanya bisa menghela nafas berat.
"Kalian boleh menyusul besok." suaranya terdengar sumbang kalau menyangkut soal cucu.
"Acaranya kapan, Bu?"
"Besok.. tapi ibu mau berangkat sekarang. Lagi pula ibu sudah bilang pada Alfan tadi."
Aku membantunya berkemas.
Baguslah kalau ibu pergi, paling tidak dia tidak aku bisa istirahat dari semua sindirannya.
"Ingat. Jangan suka membantah suami mu. Hal jelek itu yang akan membuat Alfan bosan dan bisa saja dia berpaling pada wanita lain. Apa lagi kau tidak bisa memberinya seorang anak." ucapan mertuaku itu sangat tajam dan penuh arti.. Tapi bukan itu yang membuatku kaget. Justru kenapa tiba-tiba dia menyinggung soal itu lagi setelah beberapa lama tidak pernah ribut masalah anak. Apakah ini ada kaitannya dengan isi pesan itu?
"Kau dengar ibu?" dia kembali bicara karena melihat aku hanya bengong.
"Iya, Bu. Hati-hati di jalan." ucapku akhirnya. Padahal saat itu ibu sudah di atas andong yang akan membawanya kerumah Bu de Darmi tapi dia kembali turun dan mendekatiku
"Ingat kalau ada sesuatu yang terjadi selama ibu pergi, jangan terlalu di besar-besarkan."
Astaga.. Kenapa ibu mertua berpesan seperti itu?
"Memangnya ada sesuatu yang aku tidak tau, Bu?" tanyaku heran dan penasaran.
" Sudah, sudah. Ibu mau pergi." wanita tua itu pergi dengan meninggalkan banyak teka-teki di kepalaku.
💞Tolong tinggalkan jejaknya ya say..
Tidak berapa lama, mas Alfan pulang dari mengantar Raya. Wajahnya terlihat berseri.
"Sayang.. Kau ada dimana?"
saat itu aku sedang memeriksa tas yang biasa menemaninya bekerja. aku berharap menemukan suatu petunjuk
"Kau ada disini? apa yang kau lakukan? Tanyanya sambil menatap map di tanganku.
"Aku sedang beberes, mas." jawabku berbohong.
"Tinggalkan itu. ibu sedang tidak ada dirumah, kan? Jadi kita bisa berduaan saja." tanpa menunggu jawabanku tangannya sudah melingkar di pinggangku..
"Mas, jangan sekarang.." tolak ku dengan halus.
"Kenapa?" spontan tangannya terlepas.
'Aku sedang datang bulan.." jawabku berbohong lagi. padahal perasaanku sedang galau karena pesan itu di tambah teka-teki ibu.
Dengan raut wajah kecewa dia keluar dari kamar kami.
Apakah aku tidak keterlaluan, semua belum terbukti tapi aku sudah menghakiminya.
Aku kasihan juga melihatnya.
"Mas, aku mau nanya sesuatu."
Ucapku sambil menyendok kan nasi ke piringnya.
"Tentang apa? Tanya saja."
Dia menatapku, mungkin dia menangkap kegelisahan di mataku.
"Ada apa, Tari?"
"Tadi, sebelum pergi ibu sempet berpesan kepadaku." aku menarik nafas sejenak. Sedangkan dia masih menyimak.
"Pesan? Pesan apa?"
"Dia bilang agar aku tidak terkejut melihat perubahan. Aku juga tidak tau perubahan yang di maksud."
Mas Alfan tertegun namun kemudian mengangkat bahunya.
"Aku juga tidak mengerti"
"Ya, sudah kita lupakan saja. Oh, ya Mas. Aku dapat brosur ini dari wali kelas Raya. Ada beasiswa sekolah keluar negeri bagi siswa yang berprestasi. Aku pikir ini cocok untuk Raya."
Mas Alfan berhenti mengunyah dan membaca sekilas kertas itu. Lalu menatapku.
"Untuk Raya..?" ulangnya.
"Iya, untuk Raya. dia berprestasi di sekolahnya , ini kesempatan baik buat dia." Mas Alfan menggeleng.
"Tidak..! Aku masih bisa membiayai pendidikannya. tidak perlu beasiswa atau semacamnya."
"Ini bukan masalah mampu atau tidaknya. Tapi peluan besar yang akan di dapatkan Raya, Mas."
"Apapun itu aku tidak setuju..!"
Aku terdiam.
"Tari.. Bayangkan kalau kita menerima tawaran itu, Raya akan jauh dari kita. apa kau sanggup?"
"Kalau untuk masa depannya, aku sanggup." jawabku pasti.
Perdebatan itu berakhir dengan kekesalan mas Alfan. Dia menuduhku tidak sayang lagi ke Raya dan ingin mengeluarkan Raya dari rumah secara halus. tuduhan yang sangat menyakitkan.
Keadaan itu berlangsung bahkan sampai malam. Dia bersikap dingin padaku.
***
Setelah makan malam, aku mendekati Raya di kamarnya dan menceritakan semuanya.
"Aku sih terserah kalian, pilihkan saja yang menurut kalian baik." dia menanggapi dengan bijak.
Aku memeluknya penuh kasih sayang.
"Tapi karena Ayah tidak setuju, ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun sebenarnya itu untuk kebaikan mu sendiri." aku membelai rambut anak gadisku.
Malamnya, mas Alfan kembali mendekatiku. Karena rasa kantuk yang begitu kuat aku tidak menghiraukannya. Sampai jam tiga dini hari aku baru terbangun. Kerongkongan terasa kering.
Tapi dimana suamiku? Aku teringat saat tadi dia mengajak ku berhubungan tapi aku abaikan. apakah dia marah lalu pergi ke kamar lain? Aku periksa kamar mandi dan kamar tamu. Suamiku tidak ada di semua tempat.
Karena rasa haus kembali menyerang aku melangkah ke dapur untuk minum.
Dari ruang tengah menuju dapur aku harus melewati kamar ibu.
Tapi telingaku menangkap suara yang aneh.
Bukankah ibu sedang pergi menginap, lalu suara siapa itu?
Aku menajamkan pendengaran dengan menempelkan telinga di pintu.
Suara itu tidak jelas, cuma seperti desahan dan erangan yang samar.
Aku wanita yang sudah berusia tiga puluh tujuh tahun dan bersuami. Sangat paham dengan sura seperti itu, jelas itu suara orang yang sedang memacu birahi. tapi siapa?
Rasa hausku lenyap seketika. aku coba membuka pelan handle pintu, tapi terkunci.
Aku memang melihat ibu menguncinya tadi siang. Lalu siapa di dalam.
Aku bergegas mencari kunci cadangan.
Tanganku gemetar memilih kunci-kunci itu.
Setelah aku temukan langsung berusaha membuka pintu. Pintu terbuka, tapi aku tidak bisa melihat apapun karena gelap gulita.
Kuraba saklar di samping pintu untuk mencari saklar. Saat lampu menyala, mataku nanar menyapu seluruh ruangan. tidak ada siapapun di sana. Spray masih licin seperti semula saat ibu pergi.
Tiba-tiba aku merinding, apakah di kamar ibu ada mahluk halusnya. Dengan tergesa aku tutup kembali dan meninggalkan tempat itu. Aku bermaksud menceritakan semua kejadian itu pada mas Alfan, tapi dia tidak ada dimana-mana.
Aku beralih ke kamar Raya. dia tampak pulas dengan memeluk gulingnya. Kasihan kalau harus membangunkannya hanya untuk mendengarkan ceritaku. biarlah dia istirahat saja.
Saat aku keluar dari kamar Raya, mas Alfan muncul dari pintu depan.
Kami berpapasan di sana.
"Mas, kau darimana malam-malam begini?" aku melihat suamiku berkeringat dan acak-acakan seperti baru di kejar hantu.
"Maaf tidak bilang padamu. Udara sangat panas. aku keluar mencari angin. Eeh malah ketemu pak Suki lagi ronda. Sekalian ikut mengejar maling yang mencoba mencuri tabu g gas di warung sebelah." jelasnya panjang lebar.
"Ada-ada saja.." gumamku pelan.
"Kamu sendiri ngapain disini? Kenapa belum tidur?" tanyanya sambil matanya menatap kearah Raya yang tertutup selimut.
"Sebenarnya aku mau mengambil air. Tapi...
Lalu aku menceritakan hal aneh yang ku dengar di kamar ibu.
Dia malah tertawa lebar.
"Kau ada-ada saja, mana mungkin. ibu kan sedang pergi."
"Justru itu, mas. Aku penasaran sekali."
"Lalu kenapa kau ada di kamar Raya?" selidiknya.
"Aku mau curhat padanya. Tapi sayangnya dia sudah tidur. Kasihan mengganggunya.."
"Ya sudah, tidur lagi geh. Aku mau mandi dulu."
Dia menggeleng dan menyisakan tawa kecil saat melangkah pergi.
Walaupun sudah ku coba, mata ini tidak bisa terpejam lagi.
Sampai mas Alfan selesai mandi aku masih terjaga.
Mataku terpukau melihat dia bertelanjang dada seperti itu.
"Mas, maafkan atas semua ke salah pahaman yang terjadi tadi siang."
Aku berusaha memeluknya.
"Iya, aku maafin. Tapi jangan di ulang lagi, ya.." jawabnya.
Aku terus memeluknya dengan erat berharap dia kembali bergairah seperti saat semalam mengajak ku.
Tapi sial dia sudah tidur pulas sambil membelakangi ku.
Semua rasa kantuk ku hilang begitu saja. Aku menelaah kejadian sepanjang hari ini.
Pesan di ponsel, teka-teki ibu mertua,
apakah semua itu ada kaitannya? Entahlah...
Paginya aku bangun kesiangan. Mas Alfan sudah tidak ada.
Ku lihat Raya sedang duduk sendirian sambil menikmati sereal kesukaannya.
"Ayah sudah berangkat?"
"Iya, dia bilang kasihan mau bangunin ibu." jawabnya dengan senyum sumringah seperti sudah mendapat hadiah termahal.
Aku ikut duduk di dekatnya. lalu mulai bercerita tentang kejadian aneh tadi malam.
Raya mendengarkan dengan seksama.
"Masa iya ,Bu? Nenek kan sedang tidak ada. Lalu suara siapa itu? " Raya sendiri merasa heran.
Tak lupa aku menceritakan tentang pesan singkat di ponsel mas Alfan.
Kali ini dia agak terkejut, sampai dia tersedak.
"Kau tidak apa-apa?" aku menepuk punggungnya.
"Tidak apa-apa, cuma gak percaya kalau Ayah sampai..." dia tidak meneruskan kalimatnya.
"Karena itu ibu minta tolong padamu, bantu ibu menyelidikinya."
"Aku janji, aku akan memata matai ayah. awa saja kalau sampai terbukti ada wanita lain dalam hidup ayah, aku akan buat dia menderita." ucapnya berapi-api.
Aku sedikit lega, aku tidak sendirian. ada Raya putriku yang bersamaku saat ini.
💞 Mana dukungannya??
Rumah terasa sepi, ibu belum kembali dari rumah saudaranya, mas Alfan dan Raya juga sudah pergi.
Aku sempat menawarkan mengantarnya ke sekolah tempat dimana mereka berkumpul. tapi dia menolak dengan alasan tidak mau merepotkan ku.
"Ibu istirahat saja, gunakan waktu saat sendiri untuk memanjakan diri. pasti capek mengurus kami bertiga setiap hari." ucapannya sangat menghiburku.
Putri ku yang baik tumbuh menjadi gadis yang pintar dan bijaksana.
Akhirnya Raya pergi juga.
Aku tidak sempat beristirahat seperti saran Raya karena ibu datang hari itu juga.
"Bukankah acaranya hari ini? Kenapa ibu pulang cepat?"
"Suntuk, disana aku harus menyaksikan adik-adik ku pada menimang cucu. Hanya aku saja yang belum" jawabnya cemberut.
Aku mengerti arah pembicaraan nya.
"Ibu, aku harus apalagi, kami sudah berusaha..." aku menghiburnya seperti biasa.
"Kalau begitu relakan suami mu menikah lagi..!" ucapnya ketus.
Aku yang semula hendak ke dapur berbalik menatap nya.
Rasanya tidak percaya kata-kata itu muncul dari mulut ibu.
Membayangkan mas Alfan selingkuh saja hatiku sangat sakit apalagi harus mengijinkannya menikah lagi. Perih rasanya.
"Ibu benar to.. Keluarga kita harus punya keturunan. Aku kasihan melihat Alfan setiap hari pulang malam untuk bekerja, Lalu untuk siapa semua itu kalau tidak ada anak."
Tanpa ku sadari mataku sudah membanjir
"Tolong jangan memberiku pilihan yang sulit, Bu. aku juga ingin memberi kalian penerus keluarga ini, tapi apa dayaku. Aku juga tidak mau seperti ini."
ucapku tersendat.
"Karena itu, relakan dia menikah lagi. Apa susahnya? Dalam agama kita, laki-laki boleh punya istri lebih dari satu."
"Pokoknya setelah Alfan pulang, kita akan membicarakan hal ini. Kalau kau tidak terima di madu, harus bersedia angkat kaki dari sini"" tegasnya menutup percakapan.
Hatiku begitu tercabik oleh keputusan ibu.
Apa dosaku hingga aku yang harus menanggung beban ini sendiri.
Aku mengurus keluarga ini bertahun-tahun tanpa mengeluh. Suka suka aku hadir di tengah mereka, bahkan aku punya setengah dari rumah ini. lalu saat aku belum di karuniai keturunan tega sekali ibu mau menyingkirkan ku.
Apakah tidak ada jalan lain selain menikah lagi?
Pikiranku benar-benar galau. Aku hafal dengan sikap ibu. Apapun keputusannya harus terlaksana. Walaupun mas Alfan sangat menyayangiku. tapi dia bisa apa di hadapan ibunya.
Aku coba menghubungi mas Alfan sekedar mengabari hal yang baru kudengar dari ibu.
Tapi sayang nomornya selalu sibuk.
Ku hubungi Raya juga sama.
Karena lelah dan mengantuk, akhirnya aku ketiduran.
Jam tiga sore aku terbangun.
Ku lihat ibu tidak ada di kamarnya. Entah kemana dia. Keinginan menceritakan kejadian semalam tertunda sampai sekarang gara-gara keputusannya.
Aku putuskan untuk menyetrika cucian yang masih menumpuk. Biasanya sih aku bawa ke Laundry. Tapi untuk menghilangkan pikiran suntuk aku ingin mengerjakannya sendiri saat ini.
Setrikaan yang ku cari tidak ada di tempatnya.
Aku ingat saat itu Raya menyetrika baju seragamnya sendiri.
Barang kali ada di kamarnya.
Kamar bernuansa pink itu terasa sejuk. Raya memang suka warna pink. Karena itu kami mendekorasi kamarnya seperti ini.
Membayangkan sosok Raya aku merasa bangga. Selain berprestasi, dia juga cantik sopan dan mudah bergaul. Kenapa ibu tidak bisa menerimanya sepenuh hati sebagai cucunya?
Aku sudah mau keluar membawa setrikaan saat mata ini tertumpu pada benda aneh di laci yang tertutup setengah.
Apa ini? Ku amati benda di tanganku itu.
Bukankah ini test pack? Untuk apa Raya menyimpan benda ini?
Mataku nanar memeriksa semua isi lemarinya. Jangan-jangan ada benda aneh lainnya yang dia simpan.
Raya, kenapa kau berurusan dengan benda ini, ada apa dengan mu, nak..
Aku terus menggumam sendiri.
Rasanya tidak sabar menunggu kepulangannya. Aku harus menginterogasinya dengan keras.
Kenapa sih saat seperti ini mas Alfan tidak bisa di hubungi? Apalagi Raya, aku ingin mengklarifikasi tentang test pack itu secepatnya.
***
Dua hari berlalu, saatnya Raya pulang hari ini.
Tak sabar aku menunggunya di sekolah.
Tapi aneh sekali, sekolahan sepi. Selain ini hari Minggu, tak ada keluarga atau wali murid lainnya yang datang untuk menjemput seperti diriku.
Aku menghampiri tukang kebun yang sedang bersih-bersih.
"Pak, bukankah hari ini terakhir acara study tour keluar kota itu?"
Si bapak kelihatan bingung.
"ibu salah.. Acara itu kemarin dan cuma sehari, dari pagi sampai jam enam sore."
Astaga.. Aku tercengang. Jelas surat pemberitahuan itu resmi dari pihak sekolah. Raya juga minta tanda tanganku sebagai wali murid.
Rasa kesal, kecewa dan marah karena Raya sudah berani membohongiku.
Mataku sembab karena menangis. Sampai ibu menegurku.
"Jangan terlalu manja. Kau ingin Alfan melihatmu seperti ini lalu iba dan kasihan, begitu?"
"Ini bukan tentang mas Alfan. tapi Raya, Bu?"
Dia mengerutkan keningnya.
"Raya? memangnya apa yang di perbuat anak kesayanganmu itu? Bukankah kalian selalu memujinya.." sungut ibu tidak suka.
"Raya..." aku mengurungkan niatku bercerita tentang Raya yang berbohong.
Sudahlah, bercerita pada ibu juga tidak akan menyelesaikan masalah.
Seharian aku pendam perasaan .
Hingga akhirnya sebuah motor berhenti di halaman.
Raya pulang di antar seorang pria.
Dia juga tidak mempersilahkan pria itu untuk masuk dulu. Hal itu membuatku semakin curiga.
"Kau dari mana?" Raya terkejut karena aku tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"Ibu...?"
"jelaskan dari mana saja dua hari ini?"
"Kan study tour.." jawabnya ragu.
"Ibu datang ke sekolah. memasak makanan kesukaanmu karena tau kau akan pulang hari ini. tapi tega sekali kau berbohong, apa ini yang ibu ajarkan?"
Dia itu hanya menunduk.
Aku angkat wajahnya. Ada air mata di sana.
"Maafkan aku, Bu. Aku terpaksa berbohong."Dia bersimpuh di kakiku.
Melihat itu hatiku iba juga.
Aku tuntun dia berdiri.
"Lalu kau pergi kemana sebenarnya? Kenapa harus berbohong seperti ini?" suaraku mulai melunak.
"Aku menginap di rumah teman, dia sedang ada masalah. orang tuanya juga sedang pergi keluar kota. Karena itu aku menemaninya. Aku takut minta ijin karena pasti ayah dan ibu tidak akan mengijinkan."
Aku menghela nafas berat.
Dari beberapa artikel yang sempat ku baca, memang menghadapi anak yang sedang tumbuh remaja membutuhkan kesabaran ekstra.
"Kau tau? Ibu sangat khawatir. Satu lagi." aku membawanya masuk kamar.
"Apa ini, bisa jelaskan ke Ibu, Raya?" aku memasang wajah tegas.
Matanya terbelalak ketakutan. Tapi itu hanya sejenak.
"Itu milik temanku.." jawabnya.
"Kau yakin?"
"Temanku tempat menginap itu sedang bermasalah. Aku sudah ceritakan tadi. Itu lah masalahnya. Dia berhubungan dengan cowoknya dan cowoknya itu tidak mau bertanggung jawab." jelasnya dengan lancar.
Aku lega mendengarnya. Ternyata aku salah menilai putri ku.
"Syukurlah, ibu pikir kau terjerumus dalam pergaulan yang tidak-tidak. Ibu sangat takut." aku memeluknya dan minta maaf
"Lain kali apapun itu, kau harus berterus terang. Kau mengerti, kan?"
Dia mengangguk dalam pelukanku.
Satu masalah sudah berlalu. tinggal bagaimana membujuk ibu dan mencari tau tentang pesan itu.
Raya minta ijin untuk ke kamarnya.
Tapi mataku justru fokus pada caranya berjalan. Seperti orang habis ...
"Ray, kenapa jalanmu begitu?" usut ku khawatir.
"Eeh, aku terjatuh di kamar mandi saat di rumah temanku. Sakit sekali rasanya."
"Sudah kau obati?" dia mengangguk sambil tersenyum.
💞Semoga Alfan datang dan bisa menjelaskan semuanya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!