NovelToon NovelToon

Trust Me! I'M Hurt.

Siapa Dia?

...Hallo! Selamat menikmati Ceritaku......

...•...

...•...

...•...

Hari yang sangat cerah di sebuah pedesaan. Banyak ladang pertanian dan ada juga lahan perikanan, Penduduk disini memang kebanyakan mayoritas bertani dan nelayan.

Jika berbicara tentang pedesaan memanglah terbesit di pikiran kalian tentang sebuah pemandangan alam yang indah dengan hamparan pepohonan subur yang ada disini. Yah, itu benar adanya buktinya banyak orang kota yang ingin sekali berlibur hanya sekedar melihat pemandangan itu.

Namun, tinggal di desa tidak jauh dari kata ekonomi yang tidak memadai. Karna kebanyakan dari warga disini hanya memanfaatkan kebun untuk di tanami sayuran agar bisa di jual. Hanya beberapa orang yang mampu saja yang membuat lahan empang untuk beternak udang dan ikan.

Di pinggiran sungai sana. Seorang gadis tengah asik memegang sebuah alat memancing yang terbuat dari bambu dengan ukuran yang sangat kecil.Tawa kecil riang sering terdengar dari gadis itu, dia tidak sendiri ada satu keponakan perempuan yang menemaninya seraya bercanda ria dan di akhiri dengan tawa.

Amora Willona namanya. Gadis yang kerap di sapa Mora memang sangat gemar memancing ikan kecil di pinggiran sungai bersama keponakannya, gadis berwajah manis dengan penampilan sederhananya. Rambut sedada yang di kepang satu memang sudah menjadi kebiasaannya, sangat jarang Mora mengurai rambut lurusnya.

Wajah manis yang di miliki gadis itu membuatnya sering di nilai sebagai gadis yang kalem atau pendiam. Tapi percayalah, kelakuannya tidak semanis wajahnya. Mora salah satu gadis di antara beribu-ribu gadis di luar sana yang punya sifat random atau bisa juga di bilang unik, tak jauh juga dari jahil, tengil, ceroboh, cerewet dan kepala batu.

"Ini ikan gak ada yang mau makan umpan gue nih? Serius?" ponakan Mora mengeluh, memang umpannya belum di sambar ikan sedari tadi. Umpan kelomang itu memang masih meliuk-liuk di dalam sungai tanpa ada satupun ikan yang mendekati.

Berbeda dengan Mora, di awal tadi dia sudah mendapatkan tiga ikan kecil. "Makanya makan coklat biar manis."

Mata Sandra Aurellia yang tak lain adalah keponakan mora itu mendelik tajam, "apa hubungannya ege!" kesalnya.

"Lo pahit, makannya ikan pada kabur. Wkwk!" setelah mendengar gurauan dari Kakak nya Dira hanya menghela nafasnya kasar.

"Panas anjir!" Dira mengibaskan tangannya ke arah wajahnya. Tumben sekali hari ini anginnya tidak kencang.

Mereka memang sudah cukup lama memancing, bisa di bilang sudah sekitar 5 jam. Tapi, Mora dengan semangatnya yang gemar memancing dia tidak peduli dengan durasi yang ada jika menurut orang buang-buang waktu menurutnya itu sebuah kesenangan.

"Mor! Itu siapa?" tanya Dira seraya menepuk-nepuk bahu Mora.

Mora mengikuti arah pandangan Dira. Netra nya menangkap seseorang yang tengah berjalan di sekitaran empang. Dari penampilannya Mora bisa menebak bahwa dia bukanlah warga sini, atau bukan orang kampung... Mungkin.

"Gak tau, coba tanya dia." Mora terkekeh melihat raut wajah Dira yang seketika berubah menjadi cemberut.

"Lo gila? Ntar gue di bilang sok kenal lagi, yaelah kampung kampung gini masih punya malu yee," cibir Dira yang tak henti-hentinya melayangkan tatapan tajam ke arah Mora.

Mora masih saja tertawa cekikikan dengan jawaban Dira apalagi melihat raut wajahnya itu sangat lucu baginya.

"Mor, dia kesini!"

"Mar mor mar mor! Panggil nama gue yang bener dong. Nama gue bagus banget malah di rusak!" ucap Mora sedikit kesal. Mama nya sudah memberikan nama bagus untuknya tapi malah di potong sama ponakannya, apa susahnya coba di terusin, pikirnya.

"Permisi," ucap seseorang dari arah belakang kedua gadis itu.

Seketika Mora dan Dira menoleh ke sumber suara itu. Mata Dira membulat melihat pemandangan indah yang ada di depannya ini. Bahkan ia terkagum dengan ciptaan Tuhan yang satu ini.

"Eh, k-kenapa kak?" jawab Dira gelagapan. Ya, siapa yang tidak gugup jika bertemu laki-laki tampan seperti yang ada di hadapannya ini.

Mora melirik Dira, cukup geli mendengar nada suara gadis itu berubah menjadi sedikit lembut padahal suaranya jika saat bersama nya itu berbeda.

"Empang punya pak johan dimana ya?" tanya laki-laki itu.

"eumm—"

"Gak tau, kita disini mancing bukan cosplay jadi google maps!" jawab Mora ketus. Nada bicaranya memang tidak terdengar ramah.

Seketika Dira menyenggol siku Mora sebagai kode, emang kebiasaan Mora sangat ketus pada orang baru. Padahal laki-laki itu hanya bertanya.

"Gue nanya doang, mbak!" ucap laki-laki sedikit tak terima di jawab kasar seperti itu.

"Dia emang gitu, maafin Kakak saya ya." Dira menyatukan kedua tangannya di depan wajahnya guna untuk memohon maaf atas sikap Mora.

Laki-laki itu mengangguk, ia tidak ingin memperpanjang masalahnya. Alezra Putra Frederick nama lengkapnya, seorang anak pengusaha sukses di negara ini. Tujuannya ke sini adalah untuk mencari lahan empang milik orang tuanya yaitu Johan Adibrata Frederick dan Jessica Elizabeth Frederick yang di beli dari warga asli di kampung tempat tinggal Mora.

"Lo tau gak? Empang pak Johan dimana?" tanya laki-laki yang sering di sapa Ezra itu.

Dira tersadar dari lamunannya. Betapa tampannya manusia di depannya ini walau masih tampan idolanya. Tapi, gadis itu belum pernah bertemu laki-laki setampan ini sebelumnya.

"Disana," Dira menunjuk sebuah empang yang luas, disana juga terdapat saung sebagai tempat peristirahatan.

"Yang ada rumah kecil itu," sambung Dira tak lupa dengan senyumnya.

Ezra tersenyum lalu mengangguk, "oke makasih ya, gue kesana dulu."

"Jadi orang tuh kayak gini, kalau di tanya jawabnya yang bener. Gak marah-marah," sindir Ezra yang jelas tertuju pada Mora.

"Lo siapa, nyuruh nyuruh gue? Serah gue dong mau jawab kayak gimana," sahut Mora tidak mau kalah, ia tau sindiran Ezra itu untuk dirinya. Toh, disini juga tidak ada orang selain mereka bertiga.

"Baru aja di bilang udah marah marah aja lo, gue kan cuma mau ngasih tau. Gak sopan orang yang nanya baik baik ke lo tapi lo jawabnya gitu." Ezra mencoba menasehati. Ya walaupun dia sendiri masih kesal dengan jawaban gadis itu tadi.

"Gak usah nanya! Simpel 'kan?" balas Mora sewot. Kembali ke penjelasan tadi, bahwa Mora adalah gadis yang keras kepala.

Dira hanya diam menyaksikan perdebatan di depannya, gadis itu tidak berani menghentikannya bisa-bisa dia yang akan kena omel dari Kakaknya, Mora.

"Cape juga ya debat sama lo?" akhirnya Ezra mengalah.

***

"Lo setres ya? Bisa bisanya lo debat sama cowok seganteng dia. Aduh, mana belum kenalan lagi." Dira mengingat kejadian tadi siang membuatnya sedikit kesal pada Mora. Coba saja Mora sedikit bersikap manis seperti wajahnya, pasti laki-laki tadi itu akan berkenalan dengan mereka.

"Urusan gue?" sama sekali tidak merasa bersalah. Oke, seharusnya Dira sudah tau apa jawaban gadis itu.

Jawaban yang sangat menyebalkan, again and always.

Tak terasa Dira terus membayangkan betapa sempurna nya hidup jika gadis itu berhasil mendapatkan laki-laki tampan tadi siang. Ah sialnya, dia sudah berteman lama dengan sifat menyebalkan Mora yang selalu menggagalkan usaha nya untuk berkenalan dengan siapapun.

"Tidur! Udah malem masih aja melamun," sembur Mora berhasil membuyarkan lamunan yang sudah di buat buat oleh Dira.

"Yee, gegara lo nih. Gue gak jadi kenalan sama tuh cowok!" Dira masih saja terus membahas sifat menyebalkan Mora. Dan itu harus!

"Berisik!"

"Dia yang mulai." Dira mencebikan bibirnya seraya menggerutu.

...—To Be Continued—...

Dan Terjadi Lagi!

...Happy reading, and enjoy!...

...•...

...•...

...•...

...—...

Sepertinya Mora memang di ciptakan untuk membuat rusuh. Lihat saja pagi ini, gadis itu kembali berdebat dengan laki-laki yang tak lain adalah Ezra. Masing-masing saling menyalahkan hingga Dira terdiam dan tidak bisa berkata-kata.

"Gue nanya nama dia bukan nama lo! Kenapa lo yang sewot?" kesal Ezra.

"Hak gue dong, dia kan ponakan gue terserah gue mau ngelarang dia kenalan sama siapapun. Termasuk lo!" balas Mora dengan nada bicara yang tidak santai.

"Salah gue apa sih? Perasaan gue baru kenal sama lo kemarin kok lo ngajak gue ribut mulu?!" jangan tanyakan bagaimana keadaan Ezra. Jelas saat ini, laki-laki itu kesal.

Dira yang berada di tengah-tengah mereka pun menatap mereka secara bergantian. Bingung, karena gadis itu tidak tau cara melerai keduanya. Apalagi kedua manusia di hadapannya ini sepertinya sudah tersulut emosi.

"Lo ganggu!"

Ezra menghela nafas panjang, berusaha sabar. "Yaudah, kalau gitu nama kalian berdua siapa?"

"Lah? Ko jadi nanya nama gue juga?"

Kata-katanya berhasil mengundang sorot tajam dari gadis itu. Sedangkan laki-laki yang tak lain adalah Ezra keningnya mengernyit, bingung bagaimana cara menghadapi gadis unik di hadapannya ini.

"Aduh, udah dong. Kalian gak malu apa udah pada gede masih berantem kayak bocil." Dira berusaha untuk menyudahi perkelahian yang menurutnya seperti bocil ini.

"Mending lo kasih tau ke kakak lo deh, soalnya kata kata itu gak cocok buat gue," sahut Ezra. Setelah itu Ia meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Bisa gila jika dia terus-terusan berada di sana.

"Heleh."

"Udah ah, ayok pulang." Mora menyetujui ajakan Dira.

Setelah ada laki-laki itu, tempat tenang mereka kini menjadi kacau. Ya, memancing bukan hanya hobi mereka tapi juga salah satu cara mereka untuk menenangkan pikiran.

Setibanya di rumah kecil yang tidak jauh dari tempat memancing mereka, Mora dan Dira duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari bambu.

"Sumpah, ya! Gue gak ngerti lagi sama pemikiran lo, Mor." ucap Dira. Ingin sekali gadis itu menjambak rambut Mora saat ini juga.

Mora menoleh, bingung. "Kenapa?"

Dira membulatkan matanya selaras dengan mulutnya yang ikut menganga. Jika bukan Kakaknya sudah di pastikan akan ada cap lima jari di pipi gadis yang menyandang sebagai Kakak nya ini.

"Mor? Dari semua masalah yang lo buat hari ini, lo masih nanya kenapa?! Aduh, bisa gila gue kalau kelamaan berdua sama lo yaa!" celetuk Dira. Tangannya naik memegangi kepalanya seraya mengacak rambutnya frustasi.

"Lo tau nggak sih? Gue tuh hampir aja kenalan sama tuh cowok tapi lo? lo dengan segala kepercayaan diri lo menghancurkan semuanya." sembur Dira mengeluarkan uneg-uneg nya. Rasanya hari ini Ia ingin mencabik-cabik wajah gadis di hadapan ini.

"Dia nanya nama gue doang loh, Mor! Kenapa sikap lo udah kayak gue mau di culik sama gorila sih, Mor! Arrghh... " lanjut Dira. Suaranya memang tidak terdengar kencang tapi dari  nada bicaranya Mora tau bahwa Ia membuat keponakannya itu kesal setengah mampus.

"Sengaja!" jawab Mora. Singkat padat dan jelas, bibir gadis itu melengkung hingga menampilkan sebuah senyum manis di wajahnya.

Masih dengan raut wajah kaget sekaligus syok dengan tingkah unik Mora, gadis itu bangkit dari tempat duduknya, tatapan tak percaya senantiasa Ia layangkan untuk gadis yang masih dengan posisi santai duduk di atas kayu itu.

Mora menatap gadis itu dengan kening terangkat sebelah seakan bertanya 'ada apa?'. Sedangkan Dira, gadis itu mengacak rambutnya seperti orang frustasi untuk yang kedua kalinya. Rambutnya hitam yang di kepang satu itu kini sudah tidak berbentuk kepang lagi, amburadul.

"Gila banget dah, gak ngerti lagi gue!" Dira kembali terduduk pasrah. Kelakuan Kakaknya memang benar-benar di luar dugaan.

***

Hari ini, cuacanya sedikit mendung tak seperti biasanya. Seorang gadis tengah bersantai di bawah pepohonan menatap ke arah langit yang ditutupi awan. Tenang tapi Ia kesepian tanpa seseorang yang menemaninya.

Gue pengen kayak mereka, tapi gue gak bisa. batin Mora. Ya, gadis itu adalah Mora.

Ada sedikit kekecewaan dalam dirinya. Diam meratapi nasibnya yang sekarang sudah menjadi hobi nya setiap hari atau bahkan setiap waktu, bukannya tidak bersyukur dengan kehidupannya tapi Mora merasa tidak adil dengan hidupnya.

Dulu sejak gadis itu masih kecil, Mora mempunyai keinginan untuk jalan-jalan di kota menikmati keindahan gedung-gedung tinggi yang di hiasi kelap-kelip lampu jika malam hari. Sungguh! Mora sangat ingin melihat itu, tapi gadis itu harus menerima keadaan jika sekarang Ia hanya seorang gadis desa yang jauh dari kata mampu.

Sudah beberapa hari ini Mora ke kebun sendiri karena Dira sudah mulai aktif di sekolah. Jujur saja, tidak adanya Dira membuatnya kesepian dan juga sunyi tanpa suara gadis itu, karena Dira cukup cerewet dan random jika bersama Mora. Apalagi anaknya mudah pusing dengan hal-hal sepele seperti pada saat perdebatan Mora dengan Ezra beberapa hari yang lalu.

Senyum manis terlukis indah di wajah Mora, menatap langit yang di selimuti awan membuatnya sedikit tenang dan damai. Meskipun ada beberapa ungkapan yang terus saja berputar di kepalanya.

Mora menghela nafas panjang. Karena bosan, gadis itu memilih untuk pergi memancing untuk menenangkan diri. Baginya, gemercik air sungai dan ikan kecil yang meliuk-liuk di dalam nya bisa menenangkan pikirannya.

Sekitar dua jam memancing, Mora berniat kembali ke saung di kebun nya untuk beristirahat. Mora cukup bersyukur laki-laki yang mengganggu tempat ternyaman nya sudah hampir sepuluh hari lebih tidak menampakan dirinya lagi.

Setelah membereskan semua alat memancing nya, Mora bangkit dari kayu sepenggal yang sudah menjadi tempat duduknya sejak dulu. Namun, baru beberapa langkah dari tempat sebelumnya netra nya tak sengaja menangkap seseorang yang cukup jauh darinya.

Mata gadis itu menyipit, mengamati seorang wanita yang bisa di bilang masih cukup muda sedang berjalan berjalan di sekitaran lahan tambak. Dari pengamatan Mora, wanita itu bukanlah warga kampung nya, hanya melihat dari penampilannya Mora cukup tau kalau wanita itu berasal dari kota besar.

Gadis itu kembali melanjutkan perjalanan menuju ke arah saung nya tapi baru saja hendak melangkah, sebuah teriakan yang cukup besar berhasil mengalihkan pandangannya.

"AHKK! TOLONG!" teriak wanita setengah paruh baya itu.

Saking takutnya, wanita itu melompat melompat seakan tidak ingin kaki nya menyentuh tanah lagi.

"ADA ULAR! TOLONG!" lagi, wanita itu berteriak sekencang mungkin berharap ada yang menghampirinya dan menolongnya.

Mora, gadis itu menghempaskan semua alat pancing nya ke tanah dan langsung berlari ke arah wanita yang berteriak itu.

"BU! IBU KENAPA?" tanya Mora panik. Siapa yang tidak panik coba kalau ada yang berteriak ketakutan seperti itu.

"Ya ampun, Nak! Itu ada ular, tante takut!" ucap Ibu itu semakin berteriak ketakutan.

Mora mengikuti arah sumber ketakutan Ibu itu dan benar saja ada ular di sana. Ular hijau yang besarnya sama dengan jari kelingking orang dewasa itu sedang berjalan mungkin ingin menyebrang jalan saja.

"Oh itu?"

"Iya, Nak! Kamu gak takut?" tanya Ibu itu. Raut wajahnya masih ketakutan tangannya sedikit gemetar.

Mora tersenyum, "saya udah biasa Bu, sama ular kayak gini. Lagian dia cuma mau lewat doang kok, asal jangan di deketin aja," jelas Mora tenang membuat Ibu itu juga sedikit tenang walaupun masih ada rasa takut sedikit.

"Udah biasa? Berarti disini banyak ular dong, ya?" tanya Ibu itu, lagi. Wanita itu hanya tidak menyangka saja Ia akan bertemu dengan hewan yang dibenci nya di sini.

Mora mengangguk mengiyakan, senyum manis itu tak pernah pudar dari wajahnya. Setelah mendengar jawaban Mora, indra penglihatan wanita itu menyusur ke segala arah tambak. Hal itu membuat Mora kebingungan apa yang di cari wanita ini sebenarnya.

...—TBC—...

...To Be Continued...

Debat, Lagi?

...—Happy reading, and enjoy—...

...•...

...•...

...•...

Mora duduk dengan tenang di sebuah saung yang ada di tambak wanita yang di tolong nya tadi. Saat hendak kembali wanita itu memanggil Mora untuk menemaninya sebentar, Mora pun menurutinya lagipula tidak ada salahnya karna wanita di depannya ini memang bukan warga sini.

"Nama kamu siapa?" tanya Wanita itu seraya menyuguhkan segelas minuman cup padanya.

"Aku Mora tante," jawab Mora.

Wanita yang bernama Jessica itu tersenyum lalu menjawab, "mora? Nama kamu bagus ya."

Mora tersipu, baru kali ini ada yang memuji namanya.

"Kamu temenin tante dulu ya, Mora? Tunggu keluarga tante kesini soalnya tante takut sendirian," pinta Jessica. Untungnya gadis itu tidak ada kegiatan hari ini hanya gabut, Mora pun mengangguk seenggaknya dia punya teman hari ini.

"Kamu gak sekolah?"

"Aku udah lulus tante,"

"Gak lanjut?"

Mora tersenyum miris, lalu menggeleng. Itu impiannya sejak dulu, tapi apalah daya Mora harus mengerti dengan ekonomi keluarganya yang masih terbilang tidak mampu.

Melihat raut wajah Mora yang langsung berubah, Jessica merasa bersalah karna sudah bertanya seperti itu. Wanita itu lupa kalau orang orang di sini mayoritas bertani dan nelayan, dengan begitu tidak semua mereka mampu apalagi untuk soal biaya pendidikan.

"Maafin tante ya?"

"Eh, gak apa apa ko, tante. Lagian emang belum rezeki Mora aja," ucap gadis itu seraya tersenyum agar suasana tidak canggung.

"Tante boleh tau nama lengkap kamu?"

Mora mengangguk tanda mengiyakan.

"Boleh, aku Amora willona, tante." setelah mendengar itu, Jessica tersenyum lalu seraya mengusap tangan Mora dengan lembut tatapan keduanya bertemu seakan ada perasaan tulus di dalam hati keduanya.

"Nama kamu bagus, banget!"

Mora tersenyum kikuk mendengar pujian untuk namanya itu. Ya, walaupun Ia mengakui bahwa namanya memang bagus dan aesthetic menurutnya.

Setelah beberapa menit mengobrol sembari bercanda, akhirnya yang di tunggu pun datang.

"Mama!" panggil seseorang dari arah belakang Mora. Posisi Mora memang duduk membelakangi jalan.

Wajah gadis itu menoleh penasaran dengan sumber suara yang di dengarnya. Namun, netra kedua remaja itu saling bertemu. Mora mengenali salah satu yang datang, keduanya tampak terkejut bisa di lihat dari wajah mereka yang saling bertatapan tak percaya.

Mata Ezra bertatapan langsung dengan gadis yang sempat membuatnya kesal bahkan ingin sekali dia marah beberapa hari yang lalu, dengan jarak yang cukup dekat.

"Nah, Mora, ini om Johan suami tante. Nah, kalau ini anak tante, namanya Ezra," ucap Jessica lembut memperkenalkan kedua orang yang baru saja datang, orang yang di tunggu nya sedari tadi.

Sontak Mora menoleh ke arah Jessica, raut wajahnya berubah menjadi lebih terkejut lagi. Ia sungguh tak menyangka laki-laki yang beberapa hari lalu berdebat dengannya adalah anak wanita yang tadi Ia selamatkan dan kini menjadi teman bicaranya.

Apa? Jadi, cowok menyebalkan ini anaknya Tante Jessica? Batin gadis itu masih tak percaya, sebenarnya dari penampilan Jessica Mora harus sudah bisa menilai bahwa Tante Jessica orang dari kota, sama halnya seperti Ezra.

"Lo ngapain disini?" tanya Ezra dari nada bicaranya terdengar tidak santai. Mungkin Ezra masih kesal dengan gadis yang ada di hadapannya ini.

"Loh, Ezra?" kening Johan mengernyit.

"Kalian saling kenal?" tanya Jessica yang cukup kebingungan sama halnya dengan Johan.

Ezra mengangkat sebelah keningnya, entah apa maksudnya. Tatapan tajam itu tertuju jelas pada Mora, tapi Mora tetaplah Mora yang tidak takut pada siapapun termasuk Ezra.

"Siapa yang gak kenal sama cewek paling menyebalkan di kampung ini, Mah. Sukanya nyari ribut sama orang baru?" ungkapan Ezra kembali mengundang sorot mata tajam dari Mora, tak terima Ia bilang suka mencari ribut. Memangnya dia gadis seperti apa?

"Gue gak nyari ribut!" bantah Mora tak terima.

Johan dan Jessica hanya menyimak pembicaraan yang sama sekali mereka tidak paham maksudnya apa. Tapi jika di lihat dari nada bicara mereka masing-masing, keduanya seperti tidak akur dan punya kekesalan yang mendalam.

"Terus, yang kemarin kemarin debat sama gue apa? Itu nyari ribut namanya." Ezra memposisikan tangannya di depan dada, tatapan laki-laki itu seperti mengintrogasi gadis itu.

Mora semakin kesal mendengar jawaban Ezra yang semakin menyudutkannya. Jika saja tidak ada Jessica mungkin saat ini Ia akan mencakar wajah tampan Ezra hari ini juga.

"Lo yang nyari masalah duluan!" Mora tidak mau kalah.

"Gue nanya doang loh, sejak kapan nanya itu, nyari masalah?"

"Ya 'kan gue udah bilang, lo ganggu!"

"Gue ganggu apaan si? Gue nanya doang letak tambak di mana, sama nanya nama ponakan lo. Di mana nyari masalahnya? Coba jelasin!"

"Kan gue udah bilang sama lo, itu kan ponakan gue! Serah gue dong mau ngelarang dia kenalan sama siapa aja, termasuk lo! Lagian lo ganggu orang yang lagi mancing dan gara gara suara lo yang gak enak di dengar itu ikan yang mau makan umpan gue pada kabur!" ungkap Mora panjang lebar, perdebatan mereka semakin cepat hingga membuat Johan dan Jessica bingung harus bagaimana menghentikannya.

Mata Ezra membulat serta mulut yang ternganga, gadis di depannya ini memang sangat menyebalkan.

"Suara gue, gak enak kata lo?!"

"Iya!"

"Wah, lo bener ben—"

"UDAH, UDAH! STOP!" finis Jessica, sengaja mengencangkan suaranya agar melebihi suara kedua remaja yang sedang berdebat di depan mereka.

Berhasil. Kedua remaja itu terdiam dengan wajah yang masih saling bertatapan sengit. Melihat suasana seperti ini, Jessica menghela nafas panjang dan berusaha bertanya kepada keduanya apa yang terjadi.

"Ezra, Mora. Kalian kenapa bisa berantem, hm? Tante pengen tau," suara Jessica melembut, matanya tak berhenti menatap kedua remaja yang tengah kesal.

"Tanya aja dia!" jawab Ezra sewot.

"Ezra, mama gak ngajarin kamu kasar sama perempuan, sayang. Coba jelasin pelan-pelan biar Mama tau apa yang terjadi?" Jessica masih merayu Mora dan Ezra yang masih belum bicara.

"Oke, di mulai dari Ezra dulu ya, coba jelasin." Jessica tersenyum, nada bicara wanita itu senantiasa lembut.

Ezra menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, tatapannya beralih ke arah Mora yang ternyata sudah menundukkan kepalanya memilih menatap tanah.

Ezra terpaksa menceritakan kejadian awal yang terjadi beberapa hari yang lalu. Jujur saja laki-laki itu sudah malas membahas apapun mengenai gadis di hadapannya ini, tapi Ia juga tidak ingin mengabaikan Mama nya. Setelah bercerita, Mama nya paham kenapa bisa jadi begini.

Jessica juga perempuan. Ia tau bagaimana sifat sensitif dan susah mengontrol emosi, Jessica tidak menyalahkan Mora karena memang tidak semua manusia punya hak untuk ketenangan mereka masing-masing. Tapi, dia juga tidak menyalahkan putra nya mungkin Ezra bertanya di waktu yang salah.

Jessica mengangguk, pandangannya yang semula fokus pada Ezra kini beralih pada seorang gadis yang sedari tadi terdiam.

"Kamu mau jelasin sesuatu, Mora?" Pertanyaan Jessica membuat Mora menatap Anak dan Ibu itu secara bergantian. Entah apa yang ada di pikirannya.

Mora menggeleng lesu, "gak ada tante. Aku yang salah, maafin aku. Aku pamit dulu," ucap Mora. Ia beranjak dari tempat duduknya lalu bergegas pergi dari sana.

Ezra yang melihat hal yang tak biasa itu membuat keningnya mengernyit heran apa yang terjadi dengan gadis itu. Padahal, dia selalu melawan atau membantah apa yang akan dia katakan tapi sekarang? Dia mengaku salah?

"Ezra, jangan kasar sama dia," pinta Jessica. Tatapan teduh itu selalu membuat Ezra luluh pada Mama nya.

"Mama kenapa bisa kenal sama dia?" dari sekian lama memilih terdiam akhirnya Johan angkat bicara bertanya kepada Istrinya.

"Mama tadi ngeliat ular, Pah. Mak—"

"Ular? Mama gak apa apa?" potong Johan. Karna khawatir istrinya kenapa kenapa, Pria itu langsung mengecek keadaan Istrinya.

"Terus, Mah? Mama gak di gigit kan?" Ezra ikut khawatir.

Jessica menggeleng sebagai respon.

"Mama gak apa apa ko. Tadi, Mora langsung nyamperin mama, karena mama teriak kenceng. Untung aja ada Mora kalau gak ada mama gak tau lagi deh. Bisa bisa mama pingsan," jelas Jessica panjang lebar.

"Jadi, cewek tadi nolongin, Mama?" tanya Ezra pelan dan di jawab anggukan pasti dari Mama nya.

"Tuh! Kamu seharusnya makasih sama cewek tadi, kalau gak ada dia kita gak tau deh keadaan mama kamu gimana." bukan Jessica yang menjawab tapi Papa nya, Johan. Apa yang di katakan oleh Pria itu memang benar apalagi Jessica memang sangat takut pada ular sekecil apapun itu.

"Mama juga yang minta dia ke sini buat temenin mama, karena mama takut sendiri, Ezra. Untung aja dia mau, kalau gak mama bakal sendiri disini." perkataan Jessica membuatnya terdiam sejenak. Ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya.

"Ezra jadi gak enak," ucapnya.

...—TBC—...

...To Be Continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!