Di jalan raya yang terlihat lengang, terdengar suara tabrakan yang sangat keras. Motor yang dikendarai seorang pemuda yang ugal-ugalan terlihat menabrak mobil sedan yang berjalan berlawanan arah. Karena kaget dan tidak sempat mengerem, akhirnya motor pemuda itu menabrak mobil sedan di depannya. Tubuhnya terhempas di atas kap mobil itu dan menghantam kaca mobil itu hingga pecah.
Orang-orang yang ada di tempat itu lantas berlari ke tempat kejadian dan mendapati pemuda itu telah terkapar di atas kap mobil.
Pemuda yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diturunkan dari atas kap mobil. Wajah pemuda itu terlihat mengerikan karena berlumuran darah.
"Apa dia masih hidup?" tanya seorang lelaki yang kebetulan ada di tempat itu.
"Sepertinya dia masih bernafas, tapi kalau ambulance tidak segera datang, mungkin saja nyawanya tidak bisa tertolong," jawab salah satu orang lainnya.
"Tolong ... tolong ... ," teriak sopir mobil sedan yang berusaha keluar dari dalam mobil.
"Tolong selamatkan majikan saya di dalam mobil," ucap sopir itu panik. Walau kepalanya berdarah karena benturan, tapi sopir itu masih bisa berdiri walau sedikit pusing.
"Bapak duduk saja dulu, biar kami yang akan mengevakuasi majikan Bapak."
Di dalam mobil, tergeletak gadis berseragam SMA yang tidak sadarkan diri dengan beberapa luka di wajahnya. Pecahan kaca mobil yang terhempas telah melukai wajah dan tangannya hingga berdarah.
Dengan dibantu warga sekitar, mereka kemudian mengeluarkan tubuh gadis itu. Sang sopir yang terlihat panik, hanya bisa menangis melihat kondisi majikannya itu.
Dengan tangan gemetar, sopir itu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. "Nyonya," ucap sopir itu dengan suaranya yang gemetar.
"Pak Diman, ada apa? Kenapa suara Pak Diman gemetar begitu?" tanya seorang wanita panik.
"Maaf, Nyonya. Kami mengalami kecelakaan dan sekarang Nona akan dibawa ke rumah sakit."
"Maksud Pak Diman, apa? Nona kenapa?" tanya wanita itu semakin panik.
"Saya akan menemani Nona ke rumah sakit karena Nona tidak sadarkan diri. Maafkan saya Nyonya, saya harus menemani Nona di mobil ambulance dan sebaiknya Nyonya datang ke Rumah Sakit Bhakti Husada," jelasnya sambil menutup panggilan teleponnya.
Wanita yang dipanggil nyonya itu terduduk lemas di depan meja kerjanya. Tanpa menunggu lama, wanita itu kemudian pergi ke rumah sakit yang di maksud sopirnya itu.
Di depan pintu rumah sakit, para perawat sudah berdiri menunggu ambulance yang baru saja memasuki halaman rumah sakit itu. Dengan cekatan, mereka mengeluarkan tubuh gadis itu dari dalam ambulance.
"Cepat bawa ke ruang UGD!!" perintah seorang perawat wanita sambil membantu mengangkat tubuh gadis itu dan diletakkan di atas meja brankar.
"Bapak sebaiknya juga harus diperiksa," lanjut perawat itu sambil menyuruh Pak Diman untuk duduk di atas kursi roda.
"Jangan khawatirkan saya. Tolong rawat dulu majikan saya," ucap Pak Diman yang seakan tak peduli dengan keadaannya sendiri.
"Majikan Bapak akan segera ditangani oleh dokter. Sebaiknya Bapak ikut saya, biar saya yang akan merawat luka-luka Bapak."
Walau Pak Diman berusaha untuk menolak mendapatkan perawatan, tapi kondisi tubuhnya mengatakan lain. Pria setengah baya itu tiba-tiba saja pusing hingga membuat dia hampir terjatuh.
"Jangan khawatir, majikan Bapak sudah ditangani oleh dokter ahli dan sebaiknya Bapak juga harus segera dirawat," bujuk perawat itu. Pak Diman akhirnya mengangguk dan mengikuti saran perawat itu.
Hampir satu jam gadis itu ditangani oleh dokter. Tak lama kemudian, gadis itu dibawa ke kamar inap pasien.
"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya seorang wanita yang baru saja datang.
"Luka-lukanya tidak terlalu parah. Anak Ibu tidak sadarkan diri karena kepalanya terkena benturan dan mungkin karena dia sedikit terkejut. Namun, ada sesuatu yang lebih serius," ucap dokter yang membuat wanita itu menjadi panik.
"Maksud dokter, apa? Apa anak saya mengalami luka dalam yang serius?"
Dokter itu menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan secara detail. "Begini, Bu. Melalui keseluruhan scan yang sudah kami lakukan, ternyata di dalam retina mata anak Ibu ada pecahan kaca yang membuat mata anak Ibu akan sedikit mengalami masalah. Kami belum bisa memastikan, apakah itu parah atau tidak, karena kami harus menunggu anak Ibu siuman dulu. Jadi, Ibu berdoa saja semoga anak Ibu tidak mengalami sesuatu yang serius," ucap dokter yang berusaha untuk meyakinkan wanita itu.
Dengan menahan tangis, wanita itu berjalan di koridor rumah sakit dan masuk ke salah satu kamar. Dengan jiwa keibuannya, wanita itu menggenggam tangan anak gadisnya yang terbaring tidak sadarkan diri.
"Cepatlah sadar, Nak. Mama tidak tega melihat kamu terbaring seperti ini," ucap wanita itu mulai menangis.
"Maafkan saya Nyonya, saya tidak bisa menjaga Nona dengan baik," ucap Pak Diman yang tiba-tiba datang dengan wajah menunduk.
"Itu bukan salah Pak Diman dan jangan menyalahkan diri. Aku sudah tahu dari polisi, kalau pemuda ugal-ugalan itu yang salah. Bagaimana keadaan Pak Diman, tidak ada luka yang serius, kan?"
"Tidak ada, Nyonya. Saya baik-baik Nyonya, tapi Nona ..."
"Tidak apa-apa. Zhafira akan baik-baik saja, dia anak yang kuat, kok," ucap wanita itu sambil menghapus air matanya yang perlahan jatuh.
*****
Dua jam sebelum Zhafira mengalami kecelakaan.
"Zha, apa perlu kamu melakukan hal seperti ini?" tanya seorang pemuda pada gadis itu.
Dia adalah Dafa Wahyudi, pemuda yang terlihat sangat akrab dengan Zhafira. Mereka adalah sahabat sejak kecil. Di mana ada Zhafira, di situ pasti ada Dafa. Sejak duduk di bangku SD hingga SMA, mereka selalu satu sekolah. Dan kini, mereka di sekolah yang sama. Zhafira dan Dafa, duduk di kelas sebelas dan berada di kelas yang sama.
"Kalau kamu tidak suka, kamu boleh pergi. Aku hanya ingin menyelesaikan urusanku dengan gadis itu."
"Aku tahu kamu marah, tapi jangan seperti ini," bujuk Dafa, tapi sama sekali tidak digubris oleh gadis itu.
Dengan ditemani dua orang sahabatnya, Zhafira mendatangi seorang gadis yang sedang duduk di dalam kelas.
"Maksud kamu apa? Kenapa kamu menyebar rumor kalau ayahku suka dengan gadis-gadis muda? Apa kamu sudah bosan hidup?" tanya Zhafira yang terlihat sangat marah dengan gadis di depannya itu.
Dengan senyum sinis, gadis itu berdiri dari tempat duduknya. "Kenapa? Apa kamu marah? Kenapa kamu harus marah padaku? Sana, datangi ayahmu dan tanyakan sendiri padanya. Apa benar dia suka jalan dengan gadis-gadis yang seusia anak gadisnya?" ucapan gadis itu telah membuat Zhafira semakin meradang.
Karena terpancing dengan ucapan gadis itu, Zhafira lalu menampar wajahnya hingga berujung dengan perkelahian.
Zhafira Nury, gadis manis berkulit putih dengan rambut hitam sepunggung yang membuat dia terlihat cantik, tapi kecantikan wajahnya tidak sebanding dengan sikapnya yang dianggap arogan dan suka menidas teman-temannya. Walaupun cantik, tapi banyak di antara mereka yang tidak menyukainya. Hanya Dafa, dan kedua sahabatnya, yakni Refa dan Kheyla yang selalu setia bersamanya.
"Zha, sudah. Jangan seperti itu, nanti kamu akan dihukum sama Pak Deni," lerai Dafa, tapi sama sekali tidak digubris olehnya.
Zhafira dengan emosi mulai menjambak rambut gadis itu tanpa mempedulikan Dafa. Kedua sahabatnya hanya memantau tanpa melerai karena bagi mereka, selama orang lain tidak ikut campur perkelahian itu, mereka juga tidak akan turun tangan.
"Zha, sudah Zha," ucap Dafa yang berusaha untuk melerai. Dengan rambut yang sudah acak-acakan dan wajahnya yang memerah, Zhafira menghentikan serangannya ketika Pak Deni, guru BP mereka datang melerai.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berkelahi?" tanya Pak Deni dengan suaranya yang parau.
Pak Deni, guru BP yang wajahnya terlihat sangar dengan kumis tebalnya tampak mulai marah. "Kalian berdua, sekarang juga ikut Bapak ke ruang BP."
Zhafira yang mulai terlihat tenang lantas mengikat asal rambutnya yang tadi sempat acak-acakan. Wajah cantiknya yang terlihat memerah karena saling mencakar, hanya menyunggingkan senyum kepuasan. Puas karena dia telah berhasil membuat bibir gadis itu berdarah dan pipi yang memerah karena tamparan tangannya telah mendarat keras di wajah gadis itu.
Di ruang BP, Zhafira hanya terdiam. Mulutnya diam seribu bahasa walau dijejal dengan berbagai pertanyaan.
"Zhafira, apa alasan kamu menyerang teman kamu sendiri, hah?" Pertanyaan Pak Deni hanya di anggap angin lalu baginya. Dia tidak peduli, bahkan mulutnya terkunci rapat-rapat. Sementara, gadis yang diserangnya itu terus membela diri dan tidak terima diperlakukan seperti itu olehnya.
"Pak, saya minta Zhafira di skors. Dia sudah membuat saya terluka seperti ini," ucapnya sambil menunjuk bibirnya yang berdarah.
"Zhafira, kamu dengar tidak apa yang Bapak tanyakan ke kamu? Kenapa kamu menyerang teman kamu sendiri?"
"Sudahlah, Pak. Dia tidak akan mengaku karena dia pasti akan malu," ucap gadis itu yang membuat Zhafira memandanginya dengan sorot matanya yang tajam.
"Kalau kamu tidak mau menjawab alasan kamu, maka Bapak akan mengskors kamu, apa kamu mengerti?"
"Terserah Bapak saja," jawabnya sambil berdiri meninggalkan ruang BP.
"Tuh, Bapak lihat, kan? Zhafira itu memang sangat tidak sopan dan tidak menghargai Bapak," ucap gadis itu yang membuat Pak Deni langsung mengeluarkan skors untuk Zhafira.
Dengan santainya, Zhafira masuk ke dalam kelas dan mengambil tasnya.
"Kamu mau kemana?" tanya Refa sambil berjalan mengikuti sahabatnya itu.
"Aku mau pulang, aku malas ada di sekolah."
"Aku akan mengantarmu pulang, ayo," ajak Dafa sambil meraih tangan gadis itu.
"Tidak usah. Aku akan pulang dengan Pak Diman. Sebaiknya kamu di sekolah saja, nanti sebentar kita bertemu di rumahku," ucap Zhafira sambil berjalan pergi meninggalkan mereka.
Dengan menahan air mata, Zhafira pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya itu. Walau terlihat tegar, tapi hatinya sangat lemah. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata teman-temannya. Dia tidak ingin menangis walau sebenarnya dia ingin menangis. Hatinya sakit mendengar kabar perihal ayahnya yang ternyata suka bermain-main dengan wanita muda. Sejak perceraian orang tuanya, Zhafira telah banyak berubah.
Di dalam mobil, Zhafira duduk di jok depan. Entah mengapa, siang itu dia memilih duduk di samping Pak Diman. Dengan membuka jendela mobil, dia mengeluarkan tangannya dan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Sejenak, dia ingin melupakan semua masalah yang kini dihadapinya.
"Kamu sudah sampai mana?" tanya Dafa melalui telepon.
"Masih di jalan, sebentar lagi sampai rumah."
"Ya, sudah. Sebentar aku akan ke rumah dan jangan pedulikan omongan orang. Apapun yang terjadi, aku akan selalu menjadi teman terbaikmu, mengerti?"
"Aku tahu, kok. Terima kasih karena sudah menghiburku dan ... " Tiba-tiba saja Zhafira terkejut karena benturan secara tiba-tiba menghantam mobilnya. Ponsel yang ada di tangannya terhempas jatuh dan terselip di bawah jok. Tanpa sadar, pandangannya mulai gelap dan akhirnya diapun tidak sadarkan diri.
"Hallo ... Zha ... Kamu kenapa? Hallo ... "
Dafa mulai gelisah. Dengan jelas, dia mendengar suara benturan yang sangat keras. Dengan harap-harap cemas, dia kembali menghubungi ponsel sahabatnya itu.
"Hallo, Zha. Kamu kenapa?"
"Maaf, apakah kamu kenal pemilik ponsel ini?"
"Iya, siapa ini? Ada apa dengannya? Kenapa Bapak yang mengangkat teleponnya?"
"Sebaiknya, kamu datang saja ke Rumah Sakit Bhakti Husada. Teman kamu itu mengalami kecelakaan dan sekarang akan dibawa ke sana. Nanti ponsel ini akan saya titipkan di salah satu petugas ambulance."
"Terima kasih, Pak. Terima kasih," ucap Dafa sambil bergegas meninggalkan kelas.
"Dafa, ada apa?" tanya Refa ketika melihat temannya itu meninggalkan kelas dengan panik dan terburu-buru.
"Zhafira mengalami kecelakaan. Aku harus ke rumah sakit sekarang," jawab Dafa yang kemudian berlari menuju halaman sekolah. Dengan mengendarai sepeda motornya, Dafa meninggalkan parkiran sekolah dengan perasaan khawatir yang mengganggu hatinya.
"Zha, aku mohon bertahanlah. Aku tidak ingin kehilanganmu," batin Dafa yang tanpa sadar membuat air matanya jatuh.
Sementara itu, Refa dan Kheyla masih duduk di dalam kelas dengan perasaan campur aduk, antara khawatir dan gelisah. Walau khawatir, tapi mereka tidak ingin membayangkan sesuatu hal buruk akan menimpa sahabat mereka itu.
Dafa yang baru saja sampai di depan lobby rumah sakit lantas menanyakan perihal korban kecelakaan. Setelah mendapat penjelasan, Dafa kemudian naik lift menuju kamar yang sudah diberitahukan padanya.
Jantungnya berdebar ketika dirinya tiba di depan pintu kamar. Dengan tangan yang gemetar, dia mengetuk dan memberi salam. Perlahan, terlihat seorang wanita membuka pintu kamar dan mempersilakannya untuk masuk. Dengan wajah yang terlihat pucat, Dafa kemudian masuk dan mendapati tubuh sahabatnya itu tengah terbaring tak sadarkan diri dengan perban yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Tanpa sadar, pemuda itu menitikkan air mata dan duduk menangis di samping tubuh sahabatnya itu.
"Bagaimana, keadaan Zha, Tante?" tanya Dafa pada ibunya Zhafira yang sedang duduk di samping anaknya itu.
"Tidak ada luka yang serius, tapi kata dokter, mungkin saja penglihatan Zhafira akan sedikit terganggu karena ada beberapa pecahan kaca yang masuk ke dalam matanya. Karena itu, dokter belum bisa memastikan apakah itu akan mengganggu penglihatannya atau tidak, karena kita harus menunggu hingga Zha kembali sadar."
Mendengar penjelasan wanita itu membuat Dafa semakin khawatir. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya itu.
"Dafa, tolong kamu temani Zha sebentar. Tante mau ke bawah dulu," ucap wanita itu yang kemudian keluar dari kamar.
"Iya, Tante. Aku akan di sini menemani Zha."
Dafa menatap wajah sahabatnya itu. Rasa sedih perlahan menyelimuti wajahnya. Dengan lembut, dia menggenggam tangan gadis itu. "Zha, sadarlah. Aku ingin melihat senyummu lagi. Aku tidak akan melerai kalau kamu bertengkar lagi. Karena itu, aku mohon, sadarlah," ucap Dafa pelan.
Zhafira yang tengah terbaring tidak merespon. Tubuhnya diam tak bergerak. Rasa bersalah perlahan menghantui hati pemuda itu. Andai saja waktu itu dia memaksa untuk mengantar Zhafira untuk pulang, mungkin saja sahabatnya itu tidak akan mengalami kecelakaan.
"Maafkan aku Zha, karena tidak mampu menjagamu. Maafkan aku."
Dafa tertunduk dengan tangis yang tak bisa dia tahan. Tangannya seakan enggan untuk dia lepaskan. Hingga dia terperanjat kaget ketika tangan Zhafira tiba-tiba bergerak dan menggenggam pelan tangannya.
"Zha, apa kamu sudah sadar?" tanya Dafa sambil menggenggam tangannya.
Zhafira perlahan mulai membuka matanya. "Dafa, itu kamu? Kamu di mana? Kenapa tempat ini sangat gelap? Dafa, cepat nyalakan lampunya, aku takut kegelapan," ucap Zhafira yang terlihat panik.
Melihat Zhafira seperti itu membuat Dafa terperanjat kaget. Apa maksudnya dengan gelap? Padahal di kamar itu sangat terang. Melihat kepanikan Zhafira, Dafa hanya bisa memeluknya dan mencoba untuk menenangkannya.
"Zha, jangan panik. Kamu tidak apa-apa, itu hanya pengaruh sementara. Kata dokter, kamu akan segera sembuh," ucap Dafa berusaha menenangkannya.
"Ada apa dengan mataku? Kenapa aku tidak bisa melihat? Kenapa semua terasa gelap?" Zhafira berteriak histeris hingga membuat Dafa menitikkan air mata.
Tiba-tiba saja, Zhafira merintih kesakitan dan memegang kedua matanya. Melihat Zhafira kesakitan, membuat Dafa segera berlari keluar dari kamar untuk memanggil dokter. Di depan pintu kamar, Dafa bertemu dengan ibunya Zhafira.
"Ada apa ini? Kenapa Zhafira kesakitan seperti itu?" tanya wanita itu panik sambil berlari ke tempat tidur anaknya.
"Tante temani Zha dulu, aku akan memanggil dokter jaga," ucap Dafa yang kemudian berlari menyusuri koridor.
"Zha, ada apa, Nak?" ucap ibunya sambil berusaha menenangkannya.
"Mataku, Ma. Mataku sangat perih dan aku tidak bisa melihat apapun, semuanya gelap, Ma," rintih Zhafira kesakitan.
Mendengar penuturan anaknya membuat wanita itu tidak bisa menahan air matanya. Apalagi, ketika dia melihat air mata yang keluar dari mata anaknya itu berwarna merah karena telah bercampur dengan darah hingga membuat dia semakin khawatir.
"Jangan khawatir, Nak. Kamu akan baik-baik saja. Mama tidak akan membiarkanmu menderita seperti ini," ucap ibunya yang berusaha membuatnya tenang.
Rasa panik karena pandangannya yang tiba-tiba gelap membuat Zhafira berteriak histeris. Dia kaget dengan perubahan matanya yang tiba-tiba gelap dan tidak bisa melihat apapun. Suara sang ibu dan sahabatnya yang mencoba untuk menenangkannya membuat dirinya semakin putus asa. Entah, setan apa yang sudah merasukinya hingga dia terus berontak dan menangis histeris. Seakan dia tidak bisa menerima kenyataan kalau kini, matanya telah buta.
Karena Zhafira masih berteriak dan berontak, akhirnya dokter memutuskan untuk menyuntikkan obat penenang padanya. Seketika, tubuhnya melunglai. Teriakan histeris dan putus asa perlahan mereda hingga dia benar-benar terdiam dan terbaring tanpa suara.
"Kenapa dengan mata anak saya, dok? Kenapa matanya tidak dapat melihat dan tadi aku melihat air matanya berwarna merah. Apa yang terjadi padanya, dok?" tanya wanita itu sambil menangis.
"Sepertinya, kita harus melakukan operasi pada matanya. Kornea mata anak Ibu telah rusak karena pecahan kaca yang masuk ke dalam matanya dan merobek kornea matanya. Untuk sementara, kami akan memberikan obat pereda nyeri untuknya, tapi jangan khawatir, kami akan mencari donor mata untuk anak Ibu. Jadi, kami mohon agar Ibu bisa bersabar hingga kami temukan donor yang cocok buat anak Ibu," jelas Dokter yang membuat wanita itu terduduk lemas.
Entah apa yang akan dia katakan pada Zhafira nanti. Dia takut, anaknya itu tidak bisa mampu untuk menerima kenyataan kalau sekarang matanya telah buta.
"Bagaimana dengan keadaan Zha, Tante?"
"Dia akan baik-baik saja. Sebaiknya kamu pulang, ini sudah malam nanti orang tuamu khawatir."
"Tidak masalah, Tante. Aku sudah menelepon mama tadi."
"Kamu istirahat saja, Nak. Pulanglah, karena besok kamu harus sekolah. Setelah pulang sekolah, kamu boleh datang menjenguk Zha lagi."
Dafa yang masih ingin menemani sahabatnya itu tidak bisa berbuat apa-apa. Walau berat untuk meninggalkan Zhafira, tapi dia harus pulang. Dengan berat hati, pemuda itu kemudian pamit undur diri. Sejenak, dia menatap kembali wajah sahabatnya itu dan kemudian pergi dengan rasa bersalah.
Dafa Wahyudi, sosok pria tampan dengan segudang prestasi. Dia adalah salah satu murid yang cukup terkenal di sekolahnya. Bukan hanya pintar, tapi dia juga berprestasi di bidang olah raga terutama basket.
"Dafa, bagaimana keadaan Zha? Dia baik-baik saja, kan? Maaf, kemarin kami tidak sempat datang menjenguknya," ucap Kheyla saat mereka bertemu di sekolah.
"Zhafira baik-baik saja. Sebentar pulang sekolah, aku akan menjenguknya. Apa kalian mau pergi menjenguknya bersamaku?"
Kedua sahabatnya itu mengangguk. Saat pulang sekolah, mereka bertiga kemudian pergi ke rumah sakit menjenguk sahabat mereka itu.
"Maaf, Nak. Untuk saat ini, Zhafira tidak ingin bertemu siapa-siapa," ucap ibunya saat mereka bertiga sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Tante tahu kalian ingin menemuinya, tapi saat ini dia ingin sendiri. Dia tidak ingin diganggu," lanjutnya.
"Apa, keadaan Zhafira baik-baik saja, Tante?" tanya Refa.
Wanita itu terdiam. Perlahan, dia menghapus air matanya. "Mata Zhafira telah buta. Dia tidak bisa melihat lagi karena kornea matanya telah robek. Karena itu, Tante mohon pengertian kalian. Tante tahu kalian khawatir, tapi Tante mohon biarkan dia sendiri dulu karena ini adalah pukulan terberat baginya. Andai dia sudah mampu menerima kenyataan, dia pasti akan menemui kalian lagi," jelas wanita itu sambil menangis.
Mendengar penjelasan wanita itu, mereka bertiga hanya terdiam dan tanpa sadar, air mata mereka jatuh. Mereka paham dengan kondisi sahabatnya itu. Walau mereka sangat ingin bertemu dengannya, tapi mereka juga harus menghargai permintaannya.
"Untuk sementara, Zhafira akan menjalani perawatan di rumah sakit ini hingga ada pendonor. Jadi, kalian tidak perlu khawatir. Kalau ada pendonor yang cocok, maka Zha bisa melihat lagi," jelas wanita itu.
"Baiklah, Tante, Kami mengerti. Tolong sampaikan salam kami untuk Zha dan kami mohon pamit."
"Akan Tante sampaikan. Terima kasih karena kalian sudah datang menjenguk Zha."
Dari dalam kamar, Zhafira bisa mendengar suara ketiga sahabatnya itu. Dia ingin bertemu dengan mereka, tapi dia merasa malu dengan kondisinya sekarang yang baginya terlihat sangat menyedihkan.
Sudah hampir empat hari Zhafira dirawat di rumah sakit. Dan selama itu, ayahnya tidak sekalipun datang menjenguknya. Sejak perceraian orang tuanya dua tahun lalu, ayahnya memilih untuk tinggal di tempat lain. Sedangkan sang bunda, terpaksa harus bekerja kantoran hingga membuat waktunya semakin tersita. Kebersamaannya bersama sang bunda semakin jarang, hingga membuat Zhafira lebih memilih menghabiskan waktu di luar rumah bersama sahabat-sahabatnya. Bahkan, sikap Zhafira di sekolah mulai berubah menjadi anak yang arogan. Dia tidak segan-segan menyakiti siswa yang tidak mengikuti kemauannya. Di sekolah, dia dijuluki gadis pembunuh karena sikapnya yang semena-mena pada orang lain.
Sikapnya yang sering berlebihan itu, kadang membuat teman-teman sekolahnya membencinya. Namanya sudah terkenal dengan segala macam julukan buruk yang disematkan padanya. Sifatnya yang dulu periang dan baik, mulai berubah ketika kedua orang tuanya memilih untuk bercerai. Dan sikapnya itu semakin memburuk saat dia tahu, kalau penyebab kehancuran keluarganya karena seorang wanita penggoda yang tidak lain adalah kakak kelasnya sendiri.
"Ada apa kamu datang kemari? Apa kamu masih punya hati untuk melihat anak kamu itu?" tanya ibunya pada seorang lelaki yang memaksa untuk masuk ke kamar inap Zhafira.
"Kenapa kamu melarangku? Zhafira adalah anakku dan aku punya hak untuk bertemu dengannya," jawab pria itu yang tidak lain adalah Fauzi, ayah Zhafira.
"Apa kamu masih punya muka setelah melakukan semua ini pada kami? Lebih baik kamu pergi sebelum Zhafira mendengarmu."
"Aku tidak akan pergi sebelum bertemu dengannya. Apa aku tidak boleh bertemu dengan anakku sendiri?"
"Aku tidak ingin bertemu dengan Papa, aku benci sama Papa." Tiba-tiba saja Zhafira berteriak meminta ayahnya untuk pergi.
Sang ayah yang tidak menyangka anaknya menolak untuk bertemu dengannya hanya bisa terdiam. Dia tidak menyangka, anaknya itu belum bisa memaafkannya. Sudah dua tahun sejak kejadian itu, tapi Zhafira masih belum ingin bertemu bahkan memaafkannya.
"Zhafira, Papa minta maaf, Nak. Papa hanya ingin melihatmu," ucap ayahnya yang terlihat sedih.
"Aku tidak ingin bertemu dengan Papa. Lagipula itu semua percuma, karena aku tidak bisa lagi melihat Papa dan aku bersyukur karena Tuhan telah mengambil penglihatanku ini," ucapnya sambil menangis hingga membuat ayahnya menjadi bingung.
"Maksud Zhafira apa? Kenapa dia berbicara seperti itu?" tanya Fauzi pada mantan istrinya itu.
"Riska, aku tanya sama kamu, maksud Zhafira itu apa?" tanya Fauzi yang akhirnya membuat wanita itu menjelaskan perihal keadaan anak mereka.
Setelah mendengar penjelasan mantan istrinya, Fauzy yang awalnya bersikeras untuk bertemu dengan Zhafira, terpaksa memilih untuk mengurungkan niatnya. Untuk saat ini, kondisi Zhafira masih labil karena terpukul. Dengan berat hati, Fauzy hanya bisa memandangi buah hatinya dari balik pintu.
Sejak saat itu, sikap Zhafira mulai berubah. Dia terlihat murung. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk teman-temannya yang hampir tiap hari datang mengunjunginya. Begitupun dengan sang ayah yang masih belum ingin ditemuinya.
Waktu terus berjalan dan belum ada kabar tentang pendonor mata untuknya. Hampir tiga minggu dia terbaring di rumah sakit tanpa kepastian. Pekerjaan sang ibu yang mulai terbengkalai memaksa sang ibu harus meninggalkannya.
"Zha, maafkan Mama. Mama akan ke kantor sebentar. Mama akan membawa berkas-berkas kerjaan Mama ke sini biar Mama bisa kerja sambil menemani kamu."
"Tidak usah, Ma. Mama ke kantor saja. Aku akan baik-baik saja, kok. Lagi pula, ada alat bantu ini yang bisa aku gunakan untuk memanggil perawat kalau aku butuh sesuatu," ucapnya dengan tersenyum sambil menggenggam sebuah alat seperti sebuah tombol.
Riska tersenyum. Setidaknya, saat ini Zhafira sudah terbiasa dengan kondisinya. Walau terasa berat untuk meninggalkan anaknya itu, tapi Riska tetap memutuskan untuk pergi ke kantornya.
Setelah kepergian sang bunda, Zhafira hanya bisa duduk terdiam. Luka-luka di wajahnya pun sudah mulai sembuh tanpa meninggalkan bekas. Sahabat-sahabatnya pun belum datang menjenguknya, karena dia belum ingin bertemu dengan mereka. Entah kenapa saat itu dia merasa sangat kesepian. Dia merasa sendirian. Zhafira, gadis penindas dan dianggap arogan di mata teman-temannya itu ternyata tak lebih dari seorang gadis lemah yang butuh perhatian.
"Boleh aku masuk?" Tiba-tiba saja dia di kejutkan dengan suara seorang gadis yang berdiri di depan pintu kamarnya.
"Siapa kamu? Jangan masuk, aku tidak ingin bertemu dengan siapapun," elak Zhafira sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, seakan dia malu bertemu dengan orang lain karena kondisinya yang baginya terlihat buruk.
"Aku pasien di kamar sebelah. Aku bosan karena tidak ada teman bicara, makanya aku memutuskan untuk datang ke sini. Siapa tahu saja kita bisa berteman, tapi kalau kamu tidak mau, ya sudah, aku tidak akan memaksa," ucap gadis itu sambil kembali menutup pintu kamar.
"Apa kamu tidak keberatan bicara denganku?" Tiba-tiba saja Zhafira berkata seperti itu dan membuat gadis itu membuka kembali pintu kamar dan masuk menemuinya.
"Aku tidak keberatan, kok," ucap gadis itu yang kemudian duduk di samping Zhafira.
"Kenapa kamu menutupi wajahmu itu? Apa kamu merasa malu dengan kondisimu sekarang? Jangan khawatir, dulu aku juga seperti itu, tapi kini sudah tidak lagi. Aku dulu merasa malu karena wajahku terlihat pucat atau bahkan terlihat mengerikan di depan orang, tapi itulah kenyataannya," ucap gadis itu sedikit tertawa.
Perlahan, Zhafira menurunkan kedua tangannya dari wajahnya.
"Kenapa kamu harus menutupi wajahmu yang cantik itu? Ah, aku jadi iri karena kamu ternyata memiliki wajah yang sangat cantik," ucap gadis itu memuji.
"Kamu juga pasti sangat cantik. Dari suaramu saja, aku tahu kamu pasti gadis yang manis."
"Aku senang dengan pujianmu itu. Ini adalah pertama kalinya orang mengatakan aku cantik sejak aku sakit," ucapnya sambil tertawa pelan.
Mendengar suara tawa gadis itu membuat Zhafira tersenyum. Entah mengapa, dia seakan mendapatkan seorang teman yang senasib dengannya.
"Itu karena aku tidak bisa melihat wajahmu. Kalau saja mataku tidak buta, mungkin saja aku akan mengatakanmu jelek."
Perkataan Zhafira kembali membuat gadis itu tertawa. "Kalaupun dihina, itu tidak masalah bagiku. Aku sudah biasa dihina bahkan diremehkan, itu bukan masalah yang besar buatku."
Sejak saat itu, mereka mulai dekat. Zhafira merasa nyaman saat bersama gadis itu. Dan mereka akhirnya mulai bersahabat dan persahabatan mereka akan membuat mereka terikat dan mengubah hidup Zhafira.
Rani, gadis cantik dan polos yang di vonis menderita kanker leukimia itu sedang asyik bercengkrama dengan teman barunya.
Sifatnya yang periang selalu bisa membuat Zhafira tersenyum. Sudah sebulan lebih Rani masuk di rumah sakit itu. Sejak Zhafira menginap di sebelah kamarnya, Rani selalu mendengarnya menangis hingga membuat dia penasaran pada gadis itu. Dia sempat berpikir, kalau gadis itu mungkin saja mempunyai penyakit yang lebih parah darinya hingga membuatnya selalu menangis. Hingga suatu hari tanpa sengaja, dia melihat pertengkaran orang tua Zhafira yang membuatnya kasihan pada gadis itu. Sejak saat itu, Rani sering melihat Zhafira secara sembunyi-sembunyi dari balik pintu. Hingga saat itu tiba, dia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Zhafira.
"Sepertinya kamu gadis yang baik. Kamu pasti mempunyai banyak teman. Iya, kan?" tanya Rani yang membuat Zhafira terdiam.
"Aku tidak sebaik itu, tapi setidaknya aku punya beberapa orang teman yang sangat baik padaku."
"Apa kamu masih tidak mau bertemu dengan mereka?" Pertanyaan Rani tiba-tiba saja membuat kening Zhafira berkerut.
"Maaf, kalau aku lancang, tapi kehadiran sahabat di saat seperti ini setidaknya akan membuatmu lebih bersemangat. Melihat mereka atau paling tidak dengan mendengar suara mereka saja akan membuatmu ingin segera sembuh agar bisa berkumpul lagi bersama mereka, bercanda, bahkan mungkin bolos bersama mereka." Tanpa sadar, Zhafira tersenyum karena mengingat kebersamaannya dengan sahabat-sahabatnya itu.
"Apa temanmu juga sering datang menjengukmu?" tanya Zhafira.
"Sering. Mereka sering datang menjengukku. Kalau nanti aku tidak sempat menemuimu, berarti mereka sedang menjengukku. Aku janji, kalau mereka datang lagi, aku akan mengenalkan mereka padamu," ucap gadis itu dengan senyum.
"Apa kamu sudah punya pacar?" tanya Rani yang membuat Zhafira terperanjat.
"Buat apa tanya makhluk seperti itu? Di dalam kamusku, tidak ada yang namanya pacar," jawab Zhafira datar.
"Lalu, cowok ganteng berseragam SMA yang waktu itu menemanimu sampai menangis, itu siapa?"
"Cowok yang mana? Setahuku yang berseragam SMA yang pernah datang waktu itu hanya Dafa, dia itu sahabat baikku dan dia tidak seganteng itu."
"Ya ampun, Zha. Cowok seganteng itu kamu bilang tidak ganteng? Kalau aku punya sahabat seganteng dia, maka aku tidak perlu punya pacar lagi dan cowok-cowok lain pasti tidak akan berani mendekatiku."
"Kalau kamu suka sama dia, aku akan memperkenalkanmu padanya."
"Tidak perlu. Aku sudah punya seseorang yang aku sukai, kok."
Sejak bertemu dengan Rani, Zhafira terlihat mulai membuka diri. Dia tidak pernah lagi mengeluh dengan keadaannya. Tawa Rani yang selalu menemaninya, membuat dia melupakan kesedihan yang dialaminya.
"Sepertinya, sebentar lagi kamu akan mendapatkan donor untuk matamu."
"Amin. Kalau itu benar, maka orang pertama yang ingin aku lihat adalah kamu," ucap Zhafira sambil memegang tangan sahabat barunya itu.
"Jangan khawatir. Setelah matamu bisa melihat lagi, maka aku selamanya akan bersamamu. Karena itu, jangan lagi menyiksa diri dan menyalahkan dirimu sendiri, paham?" Zhafira tersenyum.
"Aku tahu kamu kecewa dengan ayahmu, tapi kamu harus bersyukur karena kamu masih memiliki ayah. Kamu tahu, aku telah kehilangan ibuku sejak aku masih kecil. Aku hanya mempunyai ayah dan seorang kakak yang sangat menyayangiku," ucap Rani yang membuat Zhafira menggenggam tangannya.
"Dari semua ceritamu, aku tahu kamu mungkin menganggap kalau selama ini kamu sudah jahat pada teman-temanmu, tapi yakinlah tidak ada kata terlambat untuk berubah. Walau nanti perubahanmu mungkin tidak langsung mereka terima, tapi setidaknya mulailah untuk berbuat baik. Jangan lagi kamu menindas apalagi sampai menyakiti mereka, karena balasan atas perbuatan kita mungkin akan lebih kejam dari apa yang sudah kita lakukan pada mereka."
Zhafira tersenyum lagi. Kata-kata Rani telah memberinya kekuatan dan keberanian untuknya memulai dari awal. Dan perkataan sahabatnya itu memang benar adanya, karena mungkin saja sekarang ini dia sedang dihukum atas sikap buruknya selama ini.
"Rasanya aku ingin segera melihat lagi dan aku ingin melihat wajahmu. Aku tidak sabar untuk memperkenalkanmu pada teman-temanku nanti," ucapnya pada Rani dengan senyum di sudut bibirnya.
Rani tersenyum. Mungkin Tuhan sengaja mempertemukan dirinya dengan Zhafira. Di masa-masa terakhirnya, Tuhan menghadirkan seorang teman yang bisa menemaninya. Seorang teman yang akan selalu bersama walau Zhafira mungkin tidak akan mengenalinya.
"Sepertinya, akhir-akhir ini anak Mama sudah sering tersenyum. Memangnya ada apa?" tanya ibunya penasaran.
"Tidak ada apa-apa kok, Ma," elak Zhafira.
Sejak saat itu, Rani tidak pernah lagi menemuinya. Awalnya, dia berpikir kalau mungkin saja Rani sedang dijenguk oleh teman-temannya, tapi keesokan harinya, Rani masih tak kunjung datang menemuinya.
"Ada apa dengan Rani? Sudah dua hari ini kenapa dia tidak datang menemuiku?" batin Zhafira.
Salah seorang dokter yang menangani Zhafira tiba-tiba datang menemui Riska. "Kami punya kabar gembira buat Ibu. Zhafira akan segera mendapatkan donor mata," ucap dokter itu yang membuat Riska mengucapkan syukur.
"Apa itu benar, dok?" tanya Riska seakan tidak percaya.
"Benar, Bu. Sebaiknya, Ibu ikut ke ruangan saya untuk mendatangi berkas-berkas dan Zhafira besok sudah bisa dioperasi," lanjut dokter itu sambil tersenyum.
"Kamu dengar, kan, Nak. Ada orang baik yang mau mendonorkan matanya buat kamu. Setelah operasi nanti, kamu sudah bisa melihat Mama lagi. Kamu sudah bisa melihat teman-teman kamu lagi," ucap Riska sambil memeluk anak gadisnya itu.
Zhafira bahagia mendengar berita itu dan menangis dalam pelukan ibunya. Dia rindu melihat wajah ibunya lagi. Dia rindu melihat wajah Dafa yang selalu mengomelinya. Dan dia ingin segera melihat wajah sahabat barunya yang selama ini telah menemaninya, memberikan nasehat padanya dan merubah hidupnya. Dia ingin melihat gadis itu, gadis yang sangat berarti baginya walau kini, dia tidak lagi bertemu dengannya.
Hingga hari operasi tiba, Zhafira belum bertemu dengan Rani. "Ma, Mama tahu tidak gadis yang dirawat di kamar sebelahku ini?"
"Gadis? Gadis yang mana? Setahu Mama, yang dirawat di kamar sebelah itu adalah seorang kakek," jawab ibunya yang membuatnya heran.
"Tidak kok, Ma. Di kamar sebelah ada seorang gadis yang dirawat. Selama ini, dia yang menemani aku saat Mama ke kantor," jawab Zhafira mencoba menjelaskan pada ibunya.
"Kakek itu sudah dua minggu di kamar sebelah. Apa kamu pikir, Mama kamu ini berbohong?"
Zhafira tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sudah hampir delapan hari Rani selalu mengunjunginya dan dia ingat dengan jelas kalau Rani mengatakan bahwa dia dirawat di kamar sebelah.
Karena tidak percaya, Zhafira mencoba bertanya pada seorang perawat yang selalu datang ke kamarnya dan jawabannya selalu sama, tidak ada gadis bernama Rani yang inap di kamar sebelah.
Zhafira semakin bingung. Dia sangat yakin kalau gadis yang bernama Rani itu bukanlah hantu atau semacamnya. Dia masih ingat saat dia menggenggam tangan gadis itu yang terasa hangat. Dan Rani pernah menceritakan perihal Dafa dan itu membuktikan kalau Rani itu nyata bukan hantu atau teman ilusi seperti yang dikatakan dokter padanya.
Zhafira masih bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa menjelaskan ciri-ciri Rani karena dia tidak tahu wajah gadis itu seperti apa. Yang dia ingat, hanya nama gadis itu. Rani, nama yang sama sekali tidak dikenal oleh dokter maupun juru rawat di rumah sakit itu.
Waktu operasi telah tiba. Walaupun dia bahagia karena akan melihat lagi, tapi kesedihan karena tidak bertemu dengan Rani tidak bisa dia sembunyikan. Dia ingin melihat gadis itu walau hanya sekali. Dia ingin mengucapkan terima kasih karena gadis itu sudah menjadi sahabat terbaiknya walau hanya beberapa hari.
"Rani, kenapa kamu pergi tanpa pamit padaku? Setidaknya, biarkan aku mendengar suaramu," batin Zhafira yang membuatnya menangis tanpa air mata.
Setelah menjalani operasi selama lebih dari tiga jam, Zhafira akhirnya keluar dari ruang operasi dan operasinya dinyatakan sukses. Operasinya berjalan dengan baik tanpa kendala yang berarti. Riska dan Dafa sudah menunggunya di depan pintu ruang operasi dengan harap-harap cemas.
Di dalam kamarnya, Dafa masih setia menemani Zhafira dan duduk di samping gadis itu. Zhafira masih terbaring tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius yang belum hilang. Kedua matanya masih terlilit dengan perban.
Dua jam kemudian, Zhafira mulai tersadar. Awalnya, dia merasakan sakit pada kedua matanya hingga Riska memutuskan untuk memanggil dokter.
"Tidak apa-apa, Bu. Itu reaksi yang normal karena hilangnya pengaruh obat bius. Itu biasa terjadi setelah pasien siuman," jelas dokter.
"Dokter akan segera membuka perban dari matamu dan kamu harus jelaskan kondisi mata kamu itu, agar dokter bisa mengetahui apakah operasinya berhasil atau tidak," jelas Dokter itu.
Zhafira mengangguk. Jantungnya berdetak hebat karena was-was. Dia takut kalau operasinya tidak berhasil.
Dokter kemudian mulai melepaskan perban itu perlahan. Kapas yang menempel di matanya perlahan diangkat. Jantungnya semakin berdetak hebat saat dokter memintanya untuk membuka matanya.
Zhafira yang takut kecewa masih enggan untuk membuka matanya. Sementara ibunya tanpa henti memanjatkan doa demi kesembuhan anaknya itu. Dafa yang dari tadi melihat ke arah sahabatnya juga melakukan hal yang sama.
"Ayo, jangan takut. Sekarang kamu sudah bisa membuka matamu. Pelan-pelan saja kalau kamu merasa takut," ucap dokter yang coba menguatkan dirinya.
Zhafira mengangguk pelan. Dia teringat kembali dengan pesan Rani yang memintanya untuk bisa menerima semua keadaan walau itu terasa sulit. Akhirnya, Zhafira memutuskan untuk bisa menerima kenyataan walau itu akan terasa menyakitkan.
Zhafira lantas membuka matanya dengan perlahan. Walau takut, tapi dia tetap mencoba untuk membuka matanya. "Mataku terasa perih, dok. Pandanganku masih terasa gelap," ucap Zhafira sambil membuka kedua matanya.
Dokter itu tidak mengatakan apapun, dia masih terus memantau. Sementara Riska, mulai merasa panik dan khawatir kalau operasi anaknya itu telah gagal.
Tak lama kemudian, Zhafira mulai merasakan silau di matanya seakan ada bola lampu besar yang menyinari pas di depan matanya. Perlahan, dia melihat sosok ibunya tengah berdiri di depannya. Seolah tak percaya, Zhafira lantas menoleh ke arah Dafa yang berdiri di samping ibunya.
"Kamu melihat aku, kan, Zha?" tanya Dafa yang seakan paham kalau sahabatnya itu sedang melihat ke arahnya.
Mendengar pertanyaan Dafa membuat Zhafira mengangguk pelan. Sontak saja Dafa tersenyum bahagia dan menitikkan air mata. Begitupun dengan Riska yang mulai menyadari kalau anaknya itu telah melihat kembali.
"Kamu berhasil. Kamu sekarang sudah bisa melihat lagi. Selamat, ya," ucap dokter memberi selamat padanya.
Zhafira tersenyum bahagia. Untuk pertama kalinya, dia menitikkan air mata kebahagiaan dengan mata baru yang kini dimilikinya.
Ibunya memeluknya dengan tangis kebahagiaan. Seakan tak percaya, dengan kedua tangannya, Zhafira memegang wajah ibunya dan mencium lembut punggung tangannya.
Melihat Dafa yang tersenyum padanya membuat Zhafira membalas senyumnya itu. Sebuah senyum yang perlahan membuat dada pemuda itu bergetar. Senyum paling indah yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
"Sebentar lagi Refa dan Kheyla akan segera datang, aku sudah menelepon mereka," ucap Dafa.
Zhafira hanya tersenyum dan kembali dada pemuda itu berdetak hebat. "Kenapa aku seperti ini? Kenapa senyumnya itu membuat dadaku terasa bergetar?" batin Dafa yang seakan tak berdaya dengan senyuman gadis itu.
"Ma, apa boleh aku jalan-jalan di taman sebentar?" tanya Zhafira pada ibunya.
Walau sedikit khawatir, tapi Riska mengangguk mengiyakan. "Dafa, tolong kamu temani Zhafira jalan-jalan di taman. Tante akan keluar sebentar, mau membeli makanan kesukaannya. Kamu tidak keberatan, kan?" Dafa mengangguk tanda mengiyakan. Kedua sahabat itu lantas pergi menuruni lift dan pergi ke taman rumah sakit.
"Aku bisa minta tolong, tidak?" tanya Zhafira pada sahabatnya itu.
"Minta tolong apa? Jangan minta tolong yang aneh-aneh, karena aku tidak akan membantu," jawab Dafa yang membuat Zhafira menggeleng.
"Tenang saja, aku tidak akan minta yang aneh-aneh. Tolong temani aku ke bagian informasi rumah sakit karena ada sesuatu yang ingin aku tanyakan," ucap Zhafira sambil menggandeng tangan sahabatnya itu dan pergi ke ruang informasi.
"Maaf, suster. Apa saya boleh tahu kamar pasien yang bernama Rani ada di nomor berapa?" tanya Zhafira pada seorang suster.
"Rani? Di sini tidak ada pasien yang bernama Rani," jawab suster itu sambil melihat ke arah komputer.
"Apa benar, suster. Coba dicek sekali lagi. Gadis itu mungkin seumuran denganku dan namanya Rani."
"Maaf, Dek. Tidak ada pasien yang bernama Rani dan kalau boleh tahu, memangnya Rani itu sakit apa? Mungkin saja saya bisa mencari tahu melalui dokter yang menanganinya."
Zhafira terdiam. Dia tidak sempat menanyakan perihal penyakit temannya itu. "Aku juga tidak tahu, suster," jawab Zhafira sedih.
Karena tidak menemukan Rani, Zhafira akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan mendapati Refa dan Kheyla yang ternyata sudah menunggunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!