Rintihan meminta ampun dari seorang wanita tidak sampai ke telinganya yang sudah tuli dan buta jika menyangkut wanita di depannya saat ini. Wanita yang menjebaknya dalam pernikahan ini.
"Ampun Kak Johan, sakit" terdengar sangat lirih, namun begitu menusuk hati. Tatapan matanya yang terlihat sayu, penuh luka dan sebuah rasa putus asa.
Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa berkurang, dia mulai sulit bernafas. Wajahnya berubah merah, bahkan sudut matanya sudah mengalirkan sebuah cairan bening.
Bruk.. Cengkraman kuat pria yang berstatus suaminya itu menghempaskan tubuhnya ke atas lantai. Dia tersengal, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Bekas membiru terlihat di lehernya. Suaminya berjongkok di depannya, menatapnya dengan lekat. Tangannya kembali mencengkram dagunya kali ini.
"Kau menginginkanku? Kau ingin menikah denganku? Dan ini pernikahan yang kau inginkan" ucapnya dengan menyeringai mengerikan.
Air mata yang meluncur di pipinya sama sekali tidak membuatnya iba. Dia berdiri setelah menghempaskan cengkraman tangannya. Meninggalkan wanita yang keadaannya sudah lemah tak berdaya atas apa yang dia lakukan.
"Kak Johan, aku melakukan ini juga demi kamu. Aku mencintaimu" lirih ucapan itu terdengar sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.
Para pelayan baru bisa mendekatinya setelah Johan pergi. Karena mereka juga tidak berani mendekati Johan saat pria itu sedang marah besar seperti itu. Mereka tidak berani dengan hal yang akan mengancam nyawa.
"Nona, bangun Nona. Ya ampun, bagaimana ini?"
"Kita bawa saja ke kamar, Nona Aruna harus segera diperiksa Dokter"
"Tapi Tuan tidak mengizinkan kita memanggil Dokter, bagaimana pun keadaannya"
"Lalu bagaimana? Apa kita akan tetap biarkan dia, meski dia di ujung kematian sekarang"
Dua orang pelayan itu terus berdebat, sampai akhirnya mereka membawa Aruna ke kamarnya. Benar tidak berani membantah ucapan Tuannya, mereka hanya mengobati Aruna sebisanya. Memberika Aruna obat pereda nyeri untuk sekadar menghilangkan sedikit saja rasa nyeri di setiap tubuhnya.
"Nona minum dulu obatnya, Nona maafkan kami karena tidak bisa membawa Nona ke Dokter"
Aruna tersenyum lirih, bibirnya terlihat pucat. "Tidak papa, aku baik-baik saja. Terima kasih kalian sudah menolongku"
Tatapan Aruan hanya menatap kosong dengan penuh bayangan menakutkan. Satu bulan yang lalu, dia menikah dengan pria ini. Namun, sama sekali tidak menyangka jika pernikahannya akan seperti ini.
**
Satu bulan yang lalu..
Merayakan dia yang akan menikah besok, Johan minum-minum bersama teman-temannya di sebuah Klub malam. Sampai dia mabuk, dan memilih untuk pulang sendiri. Namun, saat dia keluar dari Klub itu, dia tidak sengaja bertemu dengan Aruna, adik tiri dari perempuan yang akan dia nikahi.
"Aruna, ada apa kau datang kesini?" tanya Johan, masih dengan setengah sadar. Bahkan tatapan matanya terlihat menyipit karena pengaruh mabuk.
"Kak Johan, ikut aku. Aku akan membawa Kak Johan pulang. Tidak baik pulang sendiri dalam keadaan mabuk" ucap Aruna sambil menarik tangan Johan.
"Haha. Apa kau diminta Jesika untuk datang menjemputku?"
Aruna hanya diam saja, dia pergi membawa Johan ke mobilnya, dan membawanya pulang. Namun bukan ke rumahnya, tapi ke sebuah hotel.
Entah apa yang terjadi semalam, tapi pagi ini Johan terbangun karena tersentak dengan orang tuanya yang membuka pintu hotel dengan petugas hotel.
"Pa, Ma. Ada apa ini?"
Papa datang mendekat padanya, menampar Johan dengan keras. Membuat Johan sangat terkejut. "Ada apa ini? Kenapa Papa menamparku?"
"Lihat siapa yang disampingmu? Bisa-bisanya kamu tidur dengan adik dari calon istrimu sendiri, Johan!"
Johan baru menyadari dengan kondisi tubuhnya yang polos, hanya tertutup selimut. Lalu dia melirik ke sampingnya dan disana Aruna tertidur dengan keadaan yang polos juga. Johan benar-benar dibuat kaget dengan keadaan itu.
"Hey, kenapa kau bisa tidur disini?!" teriak Johan.
Aruna mulai menggeliat, dia bangun dengan menarik selimut sampai ke dadanya. Menatap kaget pada semua orang yang berada disana. Bahkan sekarang di susul dengan orang tuanya dan Jesika yang sudah menangis melihat keadaan ini.
"Johan, kenapa kamu jahat sekali. Ini seharusnya hari pernikahan kita. Tapi, kenapa kamu malah tidur dengan adikku sendiri" ucap Jesika dengan terisak.
Johan mengambil celana dan memakainya, tidak peduli lagi dengan rasa malu yang dia rasakan. Lalu berjalan ke arah Jesika.
"Honey, dengarkan aku dulu. Aku mabuk semalam, dan aku tidak bisa ingat apapun. Adikmu yang telah menjebak aku"
Jesika hanya menangis, dan Johan memeluknya. Benar-benar tidak tega melihat wanitanya terisak seperti ini.
"Tidak bisa dibiarkan, anakku sudah ternoda sekarang. Mau tidak mau, Johan harus menikahi Aruna" ucap Ayah, disana dia begitu terkejut dan menatap nanar pada anak bungsunya.
"Tidak! Aku tidak mau menikahi wanita yang tidak aku cintai" tekan Johan.
"Tidak bisa Johan, kau harus bertanggungjawab atas perbuatanmu. Dan kau harus menikahi Aruna" tegas Papa.
Dan pada akhirnya pernikahan ini tetap terjadi, namun hanya dilaksanakan dengan tertutup. Tidak seperti rencana sebelumnya, dimana pernikahan ini akan di publikasikan. Perjanjian yang diterima, Aruna hanya akan tetap menjadi bayang-bayang dari Jesika, karena selain keluarga dan orang paling terdekat, tidak ada yang tahu jika yang menikah dengan Johan adalah Aruna. Semua orang masih menyangka jika pernikahan itu terjadi diantara Johan dan Jesika.
Dan sejak saat itu, Aruna masuk ke dalam rumah ini. Menjadi istri bayangan bagi Johan.
"Pernikahan ini hanya terjadi di atas kertas. Kau, tidak akan pernah bisa mendapatkan hatiku!" Johan berlalu dari hadapan Aruna setelah mengatakan itu.
Aruna hanya menatapnya dengan sendu, seandainya Johan tahu kenapa Aruna melakukan ini.
*
"Nona, Nona Aruna"
Aruna mengerjap pelan, tersadar dari segala lamunannya, lalu dia tersenyum pada pelayan disana.
"Ini makanan anda, silahkan makan dulu. Lalu minum obat, saya permisi keluar"
Aruna mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, dia hanya menatap sepiring makanan di tangannya. Rasanya tidak berselera untuk makan, lihatlah memar di lehernya, bahkan untuk meminum air saja sudah membuatnya sakit. Apalagi jika makanan ini.
"Kak Johan, seandainya Kakak tahu kenapa aku sampai melakukan itu. Selain karena aku mencintai Kakak, tapi aku hanya tidak ingin Kakak terluka" lirihnya dengan air mata yang menetes mengenai makanan ditangannya.
Ada hal yang Aruna perjuangkan sampai dia nekat melakukan hal diluar batas malam itu. Aku hanya ingin melindungimu. Aku tidak ingin kamu terluka, Kak.
Bersambung
Hari yang bahkan tidak pernah baik bagi Aruna sejak dia menikah dengan pria yang dia cintai. Salahkan hati yang memilihnya. Tapi, salahkan takdir yang tidak berpihak padanya.
Aruna keluar dari kamar setelah dua hari ini hanya berada di dalam kamar. Itu karena Evi yang menjadi pelayan disini memintanya untuk tetap di dalam kamar. Kenapa? Karena dia takut Aruna akan kembali di siksa oleh Johan, sementara keadaannya pun masih begitu buruk.
Ketika kakinya menapaki lantai yang terasa dingin, membuat dia langsung memakai sandal rumah. Berjalan ke arah ruang tengah, dan tepat pada saat itu suara langkah kaki terdengar. Aruna menoleh dan melihat suaminya yang berjalan menuruni anak tangga.
Johan hanya menatapnya dengan datar, hal itu yang semakin membuat Aruna begitu terluka. Meski bekas luka di tubuhnya masih terlihat, tapi luka di hatinya yang terlalu menganga lebar dan menyakitkan.
"Mau kemana Kak? Ini sudah malam?" tanya Aruna saat melihat Johan yang sudah rapi dengan pakaian casualnya.
"TIdak perlu mengurus hidupku!" ucapnya dingin, dia melirik Aruna yang berdiri tidak jauh darinya. "Untuk apa menggunakan sandal itu?!"
Aruna menundukan pandangannya, melihat sandal rumah berwarna coklat dengan gambar buah strawberry di atasnya. Apa yang salah? Dia menemukan sandal ini di rak sepatu, dan langsung memakainya. Berpikir jika ini di sediakan memang untuknya, atau mungkin milik pelayan disini.
Aruna terkejut saat tiba-tiba rambutnya tertarik ke belakang hingga kepalanya mendongak. Menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.
"Berani sekali kau menggunakan sandal milik Jesika! Sialan! Apalagi yang akan kau ambil dariku, setelah kebahagiaanku" teriak Johan. Dia menghempaskan tubuh Aruna hingga tersungkur di atas lantai. Kakinya membentur lantai cukup kuat.
Johan membungkukkan tubuhnya di depan Aruna. Tangannya mencengkram kuat rahang Aruna, seolah ingin menghancurkan rahang Aruna sekarang. Tatapan matanya yang penuh dengan kilatan kemarahan.
"Kau hanya orang yang tidak akan pernah bisa masuk dalam hidupku! Kau orang yang paling tidak aku inginkan di dunia ini. Dan sekali aku membenci, maka aku akan terus membencimu!"
Tes.. Air mata kembali menetes untuk kesekian kalinya. Ucapan Johan benar-benar menusuk ke relung hatinya. Tatapan penuh kebencian dari Johan, seolah mengingatkan Aruna jika dia tidak akan pernah bisa mendapatkan hati pria ini. Sebesar apapun perjuangannya.
"Jika membenci dan menyiksaku bisa membuat hatimu lega. Aku tidak papa, lakukan apa yang kamu inginkan dariku. Agar kamu bisa lupa dengan rasa sakit yang pernah aku ciptakan"
Johan tertawa, tawa yang begitu mengerikan. Tatapan matanya yang selalu menunjukan kebencian dan kemarahan pada Aruna.
"Semuanya tidak akan pernah merubah waktu yang sudah terlewat, Aruna! Kau pikir dengan melihatmu tersiksa dan terluka sudah cukup bagiku? Haha... Tidak, aku ingin kau perlahan mati ditanganku!"
Aruna hanya bisa menatap Johan dengan sorot mata yang penuh luka. Jika memang dia inginkan Aruna mati ditangannya, maka Aruna akan lakukan. Lagian, sudah tidak ada yang peduli dengan kehidupan Aruna saat ini.
Johan melepaskan cengkraman tangannya di rahang Aruna, meninggalkan bekas memar disana. Lalu, dia melepas paksa sandal rumah yang di pakai Aruna. Menendang kaki mungil itu dengan keras.
"Jangan sekali-kali menggunakan barang milik Jesika!" tekan Johan yang berlalu dari hadapannya.
Evi kembali datang setelah Johan pergi, terkadang dia juga menyesal pada dirinya sendiri yang tidak bisa memberikan bantuan apapun. Dia juga takut.
"Nona" panggilnya lirih, Evi duduk disamping Aruna sekarang.
Aruna menoleh, dan tangisannya pecah. Dia memeluk Evi, pelayan yang sudah seperti tempat pelindung baginya selama tinggal di rumah ini. Evi hanya terus memeluknya tanpa mengatakan apapun, biarkan Aruna mengeluarkan semua rasa sakitnya.
"Kenapa dia benci sekali padaku? Kenapa? Aku melakukan ini hanya karena tidak ingin dia terluka ... Hiks"
"Nona tidak ingin Tuan terluka, sementara Nona selalu terluka. Kenapa Nona harus seperti ini?"
Aruna melerai pelukannya, menatap Evi dengan mata basahnya. "Karena aku mencintainya, Evi. Aku ingin dia bahagia dan tidak kecewa dengan cinta yang dia inginkan"
Evi hanya tersenyum miris, melihat Nonanya ini yang benar-benar memberikan sebuah ketulusan yang sia-sia pada pria yang sama sekali tidak mencintainya. Bahkan tidak menginginkan keberadaannya.
"Bangunlah, biar saya kompres rahangnya. Itu memar"
*
Dua hari Johan tidak kembali ke rumah, membuat Aruna bertaya-tanya. Dia ingin mengirim pesan dan menanyakan keberadaannya. Tapi dia tidak berani, karena Johan akan sangat marah. Jadi, Aruna hanya menunggu saja.
Sampai hari ini dia mendengar suara mobil suaminya, segera dia berlari ke arah jendela untuk melihat. Dan benar itu adalah Johan.
"Ah, dia kembali juga akhirnya"
Aruna berlari ke arah pintu utama, ingin menyambut suaminya. Bodoh! Sudah diperlakukan seperti ini, masih saja dia bersemangat hanya untuk menyambut suaminya yang pergi entah kemana selama dua hari ini.
Langkah kakinya berhenti saat hampir sampai di pintu, ketika pintu terbuka dan menampilkan suaminya. Namun, tidak hanya seorang diri, tapi dengan seseorang di belakangnya.
"Kakak?" lirih Aruna, dia meremas roknya sendiri melihat Jesika yang sekarang berada di depannya bersama Zaidan.
"Hallo Adikku Sayang, kenapa kamu terlihat kaget?" ucap Jesika, dia menghampiri Aruna dan mengelus pipinya, membuat Aruna langsung memalingkan wajahnya. "Adikku yang mengambil sumber kebahagiaan dariku. Menggagalkan pernikahanku. Dan sekarang, aku ingin mengambil kembali apa yang sudah menjadi milikku"
Aruna menunduk dengan air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia menatap tangan Zaidan yang merangkul pinggang Kakaknya, tepat di depannya sebagai seorang istri.
"Minggir! Kau menghalangi jalan!" tekan Zaidan yang mendorong tubuh Aruna agar menyingkir dari hadapannya.
Aruna segera berlari mengejar suaminya dan Kakaknya itu. "Kak Johan, kamu tidak bisa membawa Kak Jesika tinggal disini. Kita sudah menikah, dan aku tidak mau Kak Jesika tinggal bersama dengan kita"
Zaidan menghentikan langkah kakinya, menoleh dan menatap Aruna yang berdiri di depannya. "Kau ingin aku menurutimu? Haha... Sadar siapa dirimu disini? Kau hanya wanita mura*han yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkanku! Dan yang ingin aku cintai, hanya Jesika, bukan kau wanita mura*han!"
Aruna menunduk dengan dada yang terasa begitu sesak. Bahkan suaminya tega mengatakan itu di depan wanita lain. Sekarang harga diri Aruna bahkan rendah di depan Jesika sebagai mantan kekasih suaminya. Tapi apakah benar menjadi mantan kekasih? Atau mungkin mereka masih berhubungan sampai sekarang.
"Sudahlah Aruna, kenapa kamu melarang? Kan kamu tahu sendiri jika aku yang Johan cintai, bukan kamu!" ucap Jesika penuh penekanan.
"Tapi Kakak hanya ingin menghancurkan Kak Johan. Kak Jesi tidak benar-benar mencintainya. Kakak hanya akan membuatnya kecewa"
Plak
Sebuah tamparan mendarat di pipinya, Jesika yang melakukan. Aruna menatap Kakaknya dengan mata memerah dan berkaca-kaca.
"Suatu saat semuanya akan terungkap Kak, jika selama ini Kakak tidak pernah tulus mencintai Kak Johan"
Bersambung
Kalo rame aku lanjut ya.. wkwk.. Jan sampai aku tinggal pas lagi sayang-sayangnya.. Hihi
Johan diam termenung di atas sofa bed di ruang tengah ini. Televisi besar di depannya menyala, menayangkan acara yang bahkan tidak menarik perhatiannya. Dalam pelukannya ada Jesika yang menolak pulang sejak kejadian tadi.
"Jo, kenapa kamu diam saja? Apa kamu percaya dengan ucapan Aruna? Sayang, dia itu hanya pembohong. Dia ingin aku sama kamu beneran berpisah, karena dia terobsesi sama kamu sejak dulu" ucap Jesika sambil mengelus dada Johan.
Johan menghela nafas pelan, dia mengecup puncak kepala wanita yang dicintainya itu. "Aku tidak memikirkannya. Aku hanya ingin menikmati waktu bersamamu. Kau akan tetap menjadi milikku, meski aku menikah dengan adikmu. Awas bertemu dengan pria tadi!"
Jesika terkekeh pelan, dia sedikit mendongak dan mengecup dagu kekasihnya ini. "Kemarin itu beneran hanya temanku. Lagian kamu yang tiba-tiba datang tanpa bicara dulu padaku. Jadi, aku agak kaget"
"Beneran hanya teman ya? Karena aku sangat benci bentuk pengkhianatan apapun!"
Jesika hanya tersenyum, dia menyandarkan kembali kepalanya di dada bidang Johan. "Aku tidak akan mengkhianatimu"
Aruna yang berjalan ke arah mereka dengan membawa nampan berisi minuman, langkahnya seketika terhenti mendengar percakapan keduanya. Dia tersenyum miris saat tadi Johan malah begitu marah padanya, bahkan sampai mendorongnya kasar, hanya karena Aruna mengatakan jika Jesika tidak pernah tulus mencintainya.
"Apa yang kau lihat?!"
Suara dingin itu menyadarkan Aruna, dia melanjutkan langkah kakinya. Menyimpan minuman di atas meja depan mereka. Matanya memejam menahan rasa sakit ketika dia melihat bagaimana sikap Johan yang begitu manis pada Jesika. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya, sebagai seorang istri.
"Aduh, kamu sengaja ya Aruna"
Aruna terkejut saat dengan sengaja kaki Jesika menyenggol meja hingga minuman yang ditaruh Aruna tumpah mengenai kakinya itu. "Maaf, tapi Kakak yang menyenggol meja"
"Diam!" bentak Johan, dia langsung berdiri dan menatap Aruna dengan nyalang. Mengambil gelas satunya lagi yang berisi jus itu, menyiram jus itu ke kepala Aruna. "Berani sekali lagi menyentuh dan membuat tidak nyaman wanitaku, maka aku tidak akan tinggal diam"
Aruna mengusap wajahnya yang terasa lengket karena tumpahan jus itu. Padahal jus yang tumpah ke kaki Jesika hanya sedikit, di lap dengan tisu saja sudah bersih. Tapi, Johan benar-benar membalasnya dengan begitu kejam pada Aruna.
"Dia bukan siapa-siapa Kak!" teriak Aruna, dia mulai tidak tahan melihat kemesraan keduanya. Dia cemburu. Aruna berdiri dan menatap Johan dengan lekat. "Kak Jesika sudah bukan siapa-siapa Kak Johan lagi. Aku yang sekarang menjadi istrimu. Aku yang harusnya kau pedulikan!"
Dengan satu tangan kekarnya, Johan menarik tangan Aruna dan membanting tubuhnya ke atas lantai, kepala Aruna membentur ujung meja hingga berdarah. Pusing dan sakit yang dia rasakan seketika di kepalanya.
Johan membungkukkan tubuhnya, mencengkram rahang Aruna dengan kuat, bahkan bekas yang kemarin masih terasa begitu sakit, sekarang sudah mendapatkan lagi.
"Kau yang bukan siapa-siapa bagiku! Karena kau hanya seorang ja*lang mura*han yang menjebak aku di malam itu. Jika kau tidak menjebak, aku tidak akan menikahimu! Sampai mati pun aku tidak akan sudi punya istri sepertimu!"
Aruna hanya terdiam, dia sulit berbicara karena rahangnya yang di cengkram kuat oleh Johan. Hanya air mata yang mengalir, menunjukan seberapa besar luka yang dia terima saat ini. Bukan hanya dalam fisik, tapi juga bathinnya.
"Jo udah, dia bisa mati" ucap Jesika, cukup panik melihat Johan yang semarah itu. Jesika menarik tangan Johan satunya lagi dan membuat pria itu berdiri. "Bukannya kamu janji akan bawa aku jalan-jalan. Jadi, ayo pergi sekarang. Ngapain pedulikan Aruna"
Aruna menatap kepergian dua orang itu dengan hati yang teramat hancur. Air mata mengalir di pipinya, namun tidak akan pernah menarik simpati suaminya. Dia bahkan lebih peduli dengan perempuan yang seharusnya sudah tidak dia pedulikan saat ini.
"Nona, segera bersih-bersih. Nanti Nona sakit, biar saya yang membersihkan semua ini" ucap Evi.
Aruna mengangguk, dia berdiri dan segera berjalan ke kamarnya. Jika saja tadi Jesika tidak sengaja meminta dirinya yang membuatkan minuman, mungkin tidak akan seperti ini. Namun, Aruna juga tidak bisa menolak, ketika Johan sudah menegaskan jika dia harus menuruti keinginan Jesika.
Aruna mengguyur tubuhnya di bawah shower, membiarkan air membersihkan tubuhnya dari tumpahan jus. Luka di kepalanya terasa perih, tapi lebih perih hatinya.
"Aku hanya akan bertahan disini, karena kemana aku harus kembali? Bahkan rumah pun, sudah tidak seperti rumah bagiku"
Memutuskan untuk melakukan ini hanya ingin Johan menikah dengan Jesika yang tidak benar-benar mencintainya dan ada hal yang Jesika sembunyikan sebenarnya. Tapi, selain itu Aruna hanya ingin pergi keluar dari rumahnya, dimana seorang Ayah yang tidak pernah mau membelanya. Hanya mementingkan istri dan anak pertamanya.
Selesai mandi, Aruna mengobati luka dengan dibantu oleh Evi. "Nona, istirahat saja. Tubuh Nona demam sekarang"
Aruna mengangguk pelan, dia menaikan kedua kakinya ke atas tempat tidur dan mulai merebahkan tubuhnya. Evi segera menyelimuti tubuhnya.
"Istirahat ya Nona, nanti kalau ada apa-apa panggil saya"
"Iya Evi, terima kasih"
Setelah Evi pergi, Aruna hanya menatap langit-langit kamar dengan kepala yang berdenyut nyeri. Dia tersenyum lirih dengan bibir tipisnya. Saat baru ingin memejamkan matanya, suara dering ponsel membuatnya kembali membuka mata. Aruna meraba ke arah nakas dan mengambil ponselnya disana. Melihat siapa yang menghubunginya.
"Kak Faas" lirihnya dengan tersenyum, satu-satunya orang yang peduli dengan tulus padanya adalah Kakak sepupunya ini. Dia adalah saudara jauh dari Ibu Aruna yang sudah meninggal.
Aruna langsung bangun terduduk di atas tempat tidur dan segera menerima telepon dari Faas. "Hallo Kak"
"Hallo Runa, bagaimana kabarmu?"
"Baik Kak, bagaimana dengan Kakak? Kapan pulang?"
Faas berada di luar kota untuk sebuah pekerjaan. Sudah hampir 6 bulan dia disana. Sampai kejadian yang menimpanya saja, Faas tidak tahu.
"Kamu tebak aku dimana sekarang?"
Aruna mengerutkan keningnya, Faas malah mengajaknya tebak-tebakan. "Masih di Luar Kota? Atau sudah pulang ya?"
"Haha, iya aku sudah pulang. Mau ketemuan gak? Aku bawa oleh-oleh untuk kamu"
Aruna tersenyum bahagia, akhirnya malaikat pelindungnya telah kembali. Meski sekarang percuma karena Aruna tidak mungkin bertemu dengan Faas dalam keadaan seperti ini. Bekas memar di seluruh wajahnya, belum lagi keningnya yang terluka.
"Em, aku gak bisa kalau sekarang. Lusa saja bagaimana? Pokoknya aku juga ingin traktiran dari Kak Faas"
"Haha, baiklah. Aku jemput ke rumah kamu, lusa ya"
"Eh jangan!" tidak sadar Aruna sampai berteriak karena kaget Faas akan menjemputnya di rumah, sementara dia sudah tidak tinggal di rumahnya. "Em, maksudnya kita ketemuan di tempat biasa saja. Kak Faas tidak perlu menjemput aku"
"Oh baiklah"
Sambungan telepon terputus, Aruna menatap ponselnya dengan tersenyum. Tapi sedetik kemudian senyuman itu hilang, dan berubah menjadi wajah yang penuh kerapuhan.
"Aku tetap tidak bisa bilang pada Kak Faas tentang pernikahan ini. Karena Kak Jo akan marah padaku"
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!